Discover millions of ebooks, audiobooks, and so much more with a free trial

Only $11.99/month after trial. Cancel anytime.

Cinta 3 Sisi [Not English]
Cinta 3 Sisi [Not English]
Cinta 3 Sisi [Not English]
Ebook113 pages1 hour

Cinta 3 Sisi [Not English]

Rating: 4.5 out of 5 stars

4.5/5

()

Read preview

About this ebook

Interaksi tak terduga dua tokoh, Agnes ibu rumah tangga yang kehilangan makna kehidupannya, Mai wanita karir yang kehilangan cintanya, dengan Helmy -- karyawan kantor yang kehilangan arah hidupnya -- membuat mereka menemukan arti baru kehidupan dan cinta...

LanguageBahasa indonesia
PublisherHelmy Kusuma
Release dateOct 12, 2011
ISBN9781465917720
Cinta 3 Sisi [Not English]
Author

Helmy Kusuma

Helmy Parlente Kusuma was born and raised in Palembang, Indonesia.As a young adult he has spent a decade and a half continuing his studies and working in Information Technology in Jakarta, the capital of Indonesia, while strategically plotting for total world domination.Helmy anticipates the early completion of his fantasy novel.

Related to Cinta 3 Sisi [Not English]

Related ebooks

Reviews for Cinta 3 Sisi [Not English]

Rating: 4.428571428571429 out of 5 stars
4.5/5

21 ratings3 reviews

What did you think?

Tap to rate

Review must be at least 10 words

  • Rating: 4 out of 5 stars
    4/5
    (y)
  • Rating: 5 out of 5 stars
    5/5
    allah
  • Rating: 5 out of 5 stars
    5/5
    ok

Book preview

Cinta 3 Sisi [Not English] - Helmy Kusuma

Ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat, merk dagang, media dan kejadian adalah hasil dari imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Penulis mengakui status merk dagang dan pemilik merk dagang dari berbagai produk yang mungkin direferensikan dalam karya fiksi ini, yang telah digunakan tanpa persetujuan. Publikasi atau penggunaan merk dagang ini tidak di otorisasi, berhubungan ataupun disponsori oleh pemegang merk dagang.

Edisi Smashwords, Catatan Lisensi

Ebook ini ditujukan untuk pribadi. Ebook ini tidak boleh dijual ulang atau diberikan kepada orang lain. Jika ingin membagikan buku ini kepada orang lain, mohon belilah buku tambahan untuk mereka. Jika anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli untuk anda, mohon kembalikan kepada Smashwords.com dan belilah.

Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis buku ini.

Buku ini dipersembahkan untuk cinta.

Ucapan terima kasih diperuntukkan bagi semua pihak,

teman dan keluarga,

yang telah mendukung selama dalam pembuatan buku ini

Bab

Satu

Kring.

Jam weker itu berdering, awalnya pelan kemudian makin lama makin keras. Dia telah setia membangunkan tuannya untuk waktu yang lama sekali, ah tidak ingat dia sudah berapa jam atau berapa menit atau berapa detik, yang pasti pagi ini dia sudah berdering setengah jam lamanya.

04:30. Aduh, sudah jam setengah lima!

Seorang wanita dengan mata masih setengah tertutup segera dengan sigap dan sedikit terhuyung turun dari tempat tidur, melirik ke punggung seorang lelaki yang tampak masih asyik tidur yang tidak terganggu sama sekali oleh jeritan sang weker.

Agnes si wanita itu bergegas mematikan weker, menggelung dan mengikat rambutnya dengan sebuah karet gelang, rambutnya bagaikan rami-rami kasar pada sebuah sapu. Gerakannya sudah terprogram dengan rapi, bagaikan aktivitas yang sudah ratusan bahkan ribuan kali dilatih berulang. Dia mematikan AC kemudian turun ke bawah.

Aktivitas selanjutnya sudah seperti konser musik yang di-gladiresik-kan dengan sempurna, begitu mengalir, sambung-menyambung dan tidak terputus. Dia adalah konduktor sekaligus pemain piano dan pemain biola dan pemain saxophone dan pemain bass. Piring, gelas, sendok garpu, wajan, kompor, mangkuk, pisau adalah alat musiknya. Pemirsa setianya selama lebih dari lima belas tahun lamanya tak lain adalah ruangan dapur mungil dengan kitchen set lebar dua meter lengkap dengan kitchen sink dan lemari untuk menyimpan peralatan masaknya. Disebelahnya terdapat ruangan makan dengan satu buah meja makan oval terbuat dari kayu yang difurnish, tiga buah kursi kayu yang satu model dengan mejanya dan dua buah kursi plastik warna merah. Tidak jauh dari sana sebuah galon air lengkap dengan pompanya dan sebuah lemari es dua pintu.

Agnes sibuk memotong, mencacah, menggoreng, menumis, merebus, menanak, mencuci, menggerus, menggeprok dan menata, sementara tepat disamping dapur – di luar ruangan, Iyem, sang mbok yang sudah membantu dirinya semenjak anak keduanya Hendri lahir, sedang memainkan konsernya sendiri. Mencuci baju.

Jam sudah menunjukkan pukul 05:30 ketika Agnes meletakkan sendok garpu terakhir pada piring yang sudah tertata rapi di meja makan.

Doni, Hendri! Ayo bangun! Sudah siang!

Paul, suaminya, baru saja selesai mandi dan masih berbalut handuk di lehernya ketika dia masuk ke dalam kamar. Sudah selesai mandi? yang disambut dengan deheman. Dia mengenakan kemeja putih bergaris, celana kain hitam dan sedang bersisir di depan cermin oval yang terpatri di pintu lemari pakaian.

Selesai mandi jam bulat di atas pintu kamar sudah menunjukkan pukul 05:50; tidak sempat lagi Agnes untuk berdandan selain menyapu kan bedak tipis pada wajahnya. Wajahnya. Dia terpaku sejenak melihat wajah itu di cermin meja kecilnya. Rambut ikal yang lebih panjang sedikit dari bahu dibiarkan saja tergerai setelah disisir lima kali, dan tulang pipi yang terlihat agak menonjol. Dia memiringkan sedikit wajahnya ke kiri dan ke kanan, pipinya terlihat agak tirus dan pandangan itu, pandangan dari mata yang tidak terlihat lagi kilaunya, padam oleh beratnya kehidupan.

Dia menghela napas dan memaksakan sebuah senyum yang terlihat agak menyedihkan karena tarikan sudut mata yang kurang tepat dan aroma ragu-ragu dari sudut bibirnya. Segera dia berpaling, memasukkan pemulas bibir, sisir, perona pipi, bedak, pensil alis dan cermin kecil ke dalam tas hitam berbahan kulit – ehm lebih tepatnya tas hitam berbahan yang menyerupai kulit – dengan pegangan dari stainless steel dan menutup pintu kamar kemudian turun ke ruang makan.

Ruang makan yang sebelumnya menjadi penonton bisu konser paginya sekarang sudah diinvasi oleh celotehan-celotehan Maria anaknya yang paling kecil, suara televisi yang terdengar dari ruang tamu, Hendri dan Doni yang sedang asyik menonton acara kartunnya, dan Paul yang sesekali menimpali Maria sambil menyeruput kopi dan membaca koran paginya.

Sambil mencomot bakwan jagung Agnes memasukkan nasi dan lauknya pada dua wadah plastik segi empat: satu buat dirinya dan satu buat suaminya.

Ayo Pa, sudah siang, baca korannya dilanjutkan nanti saja. Doni, Hendri sudah siap belum? Sebentar lagi mobil jemputannya datang. Maria, jangan lupa makan siangnya sama mbak Iyem ya.

Konser pun bergeser ke ruang tamu, kemudian ke luar rumah ketika Paul melipat korannya, memasukkan wadah makan ke dalam tasnya, mengambil kunci mobil dan menstarternya sementara Agnes bergegas membereskan perlengkapan sekolah Maria, memberi wejangan singkat pada Doni dan Hendri agar jangan nakal di sekolah, berpesan pada si Iyem untuk makan siang anak-anaknya, terutama Maria yang masih minta disuap, dan lalu menggendong Maria masuk ke mobil.

Seperti layaknya hari-hari kerja lainnya – apalagi hari senin seperti hari ini – jalanan ibukota menjadi konser selanjutnya: konser besar tanpa kondektur dimana para pemain dan pemirsa mempunyai interpretasi sendiri tentang apa yang dianggapnya sebagai konser musik: masing-masing mempunyai partitur tersendiri dengan tempo yang berbeda yang kadang kala di-paksaseragam-kan oleh lampu merah dan lampu hijau yang menyala bergantian.

Ketika Agnes melambaikan tangannya pada Maria yang berlari ke dalam kelasnya dan kepada Paul yang mengendarai mobilnya untuk berlomba dengan sesama pengguna jalan: motor, metromini, kopaja, patas AC, patas non AC, bus transjakarta, bajaj, pejalan kaki dan pedagang kaki lima, Agnes sudah sempat memulas bibir, menggambar alisnya, meronakan pipinya, menyapu bedaknya sekali lagi, dan membaca headline hari itu dari koran-koran yang dijajakan penjual koran di sela-sela kemacetan : 'Korupsi sudah menjadi darah daging', 'Lagi seorang nenek menjadi korban keganasan pemerkosa', 'Aktor Dodi ketahuan selingkuh, istri minta cerai', 'Banjir bandang terjadi di desa'.

Ck, ck, ck. Mau jadi apa negara ini? Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya yang kalau saja para pejalan kaki dan mobil disekitarnya bisa mendengarkan perkataannya pasti mereka akan mengangguk setuju. Belum sempat Agnes meneruskan pemikirannya, dia sudah dikagetkan oleh rem mendadak: ada motor yang menyelonong dari samping mobilnya ngotot bersaing dengan metromini dan bus transjakarta di sebelah kanan. Sialan! Cari mati aja! Dia mengumpat sementara Paul masih menggeram dengan klaksonnya.

*

Sampai nanti sore Pa Sambil mengucapkan salamnya, dia melirik ke jam tangannya. 07:58. Bergegas

Enjoying the preview?
Page 1 of 1