Discover millions of ebooks, audiobooks, and so much more with a free trial

Only $11.99/month after trial. Cancel anytime.

Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang
Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang
Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang
Ebook201 pages2 hours

Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang

Rating: 4.5 out of 5 stars

4.5/5

()

Read preview

About this ebook

Sebuah dongeng bagi kamu, yang sudah cukup dewasa untuk kembali bermimpi.

***

“Konon katanya, pada suatu tidur, kau bisa sampai ke suatu tempat yang disebut Ujung Pelangi. Di sana ada seorang gadis dengan wajah tertutup cadar yang akan
menenunkan Mimpi untukmu...”

Seorang pria dengan Hati luka melihat kertas terbang dalam Mimpinya. Ia mengikuti arah kertas tersebut terbang, dan sampai ke Lembah Es. Ia menyangka Hatinya akan sembuh, namun ternyata Lembah Es hanyalah tempat untuk mendinginkan Hati.

Di lain tempat, tanpa ia ketahui, langit sedang terhantam dan memar. Dunia terancam hancur, dan pria itulah yang dipilih untuk menyelamatkannya.

Tapi, karena tidak sanggup lagi menanggung sakit, ia memutuskan untuk selama-lamanya membekukan Hati di Lembah Es.

Lalu langit pun retak, dan hendak runtuh.

***

Diiringi dengan sajak-sajak yang menghangatkan Hati, kisah ini akan membawamu dalam perjalanan untuk menjadi sembuh—dan mengubah dunia, entah bagaimana caranya.

LanguageBahasa indonesia
Release dateApr 8, 2016
ISBN9781310231278
Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang
Author

Gina Gabrielle

Pencinta dongeng dan kata-kata indah.Mempelajari Behavioural Studies, Communications, dan Sociology, Gina Gabrielle selalu terpesona dengan hati manusia dan kata-kata yang bisa menggerakkan mereka.Pada tahun 2015, Gina berhasil masuk ke dalam top 30 di Gramedia Writing Project (GWP).Bersama Sky Nakayama dan Xlibris Publishing, Australia, Gina menerbitkan sebuah novel berjudul Phantasmagoria secara mandiri. Karya tulis lainnya yang berupa cerita pendek pernah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh PlotPoint (The Doppelganger dalam Siwon Six) dan majalah Media Kawasan (Setangkai Lili di Padang Pasir).Gina dapat dihubungi melalui Instagram (@msginagabrielle) dan gadispenjajakata@gmail.com.

Related to Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang

Related ebooks

Fantasy For You

View More

Reviews for Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang

Rating: 4.338235294117647 out of 5 stars
4.5/5

68 ratings0 reviews

What did you think?

Tap to rate

Review must be at least 10 words

    Book preview

    Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang - Gina Gabrielle

    Temanku, kau harus bergegas!

    Terdengarkah? Langit retak dan bunyinya berderak-derak. Dunia Mimpi terancam hancur. Gerbangnya sedang menutup diri.

    Ini adalah saat-saat genting. Lekas! Aku tidak mau terkunci di luar sini.

    Percayalah padaku. Aku harus membawamu masuk melewati gerbang ini dan memandumu dalam sebuah Mimpi. Itu adalah tugasku, dan aku tidak pernah lalai dalam menjalankan tugas.

    Bahkan saat langit akan runtuh sekalipun.

    Jadi ikutlah aku, dan dengarkan baik-baik. Perjalanan ini akan sangat berbeda dari perjalananmu yang lain. Jangan bergantung pada matamu, dan jangan mengandalkan telingamu saja——hal-hal seperti itu tak terlalu berguna di negeri yang sebentar lagi akan kita kunjungi.

    Persiapkan dirimu.

    Mari menyelam ke dalam pekatnya tinta, masuk menyelinap jauh ke bawah kesadaran manusia. Biarkan jiwamu yang melihat dan mendengar. Aku jamin, segalanya akan segera menjadi berbeda begitu kau melewati gerbang ini.

    Satu, dua, tiga, empat.

    Bahannya sudah lengkap. Mimpimu sudah bisa ditenun.

    Empat, tiga, dua, satu.

    Mari bermimpi bersamaku.

    *****

    Bermimpi sedikit,

    bermimpi sebentar,

    dalam naungan langit

    dan awan-awan lebar.

    Saat dunia terlampau gelap,

    tutup matamu dalam lelap.

    Bermimpilah sedikit,

    walau Hati terasa pahit.

    Jatuh dalam lelap,

    sebetulnya tak jauh beda

    dengan jatuh dalam cinta:

    perlahan terbuai, lalu hanyut dalam sekejap.

    Jadi bermimpilah sebentar,

    walau harapan mulai pudar.

    Walau jiwamu itu telaga,

    hitam bagai kelam jelaga.

    Satu, dua, tiga, empat.

    Tutup matamu erat-erat.

    Empat, tiga, dua, satu.

    Mari bermimpi bersamaku.

    (Kutipan lirik Nyanyian di Ujung Pelangi,

    diambil dari Koleksi Perkamen Langka milik Istana Masa Kini.)

    *****

    Pria dari Lembah Es

    Tadinya ia hanyalah seorang pria muda biasa, berjalan melanglang buana dengan Hati yang merah cerah dan terpampang jelas.

    Rambutnya yang berwarna madu seakan menari dalam hembusan angin, begitupun kemeja longgar yang dikenakannya. Sinar siang hari terlihat berkilauan, memantul di atas mata cokelatnya.

    Sepatu botnya berketak-ketuk menyentuh tanah, ritme langkahnya diselaraskan dengan siulan dan petikan lincah ukulele yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dengan topi berhiaskan sehelai bulu panjang, ia terlihat persis seperti musisi keliling yang sama sekali tak memedulikan dunia.

    Dan memang benar, ia tidak peduli.

    Di awal perjalanannya, pria itu menyadari bahwa banyak orang menutupi Hati mereka rapat-rapat sembari berjalan. Mana mungkin Hati bisa tahan disekap seperti itu?

    Sungguh sebuah kebodohan, pikirnya.

    Teman, biar kuberitahukan satu hal padamu: Hati hanya punya satu keinginan, yaitu untuk bebas merasa. Itulah persisnya yang pemuda itu lakukan—membebaskan Hatinya—dan ia pun merasa bahagia.

    Ia suka merasa bebas dan bahagia.

    Namun, kalau saja ia mengambil waktu sebentar untuk melihat dengan lebih seksama, maka ia akan mendapati Hatinya yang terpampang itu ternyata sudah lusuh dan penuh goresan.

    Hujan dan terik mendera silih berganti. Ia pun terus berjalan, dan karenanya terus bersinggungan, menyerempet, kadang menabrak di sini dan sana.

    Awalnya ia masih tidak sadar. Namun, semakin hari goresan di Hatinya semakin bertambah. Pemuda itu bingung harus berbuat apa. Sakit yang tadinya terasa seperti tusukan jarum dan hanya sesekali datang, kini mulai mengganggunya terus-menerus.

    Sinar siang hari terasa perih.

    Air hujan terasa perih.

    Angin terasa perih.

    Senyumnya memudar. Rasanya berat dan sangat melelahkan untuk bahkan berpapasan dengan orang lain. Entah bagaimana, mereka pasti akan bersinggungan dan goresan di Hatinya akan bertambah.

    Pemuda itu lantas berhenti berjalan. Apalagi yang bisa ia lakukan? Ia tidak bisa kembali ke tempat asalnya, dan melanjutkan perjalanan terasa sangat menyesakkan. Memikirkan hari esok dan semua perih yang akan ia dapat membuatnya semakin sulit bernapas.

    Di saat seperti itulah sesosok perempuan datang tiba-tiba, membelai lembut Hatinya yang tanpa perlindungan.

    Sepertinya ia tahu perempuan itu. Rasanya mereka sering berada di jalan yang sama, dan pernah beberapa kali bertegur sapa.

    Hati perempuan itu, sama seperti hampir semua orang yang ia temui sebelumnya, tertutup rapat dan tidak bisa dilihat.

    Berikanlah Hatimu padaku. Akan kurawat sampai sembuh, katanya teduh.

    Pemuda itu pun menurut tanpa curiga. Harapannya timbul kembali. Ia mengambil ukulele yang tersampir di bahunya dan mulai bermusik sambil menunggu.

    Sebentar lagi, semua goresan itu akan segera lenyap. Semua sakit itu akan hilang. Ia akan bisa melanjutkan perjalanannya kembali.

    Semuanya akan kembali seperti sedia kala, pikirnya.

    Tetapi, alih-alih menyembuhkan, perempuan itu malah menikam dan membuang Hatinya begitu saja.

    Pemuda itu bahkan tidak mampu berteriak. Rasa terkejut dan sakit seperti meledak dalam dirinya, menghujam ke segala arah, menyumbat tenggorokannya sampai tidak ada suara yang bisa keluar.

    Ia tidak kuat lagi berdiri. Terengah-engah menahan sakit, ia hanya bisa melihat saat Hati miliknya jatuh ke dalam air yang gelap dan mulai tenggelam.

    Aku tidak tahu apa persisnya yang terjadi, Teman, tapi entah bagaimana akhirnya pemuda itu bisa menyeret dirinya untuk bergerak.

    Dengan susah payah ia mengambil Hatinya kembali, dan kemudian ia melihatnya: sebuah luka sayatan yang menganga lebar.

    Perempuan itu telah menghilang.

    Ia sendirian dan terluka.

    Tiba-tiba saja, dunia terasa lebih besar dan kosong.

    Ia memaksa dirinya untuk berjalan, tapi langkah-langkah kakinya yang semula ringan kini menjadi berat dan perlahan. Setiap kali ia menapak, luka di Hatinya bereaksi. Seakan ada yang meremas lukanya, lalu melepasnya sebentar supaya ia bisa bernapas, dan kemudian meremasnya lagi.

    Sayatan itu berdenyut, memanas, dan terasa pedih luar biasa.

    Ia tidak mengerti mengapa ini semua terjadi padanya, tetapi ia tahu bahwa luka itu harus disembuhkan sesegera mungkin.

    Sayangnya, bahkan di Dunia Mimpi pun belum ada ramuan obat yang bisa menyembuhkan luka Hati. Akhirnya ia menjadi seperti mereka yang tadinya ia cemooh: ia mulai menyembunyikan dan menutup Hatinya rapat-rapat supaya tak ada lagi yang bisa menyakitinya.

    Mungkin saja ternyata orang-orang itu juga menutup Hati karena terluka, siapa tahu. Ia tidak peduli. Yang ia tahu hanyalah lukanya terasa sakit sekali.

    Terseok-seok menahan kesakitan yang semakin menjadi, ia akhirnya berjalan bersama mereka untuk mencari tahu bagaimana caranya sembuh. Ia bertanya, kemudian berjalan, dan lalu bertanya lagi.

    Temanku, di tengah kelelahannya berjalan, entah bagaimana ia tertidur dan masuk ke dalam sebuah Mimpi yang sangat aneh. Banyak hal dari Mimpi itu yang tak bisa ia ingat, tetapi ia ingat melihat kertas terlipat yang terbang ditiup angin, menunjukkan jalan baginya.

    Patut kau camkan bahwa ia bukannya yakin akan apa yang ia lakukan. Sebenarnya ia sama sekali tidak yakin. Tetapi, Teman, saat kau tidak tahu apa yang harus kaulakukan, kau akan mencoba segalanya.

    Bahkan hal yang paling tidak masuk akal sekalipun.

    Jadi pemuda itu pun mencoba, karena ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berjalan mengikuti arah kertas tersebut terbang dalam Mimpi yang dilihatnya. Pemuda itu berjalan, berjalan, dan terus berjalan.

    Singkat cerita, langkah kakinya menuntunnya ke Lembah Es.

    Tempat itu sebenarnya lebih tepat disebut ngarai karena berada di antara pegunungan batu tinggi berwarna kelabu. Jalan setapak untuk masuknya panjang, sempit, dan berangin kencang.

    Semakin jauh melangkah, rasanya pemuda itu seperti masuk ke dalam perut gunung. Udara terasa semakin dingin. Jalan sempit tersebut membawanya ke sebuah dataran beku yang kosong. Butir-butir salju berjatuhan perlahan, menumpuk di mana-mana, padahal saat itu sudah bukan musim dingin.

    Tiba-tiba ada yang menggenggam telapak tangannya dari bawah.

    Tempat ini adalah tempat yang tepat untuk mengistirahatkan Hatimu yang luka, Manusia.

    Terkejut, pemuda itu menyentakkan tangannya sampai lepas. Kakinya serasa terpaku ke tanah tempatnya berdiri. Dengan napas menderu, ia membelalak memandang sosok yang baru saja menyapanya.

    Seorang anak laki-laki tembus pandang.

    Pemuda itu bisa melihat wajah dan bentuk tubuhnya, tetapi anak itu sama sekali tidak berwarna. Ia bisa melihat menembus tubuhnya; anak laki-laki itu terlihat seperti bayangan transparan.

    Jangan takut, ujar anak itu sambil kembali menggandengnya.

    Ada sesuatu dalam suara anak tembus pandang itu. Suaranya lirih namun jelas dan tajam, terasa dingin di Hati seperti rasa serpihan-serpihan halus es saat menerpa kulit, dihembuskan oleh angin Lembah Es. Tangan kecil yang menggenggamnya pun terasa sejuk.

    Terkesima, juga merasa nyaman dengan kesejukan yang ia rasakan, pemuda itu menurut saja saat si anak lelaki menuntunnya berjalan di atas padang es menuju sebuah lahan yang lebih luas lagi.

    Ada banyak anak-anak tembus pandang di sana, lelaki dan perempuan, masing-masing memeluk sebuah Hati. Di sebelah masing-masing mereka ada manusia yang menunggu. Sebagian bercakap-cakap, sebagian hanya diam menatap.

    Temanku, jika kau memperhatikan dengan seksama, kau akan melihat bahwa setiap Hati di tempat itu terluka dengan cara yang berbeda.

    Yang itu mengerdil dan menjadi sempit karena tidak mau belajar bagaimana caranya menjadi lapang, kata sang anak sambil menunjuk ke bongkahan kisut dalam pelukan seorang anak perempuan tembus pandang.

    Anak lelaki itu menarik tangan si pemuda supaya ia terus melangkah maju.

    Mereka melewati seorang anak tembus pandang lain yang sedang berbaring sambil memeluk dua belah patahan Hati.

    Yang itu memaksa diri menjadi besar. Tetapi, karena dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa pikir panjang, akhirnya malah jadi rapuh dan lantas patah.

    Anak lelaki itu terus berjalan sambil menjelaskan.

    Yang itu mengeras sampai akhirnya tidak bisa merasakan apa-apa lagi, ujarnya sambil menunjuk seorang anak tembus pandang yang berlutut, seakan memohon agar bisa melembutkan Hati batu dalam pelukannya.

    Pemuda itu terpana. Lembah Es ini adalah tempat yang sangat tidak biasa, pikirnya.

    Belum sempat mencerna semua yang barusan ia lihat, tiba-tiba lewatlah seorang wanita muda yang hendak berlari keluar dari Lembah Es. Di belakangnya, seorang anak perempuan tembus pandang mengejar sambil memeluk sesuatu yang tampak seperti Hati.

    Anak perempuan itu menangis tanpa suara.

    Kasihan sekali. Ia merasa tidak lagi memerlukan Hati, lantas membuangnya. Padahal ia takkan bisa hidup tanpa Hati. Tidak ada yang bisa, komentar anak lelaki itu sambil menggelengkan kepalanya.

    Mengapa anak perempuan itu tidak memberitahukan saja hal tersebut padanya? tanya si pemuda. Anak tersebut masih terus berlari sambil memeluk Hati yang dibuang pemiliknya.

    Kau sangka dia belum mencoba?

    Anak lelaki itu menghela napas.

    Percuma. Untuk apa lagi berbicara jika sudah pasti takkan didengar? Menurutku mengejarnya pun percuma saja.

    Ia lalu berhenti berjalan dan berbalik menghadap si pemuda.

    Mari, berikan Hatimu, aku akan menyejukkannya, katanya sambil mengulurkan tangan.

    Menyejukkan? Kusangka kau akan menyembuhkannya.

    Tidak, tidak. Tugas kami di sini hanyalah membuat Hatimu sejuk dan lembut, sesejuk dan selembut mungkin, jelas anak lelaki itu sambil terus mengulurkan tangan.

    Lalu, setelah menyejukkannya, kau akan mengembalikannya begitu saja kepadaku?

    Ya.

    Tapi aku mau supaya Hatiku tidak terluka dan takkan pernah bisa terluka lagi.

    Manusia, tahukah kau bahwa luka itu sebenarnya tak terhindarkan? Kau hanya perlu Hati yang sejuk dan lembut, yang bisa sembuh dari luka apa pun dengan kecepatan mengagumkan, kata anak lelaki tembus pandang itu dengan sungguh.

    Teman, Lembah Es memang sebenarnya hanyalah

    Enjoying the preview?
    Page 1 of 1