You are on page 1of 143

Majalah Ilmiah SK Kep. LIPI No.

536/D/2007 tanggal 26 Juni 2007

ISSN : 1410 - 8291

1
JURNAL PENELITIAN KOMUNIKASI

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM BALAI PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA BANDUNG

JURNAL PENELITIAN KOMUNIKASI

Merupakan terbitan berkala setiap caturwulan, yang menyajikan hasil-hasil penelitian : pendapat khalayak, mencakup : praktek dan teori, tinjauan buku, gagasan dan ide-ide baru serta pengembangan dan rekayasa di bidang komunikasi dan informatika.. Merupakan media informasi dan sarana pengembangan ilmu yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi Departemen Komunikasi dan Informatika dalam menyusun kebijakan di bidang komunikasi dan informatika. Sasaran penyebaran ditujukan bagi masyarakat ilmiah, para peneliti dan praktisi komunikasi. Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Bandung Kepala Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Bandung C. Suprapti Dwi Takariani, SH.

PENERBIT PENANGGUNG JAWAB KETUA PENYUNTING PENYUNTING AHLI

Prof. Ris. Rusdi Mukhtar, MA. Dr. Atie Rachmiati, M.Si. Drs. Dian Wardiana Sjuchro, M.Si. Dra. Siti Karlinah, M.Si.

PENYUNTING PELAKSANA SEKRETARIS PENYUNTING ADMINISTRASI DISAIN & TATA LETAK KOREKTOR PELAKSANA DISTRIBUSI ALAMAT REDAKSI PENGIRIMAN NASKAH

Drs. Ramon, M.Si. Drs. Mulyono Yalia Drs. Nana Suryana Dra. Betty Djuliati

Yoyo Suhawaya, Sm. Hk. Widdie Budhiarta, A.Md.

Ati Sumiati Hj. Rosariah (Distribusi : Cuma-cuma, tukar menukar, dihadiahkan) Jl. Pajajaran No. 88 Bandung 40173; Telp. : (022) 6017493. Fax. (022) 6021740 E-mail : bppi_wil_3_bandung@depkominfo.go.id Redaksi menerima kiriman naskah dari pembaca yang ditujukan pada alamat redaksi. Naskah yang diterima harus asli dan belum pernah diterbitkan/dimuat di media lain, diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4 minimal 15 halaman maksimal 20 halaman, dilengkapi dengan identitas jati diri penulis. Sumber dituliskan : nama pengarang, tahun karangan dan halaman sumber di antara kurung. Contoh : (Amri Jahi, 1988 : 33). Daftar Pustaka ditulis pada halaman terpisah dan disusun menurut abjad, dengan urutan : nama pengarang atau penyunting, tahun penerbitan, judul buku, artikel, kota dan nama penerbit. Contoh : Costanza R. (ed.) 1991, Ecological Economic, New York : Colombia University Press. Naskah yang tidak diterbitkan menjadi hak milik redaksi dan tidak dapat diminta kembali Jurnal Edisi Perdana Terbit Tahun 1997

ISSN : 1410-8291

ii Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No.1

KATA PENGANTAR Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini begitu pesat dan telah merambah di segala bidang kehidupan masyarakat. Beberapa lembaga-lembaga masyarakat telah memanfaatkan TIK sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakatnya, namun masih banyak ditemukan berbagai kendala dalam memanfaatkan TIK tersebut. Dalam Jurnal volume 12 No. 1 Tahun 2009 ini, disajikan tujuh tulisan yang merupakan resume hasil penelitian. Ketersediaan alat komunikasi dan informasi yang belum cukup dan belum maksimal serta kemampuan Sumber Daya Manusia yang masih terbatas dalam menggunakan TIK menjadi salah satu kendala dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD), hal tersebut terungkap dalam hasil penelitian yang diangkat oleh Ramon, dengan judul tulisan Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD) 2010. Kendala tersebut juga ditemukan dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mencoba memanfaatkan TIK untuk memberdayakan masyarakatnya, seperti terungkap dalam penelitian tentang BALAI INFORMASI MASYARAKAT (BIM) CIHIDEUNG : Memberdayakan Masyarakat Perdesaan Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi yang diangkat oleh Sumarsono. Sementara itu keberadaan Warung Masyarakat Informasi (warmasif) yang merupakan model pengembangan Community Access Point (CAP) dan dibangun untuk mempercepat tercapainya masyarakat informasi ternyata belum dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasarannya. Syarif Budhirianto dalam tulisannya, Motivasi Pengguna Warung masyarakat Informasi dalam Pemenuhan Kebutuhan Bermedia di Propinsi Jawa Barat, menyimpulkan keberadaan warmasif untuk pemenuhan kebutuhan informasi dan komunikasi kurang optimal, warmasif baru dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi kebutuhan hiburan bagi masyarakat. Perkembangan TIK dewasa ini telah dimanfaatkan oleh Perguruan Tinggi Negeri dengan mempraktekkan penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran. Dalam tulisan, Social Software sebagai Media Komunikasi dalam Proses Pengajaran di Perguruan Tinggi Negeri, Akhmad Riza Faizal dan Wulan Suciska, menyimpulkan penggunaan social software sebagai

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

iii

media komunikasi dalam proses pengajaran mampu mendorong kemampuan menulis siswa, menyebarkan materi perkuliahan, menerbitkan hasil ujian semester. Namun di sisi lain perkembangan TIK telah mengubah dunia jurnalistik yakni dengan hadirnya citizen journalism, dimana setiap warga bisa melaporkan peristiwa yang terjadi kepada media. Bagaimana sikap Jurnalis terhadap citizen journalism? Permasalahan tersebut diangkat oleh Dida Dirgahayu dalam penelitiannya yang berjudul Sikap Jurnalis Terhadap Citizen Journalism Dalam tulisan lainnya, Konstruksi Identitas Sosial Kaum Remaja Marjinal studi kasus di kalangan remaja pengamen jalanan di Purwokerto, Agus Ganjar Runtiko, mengkaji mengenai kaum pengamen jalanan yang selama ini selalu identik dengan ketidaktertiban, dan selalu ditertibkan, namun jumlah mereka dari tahun ke tahun tidak pernah menyusut. Hasil penelitian tersebut adalah terbentuknya model penanganan yang lebih tepat bagi para pengamen jalanan. Sementara itu, dalam tulisan Perilaku Politik Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur Periode 2008-2013, yang ditulis oleh Irtanto, menyimpulkan bahwa preferensi pemilih lebih banyak karena kesamaan asal daerah, agama, kesamaan jenis kelamin terutama pada budaya arek, budaya mataraman, dan budaya pandalungan. Penyunting

iv Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No.1

VOL. 12 No. 1 Tahun 2009

ISSN : 1410 - 8291

JURNAL PENELITIAN KOMUNIKASI


DAFTAR ISI

STUDI KESIAPAN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI INFORMASI MENYONGSONG MANADO KOTA PARIWISATA DUNIA (MKPD) 2010 Ramon ...................................................................................... 1-22 KONSTRUKSI IDENTITAS SOSIAL KAUM REMAJA MARJINAL (Studi Kasus di Kalangan Remaja Pengamen Jalanan di Purwokerto) Agus Ganjar Runtiko ............................................................... 23-42 PERILAKU POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TIMUR PERIODE 2008-2013 Irtanto ....................................................................................... 43-62 BALAI INFORMASI MASYARAKAT (BIM) CIHIDEUNG : Memberdayakan Masyarakat Perdesaan Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi Sumarsono ................................................................................ 63-80 SOCIAL SOFTWARE SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DALAM PROSES PENGAJARAN DI PERGURUAN TINGGI NEGERI Akhmad Riza Faizal dan Wulan Suciska ............................... 81-98

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

MOTIVASI PENGGUNA WARUNG MASYARAKAT INFORMASI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN BERMEDIA DI PROVINSI JAWA BARAT Syarif Budhirianto ................................................................. 99-118 SIKAP JURNALIS TERHADAP CITIZEN JOURNALISM Dida Dirgahayu ...................................................................... 119-137

vi Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No.1

STUDI KESIAPAN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI INFORMASI MENYONGSONG MANADO KOTA PARIWISATA DUNIA (MKPD) 2010 Ramon* Abstraksi Penelitian ini ingin melihat kesiapan infrastruktur komunikasi informasi dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD) tahun 2010. Jenis penelitian adalah kualitatif dengan analisis deskriptif, sedangkan metode penelitian bersifat sosiologis/empiris. Instrumen utama interview guide bersifat terbuka dan terstruktur. Ketersediaan alat komunikasi dan informasi belum cukup serta belum maksimal sebagai dukungan sarana dan prasarana menyongsong MKPD tahun 2010. Yang menjadi kendala lainnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) -nya. Penggunaan internet hanya dipakai untuk mengakses informasi saja belum sampai pada taraf penambahan pengetahuan/referensi tentang dunia wisata dalam persiapan menyongsong MKPD tahun 2010. Oleh karena itu perlu sosialisasi secara kontinyu kepada wisatawan mancanegara dan domestik baik melalui dunia maya maupun secara langsung. Kata kunci : Infrastruktur, MKPD 2010, Komunikasi Informasi.

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terkenal kaya sumber daya alamnya, baik yang bisa diperbaharui (renewable resources) maupun yang tidak bisa di perbaharui (non-renewable resources). Laut Indonesia itu seluas dua per tiga dari kawasan Nusantara, namun baru dimanfaatkan sebagian kecil saja-terutama potensi ikannya saja. Padahal dari laut ini bisa
*

Drs. Ramon, M.Si., Penulis adalah Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik pada Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BP2KI) Bandung.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dihasilkan sebagai energi melalui pemanfaatan gelombang air laut atau angin laut yang dihasilkannya. Persoalan saat ini adanya pengkaplingan batas-batas territorial oleh pemerintah daerah dalam menyikapi implementasi desentralisasi dan Otonomi Daerah saluas-luasnya itu. Pengkaplingan tersebut berimplikasi pada pembagian 18.100 pulau di Indonesia ke dalam wilayah-wilayah territorial kabupaten dan kota. Hal ini berakibat pengelolaan kelautan semakin runyam dengan berbagai pengkaplingan dan diberlakukannya Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus. Tentu, ini membuat munculnya berbagai konflik antara nelayan dan nelayan, nelayan dengan pemangku kekuasaan daerah dan antar pemangku kekuasaan daerah walaupun ikan yang akan ditangkap para nelayan itu tidak paham batas territorial daerah. Selanjutnya akan terdapat keengganan daerah untuk memberdayakan kekayaan alam yang terkandung di daerah batas wilayah tersebut, sebelum batas wilayah ini jelas. Penetapan batas titik-titik itu sekaligus tak hanya menetapkan diantara peran dan fungsinya, tetapi juga terkait kewenangan daerah untuk mengeksploitasikan. Hal ini terkait dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan pada sumber daya alam sekaligus sumber daya manusianya. Pembangunan sebagai program yang direncanakan untuk melakukan perubahan-perubahan dengan sengaja untuk menyejahterakan masyarakat, dan dipandu oleh visi tertentu dalam tahapan tertentu pula. Oleh karena adanya Otonomi Daerah ini, maka pembangunan daerah harus bertumpu pada kemampuan daerah dengan segala sumber yang ada serta juga dituntut adanya kreatifitas daerah dalam mewujudkan pembangunan Propinsi Sulawesi Utara khususnya ibukota propinsinya yaitu Kota Manado, dalam usaha mencapai tujuannya menetapkan visi Kota Manado sebagai Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Manado No.04 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Manado Tahun 2005-2010. Visi Kota Manado secara lebih lengkap adalah Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 menuju terwujudnya masyarakat Kota Manado yang aman, berdaya saing, sejahtera, berkeadilan dan bermartabat.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Untuk mewujudkan Visi tersebut dirumuskan Misi: Menciptakan lingkungan perkotaan yang menyenangkan dimana setiap orang dapat mewujudkan potensi dan impiannya. Dalam melaksanakan misi tersebut telah ditetapkan 4 (empat) sasaran strategis yaitu: terlaksananya sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang efisien dan efektif; terwujudnya tata ruang kota berbasis pariwisata; terwujudnya infrastruktur perkotaan bertaraf internasional; terciptanya lingkungan perkotaan yang menyenangkan. Salah satu sasaran strategisnya adalah terbangunnya infrastuktur perkotaan bertaraf internasional yang akan diwujudkan melalui strategi-strategi pembangunan yaitu : Infrastruktur Telekomunikasi dan Informasi yang handal dan mampu menghubungkan masyarakat kota Manado dengan dunia internasional. Dari ketentuan ini, maka sektor infrastruktur komunikasi informasi menjadi faktor penunjang keberhasilan mewujudkan visi dan misi Kota Manado. Manado yang terletak di pulau Sulawesi menjadi salah satu andalan Indonesia dari keindahan alamnya untuk mendatangkan devisa negara melalui pariwisata. Berdasarkan kekayaan alam yang dimiliki Pulau Sulawesi khususnya wisata bahari, maka kita dapat tampilkan kekayaan dasar laut yang dikenal dengan nama BUNAKEN sebagai salah satu obyek wisatanya. Upaya-upaya untuk mewujudkan pembangunan ditopang oleh berbagai faktor salah satu yang berperan ialah komunikasi. Sesuai dengan strategi pembangunan yang salah satunya peran komunikasi dan informasi, dalam hal ini akan terwujud jika ditunjang oleh infrastruktur yang dibutuhkan, terutama infrastruktur komunikasi informasi. Namun ternyata belum terlihat adanya kesiapan infrastruktur komunikasi informasi di Kota Manado dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Hal ini terbukti dengan masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi informasi serta pengelolaan informasi dan diseminasi yang efektif dari kalangan infrastruktur secara terorganisasi, terkoordinasi, terintegrasi dan sinergis, untuk dapat secara cepat mengakses berbagai informasi di bidang pariwisata di Kota Manado yang akan ditawarkan kepada publik. Untuk mendapatkan gambaran tentang peran komunikasi dan informasi dalam pembangunan menuju Manado Kota Pariwisata
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 3

Dunia Tahun 2010, maka perlu dilakukan penelitian tentang Studi Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi di Kota Manado dalam rangka menuju Manado Kota Pariwisata Dunia di tahun 2010. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemasalahan di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi Kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 ? Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Untuk mengetahui Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi Kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Kegunaan 1. Secara Teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu komunikasi informatika, dan agar dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya dibidang teknologi informasi dan komunikasi. 2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi tentang kesiapan infrastruktur komunikasi informasi kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 untuk menjadi bahan masukan kepada Pemerintah Kota Manado dan pimpinan Departemen Komunikasi dan Informatika dalam pengambilan kebijakan. Tinjauan Teori Sarjana komunikasi sepakat bahwa tujuan utama teori ialah eksplanasi (Hawes, 1975, Miller & Nicholson, 1976; Monge, 1973; Tucker et al, 1981). Monge (1973) mengatakan : The primary purpose of a scientific theory is scientific explanation To establish a theory of communication is to seek a set of propositians that explain how communication operates, i.e. why various communication events are related. (pp. 5-6) (Tujuan utama suatu teori
4 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

ilmiah adalah memberi eksplanasi secara ilmiah. Untuk membangun suatu teori komunikasi diperlukan adanya seperangkat proposisi yang mampu menjelaskan bagaimana komunikasi memiliki keterkaitan satu sama lain). Dalam ilmu pengetahuan, eksplanasi untuk satu peristiwa memerlukan spesifikasi sebab-sebab atau kondisi-kondisi anteseden yang menyebabkan peristiwa itu dan menguraikan kondisi-kondisi bagaimana sehingga eksplanasi itu berlaku (Monge, 1973; Harre, 1983). Dalam penelitian ini, akan dilihat faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa yang terkait dengan kesiapan infrastruktur komunikasi informasi sebagai salah satu strategi pembangunan yang akan diwujudkan dalam Misi Manado Kota Wisata Dunia 2010. Kesiapan, berasal dari kata dasar siap, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:835) yang berarti sudah sedia; sudah disediakan (tinggal memakai atau menggunakan saja) ; sudah selesai (dibuat atau dikerjakan). Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan kesiapan komunikasi informasi adalah sebagai kesudah-tersediaan sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang dapat digunakan untuk mendukung program Manado Kota Wisata Dunia Tahun 2010. Sri Astuti, (2001) berpendapat bahwa penggunaan teknologi informasi, pemanfaatan informasi oleh individual, kelompok atau organisasi merupakan variabel inti dalam riset sistem informasi, sebab sebelum digunakan pertama terlebih dahulu dipastikan tentang penerimaan atau penolakan di gunakannya teknologi informasi tersebut, hal ini berkaitan dengan perilaku yang ada pada individu/ organisasi yang menggunakan teknologi komputer. Dalam dekade terakhir ini sangat dirasakan peran teknologi komunikasi informasi bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam rangka menunjang kesuksesan Manado sebagai Kota Wisata Dunia di Tahun 2010, sangat besar peran komunikasi informasi di dalamnya. Teknologi informasi dapat digunakan untuk memfasilitasi hampir semua kegiatan manusia. Pada saat yang bersamaan dan dalam perkembangan kebutuhan akan akses informasi yang cepat terlebih informasi yang terkait dengan pariwisata di Kota Manado, maka kehadiran perangkat infrastruktur komunikasi informasi menjadi suatu keharusan yang sangat mendesak. Infrastruktur yang dimaksud dalam hal ini berupa peralatan komputerisasi, internet serta sarana dan prasarana lain yang
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 5

menggunakan teknologi informasi dalam mengomunikasikan pariwisata di Kota Manado guna mendukung program Manado Kota Wisata Dunia di Tahun 2010. Kesiapan untuk menuju Manado menjadi Kota Wisata Dunia tersebut telah dimulai sejak tahun 2005 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Manado No. 04 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Manado Tahun 2005-2010. Jika kesiapan telah dilakukan sejak Tahun 2005, maka kesiapan infrastruktur komunikasi informasi dalam hal ini mengenai ketersediaan alat komunikasi yang telah menggunakan teknologi informasi dan komputerisasi juga seharusnya telah dilakukan sejak tahun 2005. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan paradigma. Pandangan jauh kedepan untuk menumbuhkan perekonomian yang berkelanjutan, dengan kekuatan yang bertumpu pada keunggulan potensi daerah. Selain mendatangkan manfaat nyata berupa pendapatan daerah yang akan meningkat, upaya menggali dan mengoptimalkan potensi daerah juga bisa menjadi masukan penting untuk branding suatu daerah ungkap Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundayang. Bagi Harry, branding yang tepat dan bagus niscaya membuat suatu daerah tampil lebih atraktif dan eksotis, sehingga memikat para investor untuk berlomba-lomba menanamkan investasinya . Ujung-ujungnya, sumber pendapatan daerah juga akan timbul dengan sendirinya. Ragamnya pun akan semakin banyak, dan multifier effect yang ditimbulkan jauh lebih banyak. tandasnya. Tujuh tahun sudah implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (OTDA) seluas-luasnya di Indonesia. Hasil yang tampak jelas, jumlah propinsi meningkat dari 26 menjadi 33 Propinsi, sementara jumlah Kabupaten/Kota meningkat, dari 300 menjadi 458 Kabupaten/Kota. Namun yang menyedihkan, bahwa arogansi lokal muncul diantara propinsi, kabupaten maupun kota dalam menjalankan berbagai kewenangan yang telah diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Di lain sisi, keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan yang harus dimiliki Pemerintah Daerah (berdasarkan Undang-Undang yang berlaku), tampaknya masih belum secara tegas dan jelas. Hal ini diperkuat oleh statement Johnny Karinda Manado sebagai pusat kegiatan nasional di Sulawesi Utara
6 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

sebagaimana arahan RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) menjadi penting sebagai kota tujuan utama (Primary Destination) maupun sebagai kota transit sekaligus pusat pertumbuhan wilayah di kawasan Indonesia Timur. (Manado Post, 13 juli 2008, hal 4 ). Dengan kedudukan dan posisi strategis dalam konstalasi ekonomi lokal, regional maupun nasional secara geografis berada di kawasan Pasifik Rim memberi peluang bagi Kota Tinutuan ini berkembang menjadi kota pariwisata penting dan unggulan di skala nasional maupun internasional. Kini Sulawesi Utara bertekad menggarap sektor pariwisata, perkebunan kelapa dan perikanan sebagai tumpuan ekonominya. Apalagi Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 sudah dijadikan Peraturan Daerah. Selanjutnya sedang gencar-gencarnya pula Walikota Manado Jimmy Rimba Rogi, S.Sos. dan Gubernur Sulawesi Utara SHS Sarundayang mempromosikannya secara domestik maupun ke mancanegara secara besar-besaran. Metode Penelitian Jenis Penelitian Metode Penelitian dalam hal ini adalah sosiologis atau empiris atau non doctrinal, dalam hal ini adalah terhadap ketersediaannya sarana dan prasarana komunikasi dan informasi sekaligus sumber daya manusianya dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis terhadap kasus, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari secara mendalam terhadap suatu individu, kelompok, institusi, atau interaksi-interaksi (sosial) yang terjadi di dalamnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis yang bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa data dikumpulkan dengan menggunakan interview guide (pedoman wawancara) yang bersifat terbuka dan terstruktur, yang akan menjadi instrumen utama dalam analisis data, kemudian didukung oleh perolehan data dari informan yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota Manado sebagai responden yang menggunakan teknologi informasi dalam kaitannya dengan persiapan menyambut Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. 2. Sampel Dalam penarikan sampelnya digunakan teknik purposive random sampling yang dipilih secara sengaja. Yang berarti bahwa setiap individu yang menjadi responden akan dipilih secara sengaja dan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dalam hal ini adalah : Masyarakat yang menggunakan alat komunikasi informasi untuk mengakses informasi terkait dengan kepariwisataan di Kota Manado, sehingga terpilih: Dosen Pariwisata, Pengamat Pariwisata, Akademisi bidang IT, Pakar Komunikasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Lintas Agama, Sosiolog, Pengusaha yang tergabung dalam PHRI, LSM bidang terkait, Pengusaha Warnet, Dunia Hiburan (Pub, Diskotik, Karaoke, Caf, Bar). Aparat Pemerintah Kota Manado yang terkait bidang tugasnya dengan kepariwisataan di kota Manado, dalam hal ini terpilih : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Manado, Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Tata Kota, Dinas Pekerjaan Umum dan Pengelola Pelabuhan Darat Laut maupun Udara, BPDE, Sekertariat MKPD Provinsi dan Kota, Bappeda Kota Manado. Selanjutnya untuk kebutuhan akurasi data akan dilakukan cross check (cek silang) terhadap informan yang menjadi sasaran penelitian ini dengan melakukan wawancara mendalam (eksploratif), dalam hal ini adalah masyarakat umum pihak dinas terkait yakni Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pengelola Pelabuhan (laut, darat, dan udara), Balai Pengelola Data Elektronik (BPDE), PT. Pos dan Giro, PT. Telkom dan Dinas Kominfo Kota Manado. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan yang akan dilakukan data dikumpulkan dengan menggunakan interview
8 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

guide (pedoman wawancara) yang bersifat terbuka dan terstruktur, yang akan menjadi instrumen utama dalam analisis data, kemudian didukung oleh perolehan data dari informan yang terkait dengan permasalahan yang akan di teliti. Dengan demikian saat berlangsungnya wawancara sangat dimungkinkan berkembang sesuai dengan kenyataan yang diperoleh di lapangan. Artinya walaupun jawaban sedikit diluar kuesioner asalkan dalam koridor substansi masih dimungkinkan diteruskan pertanyaan lanjutan. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan terstruktur tersebut sangat tergantung pada tanggapan para responden maupun informan yang menjadi sasaran penelitian. Pertanyaan yang diajukan akan berkisar pada kesiapan infrastruktur komunikasi informasi dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Demikian juga faktor-faktor pendorong yang menyebabkan ketidaksiapan infrastruktur komunikasi informasi dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. 2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui berbagai literatur, majalah, koran yang terkait dengan permasalahan penelitian serta juga diperoleh melalui internet. Analisis Data Analisis data yang bersifat deskriptif, artinya bahwa data yang diperoleh akan dianalisis dengan cara menggambarkan secara kritis data dikumpulkan dengan menggunakan interview guide (pedoman wawancara) yang bersifat terbuka dan terstruktur. Data yang diperoleh akan menjadi instrumen utama dalam analisis deskriptif tersebut, kemudian didukung oleh perolehan data dari informan yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti untuk memberikan gambaran secara kritis. Definisi Konsep 1. Kesiapan Kesiapan adalah sebagai kesudah-tersediaan sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang dapat digunakan untuk mendukung program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 9

2. Infrastruktur Komunikasi Informasi Infrastruktur komunikasi informasi yang dimaksud dalam hal ini berupa peralatan komputerisasi, internet serta sarana dan prasarana lain yang menggunakan teknologi informasi yang dapat digunakan untuk mengakses informasi yang cepat terkait dengan pariwisata di Kota Manado guna mendukung program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. 3. Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 Yang dimaksud dalam hal ini adalah menyambut diadakannya perhelatan besar Pemerintah Kota Manado sebagai tujuan wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara yang puncaknya di tahun 2010. Definisi Operasional 1. Kesiapan Dengan indikator telah tersedianya komputer, internet, telepon dan semua peralatan komunikasi di tempat-tempat yang berhubungan dengan kepariwisataan untuk menginformasikan pariwisata di Kota Manado; yang dalam hal ini diambil di hotel-hotel, perusahaan biro perjalanan, pusat-pusat perbelanjaan, warung internet, warung telepon dan juga kantor pemerintah maupun swasta yang berhubungan dengan dunia pariwisata. 2. Infrastruktur Komunikasi Informasi Infrastruktur komunikasi informasi yang dimaksud dalam hal ini berupa peralatan komputer, internet, telepon serta sarana dan prasarana lain yang menggunakan teknologi informasi yang dapat digunakan untuk mengakses informasi yang cepat terkait dengan pariwisata di Kota Manado guna mendukung program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kota Manado terletak diujung utara pulau Sulawesi dan merupakan kota terbesar di belahan Sulawesi Utara sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Utara secara geografis Kota Manado

10

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

terletak diantara : 10 25 88-10 39 50 LU dan 1240 47 00-1240 56 00 BT. Sedangkan batas administratif adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kecamatan Wori dan Teluk Manado Kabupaten Minahasa Utara. b. Sebelah Timur : Kecamatan Dimembe Kabupaten Minahasa. c. Sebelah Selatan : Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa. d. Sebelah Barat : Laut Manado /Laut Sulawesi. Luas Kota Manado adalah 15.726 hektar (157,26 Km2). Kota Manado mempunyai 3 wilayah pulau dan berpenghuni, yaitu Pulau Manado Tua, Pulau Bunaken dan Pulau Siladen. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk tahun 2006 berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS 2005) berjumlah 417.700 jiwa. Dengan luas wilayah 157,26 Km2, berarti kepadatan penduduknya mencapai 2.656 jiwa/Km2. Berdasarkan SUSENAS 2006, rasio jenis kelamin penduduk Kota Manado lebih dari 100 dengan angka 93,41 persen. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki di Kota Manado lebih kecil daripada jumlah penduduk perempuan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi Tabel 1 Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010
No 1 2 3 4 Ketersediaan alat komunikasi informasi Ya Tidak Belum Jawaban lain N 91 91 F (%) 100 100 Keterangan Internet -

Jumlah n = 60 responden + 31 informan Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

11

Bahwa telah tersedia alat komunikasi dan informasi (100%) dalam rangka menunjang persiapan menyambut Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010, hal ini terlihat dari telah banyak dijumpai internet. Pengertian telah tersedia dalam hal ini dapat dikonotasikan relatif tersedia, karena kalau ditinjau dari jenis sarana dan prasarana yang tersedia sebagian besar dari masyarakat hanya melihat ketersediaan atau ketidak tersedianya internet, jadi yang menjadi barometernya adalah tersedia atau tidaknya internet. Padahal alat komunikasi informasi tidak hanya internet saja, namun yang dijadikan barometer masyarakat saat ini adalah internet. Kemudian bila dilihat lebih lanjut ketersediaan internet harus juga di barengi dengan kemanfaatannya sekitar persiapan menyambut Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Inilah yang menjadi tanda tanya lebih lanjut apakah internet yang ada telah digunakan sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini ? Ternyata berdasarkan cross check di lapangan dari informan dapat dicermati bahwa penggunaan internet masih terbatas untuk kepentingan pribadi masing-masing pengguna, sehingga belum maksimal sebagai dukungan sarana dan prasarana menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketersediaan infrastruktur komunikasi informasi kurang menunjang program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Jumlah Ketersediaan Alat Komunikasi dan Informasi Tabel 2 Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Berdasar Jumlah Dalam Menunjang Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010
Ketersediaan alat komunikasi informasi 1 Sangat memadai 2 Cukup memadai 3 Kurang memadai 4 Tidak memadai Jumlah n = 60 responden + 31 informan Sumber : Data diolah oleh peneliti. No N 21 57 13 91 F (%) 23,08 62,63 14,29 100 Keterangan Internet -

12

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ketersediaan alat komunikasi informasi dalam menunjang program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 Kurang memadai (62,63%), maka selama ini persiapan dari sisi infrastuktur komunikasi informasi masih dapat dikatakan belum cukup. Oleh karena itu, jika dirasa dari sisi jumlah Pemerintah Kota Manado tidak dapat memenuhi jumlah idealnya, tidak salah jika pihak swasta yang terkait dengan penyelenggaraan kepariwisataan di kota Manado terlibat maupun dilibatkan, karena sektor swasta lebih merasakan dampak dari keterbatasan jumlah alat komunikasi informasi dari sisi promosi produknya untuk di jual kepada masyarakat. Hal tersebut didukung juga oleh sebuah artikel dari Johnny Karinda yang mengatakan : Kegiatan promosi dan pemasaran pariwisata tampak kurang padu antara pihak-pihak yang berkompeten (Pemprov, Pemkot, serta stakeholder) masing-masing berjalan sendirisendiri sehingga sasaran yang dituju kurang maksimal. Tidak heran bila pariwisata Manado kalah bersaing dengan DTW (Daerah Tujuan Wisata) lain seperti Bali, Lombok dan lain-lain di Nusantara (Manado Post, 16 juli 2008, hal 4). Kemudian jika dilihat dari sisi jumlahnya, ketersediaannya alat komunikasi informasi masih dikategorikan kurang memadai (62,63%) jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Manado. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketersediaan alat komunikasi informasi dalam menunjang program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 secara kuantitatif dapat dikatakan cukup memadai, tetapi secara kualitatif masih sangat kurang. Tabel 3 Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Menunjang Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010
Ketersediaan alat komunikasi informasi dalam menunjang MKPD 1 Telah menunjang 2 Kurang menunjang 3 Belum menunjang 4 Tidak menunjang Jumlah n = 60 responden + 31 informan Sumber : Data diolah oleh peneliti. No N 7 11 60 13 91 F (%) 7,70 12,09 65,93 14,28 100 Keterangan Internet -

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

13

Dengan demikian menjadi bahan perenungan bersama, apakah alat komunikasi informasi yang belum menunjang tersebut akan segera dapat diatasi permasalahannya?. Sangat kompleks permasalahan yang ada di dalamnya, karena menyangkut semua komponen kepariwisataan yang ada di Kota Manado. Dengan demikian masih perlu ditingkatkan lagi ketersediaan alat komunikasi informasi sekaligus dibarengi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kapabel. Apapun program yang dikampanyekan, kalau tidak dibarengi dengan upaya untuk secara nyata dan terarah segala kemampuan terfokus pada program tersebut, maka kita menjadi pesimis melihat perencanaan waktu yang tidak lama lagi yaitu tahun 2010 tersebut. Hal selaras dengan pendapat informan dari hasil wawancara yang menunjukkan bahwa ada keyakinan bahwa program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 akan tercapai, tetapi terdapat keraguan kerena waktu yang sudah dekat, namun pembenahan tidak segencar kampanyenya. Menurut observasi peneliti sudah lebih dari cukup (minimal 20 kali) berkunjung ke Bandara Sam Ratulangi Manado tapi ternyata Ruangan Tourist Information Centre (TIC) kosong melompong tidak ada penjaganya. Hal ini sangat disesalkan pengamat Pariwisata Sulut Chefie Nelwan SE, Par dengan mengatakan : Mestinya Disparbud Sulut tetap stand by untuk memberikan informasi sebanyak mungkin obyek wisata yang ada di Sulut, lanjutnya lagi dengan adanya informasi yang jelas tentang potensi pariwisata membuat wisatawan tidak ragu-ragu untuk memperpanjang Length Of Stay di Sulut. (Manado Post, 3 Oktober 2008, hal 8). Untuk itu diperlukan kerja sama yang baik dari semua komponen masyarakat yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam kesiapan menyongsong program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Disamping itu informan juga menambahkan perlu adanya satu pusat informasi yang dapat diakses dengan mudah tentang program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 yang akan dapat memberikan informasi secara lengkap kepada semua pihak terkait dengan program tersebut. Informasi yang diberikan baik berupa informasi langsung maupun tidak langsung, lisan maupun tulisan serta media lain yang tersedia.

14

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Sebaran Lokasi Ketersediaan Alat Komunikasi dan Informasi Selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4 bahwa sebaran keberadaan alat tersebut belum merata, karena berdasarkan data di lapangan alat tersebut masih berada ditempat tertentu selain di kampus (33,50%) ataupun perkantoran swasta (11,49%) maupun pemerintah (5,74%), hanya terdapat disekitar pusat perbelanjaan tertentu (Mall sebesar 5,26%), Warung Internet (16,74%) serta biro perjalanan (21,53%) dan juga lain-lain yang dalam hal ini dimaksud adalah internet maupun komputer milik pribadi sebesar 5,74%. Tabel 4 Sebaran Lokasi Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Dalam Menunjang Manado Kota Pariwisata Dunia 2010
Lokasi Ketersediaan F N Keterangan alat komunikasi informasi (%) 1 Kampus 70 33,50 Internet,computer 2 Kantor Pemerintah 12 5,74 Internet,computer 3 Kantor swasta 24 11,49 Internet,computer 4 Mall 11 5,26 Internet 5 Warung Internet 35 16,74 Internet 6 Biro Perjalanan 45 21,53 Internet 7 Lain-Lain 12 5,74 Internet,computer Jumlah 209 100 n = 60 responden + 31 informan, responden boleh memilih jawaban lebih dari satu. Sumber : Data diolah oleh peneliti. No

Berdasarkan hasil wawancara rechecking dengan informan dari PHRI (Perusahaan Hotel dan Restoran Indonesia) cabang Manado, sebaran alat komunikasi informasi tersebut belum dibarengi dengan kemampuan sumber daya manusianya atau SDM nya, karena masih sangat kurangnya pengetahuan maupun kemampuan penggunaan alat-alat teknologi informasi yang tersedia. Lebih lanjut diungkapkan bahwa sebenarnya dari alat yang tersedia itupun masih kurang dibandingkan jumlah penduduk di Kota Manado, namun karena yang dapat menggunakan hanya sebagian kecil masyarakat, maka tampaknya ketersediaan alat komunikasi untuk sementara dapat dikatakan cukup memadai, namun belum dapat menunjang sepenuhnya persiapan Program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 15

Selanjutnya terkait dengan ketersediaan infrastruktur komunikasi informasi data di lapangan menunjukkan bahwa di samping perlu disediakan infrastruktur komunikasi informasi juga perlu sumber daya manusia yang handal di bidang tersebut. Untuk tingkat pemanfaatan komputer yang dalam hal ini penggunaan fasilitas internet, masih terbatas pada fasilitas standar, karena fungsi internet belum dapat dimaksimalkan sebagai media mengakses informasi, mempermudah komunikasi. Penggunaan internet sampai saat ini hanya untuk mengakses informasi saja, belum sampai pada taraf penambahan pengetahuan atau mencari referensi yang diperlukan tentang dunia wisata di Kota Manado terkait dengan persiapan Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Selanjutnya terkait dengan penyediaan fasilitas komunikasi informasi sebagai infrastruktur, sebagian besar responden maupun informan menghendaki sebaiknya persiapan alat komunikasi informasi pertama-tama diawali dari pihak Pemerintah Kota Manado khususnya Dinas Pariwisata Kebudayaan, Pengetahuan Tentang Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 Sementara itu, kalau ditinjau dari konten info yang disediakan melalui internet maupun media massa lain, info tentang Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 tetapi apa itu dan bagaimana itu, masih sangat kurang memuat informasi dan pengetahuan seputar rencana besar tersebut, Walaupun data menunjukkan bahwa responden sangat mengetahui adanya program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 sebagaimana tertuang dalam tabel berikut : Tabel 5 Pengetahuan Tentang Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010
No. 1 2 3 Mengetahui tentang MKPD N 91 91 F (%) 100 100

Ya Tidak Jawaban lain Jumlah n = 60 responden + 31 informan Sumber : Data diolah oleh peneliti.
16 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Berdasarkan tabel tersebut di atas tampak sangat menyakinkan bahwa semua komponen masyarakat, pariwisata di Kota Manado mengetahui adanya program Pemerintah Kota Manado yakni Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program ini telah diketahui oleh masyarakat Manado seluruhnya khususnya masyarakat yang terkait langsung dengan penyelenggaraan pariwisata di Kota Manado. Selanjutnya tahunya perlu dipertanyakan lebih lanjut, apakah benar-benar tahu adanya Program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 tersebut dalam artian bahwa konten dari isi pesan kampanye Pemerintah Kota Manado tersebut benar diketahui?. Ternyata tampak penyajian informasi terkait dengan program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 sebagai pesan, belum efektif, hal ini terbukti dengan ketidaktahuan secara mendalam konten dari pesan kampanye Pemerintah Kota Manado tersebut. Dalam efektifitas penyajian informasi dalam bentuk gambar, secara deskriptif menunjukkan tingkat efektifitas yang tinggi, terhadap komponen afeksi dari masyarakat usaha pariwisata yang sebagian besar memiliki tingkat intensitas penerimaan tinggi. Jelas di sini, bahwa pesan yang berbentuk gambar atau foto dengan latar belakang musik, lebih menyentuh perasaan seseorang, sehingga menimbulkan rasa senang untuk mengamatinya. Namun tidak begitu tinggi efeknya terhadap tingkat pemahaman dan komunikasi dari isi pesan tersebut. Hal ini terungkap dari hasil observasi di lapangan melalui wawancara dengan para pengusaha yang tergabung dalam PHRI. Pengaruh penyajian pesan dalam bentuk naturalis persuatif terhadap perilaku masyarakat mengenai program Pemerintah Kota Manado menuju Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010, ada kecenderungan persamaan dengan penyajian pesan dalam bentuk atraktif informatif, yaitu pengaruh terhadap perilaku menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan pengaruh terhadap sikap mengenai Program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Pendidikan Terakhir Responden Penyajian pesan dalam bentuk gambar, efektif dalam memengaruhi perilaku, sudah barang tentu tidak terlepas dari variabel lain yang dimiliki oleh masyarakat usaha pariwisata, diantaranya unsur pendidikan. Mereka yang berpendidikan tinggi mampu
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 17

memahami pesan yang sangat abstrak yaitu berupa gambar. Teori mengatakan : Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi kemampuannya untuk memahami pesan-pesan (stimulus) yang bersifat visual, non verbal dan emosional. (Betinghaus EP. 1973). Tabel 6 Pendidikan Terakhir Responden
No. 1 2 3 4 5 6 7 Pendidikan Terahir Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Tamat D 1/2/3 Tamat S1/Sederajat Tamat S2/Sederajat Tamat S3/Sederajat N 1 25 21 11 2 60 F (%) 1,67 41,67 35 18,33 3,33 100

Jumlah n = 60 responden. Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, data memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan terakhir responden tamatan SMU yakni sebanyak 41,67%, tidak ada yang tamatan SD dan S3; Sedangkan yang terkecil adalah tamatan SMP yakni 1,67%. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tingkat pendidikan, intensitas penerimaan suatu pesan, dan tingkat persuasibilitas yang ditentukan oleh pengetahuan pemahaman, perhatian, motif, dan kemampuan mendapatkan informasi, ikut menentukan adanya kesenjangan efek komunikasi. Hal ini mendukung pada penemuanpenemuan terdahulu yang dilakukan oleh Schramm, 1977; Schramm, Nelson, dan Betham, 1981; yang menyatakan ketrampilan berkomunikasi yang diperlukan, penggunaan media yang tinggi, juga melengkapi mereka dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dalam beberapa topik. (Rager, 1983). Kesenjangan efek komunikasi terjadi karena : 1. Perbedaan tingkat ketrampilan berkomunikasi di antara segmensegmen suatu khalayak secara keseluruhan;
18 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

2. Tingkat pengetahuan tentang suatu isu yang dikuasai sebelumnya; 3. Kontak sosial yang relevan dengan orang-orang yang memiliki lebih banyak informasi; 4. Persepsi selektif; 5. Kerelevanan fungsional atau utilitas; 6. Akses yang berbeda pada sumber daya yang terbatas; 7. Bias urban pada media massa; 8. Bantuan yang tidak memadai dari badan yang melakukan intervensi sosial; 9. Kurangnya partisipasi dari khalayak sasaran dalam pembuatan keputusan dan implementasi keputusan tersebut; 10. Perbedaan pendidikan, minat, atau motivasi, (Esman dan Uphoff, 1984; Fett, 1972; Goulet, 1983; Hyman dan Sheatley, 1974; Shingi dan Mody, 1976; Techenor, dkk, 1973). Memang masyarakat yang sedang membangun sangat berkepentingan dengan inovasi, disertai dengan penemuan-penemuan atau rangsangan-rangsangan, baik yang berupa gagasan, tindakan atau informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Apabila faktor ini dipenuhi, maka peran serta masyarakat akan lebih tergugah. Penekanan pada peran serta atau partisipasi masyarakat sangat popular dalam program pembangunan, yang menunjukkan adanya komunikasi umpan balik (komunikasi resiprokal ). Umpan balik dapat diperoleh dengan sengaja, misalnya dengan mengadakan riset tentang salah satu unsur kepariwisataan. Riset mengenai kepariwisataan merupakan umpan balik yang dicari dan dilakukan secara formal. Sebab masih ada umpan balik yang bersifat non-formal. Misalnya dengan adanya keluhan-keluhan dari masyarakat yang mengunjungi suatu obyek wisata, karena fasilitas yang tidak bersih atau keadaan kurang aman di tempat rekreasi, kurangnya informasi rambu-rambu di tempat strategis, perlunya buku petunjuk/guide, dan lain-lain. Menurut kaum behaviorism, orang cenderung mengulangi kembali pengalaman yang menyenangkan selama hidupnya. Tugas usaha pariwisata adalah menciptakan kondisi yang menyenangkan ini. Tidak hanya mengadakan perbaikan obyek-obyek wisata, tetapi mampu memasyarakatkan pemahaman yang baik mengenai psikologi wisatawan melalui komunikasi antar budaya, sebab bukan lingkungan

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

19

yang menyenangkan dan menyusahkan kita, tetapi persepsi kita yang memberi makna terhadap lingkungan tersebut. Kemudian dalam meninjau persiapan infrastruktur komunikasi informasi, data di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur komunikasi informasi yang telah ada sudah dapat dikatakan siap untuk menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010, artinya bahwa kata siap ini belum dapat dikatakan siap yang sesungguhnya sesuai dengan tingkat kebutuhan akan alat komunikasi informasi seputar dunia wisata di Kota Manado. Berkaitan dengan obyek wisata yang ditawarkan, terlihat baik responden maupun informan menghendaki tidak hanya wisata bahari yakni Pulau Bunaken yang ditawarkan, tetapi juga wisata lain yang saat ini belum dikelola secara baik namun cukup punya potensi untuk dikembangkan sebagai alternatif pilihan yaitu Pulau Siladen, Pulau Manado Tua kemudian misalnya keindahan kota sekitar Manado seperti Kota Bunga Tomohon, Pantai Malalayang, kemudian Obyek wisata lain di luar Kota Manado yang menarik seperti Bukit Kasih, Danau Tondano, Makam Imam Bonjol, Rurukan, dan lain-lain. Suatu kenyataan, bahwa keberhasilan dari program ini bergantung pada daya tarik pribadi yang dirasakan oleh sebagian khalayak. Hampir semua jenis informasi, tidak menjadi soal bagaimana cara pelaksanaannya, akan tetapi diterima bergantung pada hal ini. Intensitas dari kebutuhan yang pasti akan adanya informasi adalah faktor yang merupakan kunci untuk memperkirakan tingkat penerimaan suatu kampanye. Di bawah faktor inilah elemen-elemen kualitatif dari pesan yang akan disampaikan, dikonsepkan dan di produksi secara baik. Program ini menggunakan gaya hiburan yang cukup tinggi guna menghadirkan atau mengangkat keadaan yang sesungguhnya melalui bahasa yang mampu dipahami serta berasal dari sumber yang terpercaya, meskipun durasinya pendek namun program ini dipublikasikan lewat jaringan luas ke seluruh jaringan komunikasi informasi yang telah dipercaya dan mempunyai kredibilitas. Dengan demikian WOC (World Ocean Converence) atau Konferensi Kelautan Sedunia yang akan dilangsungkan tanggal 5-11 Mei 2009, sangat membantu implementasi MKPD 2010, sebab untuk mendukung kesuksesan WOC tersebut pemerintah dan stakeholder sudah melakukan persiapan-persiapan yang selanjutnya dapat

20

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dimanfaatkan secara optimal dalam upaya mendukung MKPD tahun 2010. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan infrastruktur komunikasi informasi Kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 dapat dikatakan belum siap, karena masih kurangnya ketersediaan alat komunikasi informasi yang terfokus untuk memberikan informasi Seputar Dunia Wisata Kota Manado sebagai pusat informasi. Saran-saran 1. Kepada Pemerintah Kota Manado, perlu adanya kerja keras dalam penyediaan infrasruktur komunikasi informasi yang terfokus pada info tentang dunia wisata di Kota Manado. Seperti : Penambahan Baliho, Spanduk, Brosur, Leaflet, Banner, di lokasi-lokasi strategis. 2. Pemerintah Kota Manado diharapkan dapat bekerjasama dengan pihak swasta yang terkait dengan dunia wisata di Kota Manado untuk bersama-sama mengusahakan Pusat Informasi Wisata dalam rangka Program Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. 3. Perlunya segera menyediakan tenaga yang terampil mengoperasikan peralatan komunikasi informasi yang semakin canggih (SDM IT), termasuk kemampuan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. 4. Pemerintah Kota Manado perlu memberikan alternatif obyek wisata dengan bekerjasama dengan Pemerintah Kota maupun Kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Utara, yang mempunyai obyek wisata yang layak jual sebagai satu paket wisata. Misalnya membuat MOU atau pertukaran informasi antar Kabupaten/Kota dengan Pemkot Manado yang ada di Propinsi Sulawesi Utara tentang infrastruktur komunikasi dan informasi, serta seputar obyek pariwisata yang belum dikelola dengan baik. 5. Perlu segera dilakukan sosialisasi yang sifatnya sustainable di era globalisasi, salah satunya dengan memasukkan program MKPD 2010 ke dunia maya (internet) secara berkesinambungan.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 21

DAFTAR PUSTAKA Betinghaus EP. 1973. Persuasive Communication. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc. Sawyer, 2003. Berkomunikasi Dengan Teknologi. Jakarta : Gunadarma. Suryadarma, 2003. Perkembangan Teknologi Informatika. Bandung : Armico. Fransisca, Wesart, 2004. Komputerisasi dan Perkembanganny. Bandung : Yrama Widya. Haris, Blade, 2005. E-Governance Dalam Era Informasi. Jakarta : Sentra Informasi Mandala. Ginsu, A, 2006. Birokrasi dan Teknologi informatika. Jakarta : Elex Media Komputindo. Ishadi, 2006. Teknologi Komputerisasi Dalam Pemerintahan. Bandung : Yrama Widya. Peraturan Perundang-undangan : Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah Kota Manado No.04 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Manado Tahun 2005-2010. Bacaan Tambahan : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka Depdikbud Jakarta, 1990. Harian Manado Post : Rabu, 16 Juli 2008, halaman 4. Harian Manado Post : Jumat, 3 Oktober 2008, halaman 8. Artikel judul Mewujudkan Manado Tujuan Utama Pariwisata Oleh Drs. Johnny Karinda. Harian Komentar Manado.

22

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

KONSTRUKSI IDENTITAS SOSIAL KAUM REMAJA MARJINAL (Studi Kasus di Kalangan Remaja Pengamen Jalanan di Purwokerto) Agus Ganjar Runtiko* Abstraksi Kaum pengamen jalanan selama ini selalu identik dengan ketidaktertiban. Di mana-mana para pengamen ini selalu ditertibkan. Kebanyakan mereka diarahkan untuk menghuni pantipanti yang telah didirikan oleh pemerintah. Namun, jumlah mereka dari tahun ke tahun tidak pernah menyusut. Dengan mengkaji tentang konstruksi identitas sosial mereka, memahami faktor-faktor penyebab, respon remaja pengamen ketika penertiban akan membentuk model penanganan yang lebih tepat terhadap mereka. Kata kunci : identitas sosial, remaja marjinal.

PENDAHULUAN Latar Belakang Pemberitaan di media massa seputar penertiban pengamen jalanan sudah bukan hal asing lagi ditemui di negeri ini. Lewat berita di surat kabar atau tayangan televisi, kita disuguhi pemandangan yang memprihatinkan bahwa ternyata tidak sedikit kaum muda atau remaja yang tidak bisa meneruskan sekolah dengan berbagai sebab tentunya dan harus memilih mengisi hidupnya dengan mengamen. Wacana yang berkembang di media, tidak jauh dari persoalan klasik bahwa pengamen adalah salah satu faktor pengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat. Ironisnya, jumlah remaja pengamen jalanan dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Secara kuantitatif, jumlah remaja pengamen jalanan di Purwokerto menurut data dari Sub Dinas
*

Agus Ganjar Runtiko, S.Sos., adalah pengajar di FISIP Universitas Jendral Sudirman Purwokerto Jurusan Ilmu Komunikasi.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 23

Kesejahteraan Sosial Banyumas tahun 2003 menunjukkan angka mencapai 723 remaja, sementara pada tahun 2000 hanya terdapat 354 remaja (Suara Merdeka, Senin, 24 Agustus 2003). Khusus di Purwokerto, pada tahun 2003 terdapat 214 remaja pengamen jalanan. Jumlah ini menunjukkan semakin banyaknya remaja yang memilih jalanan sebagai tempat mencari uang dan menjalani kehidupannya. Bila kita mencoba menengok kehidupan remaja pengamen sesungguhnya kita perlu tergugah untuk bisa menanganinya dengan pendekatan yang tidak semata represif. Para pengamen jalanan ini tidak harus selalu ditempatkan sebagai semata penyakit sosial tanpa melihat terlebih dahulu akar penyebab timbulnya tindakan seperti itu. Bagaimanapun remaja pengamen adalah sebagian generasi bangsa yang kepada mereka pemerintah dan lembaga sosial lainnya turut bertanggung jawab mempersiapkannya agar tidak terlanjur menjadi generasi tanpa masa depan. Mereka tidak perlu dianggap semata-mata sebagai penyakit atau seonggok persoalan yang harus disingkirkan melainkan harus ditempatkan sebagai bagian masyarakat yang memiliki hak hidup yang sama dan tentu saja memiliki segenap kemungkinan yang sama untuk tumbuh dan berkarya di negeri ini. Berangkat dari fenomena inilah maka penelitian ini beranjak. Dengan mencoba mengkaji persoalan dengan pendekatan konstruktivis penelitian ini mencoba memahami secara mendalam bagaimana kaum remaja pengamen ini membangun/mengkonstruksi identitas sosial mereka. Melakukan kajian dengan fokus sebagaimana dimaksud di atas maka setidaknya akan diperoleh konsepsi pemahaman menurut kacamata mereka sendiri tentang siapa dan bagaimana identitas sosial kaum remaja pengamen ini. Informasi ini akan sangat bermanfaat sebagai dasar bagi perumusan berbagai kebijakan pemerintah yang utamanya ditujukan untuk kaum remaja terpinggirkan ini. Pertanyaan Penelitian Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana proses pembentukan/konstruksi identitas sosial di kalangan remaja pengamen jalanan di Purwokerto? 2. Apa yang menjadi faktor penyebab sehingga kaum remaja ini memilih tinggal di jalanan dan menjadi pengamen?
24 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

3. Bagaimana respon kaum remaja pangamen terhadap segala bentuk tindakan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah? 4. Bagaimana model penanganan terhadap persoalan remaja pengamen jalanan yang telah dilakukan pemerintah dan lembagalembaga terkait? Tujuan Penelitian Penelitian ini mengarahkan kajiannya secara teliti mengenai : 1. Proses pembentukan/konstruksi identitas sosial di kalangan remaja pengamen jalanan di Purwokerto 2. Faktor-Faktor penyebab sehingga kaum remaja ini memilih tinggal di jalanan dan menjadi pengamen 3. Model penanganan terhadap persoalan remaja pengamen jalanan yang telah dilakukan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait 4. Respon kaum remaja pangamen terhadap segala bentuk tindakan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah Kajian Pustaka dan Kerangka Pemikiran Kajian Pustaka Penelitian mengenai remaja marjinal, atau lazim disebut sebagai anak-anak jalanan salah satunya dilakukan oleh Astutik (2004). Penelitian yang membahas mengenai model pembinaan anak jalanan ini memilih perspektif pemerintah dalam membina anak jalanan. Artinya disini, perspektif yang diambil adalah dari stakeholder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembinaan anak jalanan selama ini sesuai dengan standar layanan dari Dinas Sosial. Terdapat variasi pengembangan sesuai kebutuhan di lapangan menurut perkiraan para penentu dan pelaksana program. Semuanya dinyatakan masih dalam taraf proses program pembinaan dengan menggunakan gabungan beberapa pendekatan yang ada. Selain mengenai anak jalanan, penelitian yang berhubungan adalah mengenai konsep diri, yang dilakukan oleh Rahman (2004). Penelitian yang berlokasi di Jakarta ini berfokus pada konsep diri pengguna narkoba. Kesimpulan penelitian ini antara lain adalah bahwa para pengguna narkoba ini rata-rata mempunyai konsep diri yang negatif, diantaranya adalah rendah diri. Selain itu para pengguna narkoba juga cenderung susah untuk kembali ke hubungan komunikasi antarpribadi yang normal seperti sebelum memakai
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 25

narkoba, sekali lagi karena diakibatkan konsep diri mereka yang negatif. Kerangka Pemikiran 1. Remaja Pengamen dalam Tinjauan Sosiologis Remaja pengamen di kawasan perkotaan secara teoritis dapat ditinjau dari perspektif struktur sosial dalam masyarakat. Kelompok ini bisa dikatakan sebagai kelas rendah di perkotaan. Radikal, kriminal, apatis dan patologis adalah kata-kata yang sering dilabelkan pada kelas proletar marjinal oleh baik kelas borjuis maupun kelas menengah. Gambaran negatif tentang kelas proletar marjinal ini beberapa bahkan didapatkan oleh seorang antropolog (Lihat Lewis, dalam Keesing, 1992 : 233 249). Labelisasi seperti ini akan terus menjebak kelas proletar marjinal ke dalam kemiskinan struktural (lihat Soemardjan, dalam Alfian et. al., 1980 :1-11), sehingga mereka semakin tak berdaya untuk keluar dari kungkungan marjinalisasi struktural. UNICEF (dalam Musyarofah, 2006 : 27) mengelompokkan remaja/anak-anak yang mencari penghidupannya dijalanan sebagai on the street dan of the street. Pengelompokan tersebut terkait dengan periode mereka dijalanan. Dalam kategori on the street, adalah remaja /anak-anak yang berada dijalanan dalam tempo sesaat. Mereka antara lain terbagi dalam kelompok : a. Remaja/Anak-Anak Miskin Perkotaan Kelompok ini berasal dari dalam kota dan masih tinggal bersama orangtuanya, yang merupakan penduduk asli maupun para urbanisan yang mendiami tempat-tempat kumuh (slum area) perkotaan. Sebagian anak-anak ini masih sekolah dan berada di jalanan sekadar mencari tambahan bagi nafkah keluarga. b. Remaja/Anak-Anak yang memberontak dan lepas dari orangtua Kelompok ini biasanya masih memiliki orangtua, tetapi memberontak dan sepenuhnya melepaskan diri dari keluarga. c. Remaja/Anak-Anak dari Luar Kota Kelompok ini tinggal bersama teman sebaya dan orang yang lebih tua, sementara orangtua berada di kampung. Remaja kelompok ini ada yang memiliki bos terkait dengan pekerjaan mereka, adapula bos sebagai penguasa kelompok tempat ia berada, yakni orang yang

26

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

mewajibkan setoran untuk kelangsungan pekerjaan atau jaminan keamanan. Sedangkan, kelompok yang dikategorikan sebagai of the street, adalah mereka yang berpartisipasi penuh baik secara ekonomi maupun sosial di jalanan. Mereka tidak mempunyai rumah, tinggal di emperan toko, stasiun, terminal, kolong jembatan atau taman-taman kota. Umumnya berasal dari keluarga yang berkonflik atau tidak tahu siapa orang tuanya dan dimana keluarganya. 2. Konsep Diri dalam Perspektif The Social Construction Of Reality Konsep diri menjadi perhatian utama tidak saja bagi teoritisi yang menggeluti fenomena sosial dalam perspektif interaksi simbolik namun juga bagi para ahli yang mengembangkan teori konstruksi realitas sosial. Premis dasar teori ini tentang self adalah bahwa seseorang memahami dirinya sendiri dengan menggunakan teori yang mendefinisikan dirinya (Littlejohn, 2002). Adapun thesis dasar tentang realitas menurut teori konstruksi realitas sosial adalah bahwa reality is not an objective set of arrangements outside ourselves, but is constructed through a process of interaction in groups, communities, and culture (Littlejohn, 2002). Konsep diri termasuk realitas, yang sesungguhnya adalah hasil konstruksi sosial. Demikian menurut Rom Harre (seperti dikutip Littlejohn, 2002: 168) the idea of self as a socially constructed object is profound and important in the constructionist movement. Selanjutnya masih menurut Rom Harre, terdapat dua sisi yang melekat pada personalitas seseorang : yakni Person dan Self. Person adalah karakteristik yang melekat pada diri seseorang yang bisa dilihat atau dikenali oleh publik yang ditandai oleh beberapa atribut dan karakter yang relatif mapan dalam sebuah kebudayaan atau kelompok sosial tertentu. Sedangkan Self adalah gambaran pribadi seseorang atas dirinya sendiri. Ini didapat dari interaksi seseorang itu dengan orang-orang lain. Self terdiri dari seperangkat elemen yang bisa dikaji secara relatif terpisah. Pertama, Display yakni sejauh mana aspek-aspek dalam diri seseorang bisa diketahui oleh publik atau sebaliknya tetap menjadi bagian pribadi seseorang. Kedua, Realization, sejauh mana gambaran terhadap diri seseorang diyakini berasal dari orang itu
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 27

sendiri atau dari kelompok-keompok yang ada di sekeliling dia. Ketiga, Agency : sejauh mana kekuatan aktif menjadi atribusi diri seseorang. Di sini ada dua elemen; Active elemen seperti percakapan dan Passive elements seperti mendengarkan. 3. Identitas Sosial Identitas sosial berkenaan dengan bagaimana seseorang menggunakan kelompok sosial tertentu yang dipandangnya dapat memberikan perasaan positif tertentu pada dirinya. Secara umum konsep ini diterjemahkan menjadi 3 (tiga) ide utama, yaitu kategorisasi, identifikasi dan komparasi (Tajwel, 1978) Menurut Hogg & Abrams (1998) pada dasarnya proses kategorisasi menghasilkan persepsi stereotype, yaitu persepsi terhadap anggota suatu kelompok yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dijadikan acuan untuk membedakannya dari kelompok lain. Berkaitan dengan hal ini, proses kategorisasi merupakan proses pengelompokkan obyek yang dilakukan untuk memahami obyek tersebut. Kategorisasi individu, merupakan proses pengelompokkan individu dalam upaya memahami lingkungan sosialnya. Penggunaan kategorisasi misalnya murid, guru, Muslim, Kristiani, hitam, putih, dan seterusnya. Sedangkan proses identifikasi terjadi pada saat seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tempat ia bergabung. Tajfel (1978) menyatakan bahwa, identitas sosial dikonsepsikan dengan mengaitkan pengetahuan individu tentang perasaan memiliki suatu kelompok sosial tertentu dan emosi, juga evaluasi signifikan yang dihasilkan dari keanggotaan suatu kelompok. Setiap individu mengidentifikasikan dirinya lebih dengan ingroupnya dan hal ini akan mengurangi perbedaan di antara diri dan ingroupnya. Jika terjadi peningkatan identifikasi terhadap kelompok (ingroup). Seseorang merubah dari kutub personal ke intergorupnya. Seseorang menggunakan penanda adalah dalam rangka mencari konsep diri yang dipandang positif, dan hal ini merupakan bagian dari fungsi normal psikologi seseorang. Untuk menghadapi dunia ini, individu membutuhkan pandangan positif yang melekat pada sikap dan perilaku dirinya. Pernyataan tentang baik, buruk, pintar, bodoh, bersih, tinggi dan lainnya lahir dari adanya komparasi (perbandingan). Identitas sosial menghadirkan relasi antar kelompok dalam konteks sosial yang nyata (Tajfel 1978; Tajfel & Turner 1979) di
28 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

mana secara komprehensif memaparkan relasi antar kelompok dalam perubahan sosial dalam masyarakat yang terkelompokkan secara sosial, konflik sosial, serta relasi antar kelompok. Secara sederhana, masyarakat membutuhkan identitas sosial positif yang menuntut mereka untuk membangun nilai pembeda yang positif bagi kelompok mereka sendiri yang dibandingkan dengan kelompok lain. Keanggotaan dalam kelompok itu membuat individu memiliki identitas diri dan self esteem. Pada saat kelompok memperolah kesuksesan, self esteem individu akan ikut naik, dan sebaliknya ketika kelompok mendapatkan kegagalan maka self esteem individu turut terancam. Pada keadaan itu individu merasa harus mempertinggi ketertarikan kepada kelompoknya dan meningkatkan rasa nyaman kepada kelompok lain. Alih-alih identitas personal yang berhubungan dengan perilaku interpersonal yang berarti perbedaan di antara diri dan orang lain maka identitas sosial terkait dengan perilaku intergroupnya yang berarti perbedaan di antara kelompok atau kita dan mereka Identitas sosial, dalam bentuk kategorisasi seperti nasionalitas, religiusitas, gender, profesi, etnisitas, atau orientasi politik, terinternalisasi dan membentuk suatu bagian penting yang potensial dari self-concept seseorang di mana fokus pada konsep ini adalah pada definisi ke-kita-an (we-ness) suatu anggota kelompok dalam konteks kita milik dari satu kelompok. Konsepsi awal menunjukkan bahwa keyakinan kelompok termasuk semua keyakinan terdapat di dalam alam pikir individu. Namun saat ini, konsepsi tersebut digambarkan melalui fenomena yang dikenal luas, di mana anggota kelompok berbagi keyakinan dan keyakinan itu dipandang menghadirkan dasar bagi identitas sosial anggota, selain itu juga diartikan sebagai esensi kelompok. 4. Cultural Biases dalam Intercultural Communication Konsepsi teoritik yang dipakai dalam melihat respon kaum remaja pengamen jalanan dalam menghadapi tindakan pemerintah diambil dari perspektif teori komunikasi antar budaya. Komunikasi antarbudaya didefinisikan sebagai interaksi di antara orang-orang yang setidaknya memiliki satu perbedaan budaya di antara mereka (Lustig & Koester, 2003). Dalam konteks komunikasi antar budaya semacam ini akan membawa persoalan
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 29

dalam hal rasa aman, kenyamananan dan tingkat sejauh mana kita bisa memprediksikan lawan interaksi kita. Terdapat beberapa situasi dan nilai-nilai yang kemudian memengaruhi respon atau persepsi seseorang terhadap orang lain yang berbeda budayanya. Dalam konteks penelitian ini, kaum remaja pengamen jalanan diasumsikan memiliki identitas kultural yang berbeda dengan misalnya kaum remaja umumnya yang bisa menikmati kehidupan rumah tangga biasa dan menjalankan aktivitas hidup layaknya remaja mapan (sekolah, dan lain-lain). Faktorfaktor yang memengaruhi proses pengolahan informasi tentang orang lain dalam konteks komunikasi antarbudaya lalu diidentifikasi sebagai aspek yang dikenal dengan cultural biases. Secara singkat, bagan kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut:

Metode Penelitian a. Bentuk dan Strategi Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada masalah proses dan makna (konstruksi identitas sosial), maka jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian ini

30

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskriptif teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah atau pun frekuensi dalam bentuk angka. Strategi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dan karena sasaran studi kasus ini hanyalah di kalangan kaum remaja pengamen jalanan. Maka studi kasus ini termasuk penelitian dengan strategi kasus tunggal (Yin, 1987). Selain itu, karena permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam usul penelitian ini maka jenis strategi penelitian kasus ini secara khusus bisa disebut studi kasus terpancang (embedded case study research). b. Jenis dan Informasi Sumber Data Data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar adalah data kualitatif. Informasi tersebut akan digali dari beragam sumber data, dan jenis sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi: 1. Informan atau nara sumber, dalam hal ini adalah kaum remaja pengamen jalanan di Purwokerto, pemerintah Kabupaten Banyumas, dan lembaga terkait. 2. Dokumen, baik hasil liputan media atau browsing internet c. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wawancara mendalam (in-depth interviewing) Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama (Sutopo, 2002) 2. Observasi langsung Observasi ini dalam penelitian kualitatif sering disebut sebagai observasi berperan pasif (Spradley, 1980) 3. Focus Group Discussion (FGD). Metode ini bermanfaat untuk memperoleh data bagaimana individu sebagai bagian dari sebuah kelompok mendiskusikan sesuatu topik atau isu tertentu, jadi tidak semata melihat
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 31

informan sebagai individu. Dengan kata lain, FGD diterapkan untuk memahami orang menanggapi berbagai pandangan orang-orang lain dalam kelompok diskusi, dan bagaimana kemudian informan membangun sebuah pandangan tersendiri berdasarkan interaksi yang dilakukannya dalam sebuah kelompok. (Bryman, 2001) Sampling Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empirisnya, dan lain-lain. Oleh karena itu cuplikan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat purposive sampling, atau lebih tepat disebut sebagai cuplikan dengan criterionbased selection (Goetz & Le Compte, 1984). Dalam hal ini peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Patton, 1980). Pengembangan Validitas Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini maka diperlukan teknik pengembangan validitas data sebagaimana biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu teknik triangulasi. Dari empat teknik triangulasi yang ada (Patton, 1980), hanya akan digunakan tiga di antaranya yakni (1) Triangulasi data (sumber) yaitu mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. (2) Triangulasi peneliti yaitu mendiskusikan data yang diperoleh dengan peneliti lain dalam hal ini adalah rekan sejawat dalam sebuah forum diskusi informal yang menyajikan draft awal hasil penelitian lapangan. (3) Triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Model Analisis Proses analisis dalam penelitian kualitatif pada dasarnya bersifat induktif di mana analisis dilakukan secara bersamaan dengan
32 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

proses pelaksanakan pengumpulan data. Ada tiga komponen analisis yang saling berkaitan dan berinteraksi, tak bisa dipisahkan dengan kegiatan pengumpulan data yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Model analisis yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (Miles dan Huberman 1984). Dalam model analisis ini, tiga komponen aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam melaksanakan proses ini peneliti aktivitasnya tetap bergerak di antara komponen analisis dengan pengumpulan datanya selama proses pengumpulan data masih berlangsung. Kemudian selanjutnya peneliti hanya bergerak di antara tiga komponen analisis tersebut sesudah pengumpulan data selesai pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa dalam penelitian ini.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Eks-Kota Administratif Purwokerto terletak di sebelah barat daya Propinsi Jawa Tengah, dan merupakan bagian dari Kabupaten Banyumas. Terletak di antara garis Bujur Timur 108 39' 17'' sampai 109 27' 15'' & di antara garis Lintang Selatan 7 15' 05'' sampai 7 37' 10'' yang berarti berada di belahan selatan garis khatulistiwa. Jumlah penduduk Purwokerto sebanyak 239.532 jiwa, yang terbagi menjadi 73.019 jiwa di Kecamatan Purwokerto Selatan, 52.922 jiwa penduduk Kecamatan Purwokerto Barat, 63.360 jiwa penduduk Kecamatan Purwokerto Timur, dan 50.231 penduduk Kecamatan Purwokerto Utara (www.banyumas.go.id diakses pada 2 Juli 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Pelaku Penelitian dan Informan Pendukung Terdapat beberapa orang remaja marjinal yang diwawancarai dalam proses penelitian ini. Pertama, Andri yang berusia 24 tahun. Andri adalah seorang lulusan SMU tahun 2001, semenjak tahun 2002 sudah mangkal di pertigaan Sri Ratu Purwokerto. Andri merupakan

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

33

salah seorang remaja marjinal yang selalu memperhatikan perkembangan politik dan berita yang terjadi saat ini. Pelaku penelitian kedua adalah Jalak, berusia 21 tahun. Jalak baru lulus STM tiga tahun lalu (2005). Alasan Jalak masuk STM adalah agar bisa meneruskan pekerjaan bapaknya di bengkel. Jalak mengerti sedikit-sedikit tentang mesin. Jalak hidup dalam keluarga yang utuh, artinya bukan keluarga berantakan. Pelaku penelitian ketiga adalah Tomi, 27 tahun. Tomi ini merupakan salah satu anggota senior dalam komunitas mereka. Namun, saat disebut sebagai ketua dalam komunitas, Tomi menolaknya. Alasannya bahwa komunitas tersebut muncul untuk menolak segala bentuk keteraturan (komunitas remaja marjinal yang peneliti masuki ternyata adalah komunitas Punk dan komunitas Skinheads), sehingga dalam komunitasnya tidak dikenal adanya ketua, wakil atau sebagainya. Pelaku penelitian keempat adalah Anjar. Anjar hanya bersekolah sampai tingkat SMP saja. Keluarga yang berantakan mendorongnya untuk masuk ke jalanan. Awalnya dia mengamen, berdagang asongan, selanjutnya jalanan menjadi rumahnya, dan dia salah seorang anggota komunitas yang paling rajin mangkal. Informan pendukung dalam penelitian ini antara lain adalah Pak Rujito. Pak Rujito berusia 52 tahun. Beliau adalah Ketua RW di Kampung Sri Rahayu, atau lebih banyak dikenal sebagai Kampung Dayak. Kampung Dayak sendiri merupakan sebuah kampung yang terletak di belakang terminal lama Purwokerto. Di kampung ini terdapat banyak komunitas marjinal, dan memang kampung ini identik dengan dunia marjinal; seperti wanita tuna susila, waria, serta anakanak jalanan. Informan pendukung kedua adalah Pak Budi. Pak Budi adalah pemilik ruko yang terasnya sering dijadikan tempat mangkal oleh anak-anak komunitas. Pak Budi sampai hapal siapa-siapa yang sering mangkal, bagaimana tingkah polah mereka, serta perbedaanperbedaan antara beberapa komunitas yang mangkal di depan rukonya tersebut. Informan pendukung ketiga adalah Bapak Adi. Bapak Adi adalah pegawai Dinas Sosial yang sering berhubungan dengan anakanak jalanan, waria dan sebagainya. Pak Adi telah bekerja di Dinas Sosial Purwokerto semenjak tahun 1991.

34

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Masalah Kaum Remaja Marjinal Masalah kaum remaja marjinal tidak hanya dirasakan pemerintah atau masyarakat semata, namun juga dirasakan oleh mereka sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh informan pendukung, yakni Pak Rujito, seorang sesepuh di Kampung Sri Rahayu, yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya para kaum marjinal, Kadangkadang malah (kegiatannya di rumah singgah) ndak sesuai. Sebenarnya disuruh bertempat ke rumah singgah buat istirahat, tapi malah digunakan yang lain, kadang-kadang fasilitas disitu juga hilang. Mereka yang kesitu seringnya nggak punya identitas, sehingga bingung mendatanya. Masalah kaum remaja marjinal ini juga muncul berkaitan dengan interaksi sesama mereka. Sebagaimana diceritakan oleh Jalak, (Kita itu) akrab, tapi kalau ada masalah apa gitu dipanjang-panjangin. Misalnya pakaian, apa kaos atau sepatu, kan punyanya cuma sedikit, jadi sering barter. Aku pakai ini, kamu pakai itu, terus lama nggak balik-balik, ilang atau dibarter sama yang lain, jadi masalah. Jadi kayak masalah-masalah sepele gitu. Keberadaan rumah singgah bagi kaum remaja marjinal ini nampaknya juga merupakan masalah tersendiri. Karena rumah singgah yang biasanya dijadikan tempat mereka berkumpul ternyata sudah tidak difungsikan lagi, seperti kata Pak Rujito, Dulu kan ada rumah singgah, tapi sekarang rumah singgahnya sudah nggak ada, sudah dirusak sama anak-anak. Sekarang mereka sudah ndak punya rumah singgah. Jadi nggak mesti kumpul-kumpul, kumpul-kumpulnya ya kalau ada kegiatan-kegiatan. Konsep Diri Terdapat beberapa nilai yang menjadi bentuk-bentuk identitas sosial. Salah satunya adalah keharusan untuk berkarya. Anjar, salah seorang pelaku penelitian mengatakan, Jangan bicara kematian dong, belum mempunyai karya nih. Kalau mati, apa yang ditinggalkan di dunia ini? Harus meninggalkan karya. Sosialisme kamu, komunisme kamu itulah karya kamu! Komunitas remaja marjinal ini juga bukan tidak percaya Tuhan. Terbukti, ketika diwawancara mereka juga sempat membicarakan puasa. Seperti Anjar yang mengatakan, Kalau puasa aku nggak kaget, masalah laper-laper aku nggak kaget, sebelum bulan
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 35

puasa sering nggak makan, sering laper. Tetapi konsep kepercayaan kepada Tuhan ini tidak diaplikasikan sebagaimana umumnya pemeluk agama. Seperti yang dikatakan Jalak, Kalau aku nggak puasa sih, tapi ada orang baik yang ngasih makananlah, rokok, kadang-kadang duit. Pernah dulu waktu tidur disini, pas saur ada orang yang ngasih makanan. Konsep kepercayaan kepada Tuhan diaplikasikan oleh para remaja marjinal sebagai perilaku sosial manusia. Sehingga, mereka cenderung membedakan orang berdasarkan terminologi orang baik dan orang tidak baik. Orang baik menurut remaja marjinal ini adalah orang yang mempunyai rasa keberpihakan kepada mereka. Adapun pihak-pihak yang dianggap tidak menaruh keberpihakan kepada mereka akan mendapat label sebagai orang tidak baik. Uniknya konsep baik yang kita kenal dengan simbolisasi kanan, tidak dikenal mereka secara sama, sebagaimana yang dikatakan Tomi, Malem kalau mau di sini, ya disini, kalau mau pulang ya pulang. Kalau di sini paling dibelakang sana, di empang. Masalahnya kalau tidur di sini (di emper toko) nanti di garuk juga sama orang-orang kanan (orang-orang yang tidak mau kehilangan tempat tinggal mereka). Para remaja marjinal ini mengkonstruksi identitas sosial mereka sebagai orang kiri, orang yang senantiasa selalu berbagi. Konstruksi identitas sosial yang mereka miliki selanjutnya adalah bahwa sebenarnya mereka tidak begitu menikmati menjadi remaja marjinal. Sebagaimana yang dikatakan Jalak, Pernah dulu aku ditanyain, cari kerja (aja) kenapa mas? Apa enak jadi pengamen mas? Gimana jawabnya, bingung kan! Tomi ketika itu menambahkan, Ya ngomong enak bae. Bahkan Jalak merasa bahwa kehidupannya saat ini merupakan titik nadhir, bahwa dia sedang berada di bawah, bahwa dia sedang merasa tidak enak, tapi dia mempunyai keyakinan mengenai kemungkinannya kembali menikmati hidup, sebagaimana dikatakannya, Ya udah pernah sih ngrasain kerja, jadi orang enak. Ada siang ada malem, ada baik ada buruk, ada kaya ada miskin, ada gundul ada gondrong. Model Penanganan Pemerintah Kabupaten anak-anak jalanan ini kepada tertentu, Dinas Sosial bekerja kadang juga melibatkan aparat
36

Banyumas menyerahkan penanganan Dinas Sosial. Pada keadaan-keadaan sama dengan Satpol PP dan kadangkepolisian. Pelibatan aparat kepolisian

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

ini sebagai bentuk antisipasi apabila terdapat pelaku kriminal diantara anak-anak jalanan. Selain dua instansi pemerintah ini, Dinas Sosial juga bekerja sama dengan LSM yang bergerak dalam penanganan anak jalanan. Sebagaimana yang dikatakan Bapak Adi, Kabid Dinas Sosial Banyumas, Selama ini penanganannya bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, terutama dengan beberapa LSM. Ada beberapa LSM yang sering berhubungan dengan kita, antara lain Biyung Emban dan Kuncup Mas. Model penanganan yang dilakukan oleh Dinas Sosial selama ini melalui metode pemantian, yakni anak jalanan dirazia, untuk dimasukkan ke panti-panti yang umumnya ada di luar kota. Di pantipanti ini pembinaan dilakukan. Umumnya pembinaan itu berupa materi-materi yang dianggap dapat membekali anak jalanan ini, sehingga mereka tidak perlu kembali lagi ke jalan. Selain panti-panti, bagi anak jalanan juga tersedia rumah singgah. Sifat rumah singgah sendiri sebenarnya bukan merupakan tempat pendidikan, melainkan tempat anak-anak jalanan ini berkumpul saja. Tujuannya disamping anak-anak jalanan ini lebih terkontrol, rumah singgah juga dapat digunakan pengelola untuk menyisipkan pesan-pesan mengenai hal-hal positif. Pendekatan penanganan di rumah singgah ini bermacam-macam, sesuai dengan tujuan awal pendiriannya. Penanganan terhadap anak jalanan juga meliputi perlakuan terhadap keluarga mereka. Keluarga yang mandiri secara ekonomi akan mengurangi peluang anak-anak turun ke jalan. Mengenai masalah kesehatan, pemerintah memberikan anak jalanan ini Askeskin untuk digunakan di Puskesmas-Puskesmas terdekat. Selain itu, anak jalanan juga diberi penyuluhan mengenai HIV/AIDS, mengingat perilaku seks mereka. Menurut Bapak Adi, anak jalanan ini mengenal seks semenjak mereka berusia sepuluh tahun. Seks bebas dengan berganti-ganti pasangan sudah mereka jalani pada usia belasan. Lingkungan tempat tinggal mereka yang permisif terhadap perilaku seks bebas membuat rentan munculnya penyakit menular seksual. Persepsi terhadap Model Penanganan Komunitas remaja marjinal ini umumnya mempunyai pandangan negatif terhadap model penanganan dari pemerintah. Jalak misalnya mengatakan, (Ketika ditangkap Satpol PP) ada juga yang
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 37

nanyain, berapa hari nggak mandi, aku jawabnya tiga hari nggak mandi. Namanya mandi itu kan urusan pribadi ya. Kita nggak mandi apa dia mau mandiin kita, kita nggak makan apa dia mau nawarin, nggak mungkin lah. Jarang orang baik itu jarang. (Ada yang) ngerasa dirinya baik, tapi yang menilai itu kan orang lain. Tampak dari hasil wawancara ini, bahwa komunitas ini merasa penangkapan itu tidak diperlukan. Bahkan, apabila ada aparat yang menangkap mereka, dipandang tidak mempunyai kerjaan, disebut sebagai aparat murah, Yang nangkepin kita itu polisi yang murah. Soalnya nangkepnya yang mudah dicari, kalau ngamen kan jelas lokasinya disini, tapi kalau penjahat kan susah nangkepnya (karena lari terus). Saat ditanya apa saja yang mereka dapatkan ketika berada ditempat penampungan sementara, Jalak mengatakan, Paling kalau ditangkep di omeli thok. Pernah dulu aku ditanyain, jadi cari kerja (aja) kenapa mas? Apa enak jadi pengamen mas? Gimana jawabnya, bingung kan? Model penanganan yang seperti ini sebenarnya tidak terjadi setiap saat. Hanya saja program pemerintah dirasakan hanya sesaat-sesaat saja. Sebagaimana dikemukakan oleh Pak Rujito, Ketua RW Kampung Sri Rahayu (dulu Kampung Dayak), Pemerintah biasanya kan memberikan program, tapi kan program itu kan seolaholah tidak berjalan, biasanya tidak kontinyu. Paling tahun ini program apa itu saja. Seolah-olah sepintas hanya meluncurkan program saja. Ya pihak manapun yang meluncurkan program tidak berkelanjutan, itu ya hasilnya sesaat-sesaat. Jadi hasilnya juga sangat minim. Bentuk Komunikasi Antarpersona Remaja marjinal ini kebanyakan membentuk komunitas secara terbuka. Organisasi mereka tidak mengenal ketua atau pimpinan. Struktur komuniksi antarpersona mereka sangat egaliter, sangat terbuka. Namun, keterbukaan ini tidak berlaku untuk publikasi. Publikasi, kata mereka, merupakan salah satu bentuk keterikatan dengan aturan. Mereka tidak ingin dipublikasi. Keseharian mereka berkumpul di pelataran gedung toko, atau di tanah kosong ternyata tidak semata-mata berkumpul saja. Demikian juga pilihan mereka untuk mabuk ternyata tidak semata-mata kesenangan. Jadi berkumpul adalah salah satu bentuk progresifitas mereka, bentuk pernyataan mereka, bentuk karya mereka. Mabuk pun, kata Andi lagi, merupakan proses pencarian ide.
38 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Selain sehari-hari berkumpul di tempat-tempat yang telah ditentukan, pada saat-saat tertentu mereka juga mengadakan pertemuan. Tentu saja pertemuan ini bukan pertemuan rutin, maklum mereka adalah komunitas yang antikemapanan. Pertemuan ini lazim disebut sebagai Punk Party atau Skinhead Party. Pertemuan seperti ini biasanya diisi dengan pertunjukan musik-musik keras, serta tidak lupa pesta minuman beralkohol. Bahkan, pesta minuman beralkohol ini identik dengan rasa solidaritas antarsesama mereka. Minuman beralkohol merupakan perekat komunikasi antarpersona mereka. Kerekatan mereka dalam jalinan komunikasi antarpersona juga sering diwarnai dengan konflik. Pemicu konflik ini kerapkali adalah masalah-masalah yang sebenarnya dianggap sepele oleh mereka sendiri. Seperti kata Jalak, ketika ditanya mengenai keakraban antaranggota komunitasnnya, (Hubungannya) akrab tapi, kalau ada masalah apa gitu (sukanya) dipanjang-panjangin. Mafhum kiranya kalau konflik tersebut kadangkala menimbulkan perkelahian antarsesamanya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kaum remaja marjinal pengamen jalanan ini ada yang tidak mengakui labelisasi kebanyakan orang. Mereka lebih suka mendapatkan sebutan sebagai komunitas tertentu. Hal ini lebih mengungkap realitas bahwa mereka juga ingin mendapatkan pengakuan mengenai eksistensinya. Secara lebih dalam eksistensi mereka sebagai manusia yang berhak mendapatkan perlakuan adil. Secara garis besar, kelompok atau komunitas remaja marjinal pengamen jalanan terbagi menjadi tiga, yakni komunitas Punk, komunitas Skinhead dan komunitas pengamen jalanan biasa. Masing-masing mempunyai ciri khas. Komunitas Punk dicirikan dengan pakaian yang seadanya, terkesan kumuh, akan tetapi sangat peka dengan isu-isu sosial yang sedang berkembang. Komunitas Skinhead, terkesan lebih bersih tetapi cenderung kurang responsif dengan isu-isu sosial saat ini. Sedangkan komunitas ketiga, cenderung tidak peduli dengan isu-isu sosial saat ini, namun lebih mementingkan kebutuhan ekonomi.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 39

2. Faktor-faktor yang menyebabkan para remaja pengamen jalanan ini memilih tinggal di jalanan dan menjadi pengamen antara lain adalah faktor keluarga yang berantakan, namun ada juga yang karena faktor pengaruh teman. Pada komunitas Punk dan Skinhead, remaja yang bermasalah dengan keluarga kurang begitu diterima. Lain halnya dengan komunitas pengamen biasa, yang cenderung tidak mempedulikan latar belakang keluarga teman-temannya. 3. Kaum remaja pengamen jalanan ini cenderung tidak suka dengan perlakuan yang mereka terima dari pemerintah. Terbukti dengan tindakan mereka yang selalu melarikan diri dari panti-panti yang disediakan oleh pemerintah. Mereka menyebut pihak-pihak yang berlaku 'kurang adil' itu sebagai 'orang jahat'. Sementara label 'orang baik' disematkan pada mereka yang dianggap 'tidak adil'. 4. Model penanganan yang ada selama ini adalah 'pemantian'. Yakni para remaja pengamen jalanan dimasukkan di panti untuk dilatih keterampilan-keterampilan guna bekal hidup mereka. Penanganan pemerintah tidak hanya terpancang pada remaja pengamen jalanan saja, tetapi juga terhadap keluarganya. Bentuk penanganan ini berupa pengarahan atau penyuluhan. Saran-Saran 1. Penanganan anak jalanan selama ini cenderung hanya dipandang dari sebuah sisi, tanpa pernah berusaha mengungkap sisi lain dunia mereka. Akibatnya bagaimanapun penanganannya, remaja marjinal pengamen jalanan akan kembali beroperasi sebagaimana biasa. Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu berusaha menggali hal-hal yang dirasakan oleh mereka. 2. Remaja marjinal pengamen jalanan perlu dipandang sebagai bentuk pemiskinan struktural, bukan sebagai penyakit. Sehingga, penanganan mikro saja, yakni penanganan yang hanya berorientasi pada remaja pengamen jalanan saja tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Penanganan secara makro, yakni penanganan secara menyeluruh, yang meliputi penanganan terhadap remaja pengamen jalanan, penyuluhan kepada keluarga, dan pelatihan bagi petugas lapangan yang berhubungan langsung dengan mereka akan lebih memberikan hasil.

40

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

3. Perlu dibangun sebuah komunikasi dialogis segitiga antara pemerintah atau lembaga yang terkait, remaja marjinal pengamen jalanan dan keluarga, sehingga diperoleh kesepahaman.

DAFTAR PUSTAKA Tajfel, H. 1978. Differentiation between social gorups : Studies om the social psychology of intergroup relation. London: Academic Press. Tajfel, H. & Turner, J.C. 1979. An Integrative Theory of Intergroup Conflict : the Social Psychology of Intergroup relation. C.A. Monterey : Brooks. Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan 1980. Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai. Jakarta : YIIS Patton, M.Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills, CA. :Sage Publication Spradley. J.P. 1980. Participation Observation. New York, N.Y.: Holt, Rinehart, and Winston Tajfel, H. 1981. Human Groups and Social Categories: studies in the Social Psychology. Cambridge : Cambridge University Press Goetz, J.P. & LeCompte, M.D. 1984. Ethnography And Qualitative Design on Educational Research. New York, N.Y.: Academic Press, Inc. Turner, J.C. 1987. Rediscovering the social group : A Selfcategorization theory. Blackwell : Oxford Yin, R.K. 1987. Case Study Research : Design and Methods. Beverly Hills, CA : Sage Publications Hogg, M.A.& Abrams, D. 1988. Social Identification: A Social Psychology of Intergroup relations and Group Processes. U.K. London : Routledge. Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya : Suatu Perspektif Kontemporer. (edisi kedua). Alih bahasa : R.G. Soekadijo. Jakarta : Erlangga Bryman, Alan. 2001. Social Research Methods. USA : Oxford University Press. Astutik, Dwi. 2004. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah di Jawa Timur. Dalam www.damandiri.or.id / search.php?q=Surabaya
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 41

Littlejohn,Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. (7ed). USA : Wadsworth /Thomson Learning Lustig, Myron W. & Koester, Jolene. 2003. Intercultural Competence :Interpersonal Communication across Cultures. USA : Allyn & Bacon Musyarofah, D. Muhayatun 2006. Konsep Diri Anak Jalanan (Studi Deskriptif Konsep Diri Anak Jalanan di Terminal Purwokerto dengan Menggunakan Perspektif Interaksi Simbolik). Purwokerto : tidak diterbitkan Sumber lain : Astutik, Dwi. 2004. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah di Jawa Timur. Dalam www.damandiri.or.id, diakses 9 Juli 2008 Pemerintah Kabupaten Banyumas. Letak Geografis Banyumas. Dalam www.banyumas.go.id, diakses pada 2 Juli 2008

42

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

PERILAKU POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TIMUR PERIODE 2008-2013 Irtanto* Abstraksi Penelitian ini bersifat eksploratif dengan pendekatan kualitif bertujuan untuk mengidentifikasi preferensi pemilih kandidat gubernur Jawa Timur periode 2008-2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi pemilih lebih banyak karena kesamaan asal daerah, agama, kesamaan jenis kelamin terutama pada budaya arek, putra daerah baik itu pada budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek, pengalaman memimpin organisasi, status pendidikan memiliki status ekonomi tinggi, kalangan profesional, intelektual, isu-isu kampanye menarik, visi dan misi kandidat, kredibilitas calon, dan program kerja yang jelas. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku politik pemilih pilgub periode 2008-2013 antara lain seagama, teman, iklan politik, orang yang lebih tua usianya. Sedangkan sumber informasi tentang pilgub kebanyakan media massa televisi. Kata Kunci: pemilihan gubernur, budaya, pilihan, kandidat.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perilaku politik massa tentu tidak lepas dari pengaruh faktor budaya dan sistem politik yang berlaku saat itu. Sistem politik di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan bergantian rezim yang berkuasa. Di era reformasi sistem politik demokrasi mengalami penguatan dan legitimate sebagai harapan akan munculnya ruang partisipasi politik yang semakin transparan. Transparansi dan terbukanya ruang partisipasi dalam sistem politik
*

Drs. Irtanto adalah peneliti politik dan pemerintahan pada Balitbang Propinsi Jawa Timur.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 43

demokrasi sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia sejak pemilu 2004, demikian pula demokratisasi di tingkat lokal Sistem politik demokratis semakin dirasakan masyarakat Jawa Timur, terutama pilkada langsung berupa Pilgub Jawa Timur periode 2008-2013. Perkembangan politik lokal di Jawa Timur cukup menarik publik terutama persoalan pemilihan gubernur Jawa Timur. Sistem Pilkada langsung oleh rakyat yang telah menggeser sistem perwakilan, baik partai politik maupun kandidat kepala daerah harus mendekat pada rakyat. Konsekuensi perubahan sistem pemilihan rakyatlah yang menentukan pilihan politik bukan lagi pada sekelompok elit politik yang namanya legislatif. Strategi pendekatan terhadap publik sebagai pemilik suara banyak dilakukan oleh para calon kandidat kepala daerah. Akibatnya iklan-iklan politik bertebaran dimana-mana dalam bentuk baliho maupun bentuk lainnya seperti memanfaatkan media massa baik media cetak maupun media elektronika. Melalui iklan politiknya, merekapun mencoba-coba untuk menawarkan berbagai janji-janji politiknya. Sistem Pilkada langsung lebih menjanjikan dibandingkan sistem yang berlaku sebelumnya. Pilkada langsung termasuk pemilihan gubernur Jawa Timur diyakini memiliki kapasitas yang memadai untuk memperluas partisipasi politik masyarakat, sehingga masyarakat di daerah memiliki kesempatan untuk memilih secara bebas pemimpin daerahnya. Pilkada langsung merupakan munculnya berbagai varian preferensi pemilih yang menjadikan berbagai faktor determinan dalam melakukan tindakan politiknya untuk mengapresiasi sistem politik demokrasi tersebut. Masyarakat Jawa Timur mempunyai banyak latar belakang kultur, kultur mataraman, kultur pendalungan, dan kultur arek. Demikian pula banyak latar belakang geografis seperti desa dan kota. Latar belakang kultur maupun geografis tersebut diperkirakan akan mempengaruhi pilihan politiknya. Dalam pilgub Jawa Timur 2008-2013 diikuti oleh lima kandidat. Berdasarkan berita acara Komisi Pemilihan Umum Propinsi Jawa Timur Nomor: 821.1/71/KPU-Jtm/VI/2008 tentang penentuan dan penetapan nomor urut pasangan calon kepala daaerah dan wakil kepala daerah, maka pasangan calon gubernur dan wakil gubernur periode 2008-2023 yang dapat memenuhinya adalah sebagai berikut: Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji Mantep) diusulkan oleh PPP dan Partai Patriot, Soetjipto-Ridwan Hisyam (SR) diusung oleh
44 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

PDIP, Soenaryo-Ali Maschan Musa (Salam) diusung oleh Partai Golkar, Achamady-Suhartono (Achsan) dicalonkan PKB dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) dicalonkan oleh Partai Demokrat dan PAN. Perumusan Masalah Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana preferensi pemilih kandidat gubernur Jawa Timur periode 2008-2013?; 2) Faktor-faktor apa yang memengaruhi perilaku politik pemilih pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur periode 2008-2013?; 3) Bagaimana pendapat publik terhadap nilai-nilai demokrasi dalam pilgub ? 4) Media apa yang dipakai untuk memperoleh informasi tentang pilgub Jatim ?. 5) Kapan mereka menentukan pilihan politiknya ? Lingkup Penelitian Penelitian tentang perilaku memilih Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 ini dilaksanakan pada bulan Juli 2008 sampai Desember 2008 yang difokuskan pada ruang lingkup perilaku yang pendekatan dilihat dari sisi sosiologi, psikologis, rasional dan struktural sosial. KERANGKA PEMIKIRAN Pendekatan Perilaku Pemilih 1. Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti kelompok keagamaan, organisasi profesi, maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil lainnya memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 45

orientasi seseorang, yang nanti sebagai dasar atau preferensi dalam menentukan pilihan politiknya. (Anwar, 2004 : 23-24). Gerald Pomper (dalam Asfar, 2006) memerinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi voting behavior ke dalam variabel, yaitu variabel predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosialekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. (Lipset, 1995: 1346-1353) Aspek geografis mempunyai hubungan dengan perilaku memilih. Adanya rasa kedaerahan memengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Penelitian-penelitian Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatan-ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor-faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang.Ikatan kedaerahan terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidat. (Asfar, 2006: 140) Dalam berbagai ragam perbedaan struktur sosial, yang paling tinggi pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonomi). 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang-sebagai refleksi dari kepribadian seseorang, merupakan variabel yang cukup menentukan dalam memengaruhi perilaku politik seseorang. Pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. (Niemi and Herbert F. Weisberg, 1984: 9-12) Pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku politik seorang. 3. Pendekatan Rasional Ada faktor situasional yang ikut perperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa berupa isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian isu-isu politik menjadi pertimbangan
46 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Mereka melihat adanya analogi antar pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik). Seseorang memilih kontestan atau kandidat tertentu dapat dilihat dari lima pendekatan yakni pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan. Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial, pilihan seseorang dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama. Pendekatan ekologis cenderung hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Pendekatan psikologi sosial, secara emosional dirasakan sangat dekat dengan partai politik atau kandidat. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Peran Media Massa Peran media massa sangat penting dalam memengaruhi pemilih. Salah satu kunci persaingan politik adalah media massa. Media massa ini diartikan sebagai suatu entitas yang memiliki peran dan fungsi untuk mengumpulkan sekaligus mendistribusikan informasi dari dan ke masyarakat. Efektivitas komunikasi politik membutuhkan peran serta media massa, karena merekalah salah satu profesi penting yang memiliki perangkat dan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat luas. Komunikasi politik kerapkali terjadi secara tidak langsung melalui pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh media massa.(Firmansyah,2008:265)

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN Penelitian ini bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Jawa Timur. Sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah mereka
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 47

yang sudah memiliki hak-hak politik dalam pilgub 2008-2010. Selain itu pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian fenomenologi yang berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang itu sendiri (Upe,2008:135). Daerah penelitian adalah dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. Daerah tapalkuda yang identik dengan budaya pendalungan yang didominasi dengan budaya Madura diwakili oleh daerah penelitian Kabupaten Banyuwangi, Kota Probolinggo dan Kabupaten Probolinggo. Sedangkan budaya mataraman, diwakili oleh Kabupaten Blitar dan Kota Kediri serta Kabupaten Blitar dan Kota Blitar. Kemudian budaya arek akan diwakili oleh Kota Surabaya dan Kota Mojokerto. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dengan instrumen kuesioner tertutup dan terbuka kepada mereka yang mempunyai hak politik pada Pilgub Jatim. Pengumpulan data kualitatif berupa data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi. Sedangkan untuk mengumpulkan data primer dengan menggunakan instrumen daftar pertanyaan yang semi terstruktur baik terbuka maupun tertutup dengan mewancarai pemilih pada pilgub Jatim 20082013. Adapun sasaran pendistribusian kuesioner adalah para pemilih yang terpilih dengan mempertimbangkan penelitian yang bersifat deskriptif dan eksploratif, maka pengambilan sampel menggunakan sistem acak yang dapat mewakili tiga budaya yang ada di Jawa Timur. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknis analisis komparasi (Muhadjir, 2007). Metode penentuan sampel dengan sistem kuota atas dasar mereka mempunyai hak-hak politik dalam pilgub Jatim 2008-2013. Masing-masing daerah penelitian yang menjadi lokasi penelitian masing-masing ditentukan sebanyak 200 orang, sehingga semua responden sebanyak 600 orang.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN Identitas Reponden Responden sebanyak 600 orang pemilih calon gubernur Jawa Timur memiliki agama yang berbeda satu sama lainnya. Menurut pengakuan mereka mayoritas beragama Islam. Sedangkan mereka
48 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

berjenis kelamin laki-laki 57,0% dan perempuan 43,0%. Responden yang diambil sebagai sampel di daerah Mataraman ini kebanyakan Suku Jawa yaitu sebanyak 85,0%, Suku Madura 1,0%, dan Keturunan Thionghoa sebanyak 14,0%. Pendidikan responden bervariasi yaitu lulusan SD sebanyak 15,0%, SMP sebanyak 19,0%, SLTA sebanyak 36,0%, Akademi sebanyak 14,0% dan Sarjana/Pasca Sarjana sebanyak 16,0%. Preferensi Pemilih Kandidat Gubernur : Perbandingan Budaya Dalam realitasnya mereka yang mempunyai budaya mataraman dalam memilih kandidat gubernur Jatim periode 20082013 cenderung tidak mempertimbangkan latar belakang kesamaan parpol yang mereka pilih pada saat pemilu 2004 yang lalu, mereka yang menyatakan tidak mempertimbangkan soal latar belakang parpol kandidat sebanyak 63,0%. Bagaimana mereka yang mempunyai latar belakang budaya pendalungan, mereka yang menempati daerah tapalkuda. Perilaku dalam memilih ada kecenderungan yang sama dengan mereka yang mempunyai budaya mataraman, mereka dalam memilih tidak mempertimbangkan pula asal parpol atau partai apa yang mencalonkannya. Mereka yang mempunyai budaya pendalungan ada kesamaan dalam memilih kandidat gubenur Jatim periode 2008-2013 baik pada putaran pertama maupun kedua. Mereka yang mempunyai budaya pendalungan yang kebanyakan menempati daerah tapalkuda yaitu di daerah bagian pantai utara Jawa Timur yang menggunakan bahasa sehari-harinya bahasa Madura dalam memilih kandidat gubernur mempunyai kecenderungan yang sama dalam memilih terutama mereka tidak mempertimbangkan kesamaan parpol (54,0%). Demikian pula mereka yang memiliki budaya mempunyai kecenderungan yang sama pula dalam memilih kandidat gubernur Jatim 2008-2013. Mereka yang memiliki budaya arek juga tidak mempersoalkan latar belakang parpol kandidat gubernur (58,0%). Walaupun demikian mereka yang memiliki budaya mataraman (30,0%), budaya pendalungan (35,0%) dan budaya arek (30,0%) ada yang mempertimbangkan kesamaan parpol, bahkan ada pula yang sangat pertimbangan kesamaan parpol dalam memilih calon gubernur. Hampir relatif sama dengan mereka yang memiliki budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek, ada
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 49

kecenderungan dalam memilih calon gubernur tidak mempertimbangkan parpol yang mengusungnya atau mereka cenderung meninggalkan parpol yang mereka pilih pada pemilu tahun 2004. Tampaknya ada kesamaan dalam mempertimbangkan kandidat apakah berasal dari daerah atau tidak, dalam realitasnya pada budaya mataraman, budaya pendalungan, budaya arek mempertimbangkan asal daerah dalam memilih calon gubernur Jatim menjadi salah satu faktor yang ikut mewarnainya. Mereka yang mempunyai budaya mataraman, budaya pendalungan maupun budaya arek dalam memilih calon gubernur masih ada unsur pertimbangan primordialisme yaitu latar belakang agama calon gubernur. Hal ini terbukti mereka yang tinggal di daerah budaya mataraman sebanyak 53,0% mempertimbangkan, budaya pendalungan mereka bertempat tinggal di daerah tapalkuda sebanyak 51,0% mempertimbangkan, dan budaya arek sebanyak 72,0% mempertimbankan agama kandidat gubernur. Dan mereka yang menyatakan sangat mempertimbangkan pada budaya mataraman 15,0%, pada budaya pendalungan 21,0 dan pada budaya arek sebanyak 20,0%. Dengan demikian mereka yang mempertimbangkan asal agama, pemuka agama dalam pilgub Jatim periode 2008-2013 baik putaran pertama maupun putaran kedua jumlahnya sangat besar. Apakah latar belakang putra daerah dijadikan referensi dalam memilih kandidat gubernur Jawa ? Mereka yang mempunyai latar belakang budaya mataraman, pendalungan dan arek sama-sama lebih mempertimbangkan putra daerah, artinya mereka lebih menghendaki yang menjadi gubernur berasal dari daerah Jawa Timur. Kondisi seperti ini dapat dilihat bahwa mereka yang memiliki budaya mataraman yang menyatakan mempertimbangkan dan sangat mempertimbangkan putra daerah untuk dipilih sebanyak 63,0%. Hal yang sama terjadi pada budaya pendalungan yang menyatakan putra daerah dipertimbangkan untuk dipilih sebanyak 57,0% dan mereka yang menyatakan sangat dipertimbangkan sebanyak 6,0%. Demikian juga mereka yang memiliki budaya arek, sebanyak 4,0% yang menyatakan putra daerah sangat dipertimbangkan untuk memilih dan sebanyak 66,0% yang menyatakan dipertimbangkan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kesamaan antara mereka yang berbudaya mataraman, pendalungan maupun arek yang mempertimbangkan untuk memilih kandidat yang
50 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

berpengalaman untuk memimpin sebuah organisasi. Mereka yang berbudaya mataraman lebih memilih mempertimbangkan kandidat yang berpengalaman untuk memimpin sebuah organisasi (71,0%), bahkan ada yang sangat mempertimbangkannya (11,0%). Demikian juga mereka yang berbudaya pendalungan banyak yang menyatakan mempertimbangkannya (61,0%) bahkan ada yang sangat mempertimbangkan (14,0%) pengalamannya dalam memimpin sebuah organisasi apakah organisasi itu formal pemerintahan, meliter, ataupun organisasi partai politik maupun ormas. Hal yang sama terjadi pada mereka yang memiliki budaya arek, mereka lebih cenderung kandidat yang memiliki latar belakang pengalaman memimpin organisasi dipertimbangkan untuk dipilih (61,0%). Mereka yang memiliki budaya mataraman dalam memilih juga lebih cenderung mempertimbangkan status pendidikan kandidat gubernur (63,0%) yang mempersyaratkan status pendidikan calon berpendidikan tinggi, bahkan mereka ada pula yang sangat mempertimbangkan status pendidikan calon (16,0%). Demikian pula hal yang hampir sama terjadi pada mereka yang mempunyai latar belakang budaya pendalungan cenderung mempertimbangkan status pendidikan kandidat gubernur (57,0%) yang mempersyaratkan status pendidikan calon berpendidikan tinggi. Demikian pula mereka yang memiliki budaya arek lebih cenderung status pendidikan dipertimbangkan untuk dipilih (74,0%), bahkan mereka ada pula yang sangat mempertimbangkannya untuk dipilih dalam pilgub Jatim periode 2008-2013. Dengan demikian masalah status pendidikan dan tentunya kemampuan intelektualitasnya serta kredibilitasnya dijadikan hal yang sangat penting dalam pemilihan gubernur. Tampak sekali hasil penelitian menunjukkan bahwa kandidat yang profesional dalam menangani sebuah organisasi birokrasi, profesional dalam mengurus organisasi massa lainnya dijadikan referensi untuk dipilih dalam pilgub Jatim 2008-2013. Pada budaya mataraman ada kecenderungan kandidat yang profesional dipertimbangkan untuk dipilih (74,0%) bahkan ada yang sangat dipertimbangkannya (12,0%). Demikian juga mereka yang memiliki budaya pendalungan lebih cenderung kandidat yang profesional dipertimbangkan untuk dipilih (72,0%). Demikian pula pada budaya arek ada kecenderungan kuat pula kandidat yang profesional dipertimbangkan untuk dipilih (88,0%).

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

51

Latar belakang intelektualitas kandidat menjadi pertimbangan pula dalam pilgub Jatim periode 2008-2013, baik itu putaran pertama maupun putaran kedua. Kondisi ini dapat dilihat pada budaya mataraman, pendalungan maupun budaya arek. Pada budaya mataraman mereka yang menyatakan sangat mempertimbangkan intelektualitas kandidat sebanyak 13,0% dan mereka yang mempertimbangkannya sebanyak 72,0%. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada mereka yang memiliki budaya pendalungan, intelektualitas kandidat sangat dipertimbangkan sebanyak 15,0%, bahkan mereka yang menyatakan dipertimbangkannya sebanyak (72,0%). Demikian juga pada budaya arek yang menyatakan sangat dipertimbangkan kemampuan intelektualitasnya sebanyak 8,0%, sedangkan mereka yang menyatakan dipertimbangkan sebanyak 87,0%. Namun demikian ada pula yang tidak mempersoalkan kemampuan intelektualitas kandidat, tetapi dari sisi jumlahnya sangat relatif kecil sekali. Selain persyaratan intelektualitas kandidat yang menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih juga ketertarikan isu-isu kampanye yang menarik. Para pemilih yang berada di lingkungan yang mempunyai budaya mataraman isu-isu kampanye menjadi salah satu pertimbangan untuk memilih, demikian pula tentunya terjadi pada budaya pendalungan maupun budaya arek isu-isu kampanye menarik salah satu menjadi perhatian para pemilih. Hal ini bisa dilihat pada budaya mataraman mereka mempertimbangkan memilih karena isuisu kampanye sebanyak 61,0%, dan mereka yang menyatakan sangat mempertimbangkan isu-isu kampanye sebanyak 9,0%. Demikian juga yang terjadi pada budaya pendalungan isu-isu kampanye menarik dijadikan pertimbangan sebanyak 65,0%, dan mereka yang menyatakan sangat dipertimbangkan sebanyak 11,0%. Sedangkan budaya arek isu-isu kampanye yang dijadikan pertimbangan untuk memilih gubernur sebanyak 76,0% dan mereka yang menyatakan sangat dipertimbangkannya sebanyak 6,0%. Kredibilitas kandidat gubernur Jawa Timur memengaruhi perilaku politik pemilih baik itu budaya mataraman, pendalungan maupun arek. Hasil penelitian membuktikan hal itu, yaitu pada budaya mataraman mereka yang menyatakan kredibilitas calon sangat dipertimbangkan untuk dipilih dalam pemilihan gubernur Jawa Timur yaitu sebanyak 31,0%, dan mereka yang menyatakan dipertimbangkanya sebanyak 66,0%. Dengan demikian kalau kedua
52 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

hal antara mereka yang sangat mempertimbangkan dan yang mempertimbangkannya jumlahnya sangatlah besar yaitu sebanyak 97,0%. Hasil temuan ini menggambarkan bahwa kredibilitas calon sangat memengaruhi perilaku politik pemilih pada pilgub Jatim. Demikian pula mereka yang mempunyai budaya pendalungan, mereka yang tinggal di wilayah pantai utara Jawa Timur yang dikenal dengan daerah tapalkuda memperlihatkan bahwa perilaku politik pada pilgub Jatim dipengaruhi juga oleh kredibiltas calon. Hasil penelitian membuktikan sebanyak 39,0% menyatakan kredibilitas calon sangat dipertimbangkan dan sebanyak 61,0% yang menyatakan kredibilitas calon dipertimbangkan untuk dipilih. Dengan demikian mereka semua yang mempertimbangkan kredibilitas calon untuk dipilih pada pilgub Jatim. Hal yang sama terjadi pada budaya arek, perilaku politik mereka pada pilgub Jatim dipengaruhi oleh kredibilitas calon. Faktor yang Memengaruhi Pilihan Politik Pemilih gubernur dalam menentukan pilihannya tampak terlihat lebih independen tidak dipengaruh oleh atasan dalam bekerja, baik itu mereka yang memiliki budaya mataraman (77,0%), budaya pendalungan (70,0%) dan budaya arek (76,0%). Berbeda dengan saran dari orang yang lebih tua usianya dalam memilih tampaknya mempunyai pengaruh, walaupun pengaruhnya tidak dominan sekali. Namun sebaliknya faktor agama pada budaya mataraman (61,0%), budaya pendalungan (58,0%) dan budaya arek (80,0%) cenderung dijadikan pertimbangan untuk menentukan pilihan politiknya dalam pilgub Jatim 2008-2013, bahkan mereka ada sebagian yang menyatakan sangat memengaruhi dalam menentukan pilihan politiknya. Mereka yang mempunyai budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek perilaku politiknya dipengaruhi iklan politik, baik itu dalam bentuk kampanye maupun iklan politik berupa baliho, maupun bentuk lainnya. Iklan politik efektif memengaruhi perilaku politiknya dapat dibuktikan bahwa mereka yang menyatakan memengaruhi cenderung besar jumlahnya. Tampaknya fatwa ulama pada budaya tertentu tidak begitu memengaruhi pilihan politik pemilih, tetapi pada budaya tertentu masih efektif untuk memengaruhi perilaku politik pemilih. Fatwa ulama masih mempunyai pengaruh terhadap perilaku pemilih pada budaya pendalungan yang mereka tinggal di daerah tapalkuda, yaitu
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 53

daerah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sebanyak 10,0% yang menyatakan sangat berpengaruh dan sebanyak 50,0% menyatakan berpengaruh. Namun mereka ada pula yang menyatakan tidak memengaruhinya (40,0%). Mereka yang menyatakan tidak berpengaruh ini kebanyakan pemilih rasional dan rata-rata berpendidikan tinggi dan ada pula yang berpendidikan SLTA. Fatwa ulama tidak begitu mempunyai pengaruh terhadap perilaku pemilih yang mempunyai budaya mataraman maupun mereka yang memiliki budaya arek. Sumber Informasi Sumber informasi tentang pemilihan gubernur langsung yang mereka peroleh beraneka ragam, baik itu dari media massa elektronik, radio maupun televisi, media cetak seperti surat kabar harian (Koran), umbul-umbul, baliho, selebaran, teman, tetangga, kampanye/rapat umum, organisasi keagamaan dan organisasi partai politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber informasi yang mereka dapatkan tentang kandidat calon gubernur kebanyakan bersumber dari media televisi. Mereka mengenal pasangan calon gubernur Khofifah-Mudjiono baik yang memiliki budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek lebih banyak mengenalnya lewat televisi. Demikian juga pasangan kandidat pasangan SoekarwoSaifullah dikenal oleh para pemilih lewat media televisi. Tampak bahwa media televisi lebih efektif dijadikan sarana kampanye dari pada media lainnya. Mereka yang memperoleh informasi pemilihan gubernur langsung dari akses media massa tersebut dari berbagai kalangan profesi, baik itu sebagai dosen, guru, pengusaha, wiraswasta, karyawan swasta, PNS, TNI/Polri, mahasiswa, pegawai BUMN/BUMD, dan berbagai kalangan pendidikan baik berpendidikan tidak sekolah sampai sarjana/pascasarjana serta mereka yang aktif di berbagai organisasi maupun yang tidak aktif yang kapasitasnya sebagai pengurus dan sebagai anggota. Bukan berarti media lainnya tidak digunakan, namun jumlahnya relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan media televisi. Media radio lebih banyak digunakan oleh masyarakat memiliki budaya arek. Sedangkan media massa surat kabar hampir merata digunakan oleh semua kalangan yang baik yang memiliki budaya
54 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek. Tidak ketinggalan juga mereka memperoleh informasi berasal dari media televisi dan radio, elektronika dan cetak, serta mereka memperoleh informasi atau mengenal kandidat berasal dari selebaran/baliho, umbul-umbul. Mereka yang mengandalkan sumber informasi pilkada langsung tersebut selain tersebut di atas juga berasal dari organisasi keagamaan, organisasi partai politik. Dari sinilah terlihat dengan jelas mereka mengenal program-program kampanye lewat berbagai media tersebut. Pendapat Publik Terhadap Nilai-nilai Demokrasi Proses Demokratisasi Dalam pilgub langsung dipandang oleh sebagian besar rakyat yang memiliki budaya mataraman (75,0%), budaya pendalungan (69,0%), dan budaya arek (66,0%) siapapun yang terpilih akan memosisikan sebagai representasi rakyat. Namun mereka ada yang tidak setuju bahkan tidak tahu menahu apakah kepala daerah akan memosisikan sebagai representasi rakyat ataukah tidak, tetapi jumlah mereka hanya relatif kecil sekali. Namun mereka ada yang berpendapat bahwa pilgub langsung tidak membatasi pengaruh konfigurasi politk DPRD dengan gubernur terpilih. Mereka yang berpendapat seperti ini sebagian kecil berbudaya mataraman (9,0%), budaya pendalungan (11,0%), dan budaya arek (8,0%). Dengan adanya pilgub langsung tersebut legitimasi pemerintahan daerah lebih kuat, sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif. Mereka yang berpandangan seperti ini kebanyakan memiliki budaya mataraman (84,0%), budaya pendalungan (81,0%), dan budaya arek (82,0%). Mereka berpandangan seperti itu dikarenakan gubernur terpilih akan sulit dijatuhkan oleh DPRD kecuali ada kasus pidananya. Mereka yang memiliki ketiga budaya, baik itu budaya mataraman (81,0%), budaya pendalungan (80,0%) dan budaya arek (87,0%) mempunyai kecenderungan yang sama dalam memandang pilgub langsung. Mereka kebanyakan berpendapat bahwa dengan adanya pilgub langsung akan berdampak positif terhadap praktekpraktek politik uang atau paling tidak mengurangi praktek politik uang dalam proses pilgub. Praktek politik uang tidak lagi berada hanya pada elit politik seperti pada masa berlakunya UU No 22 tahun 1999, seperti pada proses laporan pertanggung jawaban kepala daerah. Tidak
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 55

itu saja, pilgub langsung selain akan mengurangi praktek-praktek politik uang hal ini diakui oleh sebagian besar mereka yang memiliki budaya mataraman (81,0), budaya pendalungan (80,0) dan mereka yang memiliki budaya arek (87,0%). Pilgub langsung juga akan meningkatkan partisipasi politik, dan dengan keterlibatan rakyat secara langsung akan berdampak pada peningkatan demokratisasi di tingkat lokal. Mereka yang menyatakan seperti ini di kalangan mereka yang memiliki budaya mataraman (89,0%), budaya pendalungan (77,0%) dan budaya arek (84,0%). Namun mereka sedikit yang tidak mengakui bahwa dengan pilgub langsung tidak akan meningkatkan partisipasi politik dan keterlibatan rakyat secara langsung tidak selalu akan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal. Walaupun demikian mereka ada yang tidak tahu-menahu akan persoalan partisipasi politik rakyat di daerahnya. Mereka rupanya sebagian besar sepakat bahwa dengan pilgub langsung, rakyat akan dapat menentukan siapa calon pemimpinnya yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan di daerah. Mereka yang mempunyai pandangan seperti ini relatif sama pada ketiga budaya mataraman (95,0%), budaya pendalungan (88,0%) dan budaya arek (90,0%). Namun mereka ada yang tidak sependapat kalau pilgub langsung tersebut akan dapat menentukan pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan di daerah. Tidak selamanya pemimpin dapat menyelesaikan secara sendirian ada faktor lain yang ikut berperan. Keyakinan Rakyat Terhadap Pilgub Mereka baik yang memiliki budaya mataraman (92,0%), pendalungan (88,0%) dan budaya arek (96,0%) cenderung mempunyai keyakinan bahwa pilgub langsung dengan perangkat UU No. 32 tahun 2004 akan berdampak positif terhadap menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan profesinya sebagai mahasiswa, dosen, guru, wiraswasta, TNI/Polri, PNS, wartawan dan berpendidikan peguruan tinggi serta mereka kebanyakan aktif di organisasi. Bagaimana hubungannya dengan kualitas gubernur teripilih?. Mereka baik yang memiliki budaya mataraman (83,0%), pendalungan (79,0%) dan budaya arek (82,0%) sebagian besar mempunyai keyakinan bahwa pilgub langsung akan muncul kepada
56 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

daerah yang lebih berkualitas. Mereka yang memandang bahwa pilgub langsung akan memunculkan kepala daerah yang berkualitas kebanyakan profesinya sebagai dosen, mahasiswa, wiraswasta, PNS, TNI/Polri dan pegawai BUMN/BUMD, aktif di organisasi dan berpendidikan menengah ke atas. Namun mereka tidak semua berkeyakinan gubernur terpilih lebih berkualitas, hal ini terbukti masih ada budaya mataraman (9,0%), pendalungan (17,0%) dan budaya arek (10,0%) yang berpendapat seperti itu. Walaupun calon gubernur mendapatkan suara mayoritas, namun tidak menjamin soal kualitasnya. Selama ini semuanya harus melalui parpol yang mau tidak mau rakyat harus memilih diantara mereka yang disodorkan oleh parpol tersebut. Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan berpendidikan akademi, sarjana, mahasiswa, sedangkan profesinya sebagai PNS, Polri/TNI, wiraswasta, pengusaha dan aktifis organisasi baik di parpol, RT, RW, LSM, maupun PKK. Bahkan mereka ada sebagian kecil yang tidak tahu menahu soal apakah dalam pilgub tersebut akan memunculkan kepala daerah yang berkualitas atau tidak. Mereka yang tidak tahu menahu soal kualitas tidaknya gubernur terpilih kebanyakan profesinya sebagai petani penggarap, ibu-ibu rumah tangga, berpendidikan SD, SLTP maupun sebagian besar SLTA serta mereka bukan aktifis organisasi. Mereka yang memiliki budaya mataraman (91,0%), pendalungan (90,0%) dan budaya arek (81,0%) cenderung berkeyakinan pilgub langsung akan berdampak positif terhadap pelayanan publik. Mereka sebagian besar berkeyakinan bahwa dengan adanya pilgub langsung akan mampu meningkatkan pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Mereka baik yang memiliki budaya mataraman, pendalungan dan budaya arek kebanyakan mempunyai keyakinan bahwa dengan adanya pilgub langsung publik akan lebih mudah melakukan kontrol. Namun mereka ada yang tidak yakin bahwa publik akan mudah untuk mengontrol gubernur terpilih. Mereka melihat masih ada kelemahannya yaitu civil society masih belum berkembang, masih minimnya NGO atau tidak ada lembaga independen untuk mengontrol kekuasaannya. Mereka yang berpendapat publik tidak mudah untuk melakukan kontrol kebanyakan berpendidikan akademi sampai pascasarjana, profesinya sebagai dosen, guru, mahasiswa, wiraswasta, PNS, kebanyakan aktif di organisasi LSM, kemahasiswaan, partai politik.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 57

Tidak semua mempunyai keyakinan bahwa pilgub langsung mempunyai dampak positif terhadap pemerintah lokal. Mereka yang melihat bahwa salah satu dampak positif pilgub terhadap kepekaan pemerintah lokal akan kebutuhan masyarakat, transparan dan mampu mengelola sumber daya. Mereka yang menyatakan demikian itu mayoritas memiliki budaya mataraman (86,0%), pendalungan (73,0%) dan budaya arek (84,0%). Namun ada sebagian kecil mereka yang tidak sependapat kalau pilgub langsung ini akan menghasilkan gubernur yang peka terhadap kebutuhan masyarakat, apalagi akan semakin transparan dalam mengelola anggaran daerah. Birokrasi selama ini selalu tertutup dalam mengelola anggaran. Mereka yang mempunyai pendapat seperti itu kebanyakan latar belakang profesinya sebagai dosen, guru, PNS, TNI/Polri, pengusaha, wiraswasta, berpendidikan minimal lulus SLTA dan aktifis di organisasi. Pilgub langsung akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan lokal, mereka yang mempunyai keyakinan seperti ini adalah mereka yang mempunyai budaya mataraman (90,0%), pendalungan (76,0%) dan budaya arek (88,0%). Mereka beralasan dengan memilihan langsung oleh rakyat merupakan implementasi demokrasi di daerah. Mereka yang mempunyai pendapat bahwa pilgub langsung dapat menciptakan stabalitas politik kebanyakan berpendidikan lulus SLTA sampai pascasarjana, profesinya sebagai mahasiswa, dosen, pengusaha, karyawan swasta, pegawai BUMN/BUMD. Namun sebagian kecil lainnya mereka menyatakan bahwa pilgub langsung tidak menjamin dapat menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal Aspek Pembelajaran Politik Pilgub langsung mempunyai aspek pembelajaran politik. Mereka sebagian besar berpendapat bahwa pilgub langsung meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal. Hal ini terjadi pada budaya mataraman (92,0%), budaya pendalungan (90,0%) dan budaya arek (98,0%). Mereka beralasan dengan adanya pilgub langsung, rakyatlah yang menentukan pimpinannya dan rakyat akan semakin sadar akan hak-hak politiknya. Namun demikian ada sebagian kecil dari mereka yang tidak sepenuhnya sependapat bahwa pilgub langsung meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal, terutama mereka yang memiliki budaya mataraman (2,0%). Tetapi
58 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

ada pula mereka yang tidak tahu menahu apakah dengan adanya pilgub langsung ini akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal atukah tidak, hal ini terjadi pada budaya mataraman (6,0%), budaya pendalungan (10,0%) maupun budaya arek (2,0%).Mereka yang tidak tahu menahu soal itu kebanyakan latar belakang pendidikan hanya lulus SD, SLTP, profesinya sebagai ibu rumah tangga, petani penggarap dan sebagian karyawan swasta. Demikian juga pilgub langsung akan berdampak terhadap mengorganisir masyarakat ke dalam suatu aktivitas politik yang memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi, mereka yang mempunyai pendapat seperti itu terjadi pada semua budaya. Mereka beralasan dengan adanya pilgub langsung akan tumbuh NGO atau LSM baru yang memberi peluang terhadap aktivitas politk rakyat yang dapat melakukan kontrol terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Disamping itu mereka sebagian besar tidak sependapat kalau dikatakan bahwa pilgub langsung mempunyai aspek pembelajaran politik terutama memperluas akses masyarakat lokal untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat lokal. Hal ini terjadi di ketiga budaya. Mereka berpendapat masyarakat lokal masih akan sulit untuk mengakses kekuasaan di tingkat propinsi, apalagi memengaruhi proses pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat lokal. Sangat ironis masyarakat daerah dalam jangka pendek dapat mengakses kekuasaan. Hal itu masih dipengaruhi oleh masih elitisme kekuasaan dan pengaruh geografis yang jauh untuk dijangkaunya, mana mungkin masyarakat lokal akan dapat mengakses dan memengaruhi proses pengambilan keputusan. Mereka yang mempunyai pendapat seperti itu profesinya sebagai dosen, mahasiswa, guru, PNS, TNI/Polri, karyawan swasta, berpendidikan minimal lulus SLTA serta aktif di organisasi yang kapasitasnya sebagai pengurus maupun sebagai anggota.

KESIMPULAN Preferensi pemilih pada pemilihan gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 lebih banyak dilatar belakangi oleh beberapa hal yaitu kesamaan asal daerah, kesamaan agama, kesamaan jenis kelamin
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 59

terutama pada budaya arek, putra daerah baik itu pada budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek, pengalaman memimpin organisasi, status pendidikan calon gubernur, memiliki status ekonomi tinggi, kalangan professional, kalangan intelektual, isu-isu kampanye menarik, visi dan misi kandidat, kredibilitas calon, dan program kerja yang jelas. Faktor-faktor yang memengaruhi perilku politik pemilih pemilihan gubernur periode 2008-2013 antara lain seagama, teman atau orang lain yang status ekonominya lebih tinggi, Karena iklan politik, orang yang lebih tua usianya terutama bagi mereka yang memiliki budaya pendalungan. Sedangkan sumber informasi tentang pilgub kebanyakan media massa televisi Pendapat publik terhadap nilai-nilai demokrasi pada pilgub, yaitu tentang a. penguatan proses demokratisasi. Tentang penguatan proses demokratisasi mereka berpendapat bahwa dengan pilgub langsung gubernur memosisikan sebagai representasi masyarakat, mengurangi arogansi DPRD, membatasi pengaruh konfigurasi politik DPRD dengan gubernur terpilih, menjamin terciptanya legitimasi pemerintahan daerah, sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif, mengurangi praktek politik uang terutama dalam proses laporan bertanggung jawaban gubernur, keterlibatan rakyat secara langsung akan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal, rakyat akan dapat menentukan pilihan calon pemimpinnya yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan di daerah. b. Keyakinan rakyat terhadap pilgub. Mereka yang memiliki budaya mataraman, pendalungan maupun arek berpendapat bahwa dengan pilgub langsung menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gubernur yang terpilih akan kuat legitimasinya. Salain itu akan muncul gubernur yang lebih berkualitas, mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah daerah akan lebih responsif, peka terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas calon yang terpilih akan lebih tinggi. Merek juga berkeyakinan kontrol menjadi lebih mudah dilakukan oleh publik. Pemerintah lokal lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat dan akan dapat menciptakan stabilitas politik. c. Dari aspek pembelajaran politik. Dengan adanya pilgub langsung akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal. Selain itu memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi. d. Pengaruh pemilihan gubernur terhadap kinerja birokrasi. Dengan adanya pilgub langsung akan meningkatkan kinerja pemerintah, kesejahteraan rakyat akan lebih diperhatikan,
60 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Sedangkan mereka yang memiliki budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek dalam memutuskan untuk menentukan pilihan politik sudah ditentukan beberapa minggu sebelum mencoblosan.

DAFTAR PUSTAKA Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek.. Bandung : Rosdakarya. ...1993. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : Rosdakarya Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung : Citra Aditya Bakti. Surbakti, Ramlan . 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Depari, Eduard dan Mac Colin, Andrews (Ed). 1995. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Franklin, Mark N.. Voting Behavior, dalam Symour Martin Lipset. 1995. The Encyclopedia of Democracy, Volume IV. Washington DC : Congressional Quarterly Inc. Mc. Quali, Denis and Seven Weindahl. 1995. Model-Model Komunikasi, Jakarta, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mubarok, M. Mufti, 2005. Suksesi Pilkada. Surabaya : Java Pustaka. Mc Quail, Dennis. 1996. Teori Komunikasi Massa. Jakarta, Erlangga. Rakhmat, Jalahuddin. 1998. Psikolgi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Gafar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rosadi, Udi. 1999. Teori dan Model Penelitian Efek Agenda Setting Media Masa. Jakarta : makalah Pendidikan dan Latihan Penelitian Deppen RI Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogjakarta : Pustaka Pelajar. Huda, Nimatul. 2004. Pemilihan Kepala daerah Secara Langsung di Era Otonomi Luas, dalam Memperkokoh Otonomi Daerah Kebijakan, Evaluasi dan Saran. Yogyakarta : UII Pres.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 61

Thalhah M. 2004. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Garansi Moral dan Demokrasi?, dalam Memperkokoh Otonomi Daerah Kebijakan, Evaluasi dan Saran. Yogyakarta : UII Pres. Bambang Ilkobar, Saptopo. 2005. Pemilihan Kepala daerah Langsung, Hubungan Kepala daerah dengan DPRD, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, dalam Subhan Afiti (Editor), Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Yogyakarta : FISIP UPUN Veteran. Afiti, Subhan dkk. 2005. Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Yogyakarta : Fisip UPNVeteran. Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa pada masa Transisi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sanit, Arbi. 2005. Sistim Politik Indonesia: Kestabilan, Peta, Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Anwar, M. Khoirul dkk. 2006. Perilaku Partai Politik Studi Perilaku Partai Politik dalam Kampanye dan Kecenderungan Pemilih pada Pemilu 2004. Malang : Universitas Muhammadyah. Firmanzah. 2008. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik di Indonesia : Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. Upe, Ambo. 2008. Sosiologi Politik Kontemporer, Kajian Tentang Rasionalitas Perilaku Politik Pemilih di Era Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta : Prestasi Pustaka. Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filsafat, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tempointeraktif. PNS Kediri Terlibat Pilkada Akan Dipecat.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ nusa/jawamadura/2008/01/25.

Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Perintahan Daerah.

62

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

BALAI INFORMASI MASYARAKAT (BIM) CIHIDEUNG : Memberdayakan Masyarakat Perdesaan Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi Sumarsono* Abstraksi Balai Informasi Masyarakat (BIM) Cihideung adalah lembaga informasi masyarakat yang didirikan atas prakarsa Masyarakat Telekomunikasi (MASTEL) bertujuan untuk memberdayakan masyarakat perdesaan sekitarnya melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi.Penelitian ini dilaksanakan di desa Cihideung, sebuah desa penghasil tanaman hias yang sangat terkenal di Bandung. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan tujuan mendeskripsikan profil BIM berikut berbagai kegiatannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BIM Cihideung dalam upaya memberdayakan masyarakat masih banyak menemui permasalahan yang tidak hanya terkait pada pemanfaatan/penguasaan teknologinya tetapi juga dengan penyerapan dan pengolahan informasi sebagai kontennya Kata kunci : BIM, pemberdayaan masyarakat, teknologi informasi dan komunikasi PENDAHULUAN Latar Belakang Dahulu desa seringkali dianggap sebagai simbol keterbelakangan, tradisional dan nyaris tanpa dinamika. Desa seringkali juga dikonotasikan sebagai serba kekurangan, sanitasi yang buruk, kemiskinan, kesenjangan dan lain-lain. Anggapan yang demikian tidak sepenuhnya benar, kini banyak desa yang mulai menggeliat dan berangsur angsur berubah menjadi lebih maju, terbuka pada berbagai akses informasi dan isolasi, bahkan menuju tingkatan sejahtera.
*

Drs. Sumarsono, M.Si., adalah Peneliti Madya di Pusat Penelitian dan Pengembangan Profesi Balitbang SDM Depkominfo RI.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 63

Namun demikian kita juga tidak menutup mata bahwa masih banyak desa yang tetap menyandang sebutan miskin dan tidak mudah untuk mencari tahu penyebab utamanya, apalagi menemukan jalan keluarnya. Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat kini semakin kompleks, saling terkait dan memengaruhi yang satu dengan yang lainnya. Padahal pemerintah juga sudah banyak campur tangan dalam penanggulangan kemiskinan ini. Banyak program yang telah dicanangkan Pemerintah Pusat dan Daerah. Ada yang konsisten dan berkesinambungan dari tahun ke tahun serta menyeluruh secara nasional namun ada pula yang parsial lokal sifatnya. Sebenarnya program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat ini sudah lama diterapkan, contohnya pada era Orde Baru, tepatnya pada Pelita III tahun 1979/80 s/d 1983/84 kita kenal dua program pokok yang dicanangkan pemerintah waktu itu, yaitu (1) mengurangi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan (2) melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan. Pada masa pemerintahan presiden SBY kita juga kenal program subsidi BBM atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pembagian beras untuk masyarakat miskin, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan lain-lain. Namun pada kenyataannya kemiskinan masih tetap ada hanya saja jumlahnya bergeser maju mundur sesuai dengan cara mengukur atau memaknai konsep kemiskinan itu sendiri. Sebagai contoh Bappenas memaknai kemiskinan dengan konsep absolut yaitu dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkrit (a fixed yardstick) dan berorientasi pada kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat yaitu sandang, pangan dan papan. Selain absolut, kita kenal pula konsep kemiskinan relatif dan konsep kemiskinan subjektif . Konsep kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu (Sunyoto,2004 : 126) yang artinya kemiskinan di suatu daerah tidak sama dengan kemiskinan di daerah lain dan demikian juga pada suatu waktu tertentu tidak sama dengan waktu yang lain. Sedangkan konsep kemiskinan subjektif yaitu ukurannya berdasarkan perasaan diri sendiri. Boleh saja kita mengira
64 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

bahwa seseorang itu berada di bawah garis kemiskinan tetapi menurut perasaan mereka sendiri tidak dan demikian pula sebaliknya seseorang yang kita anggap hidup layak tapi perasaan mereka menganggap dirinya miskin. Masih menurut Sunyoto sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu: perspektif kultural dan perspektif struktural atau perspektif situasional. Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan dan metodologi sendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis : individu, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality seperti : sikap parokial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. (Sunyoto,2004: 128). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa perspektif situasional/struktural masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Jika demikian halnya, bagaimana mencari jalan keluar atau strategi untuk memberdayakan masyarakat atau mengentaskan dari kemiskinan. Jawabnya apabila kita menganggap bahwa akar kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, kita perlu menyusun strategi yang meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi kita supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila kita mengganggap bahwa kemiskinan berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan kita perlu dirumuskan kembali. Strategi pembangunan tidak lagi mementingkan pertumbuhan, tetapi seharusnya lebih mementingkan pemerataan kesempatan (Sunyoto, 2004:130). Kini indikator penentu kemiskinan bertambah lagi dengan kemudahan pada akses informasi. Kesenjangan informasi dapat ditempatkan sebagai salah satu indikator kemiskinan. Kesenjangan info menunjukkan ketidak mampuan mengakses dan menggunakan
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 65

informasi yang akan berdampak pada kesejahteraan seseorang. (Pe-PP Bappenas-UNDP;2007:18) Sekarang ini perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) demikian pesatnya hingga merambah keberbagai kota di berbagai negara belahan dunia ini. Perkembangan ini tidak berhenti di sini akan tetapi ketika diciptakan sistem hubungan antara satu komputer ke komputer yang lain maka lahirlah apa yang disebut internet. Agenda World Summit of the Information Society (WSIS) dimana Indonesia bergabung di dalamnya menegaskan bahwa pada tahun 2015 mendatang separuh penduduk dunia telah memiliki akses ke internet termasuk penduduk perdesaan agar mereka menjadi lebih berdaya. Oleh karena itu diperlukan jalan pintas untuk percepatan penguasaan teknologi informasi tersebut terutama ke perdesaan melalui berbagai cara diantaranya fasilitasi untuk pembangunan Community Acces Point (CAP) atau sejenisnya seperti Telecenter, Balai Informasi Masyarakat (BIM),Warung Informasi Teknologi (Warintek), Warmasif, dan lain-lain baik yang stasioner maupun yang mobile. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan BIM Cihideung beserta seluruh kegiatannya sebagai lembaga informasi masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitarnya melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi Metodologi Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan cara mewawancarai berbagai key person diantaranya Kepala Desa Cihideung, Ayi Sudrajat; Ketua Kelompok Tani Giri Mekar (KTGM), Landjar Nursalim; Bendaharawan KTGM, Ida Hidayat; Humas KTGM, Adil Hendra, dan pengelola BIM antara lain Fitria, Trisna, Ika serta Pengujung BIM dari SMA Cisarua. Wawancara dilakukan secara langsung di lapangan dan bagi yang sulit ditemui, wawancara dilakukan dengan melalui telepon. Materi pertanyaan sekitar keberadaan dan peranan BIM beserta seluruh kegiatannya di lapangan sehingga dengan demikian diharapkan dapat diperoleh gambaran ataupun deskripsi tentang profil BIM secara utuh dan lengkap.
66 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Untuk memperkaya data dan informasi dilakukan pengamatan langsung di lapangan serta studi banding di Telecenter, Muneng, Madiun, Jawa Timur dan Pabelan, Yogyakarta serta studi kepustakaan dari berbagai sumber data. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Cihideung adalah salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Untuk mencapai desa Cihideung tidaklah terlalu sulit, banyak kendaraan umum menuju desa yang terkenal dengan tanaman hiasnya ini. Desa Cihideung bisa dicapai dari terminal Ledeng, yang berada tidak jauh dari Kampus Universitas Pendidikan (UPI) Bandung. Dengan menyusuri jalan Sersan Bajuri menuju desa Cihideung yang memiliki luas wilayah 445,44 ha ini kita dapat menikmati pemandangan hijaunya perbukitan dan tegalan yang penuh dengan tanaman bunga dan strowbery. Diperkirakan lebih dari 80% penduduk desa Cihideung yang berjumlah sekitar 12.900 jiwa ini hidup sebagai petani bunga/tanaman hias yang secara lebih rinci 50% diantaranya sebagai petani bunga hias yaitu jenis tanaman yang berfungsi untuk memperindah taman, sisanya (30%) sebagai petani bunga potong yang umumnya dipergunakan sebagai bahan dekorasi. Sedangkan pusat penjualan tanaman hias yang luasnya sekitar 1.150 meter persegi ini terletak memanjang dipinggir kanan-kiri jalan utama desa Cihideung. Sentra penjualan tanaman hias Cihideung ini diatur sedemikian rupa sehingga menarik minat calon pembeli yang lewat di sekitarnya. Jenis tanaman yang dijualnya antara lain meliputi bunga seperti mawar, krisan, aster, dahlia, lili, melati, kemuning, bougenvile, sedap malam, macammacam anggrek, dan lain-lain. Budidaya tanaman hias ini cukup maju sehingga dapat menopang kehidupan para petaninya secara lebih baik. Budidaya tanaman hias dan bunga potong di desa ini telah berjalan cukup baik dimana telah berperannya beberapa kelompok tani seperti Kelompok Petapa, Giri Mekar, Mekarsari Putra, dan lain-lain, yang selalu berupaya memajukan keterampilan budidaya para petani terutama yang menjadi anggotanya. Disisi lain, agar hasil produksi tanaman hias ini harganya tidak anjlog di pasaran karena dipermainkan oleh tengkulak atau kelompok orang tertentu, maka telah dibentuk Asosiasi Pedagang dan Petani Tanaman Hias Cihideung yang selalu berupaya melancarkan tata niaga sekaligus
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 67

melindungi para petani dan pedagang dari pengaruh sindikat yang mengakibatkan kerugian . Sebagai sentra penjualan tanaman hias dan bunga, Cihideung memiliki potensi wisata yang prospektif. Banyak pengunjung dari berbagai daerah baik sekitar Bandung atau kota lain seperti Jakarta terutama dihari libur. Sebagai daerah wisata selain ditunjang keindahan alam dan tanaman hiasnya, Cihideung juga memiliki potensi wisata kuliner dimana sekitar desa ini banyak terdapat cafcaf yang sudah cukup populer di seantero Bandung. Balai Informasi Masyarakat (BIM) Cihideung Berdirinya BIM Cihideung diprakarsai oleh Masyarakat Telekomunikasi (MASTEL) dengan tujuan memberikan pengenalan kepada masyarakat terhadap teknologi informasi (internet) yang sekaligus pada gilirannya diharapkan dapat memetik manfaatnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. BIM yang ada sekarang ini merupakan BIM generasi ketiga di desa Cihideung yang didirikan kembali pada tanggal 10 November 2006. Sebagai lembaga informasi masyarakat yang berada di perdesaan BIM dilengkapi dengan berbagai infrastruktur pokok dan pendukung yang diharapkan akan melegitimasi eksistensi dan memperlancar operasionalnya di lapangan. Berbeda dengan BIM sebelumnya kepengurusan BIM kali ini sepenuhnya dipegang oleh anak-anak muda. Pusat kegiatan atau yang disebut sekretariat BIM berada di gedung seluas 28 meter persegi yang lokasinya berada di RT 03/RW 10 Kampung Penyairan Desa Cihideung, Bandung Barat. Pelatihan komputer yang pernah diselenggarakan diikuti oleh 52 orang yang umumnya terdiri dari pelajar SD dan SLTP dengan membayar masing masing Rp 20.000,Adapun materi pelatihan meliputi : pengenalan komputer, Word Processor, Spread Sheet. Sedangkan pelatihnya adalah para sukarelawan setempat yang dianggap sudah melek komputer yang tentu saja sebelumnya mendapatkan pengarahan dari Staf IT Specialist MASTEL yaitu Rochman Fathoni. Dari kegiatan-kegiatan pelayanan tersebut di atas, BIM mendapatkan pemasukan sebesar Rp 875.800,yang sebagian besar diperoleh dari biaya pelatihan komputer. Dalam operasionalnya sehari-hari BIM yang dibuka mulai jam 8 pagi sampai jam 20 malam hari rata-rata dikunjungi oleh 8
68 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

orang yang pada umumnya pelajar untuk berbagai keperluan seperti mengerjakan tugas sekolah, dan lain-lain. Masyarakat sekitarnya khususnya yang berprofesi sebagai dekorator ada pula yang sering mengunjungi BIM untuk mencari inspirasi dari model- model dekorasi bunga dari berbagai situs. Permasalahan yang sering ditemui di lapangan adalah apabila komputer tersebut rusak maka harus tunggu ahlinya yang tinggal di Jakarta. Oleh karena itu mereka berharap punya teknisi sendiri yang selalu stand by kapanpun kalau ada kerusakan. Kelembagaan Di perdesaan masih berlaku sistem sosial tertentu yaitu suatu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Anggota atau unit-unit sistem sosial itu bisa berupa perorangan (individu), kelompok informal, organisasi modern atau sub sistem. (Rogers, 1991: 31). Anggota sistem sosial yang berbeda tersebut menciptakan struktur di dalamnya dimana ada heararki sosial yang harus diperhatikan. Di perdesaan kita kenal tokoh-tokoh agama, adat dan tokoh formal yang masing masing diakui peranannya bagi masyarakat.Tokoh-tokoh tersebut dihormati dan disegani oleh masyarakat perdesaan karena peranannya sebagai orang yang dianggap lebih tahu dibidangnya.Oleh karena itu tidak jarang mereka dijadikan panutan dan teladan bagi masyarakat sekitarnya. Sikap dan pendapat mereka selalu diperhitungkan dan dipedomani. Mereka juga mendominasi forum-forum yang ada di perdesaan seperti rembug desa atau musyawarah desa, keputusan keputusan komunal dan lain-lain. Singkat kata mereka memiliki tempat tersendiri yang lebih tinggi dan terhormat di masyarakat. Oleh karena itu setiap kali ada pengenalan ide-ide baru atau inovasi dipedesaan akan selalu melibatkan para tokoh tersebut untuk mendukungnya.Tanpa restu mereka jangan harap ide-ide baru akan bisa masuk dan diterima masyarakat. Oleh karena itu pendirian BIM juga memperhitungkan peran para tokoh masyarakat Desa Cihideung . BIM didirikan dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang disebut Dewan Pembina BIM yang terdiri dari Kepala Desa Cihideung (Ayi Sudrajat), Ketua Kelompok Tani Giri Mekar (KTGM) Landjar Nursalim, Tokoh Masyarakat

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

69

(H.Tayub), Perwakilan Pemuda (Deden Kosasih), perwakilan ibu-ibu PKK (Ny.Ayi Sudrajat). Pengelola BIM BIM Cihideung dikelola oleh staf pengelola yang terdiri dari pengelola definitif dan pengelola sukarelawan. Staf Pengelola definitif terdiri dari Project Manager : Taru J Wisnu dari Mastel; Site Manager: Ida Elvira; Koordinator Kegiatan : Deden Kosasih; Humas : Rusli; Sekretaris : Mega; Bendahara : Fitri; Koordinator Sukarelawan: Dani. Sukarelawan umumnya terdiri dari para pemuda/pemudi setempat yang bertugas menjaga sekretariat BIM sehari-harinya. Mereka melayani pengunjung yang datang dengan berbagai keperluan seperti mengetik, mencari data yang terkait penugasan guru di sekolah atau sekedar chatting atau main game. Struktur kepengurusan BIM yang demikian tidaklah terlalu muluk karena memang BIM diharapkan menjadi lembaga milik masyarakat, yang berbasis masyarakat oleh karena itu sudah seharusnya sederhana dan tidak elitis untuk ukuran perdesaan. Tidak semua staf pengelola BIM seperti tersebut di atas aktif melaksanakan tugasnya karena berbagai alasan. Hanya beberapa orang sukarelawan yang biasa menunggu pelanggan di sekretariat BIM diantaranya ialah Fitria yang menyebut dirinya sebagai Ketua, sedangkan kedua orang tadi yaitu Trisna dan Ika sebagai pengurus harian. Sebagai reward yang sekaligus upaya meningkatkan wawasannya para pengurus BIM ini pernah diajak ke Seminar di Yogyakarta, Pelatihan komputer di Politeknik Telkom di Gegerkalong, Bandung dan mengunjungi pameran ICT Expo di Jakarta yang diselenggarakan tanggal 20-24 Mei 2008. Menurut buku panduan untuk Fasilitator Infomobilisasi, pengelola Telecenter atau sejenisnya yang ideal terdiri dari tiga orang yang disebut tim-3 (The Three Musketeer) yaitu manager telecenter, staf pengembangan media/IT admin dan staf pengembangan komunitas/Fasilitator Infomobilisasi (FI) yang bertugas mengelola kegiatan Infomobilisasi melalui kegiatan pendampingan kelompok. Mereka bertiga inilah yang disebut Badan Pengelola Harian (BPH) telcenter. (Pe-PP, Bappenas UNDP; 2007:39). BPH ini merupakan tim inti yang berfungsi sebagai motor penggerak lembaga, oleh karena itu seharusnya bekerja secara penuh dan mendapatkan imbalan/gaji.
70 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Sebagai tanggung jawabnya BPH, khususnya manager harus dapat mencari dana untuk membiayai sendiri operasionalnya dari penjualan jasa dan layanan lembaga. Seperti diketahui bahwa kegiatan BIM ada yang bersifat layanan komersial dan ada pula yang bersifat sosial dimana keduanya mempunyai bobot yang sama. Kegiatan BIM Sebagaimana diuraikan terdahulu kegiatan BIM selain melaksanakan layanan rutin sekretariat juga kegiatan terjadwal yang telah tersusun dalam program kerja ataupun Rencana Aksi BIM. Rencana Aksi ini disusun cukup bagus dan rinci yang dimulai pada 3 Januari 2007. Kegiatan-kegiatan dimaksud sangat beragam yang antara lain mulai dari persiapan pendirian BIM, peresmian BIM, penyelenggaraan berbagai pelatihan dan praktek, kegiatan publikasi, kompetisi, festival, studi banding dan perpustakaan. Macam-macam pelatihan yang telah dan akan dilaksanakan meliputi antara lain: pelatihan partisipasi masyarakat, pelatihan komputer, bahasa Inggris, membuat coklat candy, dekorasi tanaman hias, pembuatan data basis tanaman hias, manajemen, usaha sampingan, fund raising, dan lainlain. Untuk kegiatan publikasi meliputi : pembuatan buletin BIM, majalah dinding, website, pemetaan daerah, dan lain-lain. Sebagai lembaga yang bergerak dibidang informasi, kegiatan BIM akan lebih lengkap apabila ditambahkan dengan kegiatan Infomobilisasi atau pendampingan masyarakat/kelompok dalam hal pencarian, pengolahan dan penerapan informasi di lapangan. Kegiatan pencarian informasi dapat berupa menyediakan informasi dari berbagai sumber apakah media massa, website atau nara sumber yang kompeten. Untuk pengolahannya dapat dilakukan melalui saling belajar, seleksi, evaluasi, diskusi dan pemecahan masalah, sedangkan penerapan di lapangan berupa aplikasi atau praktek di lapangan yang biasanya didampingi oleh tenaga ahli/pengalaman dibidangnya. Pendampingan kelompok dapat dilakukan secara berkala atau insidental atas insiatif sendiri ataupun permintaan dari kelompok. Partisipasi Masyarakat Sebagai lembaga informasi perdesaan BIM telah dirancang sedemikian rupa agar mampu berperan sebagai agen pembaharuan di perdesaan. Sebagaimana diuraikan terdahulu BIM telah dibentuk
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 71

dengan berbagai infrastruktur dan sarana penunjangnya agar mudah memainkan peranannya di perdesaan secara maksimal. BIM telah dilengkapi dengan struktur organisasi beserta personil pengurusnya, dewan pembina, sekretariat tetap, program kerja dan peralatan yang berupa komputer, printer, kamera, scanner, perangkat pendukung jaringan, dan lain-lain. Secara teoritis, bagi sebuah lembaga di perdesaan, dengan infrastruktur dan sarana perlengkapan yang boleh dibilang telah memadai tentunya lembaga tersebut telah dapat melaksanakan programnya dan berperan banyak bagi masyarakat sekelilingnya. Memang biaya operasional BIM sehari-harinya tidak disediakan namun partisipasi dan swadaya masyarakatlah yang diharapkan untuk dapat mengisi kegiatan lembaga tersebut. Pada kenyataannya menggalang partisipasi dan swadaya masyarakat ini tidaklah mudah ini terbukti bahwa kegiatan BIM pernah vakum atau terhenti selama beberapa tahun karena berbagai alasan. Padahal sebagaimana diketahui bahwa keberadaan BIM ini didesain untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri. Tentu ada permasalahan diantara keduanya yang mengakibatkan terciptanya jarak atau hambatan itu. Kekosongan kegiatan memang terjadi di BIM periode yang lalu dan mudah-mudahan permasalahan tersebut tidaklah terulang kembali atau setidaknya masih menjadi ganjalan. Bila kita lihat BIM periode sekarang dimana hubungannya dengan para tokoh masyarakat setempat yang cukup baik maka boleh jadi permasalahan yang timbul tidaklah terlalu banyak dan substansial. Menurut penelitian permasalahan yang timbul hanyalah bagaimana menarik partisipasi dan swadaya masyarakat secara lebih baik. Keberadaan BIM sudah pasti dikenal oleh masyarakat luas, malahan masyarakat desa-desa sekitar Cihideung pun banyak yang mengenalnya, hal ini terbukti bila kita mau berkunjung ke sana tidak akan mengalami kesulitan ketika menanyakan arah menuju ke lokasi BIM kepada penduduk. Sedangkan bila dilihat pada pengunjung yang datang, seringkali juga ditemui para pelajar yang berasal dari desa tetangga. Popularitas BIM ini didapat dari upaya berbagai publikasi yang dilakukan pengelola melalui berbagai cara. Popularitas BIM yang tinggi identik dengan tingginya pengenalan masyarakat terhadap BIM. Ibarat kata pepatah: tak kenal maka tak sayang sehingga tingginya pengenalan dapat diartikan tinggi pula pemanfaatan BIM oleh masyarakat. Kenyataan yang menunjukkan kurang maksimalnya
72 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

pemanfaatan BIM bukan karena pengenalan masyarakat yang rendah akan tetapi bisa jadi karena kondisi masyarakat desa itu sendiri yang masih belum melek komputer. Selain itu bidang usaha BIM seperti foto copy, pembuatan pas foto, jasa komputer, dan lain-lain yang masih kurang diperlukan masyarakat desa yang pada umumnya merupakan petani tanaman hias. Mereka hanya sesekali saja memakai jasa-jasa tersebut. Oleh karena itu para pengelola BIM harus lebih proaktif memecahkan permasalahan tersebut dengan membuka sumber pendapatan yang lebih beragam dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Selain aktifitas ke dalam untuk menggali dana operasionalnya sendiri, pengelola BIM khususnya Fasilitator Infomobilisasi (FI) juga dituntut proaktif untuk mengadakan pendekatan dan pendampingan pada kelompok-kelompok yang ada maupun masyarakat yang memerlukan. Tujuannya adalah agar kelompok dan masyarakat merasa lebih dekat dengan BIM, merasa ikut memiliki dan memanfaatkannya sehingga dengan demikian kapasitas masyarakat dalam penggunaan TIK meningkat. Selain itu mereka juga termotivasi untuk saling belajar/bertukar pengetahuan,tersambungkan dengan sumber informasi, saluran dan simpul komunikasi-informasi terpercaya. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut bisa dimulai dari hal hal yang kecil dan dimulai sejak dini. Partisipasi umumnya tidak tumbuh secara spontan. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk menumbuhkan partisipasi diantaranya : pertama, menumbuhkan pemahaman awal yang benar atas fungsi CAP/BIM serta manfaat yang dapat diambil dari keberadaannya; kedua, meningkatkan kesadaran masyarakat desa atas manfaat teknologi informasi dan komunikasi dan kegunaannya untuk kemudahan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; ketiga, memperoleh persetujuan dan dukungan masyarakat desa atas pendirian BIM untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap BIM sejak awal (Djuzan, 2006: 13). Agar partisipasi masyarakat lebih mantap lagi para pengelola BIM harus dapat membuktikan bahwa kegiatan BIM memang bermanfaat bagi masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk membuktikannya harus dicoba menerobos keberbagai lembaga perdesaan yang berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat seperti kelompok-kelompok tani, asosiasi petani dan pedagang bunga,
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 73

asosisi pembibitan, produsen pupuk dan asosiasi lain yang ada serta penguasa setempat. Terobosan disini dapat diartikan kerjasama ataupun kemitraan yang saling memerlukan dan menguntungkan bagi anggota khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya.Kemitraan sudah seharusnya dijaga agar tetap berkelanjutan dan selalu bersifat terbuka untuk melakukan hal-hal yang inovatif. Peran Dewan Pembina Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa BIM telah memiliki Dewan Pembina yang terdiri dari para tokoh masyarakat setempat baik formal maupun informal. Apakah upaya menempatkan para tokoh masyarakat tersebut sebagai Dewan Pembina BIM akan berhasil memperlancar operasionalnya ? Ini sangat tergantung pada kemampuan dan aktifitas para tokoh masyarakat tersebut. Dari beberapa tokoh masyarakat yang terpilih sebagai Dewan Pembina, tidak semuanya aktif melaksanakan pembinaan.Hal yang demikian dapat dimaklumi karena para tokoh tersebut kesehariannya memiliki kesibukannya sendiri sesuai bidangnya. Boleh jadi mereka juga menganggap kedudukannya sebagai Dewan Pembina adalah sebagai kehormatan sehingga mereka tidak perlu repot-repot ikut turun tangan. Oleh karena itu ada baiknya jika dipilih pembina yang fungsional yaitu pembina yang betul betul bisa aktif dan mempunyai tugas yang ada relevansinya dibidang itu. Sebagai contoh wakil dari Depatemen Pertanian, Depkominfo dan Instansi lain yang terkait. Keberadaan Dewan pembina yang aktif dapat mendinamisir kegiatan BIM. Mereka dapat memberi arahan operasional dengan membuat program kerja yang baik dan sekaligus memotivasinya, membuat pola pembinaan, monitoring dan evaluasi serta kegiatan lainnya seperti kompetisi antar lembaga sejenis, festival,pemberian reward, dan lain-lain. Satu hal lain yang juga sangat penting untuk dilakukan oleh Dewan Pembina ialah memfasilitasi lembaga untuk menjalin kemitraan dengan berbagai fihak baik instansi pemerintah maupun swasta. Kemitraan ini sangat penting dalam upaya aktualisasi informasi,produksi konten, antisipasi permasalahan sekaligus koordinasi untuk solusinya.

74

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

PEMBAHASAN BIM Yang Ideal Sebelum BIM dapat memberdayakan masyarakat sekitarnya, sudah seharusnya BIM terlebih dahulu berdaya. Artinya BIM dapat melaksanakan atau mengontrol seluruh kegiatan operasionalnya secara baik dan dapat mengatasi semua hambatan yang ditemuinya. Menurut Andrew Sargent: all organizations are driven by a series of core values. Generically expressed, these values are about: quality, output,time, cost,customers/consumers, safety. Most smart companies or organizations quickly realize that succes depends on your ability to control not just a couple of these core value-but all of them at the same time . (Sargent, 2001 :27) Secara umum pembangunan BIM bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat disekitarnya melalui penyediaan akses informasi dari berbagai sumber dan media terutama internet. BIM sengaja dibangun di daerah perdesaan karena masyarakat perdesaan dianggap masih perlu lebih diberdayakan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraannya yang lebih baik. Konsep BIM dapat disamakan dengan Telecenter dan sejenisnya yang berperan sebagai fasilitator program komunikasiinformasi (Infomobilisasi), yaitu : mendampingi kelompok, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penggunaan TIK, memfasilitasi proses saling belajar/bertukar pengetahuan, dan sebagainya. Selain itu juga dapat berperan sebagai pelaku komunikasi di desanya, yaitu menjadi sumber informasi, menjadi saluran/media komunikasi-informasi,menjadi simpul komunikasi-informasi dan sebagainya. (Tim Pe-PP Bappenas-UNDP,2007:39) Lebih jauh BIM sebagai sumber informasi, dapat mengembangkan diri menjadi Pusat Informasi Pembangunan Desa, Kantor Berita Komunitas, Pusat Informasi Desa, Bank Data Desa,Sentra Pembelajaran Masyarakat, dan lain-lain Pemberdayaan Masyarakat melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi Istilah pemberdayaan masyarakat telah secara luas dipergunakan di negara kita paska krisis ekonomi 1997. Istilah ini
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 75

diterjemahkan dari kata empowerment yang memiliki arti lebih komprehensif. Simon dalam bukunya Rethinking Empowerment (1990) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah aktifitas reflektif, atau proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek tertentu yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sementara itu, proses lainnya hanya memberikan iklim, menciptakan hubungan, sumber-sumber dan alatalat prosedural yang dengan perantaranya masyarakat dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dan berkolaborasi dengan lingkungan sosial dan fisik (Harry Hikmat, 2006 : 134). Selanjutnya pengertian tersebut diperjelas sebagai berikut : pemberdayaan bukanlah merupakan upaya pemaksaan kehendak, atau proses yang dipaksakan, atau kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, atau keterlibatan dalam kegiatan tetentu saja, dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. (Harry Hikmat, 2006 : 135). Sementara itu pemberdayaan masyarakat melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukanlah suatu hal yang mudah. Pada dasarnya pemberdayaan melalui TIK tidak hanya mengenalkan masyarakat pada komputer saja tetapi lebih kearah bagaimana mengambil manfaat dari informasi yang didapat dari Internet. Yang jadi nilai ekonomis (economic value) dari teknologi ini bukanlah komputer dan komponen-komponennya secara fisik, melainkan penekanan pada informasi yang dibawa dan diolahnya. (Indrajit, 2000:208) Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kesadaran dan kebutuhan terhadap informasi sebagai sumber kekuatan (power). Masyarakat yang dapat menggunakan informasi untuk mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri, bertindak secara kritis dalam upaya memperbaiki keadaan dan mengatasi masalahnya sendiri, mampu terlibat dalam proses-proses sosial dan politik termasuk dalam proses pengambilan keputusan publik yang dilakukan komunitasnya (Tim Pe-PP Bappenas-UNDP,2007:5) Memberdayakan masyarakat dengan informasi tidaklah mudah apalagi menyejahterakannya sebab informasi memiliki dimensi yang sangat luas dan beragam serta taksonomikal oleh karena itu tidak secara langsung merubah keadaan dari kurang sejahtera menjadi lebih sejahtera. Kita boleh berharap banyak bahwa masyarakat Cihideung
76 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

menjadi semakin sejahtera ketika BIM didirikan di desa tersebut. Karena masyarakat dapat informasi tentang berbagai jenis tanaman hias yang berprospek ekonomi lebih baik, juga mendapat informasi berkaitan dengan dimana bibit-bibit tananam hias yang berkualitas itu didapatkan. Selanjutnya juga bagaimana menyemai bibit bibit unggul tersebut hingga besar dan laku dijual. Tidak berhenti disitu , informasi tentang pasar yang baik dan bagaimana mengirimkannya juga sangat diperlukan, karena tidak jarang produsen tanaman hias diperdaya oleh tengkulak karena kurangnya informasi ini. Diharapkan dengan informasi-informasi yang berharga tersebut masyarakat mendapatkan kemudahan dalam membudidayakan tanaman hias sekaligus dapat menjualnya dengan harga yang baik. Pada kenyataannya di lapangan tidak semua informasi seperti tersebut di atas tersedia, bilamana tersedia itupun baru informasi mentah yang masih perlu diolah, diterjemahkan, dipilah dan disaring agar dapat diambil manfaatnya. Dari kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa informasi dari internet belum dapat di akses dan dimanfaatkan oleh semua orang karena adanya hambatan teknis atau hambatan digital. Banyak orang yang belum faham dengan teknologi internet ini sedangkan bagi yang sudah memanfaatkan informasi umumnya masih mempergunakannya untuk keperluan mereka sendiri. Selain hambatan digital, hambatan budaya juga sangat berperan dalam pemanfaatan internet sebagai sumber informasi. Selain internet merupakan barang baru yang dianggap canggih di perdesaan, umumnya masyarakat juga masih terbiasa dengan komunikasi lisan. Mereka mencari informasi dari kawan, tetangga, atau opinion leader setempat melalui forum dan arena sosial yang ada. Sedangkan mereka menyebarkannya melalui getok-tular atau dari mulut kemulut diberbagai kesempatan. Mereka masih terbiasa ngobrol di warung kopi daripada nongkrong di depan komputer layaknya orang kantoran. Salah satu cara sederhana yang mungkin dapat membantu mengenalkan masyarakat terhadap komputer sekaligus memperlancar pencarian situs penting ialah disediakannya para pendamping yang memahami internet dan mampu berbahasa Inggris. Karena bahasa yang dipergunakan di internet tidak hanya bahasa Indonesia tetapi banyak yang mempergunakan bahasa Inggris. Dari uraian di atas terlihat bahwa untuk memberdayakan masyarakat melalui BIM memang masih diperlukan kerja keras dan perlu dicari terobosan agar terhindar dari berbagai hambatan.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 77

Peranan Kelompok Di perdesaan dengan mudah dapat kita jumpai berbagai kelompok masyarakat. Selain kelompok formal yang dibentuk pemerintah ada juga kelompok yang terbentuk karena interest, primordialisme dan tatanan sosial tradisional. Kelompok-kelompok ini biasanya berperan penting dalam memecahkan berbagai permasalahan desa termasuk permasalahan yang ada di BIM. Kelompok masyarakat yang ada di desa Cihideung diantaranya kelompok tani, kelompok tani nelayan andalan, kelompok arisan. Masing masing kelompok punya kegiatan yang berbeda tetapi tujuannya sama yaitu berkeinginan memberdayakan dan menyejahterakan anggotanya. Oleh karena itu tidaklah salah bila ada upaya memfasilitasi kelompok-kelompok yang ada untuk memberdayakan masyarakat sekitarnya. Karena kelompok diyakini memiliki potensi dan ciri-ciri yang menunjang upaya pemberdayaan yang diantaranya : (1) orang-orang dalam kelompok cenderung untuk berlomba (2), mereka membentuk identitas mereka sendiri yang menjadikan personaliti kelompok. (3), kekompakan yaitu daya tarikan anggota kelompok satu sama lain dan keinginan mereka untuk bersatu; (4), ada komitmen terhadap tugas. (Arni Muhammad,2000 ;186). Namun ketika kelompok-kelompok telah terbentuk dan memiliki potensi, upaya untuk menarik partisipasi mereka pada kegiatan BIM tidaklah berjalan linier. Sebab kegiatan BIM yang berbasis internet merupakan hal yang baru dan sama halnya dengan memperkenalkan inovasi atau ide-ide baru pada masyarakat. Sebuah inovasi biasanya penuh liku sehingga memperkenalkannya ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara pelan-pelan, berkesinambungan dan hati-hati dengan melalui berbagai cara seperti penyuluhan, komunikasi kelompok dan diskusi pemecahan masalah, demonstrasi atau percontohan, dan lain-lain. Fisher telah mengidentifikasikan empat fase yang dilalui pemecahan masalah yaitu :orientasi, konflik, pemunculan ide, dan dukungan terhadap ide-ide baru. (Goldberg & Larson, 1985 :45). Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa peran kelompok dalam sebuah inovasi sangatlah diharapkan oleh karena itu Fasilitator Infomobilisasi haruslah dapat mendekati kelompok-kelompok yang ada di desa ini .Kelompok-kelompok yang ada di desa ini memiliki potensi dan dapat berperan banyak untuk menarik partisipasi
78 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

masyarakat dalam memanfaatkan BIM sekaligus memberdayakan masyarakat desa pada umumnya dan anggota kelompok pada khususnya. KESIMPULAN Mengaktifkan dan membesarkan lembaga informasi masyarakat di perdesaan seperti halnya BIM ini memang tidak mudah, banyak kendala teknis dan non teknis yang selalu menghadang.Kendala yang paling dominan ialah upaya memperkenalkan masyarakat perdesaan yang masih memiliki banyak keterbatasan dan masih cenderung menyukai komunikasi lisan, untuk memanfaatkan komputer/ internet sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi pengembangan dirinya. Untuk mendorong masyarakat agar melek komputer saja sudah sulit karena komputer/internet merupakan teknologi baru yang tergolong canggih.Apalagi mengambil manfaat dari informasi yang terdapat di internet untuk memberdayakan diri mereka sendiri dimana diperlukan upaya pencarian, pemilahan dan pengolahan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Bantuan dan bimbingan orang lain dalam hal ini sangat diperlukan karena selain materi yang ada di internet begitu luas dan beragam juga seringkali disajikan dalam bahasa asing. Oleh karena itu peran para pengelola BIM khususnya Fasilitator Infomobilisasi (FI) sangat diharapkan. Tanpa peran FI yang lebih aktif tidak akan terjadi pembelajaran-pembelajaran serta jalinan hubungan ataupun interaksi positif dengan masyarakat sekelilingnya yang pada dasarnya telah memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Peran kelompok yang ada di masyarakat juga sangat penting sebab melalui kelompok ini FI akan terbantu dalam hal deseminasi, pemahaman dan pemecahan masalah yang ada di masyarakat melalui diskusi dan kegiatan lainnya.Oleh karena itu kerjasama hendaknya diperluas dengan kelompok lain yang ada di masyarakat dengan tanpa mengabaikan peran Kelompok Tani Giri Mekar (KTGM) yang telah terjalin dengan baik. Keberadaan BIM yang sudah populer itu telah menjadi modal untuk menarik minat masyarakat dalam memanfaatkan BIM secara lebih aktif apalagi bila dibarengi program program yang menarik dan dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.Oleh karena itu peran manajer sebagai pencari dana untuk membiayai operasionalnya sendiri
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 79

juga tidak kalah pentingnya agar program yang telah tersusun secara baik tersebut dapat terealisir. Lebih lengkap lagi bila peran Dewan Pembina lebih diaktifkan untuk memfasilitasi dan mengarahkan setiap program dan kegiatan BIM agar lebih menyentuh kepentingan masyarakat sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Alvin A. Goldberg & Carl E Larson. 1985. Komunikasi Kelompok, Proses-Proses Diskusi Dan Penerapannya. Jakarta : UI-Press. Sosrodihardjo, Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Perdesaan. Yogyakarta : Tiara Wacana. Indrajit, Richardus Eko. 2000. Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Jakarta : Elex Media Komputindo. Muhammad, Arni. 2000. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara. Sargent, Andrew. 2001. How to Motivate People. Mumbai : Jaico Publishing House. Usman, Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Djusan, Aizirman. Bisnis Model Community Acces Point (CAP) Yang Ideal Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat, kuliah umum mahasiswa jurusan teknik informatika, Politeknik Pos Indonesia, Bandung 24 November 2006. Hikmat, Harry. 2006. Strategi Memberdayakan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Press. Tim Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP). 2007. Memberdayakan Masyarakat dengan Mendayagunakan Telecenter. Jakarta : Bappenas- UNDP. Rogers, Everett M & F. Floyd Shoemaker. Communication of Innovations, diterjemahkan Abdillah Hanafi dengan judul Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya : Usaha Nasional. Sumber lain : Kompas, Sabtu 25 Oktober 2008 http://www.cihideung.blogspot.com http://www.mastel.or.id http://www.ruangkeluarga.com

80

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Social Software Sebagai Media Komunikasi Dalam Proses Pengajaran Di Perguruan Tinggi Negeri Akhmad Riza Faizal* Wulan Suciska* Abstraksi Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi seiring kemajuan teknologi Web menjadikan fenomena ini sangat menarik untuk dikaji dalam kacamata ilmu komunikasi. Studi ini bertujuan untuk memberikan bukti empirik secara kualitatif dan mendukung contohcontoh penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran pada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia. Social software dapat diartikan sebagai perangkat lunak yang dapat mendukung interaksi kelompok. Penggunaannya semakin terkenal bersamaan dengan munculnya teknologi Web 2.0. Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada situs-situs PTN di Indonesia didapati bahwa penggunaan social software masih rendah. Pendalaman data ditelusuri melalui metode wawancara dengan beberapa dosen PTN. Hasilnya, terungkap beberapa praktek penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran antara lain; (1) mendorong kemampuan menulis siswa dengan menggunakan blog, (2) menggunakan contoh-contoh dari media-sharing website untuk menjelaskan materi kelas, (3) menerbitkan hasil ujian semester pada blog sang dosen, (4) menyebarluaskan materi perkuliahan dengan menggunakan file-sharing websites, menunjukkan empati sang pengajar melalui situs jejaring sosial. Kata kunci : social software, teknologi komunikasi, teknologi pendidikan PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan social software sebagai bagian dari komunikasi dalam proses belajar-mengajar telah diteliti dan dilaporkan oleh
*

Akhmad Riza Faizal, S.Sos., dan Wulan Suciska, S.I.Kom., Pengajar Jurusan Komunikasi, FISIP Universitas Negeri Lampung.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 81

banyak ahli di negara-negara maju (Alexander, 2006; Anderson, 2007; Bryant, 2007; Franklin, G., 2007; Franklin, T., 2007; Kirriemuir , 2007; Maxymuk, 2007; Miners & Pascopella, 2007; Shim dkk., 2007; Topper, 2007; Eijkman, 2008; Virkus, 2008). Namun, informasi atau penelitian yang menulis tentang implementasi software ini di negaranegara berkembang masih tetap rendah bahkan tidak terlalu signifikan. Kondisi ini cukup ironis, karena munculnya berbagai teknologi web ini telah berdampak secara global dan penggunaan perangkat lunak ini pun sebenarnya cukup besar di Indonesia. Penggunan internet di Indonesia telah mencapai 20 juta orang atau masuk kelompok pengguna besar di Asia setelah Cina (210 juta), diikuti Jepang, India, dan Korea kemudian Indonesia (APJII, 2008). Namun, kondisi penggunaan perangkat lunak ini terutama dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar di Indonesia masih belum jelas sehingga perlu untuk ditelaah dan diteliti. Argumentasi tersebut didasarkan pada dua hal : 1. Munculnya fenomena teknologi Web 2.0 telah dirasakan beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Namun, penelitian spesifik yang bisa menyajikan dasar terutama dalam kacamata ilmu komunikasi masih kurang. Terutama mengenai pemanfaatan teknologi ini pada berbagai bidang, salah satunya sebagai media komunikasi pada bidang pendidikan. 2. Jika topik ini dapat ditelaah lebih lanjut, maka akan dapat diteliti pula bagaimana memanfaatkan teknologi ini sesuai dengan perkondisian Indonesia. Sehingga diharapkan dapat dihasilkan teknologi lanjutan karya anak bangsa yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Setidaknya sesuai dengan karakter pendidikan di Indonesia. Peneliti mengkhususkan objek penelitian pada proses pengajaran di perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia dikarenakan; pertama, PTN di Indonesia adalah gerbang terdepan (center of exellence) dalam hal pemanfaatan teknologi komunikasi dibandingkan pada beberapa institusi-institusi pendidikan lainnya seperti sekolah dasar atau sekolah kejuruan. Kedua, belum adanya data kuat tentang pemanfaatan social software sebagai media komunikasi pada pendidikan di Indonesia itu sendiri menjadikan dasar bahwa penelitian ini bisa dianggap sebagai studi perintis (pilot study). Untuk itu pembatasan lingkup penelitian dapat dianggap sebagai

82

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

generator bagi peneliti lain untuk meneliti pada bidang-bidang pendidikan yang searah (linear). Artikel ini adalah bertujuan untuk menyajikan informasi mengenai praktek-praktek penerapan social software sebagai suatu media komunikasi dalam proses belajar-mengajar di Indonesia. Khususnya, pada penerapannya sebagai bagian dari sistem pendidikan yang digunakan oleh universitas-universitas negeri di tanah air. Dengan menemukan beberapa contoh penggunaan dan menggunakan perangkat lunak ini pada sistem pendidikan di Indonesia, hal ini bisa menjadi acuan untuk penelitian berikutnya. Baik menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif untuk mencari dan mendesain penggunaan yang sesuai dengan pola pendidikan yang sudah diterapkan di Indonesia. Signifikansi dari artikel ini terutama ditujukan untuk pendidik dan peneliti yang memiliki minat untuk menyelidiki lebih lanjut dan menerapkan teknologi web pada berbagai bidang. Mudah-mudahan, dengan minat yang sama kita dapat membangun jaringan pada topik ini. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran pada perguruan tinggi di Indonesia? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan 1. Menyajikan informasi mengenai praktek-praktek penerapan social software sebagai suatu media komunikasi dalam proses belajarmengajar di Indonesia. Khususnya, pada penerapannya sebagai bagian dari sistem pendidikan yang digunakan oleh universitasuniversitas negeri di tanah air. Dengan menemukan beberapa contoh penggunaan dan menggunakan perangkat lunak ini pada sistem pendidikan di Indonesia, hal ini bisa menjadi acuan untuk penelitian berikutnya. Baik menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif untuk mencari dan mendesain penggunaan yang sesuai dengan pola pendidikan yang sudah diterapkan di Indonesia.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

83

2. Memperkaya kajian ilmu komunikasi di Indonesia terutama mengenai penelitian pemanfaatan teknologi komunikasi, dan social software pada khususnya, dalam bidang pendidikan. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini terutama ditujukan untuk pendidik dan peneliti yang memiliki minat untuk menyelidiki lebih lanjut dan menerapkan teknologi web pada berbagai bidang. Mudah-mudahan, dengan minat yang sama kita dapat membangun jaringan pada topik ini.

METODE PENELITIAN Fokus dari penelitian adalah memberikan penjelasan mengenai praktik-praktik penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran pada perguruan tinggi di Indonesia, sebagaimana terefleksi dalam pertanyaan penelitian. Metode yang digunakan dalam memperoleh data kualitatif adalah studi kasus (case study). Robson, dengan mengutip pendapat Robert Yin, (1994, dalam Robson, 2002:178-179) menjelaskan bahwa metode studi kasus dalam penelitian kualitatif mengikutsertakan strategi investigasi secara empirik terhadap fenomena tertentu pada konteks kehidupan nyata (real life context). Pada teknik pengumpulan data, untuk lebih memahami tentang kualitas penggunaan social software pada proses pengajaran di tingkat universitas maka dilakukan kombinasi pengamatan berupa survei pada situs-situs PTN Indonesia dan wawancara dengan beberapa dosen PTN yang telah menggunakan social software sebagai bagian media komunikasi dari proses pengajaran yang mereka lakukan. Proses pengumpulan dan analisa data dilakukan antara Juli hingga Desember 2008, untuk wawancara dilakukan kombinasi antara wawancara melalui email, telepon dan tatap muka. Sebagai validasi, maka data hasil wawancara telah diulang pada Februari 2009 untuk melihat apakah informan masih mengajukan jawaban yang sama pada pertanyaan yang sama. Hasil dari validasi kemudian digunakan untuk melengkapi hasil penelitian

84

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sosial Software : Sebuah Tinjauan Istilah social software sebenarnya bukan merupakan sebuah aplikasi yang baru muncul walaupun akhir-akhir ini pengertiannya mengarah pada konteks penggunaan yang lebih pada konteks "kemanusiaan" dibandingkan konteks "teknologi" (Bryant, 2007). Hal yang harus diingat adalah bahwa social software tidak sama pengertiannya dengan Web 2.0. Walaupun kemunculan social software dapat dikatakan hadir sebagai komponen utama dari fenomena Web 2.0 (Bryan, 2006) tetapi sejarah teknologi ini mungkin akan berjalan dalam arah yang berbeda dengan perkembangan teknologi Web itu sendiri. Christopher Allen (2004) telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus dalam menelusuri sejarah social software. Dia mengaitkan keberadaan social software hingga kembali ke tahun 1940-an ketika Vannevar Bush menulis artikelnya yang terkenal, "as We May Think", lalu pada perkembangan selanjutnya dari teknologi yang dapat mendukung kerja kolaboratif (collaborative technology) seperti ARPA, Licklider dan teknologi augmentation ( 1960-an), office automation dan Electronic Information Exchange System/EIES (1970-an), Groupware dan Computer-Supported Collaborative Work/CSCW (1980-an and 1990-an). Futurelab, sebuah organisasi nirlaba di bidang pendidikan yang berbasis di Inggris, berusaha untuk memperjelas konsep social software dengan menunjukkan beberapa atribut kunci dari social software dalam kaitannya dengan pendidikan. Atribut-atribut tersebut antara lain; perangkat lunak ini menjembatani komunikasi antar kelompok, memungkinkan komunikasi antara banyak orang, menyediakan fasilitas untuk mengumpulkan dan berbagi informasi, dapat mengumpulkan dan mengindeks informasi, memungkinkan sindikasi informasi dan membantu personalisasi dari prioritas-prioritas yang dibuat pengguna, menyediakan fasilitas untuk menyatukan pengetahuan (knowledge aggregation) dan menciptakan pengetahuan baru, serta menyebarluaskan pengetahuan tersebut ke banyak platform yang sesuai dengan keinginan pencipta pengetahuan, dan konteks penerimanya (Futurelab, 2006). Patrick dan Dotsika (2006), berbeda, argumentasi bahwa social software sebuah konvergensi pemikiran dari domain jaringan sosial
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 85

manusia, interaksi manusia-komputer (human-computer interaction/HCI) dan layanan web. Menurut mereka, dibandingkan meminta pengguna untuk menyesuaikan diri dengan perangkat lunak tersebut, social software sebaliknya lebih berupaya agar bisa menyesuaikan dirinya dengan lingkungan pengguna sehingga pemanfaatannya lebih intuitif dan menarik pengguna untuk terus menggunakannya (Patrick & Dotsika, 2006). Perubahan ini membalik arah teknologi informasi yang sebelumnya lebih ke arah menarik (pull) menjadi mendorong (push). Teknologi ini kemudian lebih menonjol seiring dengan hadirnya model terkini dari teknologi web atau yang oleh O'Reilly disebut sebagai Web 2.0 (O'Reilly, 2005), implikasinya adalah aplikasi social software dapat ditemukan di sebagian besar dari teknologi Web "2.0 ". Wikipedia mencoba mendaftar kategori social software dari pendekatan fungsional. Futurelab melihat berbagai macam social software dalam kaitannya dengan teknologi pendidikan, sedangkan Patrick & Dotsika lebih memahami social software sebagai variasi dari berbagai layanan Web. Sosial Software Untuk Pendidikan Personalisasi merupakan salah satu aspek kunci dalam pengembangan social software saat ini dan selanjutnya. Shim, dkk. (2007) telah melakukan penelitian dengan menggunakan teori kekayaan-media (media richness theory) untuk menguji faktor yang memengaruhi siswa untuk menggunakan RSS podcast dan juga fitur yang sudah termasuk dalam teknologi ini, dikaitkan dengan proses belajar mereka. Mereka menemukan bahwa teknologi podcast telah memberikan banyak manfaat termasuk mudahnya siswa dalam memahami materi melalui teknologi baru ini dan tingkat efektivitas biaya dalam jangka panjang yang lebih baik. Meskipun begitu teknologi podcasting tidak dapat digunakan untuk mengganti model pengajaran kelas konvensional. Sebaliknya Shim, dkk. menambahkan, teknologi podcast dapat digunakan untuk mendukung materi-materi yang diberikan di kelas sehingga siswa dapat lebih memahami konsep, teori, dan aplikasi yang mungkin belum disampaikan di kelas. (Shim dkk., 2007). Wiki adalah salah satu platform menulis paling populer diantara platform social software lainnya (Alexander, 2006) dan keberadaaannya telah digunakan dalam berbagai cara dalam bidang
86 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

pendidikan. Contoh penggunaan wiki itu yaitu sebagai sebuah situs sebuah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah di mana siswa dapat mempresentasikan hasil belajar mereka. Selain itu Wiki dapat dipergunakan untuk mengumpulkan dan menyimpan data yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar di kelas. Franklin, G. (2007) menyoroti alat seperti Wiki menawarkan cara-cara baru untuk terlibat dan berkomunikasi dengan para siswa. Pada tingkatan tertentu Wiki dapat digunakan sebagai suatu refleksi terutama bila berkaitan dengan tingkat literasi informasi (information literacy) para siswa, bahkan termasuk gurunya sendiri. Literasi informasi merupakan salah satu keterampilan literasi baru (Miners dan Pascopella, 2007) yang dianggap sebagai suatu standar keterampilan abad ke-21 di samping literasi media (media literacy) dan literasi ICT (ICT literacy). Dengan menggunakan Wiki, siswa dan guru dapat dengan cepat dan mudah menjelajahi wilayah pengetahuan yang sedang dibahas dan mengembangkan struktur informasi sebanyak yang mereka perlukan. Dengan memungkinkan kerja kolaborasi ini Wiki tidak hanya menyediakan media dalam proses belajar-mengajar melainkan juga mendorong baik siswa dan guru agar aktif berdasarkan kemampuan mereka sendiri dalam menulis (Bryant, 2007). Meskipun beberapa perangkat lunak dengan akses-terbuka (open access software) seperti Wikipedia, GoogleDocs, Socialtext, dan TWiki telah terbukti sangat berguna untuk menjadi media komunikasi dalam pendidikan, masih ada beberapa keraguan dan perdebatan tentang kredibilitas dan konsistensi isinya. Diskursus tersebut muncul karena muatan dari social software itu sendiri yang rentan terhadap suntingan tidak bertanggungjawab, vandalisme, dan sabotase oleh kelompok-kelompok tertentu ( Stvilia dkk., 2005 dalam Anderson, 2007; Futurelab, 2006). Rector (2007) telah melakukan studi perbandingan antara artikel dari Wikipedia dan artikel dari Encyclopedia Britannica, the Dictionary of American History dan American National Biography Online tentang kelengkapan dan keakuratan muatan artikel. Dia mengungkapkan ketidakakuratan dalam delapan dari sembilan masukan (entries) dan memiliki cacat keakuratan yang besar dalam setidaknya dua dari sembilan artikel Wikipedia. Secara keseluruhan, Rector menilai bahwa tingkat akurasi Wikipedia berkisar 80 persen dibandingkan dengan tingkat akurasi sumber-sumber lain yang mencapai 95-96 persen. Kajian ini

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

87

mendukung klaim bahwa Wikipedia kurang dapat diandalkan dibandingkan sumber-sumber referensi lainnya. Selain Wiki, platform social software yang menyediakan wadah untuk menulis adalah weblog (blogs) dan mungkin adalah perangkat lunak yang paling banyak digunakan dalam praktek pendidikan (Bryant, 2007). Contoh kegiatan yang menggunakan blog untuk tujuan pendidikan antara lain guru dapat menggunakan blog untuk sebagai media pengumuman, berita dan umpan balik ke mahasiswa dan dalam penggunaanya dapat digabungkan dengan teknologi sindikasi (RSS feed) yang memungkinkan kelompok peserta didik dengan mudah melacak tulisan (posting) yang baru (Franklin, T., 2007). Dengan menggunakan fitur RSS atau tag, guru dan siswa juga dapat menggunakan situs-situs seperti Technorati dan IceRocket untuk mencari blog tertentu berkaitan dengan subjek pelajaran. Platform social software lainnya adalah social bookmark, yaitu fasilitas di internet yang dapat digunakan untuk menandai (bookmark) atau memberikan label (tagging) dari halaman situs yang ingin disimpan. Dengan fasilitas ini, penguna dapat membuka dan mengakses halaman situs yang sama tanpa perlu mencarinya kembali lewat mesin pencari (search engine). Bryant (2007) menekankan bahwa social bookmark ideal dan cocok untuk digunakan sebagai bagian dari proses belajar-mengajar di ruang kelas dengan memungkinkan sekelompok siswa untuk membangun berbagai jenis struktur informasi untuk topik tertentu. Adopsi Internet di Indonesia Jumlah pengguna internet di Indonesia telah meningkat pesat lebih dari 1,150% dari 2 juta pengguna di tahun 2000 menjadi 25 juta pengguna pada kuartal kedua 2008 (Internet World Statistic, 2008). Walaupun cukup mencengangkan dalam segi kuantitas tingkat pertumbuhan tetapi mengingat jumlah penduduknya yang sudah 238 juta jiwa, kepadatan pengguna internet di Indonesia hanyalah 10,5% dari total penduduk. (Internet World Statistic, 2008). Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2004 menemukan bahwa dua pertiga dari pengguna internet di Indonesia mengakses internet melalui warung internet (warnet) dan 68% dari pengguna warung internet adalah lakilaki (Wahid, Furuholt, dan Kristiansen, 2004 dalam Wahid, 2007). Dengan menggunakan model adopsi teknologi (Technology Adoption
88 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Model /TAM) Wahid (2007) meneliti perbedaan adopsi internet di antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Studinya menemukan bahwa adopsi internet di kalangan laki-laki lebih dipengaruhi oleh persepsi dari kegunaan internet dibandingkan persepsi kemudahan penggunaannya, fenomena sebaliknya ditemui dalam adopsi internet oleh perempuan. Studi itu juga menujukkan bahwa laki-laki menujukkan fleksibelitas tempat akses internet yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Proporsi perempuan yang menggunakan internet untuk berbincang (chatting) dan aktivitas yang berkaitan dengan proses belajar lebih besar dari laki-laki. Sebaliknya, proporsi laki-laki yang menggunakan internet untuk membaca berita online, pengujian dan download software, berbelanja, hiburan, mencari lowongan pekerjaan, dan mengunjungi situs porno lebih besar dari perempuan. Biaya akses internet yang tinggi, rendahnya kecepatan akses internet dan kurangnya kemampuan berbahasa Inggris diidentifikasi menjadi kendala paling besar dalam adopsi internet di Indonesia. Namun, Wahid memberikan kesimpulan umum bahwa tingkat adopsi internet di Indonesia pada kalangan wanita lebih rendah daripada lakilaki. Penggunaan Social Software Pada PTN-PTN di Indonesia Di tahun 2004 telah terdapat 46 PTN dan lebih dari 2.200 institusi pendidikan tinggi, termasuk lembaga, perguruan tinggi, dan akademi di seluruh Indonesia (DIKTI, 2004). Untuk mendapatkan landasan data yang kuat sehingga dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih dalam mengenai perilaku penggunaan social software di tingkat universitas maka langkah awal yang peneliti lakukan adalah mengumpulkan data mengenai penggunaan social software sebagai bagian dari infrastrukstur-maya (cyberinfrastructure) dari PTN-PTN di Indonesia. Oleh karena itu survei yang sederhana dilakukan untuk melihat seberapa banyak dari situssitus PTN tersebut yang telah memasukkan setidaknya satu dari banyak platform social software di situs mereka. Untuk definisi operasional, peneliti mengambil kategori social software berdasarkan daftar yang dibuat oleh Wikipedia. Peneliti menggunakan daftar yang ada di Wikipedia dikarenakan dua alasan; pertama, daftar kategori yang dimuat Wikipedia menggunakan istilah yang sudah dikenal oleh
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 89

pengguna social software secara umum. Kedua, penggunaan kategorikategori yang dibuat dimiliki oleh Wikipedia adalah untuk menghindari ambiguisitas dari penggunaan label social software itu sendiri. Sebagai perbandingan keberadaan infrastruktur-maya di bidang pendidikan, peneliti juga menghitung keberadaan perpustakaan digital (digital library) pada situs-situs PTN tersebut. Asumsi di balik pengikutsertaan ini adalah bahwa melihat perkembangan teknologi yang pesat membuat kebutuhan atas social software berada pada tingkatan yang sama dengan keberadaan perpustakaan digital. Hasil dari survei sederhana sebagaimana ditunjukkan oleh Diagram 1. menunjukkan bahwa keberadaan e-Learning dan perpustakaan digital berdiri di persentase tertinggi di antara aplikasi dan perangkat lunak lainnya (50%). Diantara platform lainnya, peneliti menemukan dari 18 kategori social software di Wikipedia hanya 5 yang digunakan dalam situs-situs diamati termasuk e-Learning. Persentase penggunaan dapat dikatakan tidak cukup signifikan berdasarkan kuantitas terutama jika kita mengingat bahwa aplikasi Web 2.0 telah dikenal di seluruh dunia setidaknya sejak 2004. Walaupun demikian, terdapat satu hal yang sangat positif pada situs Universitas Paddjajaran yang telah menciptakan sebuah media-sharing websites (http://video.unpad.ac.id/). Di mana dokumen-dokumen visual perkuliahan dapat disimpan dan terbuka untuk umum. Situs ini merupakan suatu terobosan terdepan diantara situs-situs resmi PTN di Indonesia bahkan di tingkat Asia Tenggara dalam melaksanakan pendidikan berbasis teknologi web. Berdasarkan data awal seperti terlihat pada diagaram 1 peneliti kemudian memberikan skor penggunaan social software oleh PTN. Skor tersebut didistribusikan sebagai 1-2 (skor rendah), 3-4 (skor sedang), dan 5-6 (skor tinggi). 9 undangan kemudian didistribusikan ke 9 PTN berdasarkan penggunaan social software di situs mereka. 3 undangan untuk masing-masing tingkat skor PTN dengan skor tinggi, menengah dan rendah untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Dari 9 undangan, peneliti hanya menerima tanggapan dari 4 perguruan tinggi, 2 tanggapan dari PTN dengan skor tinggi yaitu Universitas Padjadjaran dan Universitas Lampung, dan 2 dari PTN dengan skor rendah yaitu Universitas Sriwijaya dan Universitas Jenderal Soedirman. Kemudian proses wawancara dilakukan antara Juli hingga Oktober 2008 terhadap 4 responden, 3 laki-laki dan 1 perempuan,
90 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dengan rentang usia responden antara 26 hingga 38 tahun. Responden pada penelitian ini mempunyai kriteria sebagai tenaga pengajar tetap pada universitas yang bersangkutan, berpendidikan sekurangkurangnya S2 dan telah mempunyai pengalaman menggunakan social software, karakteristik responden lain yang muncul kemudian adalah responden telah mempunyai pengalaman mengajar antara 3 sampai 6 tahun. Diagram 1 Penggunaan Social Software Pada Website PTN Di Indonesia (Per Juli 2008)

Tehnik wawancara dipilih sebagai teknik pengumpulan data dikarenakan waktu penelitian yang dilakukan selama masa liburan perkuliahan dan awal tahun ajaran 2008/2009 sehingga sulit bagi peneliti untuk melakukan pengamatan lapangan terhadap responden di lingkungan mereka sebenarnya. Selain itu, penelitian ini bersifat independen atau tidak didanai oleh siapapun sehingga peneliti berusaha menekan biaya pengeluaran seminimal mungkin. Fokus utama dalam wawancara adalah mencari data mengenai aktivitas dan pengalaman para responden berkaitan dengan penggunaan social software dan proses pengajaran yang mereka lakukan. PEMBAHASAN Keberadaan fasilitas internet memang memengaruhi penggunaan internet di antara para informan, 3 dari mereka mengatakan bahwa fasilitas wifi yang disediakan oleh pihak
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 91

universitas memang meningkatkan waktu mereka mengakses internet (online) antara 6 hingga 12 jam per minggu. Hanya seorang informan yang menggunakan sambungan dial-up (modem) untuk mengakses internet dikarenakan tidak adanya fasilitas wifi di fakultasnya. Alasan utama mereka memilih untuk mengakses internet dari universitas dikarenakan fasilitas tersebut gratis. Tempat kedua para informan mengakses internet setelah universitas adalah di warung internet (warnet) dengan intensitas antara 1 sampai 6 jam per minggu. Mengenai asal mulanya mereka belajar internet seorang informan mengatakan bahwa seorang teman yang mengajarkan kepada dia bagaimana cara menggunakan internet. Sedangkan informan lainnya mengatakan bahwa mereka belajar bagaimana menggunakan internet dan social software secara otodidak. Temuan ini mungkin tidak mendukung penelitian sebelumnya tentang adopsi internet di Indonesia oleh Wahid (2007). Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih melihat pada aspek kualitatif dari penggunaan internet di Indonesia terlebih pada karakteristik informan yang spesifik sekali. Sekalipun demikian, data di atas mendukung penelitian yang terdahulu oleh Wahid, Furuholt, dan Kristiansen (2004 dalam Wahid, 2007) bahwa sebagian besar pengguna internet di Indonesia mendapat akses mereka dari warung internet. Dari wawancara, peneliti menemukan bahwa penggunaan social software telah dilakukan oleh para informan sebagai media komunikasi dari proses pengajaran di kelas. Popularitas adalah motif utama mengapa mereka menggunakan social software sementara ada juga beberapa yang berpendapat hal ini sebagai usaha mereka untuk lebih dekat dengan perkembangan teknologi terbaru. Dengan alasan tersebut maka mudah dimengerti ketika para informan ditanya mengenai social software apa sajakah yang mereka gunakan, kesemuanya menjawab dari social software yang paling populer seperti situs-situs jejaring sosial yaitu Facebook, Multiply, dan Friendster, kemudian YouTube untuk media-sharing website, Blogspot untuk weblog, dan Wikipedia. Untuk platform lainnya mereka akui bahwa mereka mengetahui aplikasi tersebut tetapi tidak pernah menggunakannya. Salah seorang informan mengatakan bahwa dia baru saja mulai mengakrabkan diri dengan penggunaan social software sekitar setahun belakangan dan menurutnya sangat melelahkan untuk terus menerus beradaptasi dengan versi-versi terbaru dari social software.
92 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Beberapa perilaku dasar dari penggunaan internet seperti mengunduh (download), meng-upload, mencari (searching), menjelajah (browsing), membaca, dan menonton adalah aktivitas yang paling banyak informan-informan tersebut lakukan dengan menggunakan social software. Sementara fitur fitur social software seperti berbagi (sharing), komentar (commenting), melabel (tagging), memberikan tanda bendera (flagging), dan mengikutsertakan (embedding) adalah fasilitas-fasilitas yang paling sedikit digunakan oleh para informan. Temuan ini menarik dikarenakan sesungguhnya fasilitas-fasilitas yang paling sedikit digunakan itulah yang membuat social software begitu terkenal penggunaannya. Namun, berkaitan dengan penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran, peneliti menemukan beberapa model kegiatan, antara lain; a. Mendorong kemampuan menulis mahasiswa dengan menggunakan blog. Belajar tidak selalu tentang hasil akhir, terutama bagi mahasiswa ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, mereka juga harus dimotivasi dan didorong untuk mengemukakan pendapatnya tentang fenomena sosial di dunia nyata. Salah satu kegiatan yang dapat membawa mahasiswa untuk belajar bagaimana mengekspresikan pemikiran mereka adalah dengan menulis artikel. Mudahnya penggunaan dan banyaknya pilihan platform membuat blog tidak hanya cocok sebagai media untuk membantu mahasiswa dalam proses belajar mereka tetapi juga media bagi sang dosen untuk mengekspresikan pemikiran mereka mengenai bahan kuliah yang diajarkannya. Seorang informan berusaha untuk menggabungkan apresiasi mahasiswa di kelasnya dengan kesukaan mereka untuk menulis di blog. Ia menugaskan mahasiswanya untuk menempatkan tulisan-tulisan mereka dalam blog yang sudah dipersiapkan oleh sang dosen. Setelah itu dia memilih beberapa artikel terbaik sebagai komponen dalam ujian semester. Dari 40 mahasiswa yang berpartisipasi dalam matakuliah komunikasi politiknya, 23 mahasiswa kemudian memiliki blog mereka pribadi. b. Menggunakan contoh dari media-sharing website untuk menjelaskan materi kelas. Ada banyak subjek studi yang kadang-kadang membuat mahasiswa benar-benar harus berusaha keras untuk bisa
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 93

memahaminya, kecuali jika sang dosen membantu mereka dengan visualisasi contoh. Semua informan mengakui mereka adalah pengguna YouTube tetapi hanya seorang informan yang telah menggunakan YouTube sebagai bagian dari proses pengajarannya. Sang informan mengatakan bahwa dia menggunakan video contoh iklan layanan masyarakat (Public Service Adds/PSA) yang ia temukan dari YouTube di dalam kelas Social Marketing-nya. Sebelumnya ia kesulitan memberikan contoh video PSA dikarenakan hak cipta dan keterbatasan anggaran untuk kegiatan pengajaran di universitasnya. Dengan menggunakan media-sharing website seperti YouTube, ia dapat membantu mahasiswanya untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai fenomena sosial yang sedang dibahas dikelasnya. c. Menerbitkan hasil ujian semester pada blog sang dosen. Ketika mereka ditanya apakah mereka telah menggunakan perangkat lunak sosial untuk membantu aktivitas mereka mengajar dan untuk alasan apa, sebagian besar dari mereka mengakui bahwa mereka telah menggunakan sekurang-kurangnya memublikasikan nilai ujian kelas dan juga bahan kuliah di blog mereka. Seorang informan memberikan alasan bahwa dia memilih untuk menggunakan blog dalam menyebarluaskan materi kuliahnya dikarenakan dengan memanfaatkan media komunikasi tersebut lebih mudah baginya untuk menjangkau mahasiswamahasiswanya. Dia juga berpendapat bahwa dengan menggunakan blog, dia memberikan kepada mahasiswa waktu yang lebih leluasa untuk mengakses materi kuliah di luar kelas atau membaca bahan ujian atau nilai tanpa harus kuatir tercampur dengan jam belajar mereka di kampus. Informan lain juga merasakan bahwa mahasiswanya terlihat lebih aktif dalam mencari bahan perkuliahan dan lebih bisa mengingatnya. d. Menyebarluaskan materi perkuliahan dengan menggunakan file-sharing websites. Fasilitas yang menonjol dari file-sharing website seperti Megaupload, Rapidshare dan Slideshare adalah kemampuannya untuk menyimpan dokumen-dokumen digital secara gratis ataupun mengunduh dokumen-dokumen lainnya. Bagi informan, situs seperti ini membantu mereka untuk menyebarluaskan materi perkuliahan dan menyediakannya secara online sepanjang waktu sehingga bisa diakses mahasiswanya kapan saja dan dimana saja.
94 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

e. Menunjukkan empati sang pengajar melalui situs jejaring sosial. Peneliti menemukan fakta menarik yang berkaitan dengan penggunaan social software, terutama yang populer, seperti menjadi anggota situs jejaring sosial. Dua orang informan menyatakan dengan bergabung pada situs jejaring sosial tersebut mereka merasa lebih dekat dengan anak didiknya dibandingkan sebelum menggunakannya. Seorang informan menyebutkan bahwa sejak ia bergabung di tahun 2005 sebagai anggota salah satu situs jejaring sosial yang populer, ia bertemu dengan mahasiswanya lebih sering dibandingkan dia bertemu dengan rekan-rekannya seprofesi. Dengan menyetujui undangan mahasiswanya untuk menjadi teman-teman mereka, ia merasa lebih dekat dengan anak-anak didiknya atau anak didiknya pun lebih terbuka kepadanya. Mahasiswa-mahasiswa tersebut kadang bertanya kepadanya mengenai jadwal kelas, dan ingin berbicara 'dari hati ke hati' dengannya. f. Beberapa Tantangan Dalam Penerapan Social Software Meskipun penggunaan social software sudah terbukti membantu dan dapat berperan sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran tetapi dalam penyebarluasannya masih menemui banyak tantangan. Tantangan tersebut terutama datang dari pihakpihak yang belum dirangkul oleh teknologi ini. Seorang informan berkata bahwa ia pernah memberikan tugas di kelasnya dengan menggunakan blog dan meminta mahasiswanya untuk mengirim jawaban mereka melalui email kepadanya. Kemudian, dia menerima protes dari salah seorang mahasiswa karena hal tersebut menyebabkan sang mahasiswa menghabiskan lebih banyak uang dan waktu untuk mengakses internet di warnet, pada saat itu memang belum ada akses internet gratis di universitas sang informan. Tantangan tidak hanya datang dari mahasiswa tetapi juga dari rekan-rekan informan lainnya yang tidak menggunakan teknologi tersebut karena banyak faktor, terutama karena sudah berumur/senior dan biaya yang mesti dikeluarkan. Seperti yang dikatakan seorang informan; " Secara umum di lingkungan fakultas saya memang belum banyak yang paham. Meskipun pihak fakultas telah memfasilitasinya. Karena pada dasarnya ketidaktahuan mereka hanyalah pada kurangnya keinginan mereka untuk belajar. "(Informan 2). Diluar hambatan
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 95

di atas, tantangan mungkin datang dari diri mereka sendiri, seperti pengetahuan mereka tentang perangkat lunak dan bagaimana menggunakannya. Meskipun sebagian besar social software yang populer saat ini sangat mudah digunakan dan lebih intuitif. Salah seorang informan mengatakan bahwa dia mengalami hambatan dalam menggunakan beberapa social software dikarenakan kurangnya pemahaman dia tentang penggunaan perangkat lunak itu sendiri. KESIMPULAN 1. Hadirnya social software atau juga dikenal sebagai social media telah memengaruhi berbagai aspek kegiatan manusia saat ini. Walaupun berbagai studi tentang penggunaan teknologi web ini dalam dunia pendidikan telah dilakukan di banyak negara maju, studi tentang pemanfaatannya di negara-negara berkembang masih rendah termasuk di Indonesia. 2. Social software sebagai suatu media komunikasi dalam proses belajar-mengajar di Indonesia sudah diterapkan oleh sebagian sistem pendidikan di universitas-universitas negeri di tanah air. Survei awal ini menemukan bahwa penggunaan social software oleh PTN-PTN di Indonesia masih rendah. 3. Temuan selanjutnya bahwa, model praktek-praktek penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran adalah : pertama, mendorong kemampuan menulis siswa dengan menggunakan blog. Kedua, dosen menggunakan contoh-contoh dari media-sharing website untuk menjelaskan materi kelas. Ketiga, dosen menerbitkan hasil ujian semester pada blog dan menyebarluaskan materi perkuliahan dengan menggunakan file-sharing websites. Keempat, dapat menunjukkan empati sang pengajar melalui situs jejaring sosial kepada mahasiswa. DAFTAR PUSTAKA Yuhetty, H. 2002. ICT and Education in Indonesia. Diunduh pada tanggal 24 Oktober 2008, dari Indonesia Ministry of National Education official website:

96

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

http://eprints.rclis.org/archive/00007507/01/Indonesia-ICTpaper.pdf Allen, C. (2004, October 13). Tracing the Evolution of Social Software. Diunduh pada tanggal 12 Juni 2008, dari Life With Alacrity: http://www.lifewithalacrity.com/2004/10/tracing_the_evo.ht ml DIKTI. 2004. Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003-2010. Jakarta: DIKTI. Alexander, B. 2006, March/April. Web 2.0; A New Wave of Innovation for Teaching and Learning? Educause Review , pp. 33-44. O'Reilly, T. 2005, September 30. What Is Web 2.0; Design Patterns and Business Models for the Next Generation of Software. Diunduh pada tanggal 12 Juni 2008, dari O'Reilly: http://www.oreillynet.com/pub/a/oreilly/tim/news/2005/09/3 0/what-is-web-20.html Dotsika, F. a. 2006. Towards The New Generation of Web Knowledge. VINE: The Journal of Information and Knowledge Management Systems , 36 (4), 406-422. Futurelab. 2006. Opening Education; Social Software and Learning. UK: Futurelab. Anderson, P. 2007. What is Web 2.0? Ideas, technologies and implications for education. UK: JISC Technology and Standards Watch. APJII. 2007, December. Statistik APJII. Diunduh pada tanggal 6 Oktober 2008, dari APJII: http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind Bryant, L. 2007. Emerging Trends in Social Software for Education. Emerging Technologies for Learning , 2, pp. 8-20. Farkas, M. G. 2007. Social software in libraries: building collaboration, communication, and community online. Medford, NJ: Information Today Inc. Franklin, G. 2007. Wiki anyone? Reflections on an information literacy class wiki. Journal of information literacy , 1 (3). Franklin, T., & Harmelen, M. v. 2007. Web 2.0 for Content for Learning and Teaching in Higher Education. London, UK: Franklin Consulting.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

97

Kirriemuir, J. 2007, October. The Second Life of UK Academics. Ariadne (53). Maxymuk, J. 2007. Bits & Bytes, Whose Space? The Bottom Line: Managing Library Finances , 20 (2), 97-100. Miners, Z., & Pascopella, A. 2007, October. The New Literacies. District Administration , pp. 26-34. Shim, J., Shropshire, J., Park, S., Harris, H., & Campbell, N. 2007. Podcasting for e-learning, communication, and delivery. Industrial Management & Data Sytems , 107 (4), 587-600. Topper, E. F. 2007. What's New In Libraries; Social Networking In Libraries. New Library World , 108 (7/8), 378-380. Wahid, F. 2007. Using the Technology Adoption Model to Analyze Internet Adoption and Use Among Men and Women in Indonesia. EJISDC , 32 (6), 1-8. Eijkman, H. 2008. Web 2.0 as a Non-foundational Network-centric Learning Space. Campus-Wide Information Systems , 25 (2), 93-104. Ofcomm. 2008. Social Networking: A Quantitative and Qualitative Research Report Into Attitudes, Behaviours, and Use. London: Ofcomm Media. Rector, L. H. 2008. Comparison of Wikipedia and other encyclopedias for accuracy, breadth, and depth in historical articles. Reference Services Review , 36 (1), 7-22. Seegmller, K. 2008, August. Can Social Software Change Teaching and Learning? Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2008, dari Check Point e-Learning: http://www.checkpointelearning.com/article/5813.html Stats, I. W. 2008, August. Internet Usage in Asia. Diunduh pada tanggal 12 Oktober 2008, from Internet World Stats: http://www.internetworldstats.com/stats3.htm Virkus, S. 2008. Use of Web 2.0 technologies in LIS education: experiences at Tallinn University, Estonia. Electronic Library and Information Systems , 262-274. Wikipedia. 2008, October 8. List of Social Software. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008, dari Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_social_software

98

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

MOTIVASI PENGGUNA WARUNG MASYARAKAT INFORMASI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN BERMEDIA DI PROVINSI JAWA BARAT Syarif Budhirianto* Abstraksi Warung Masyarakat Informasi (Warmasif) merupakan model pengembangan Community Access Point (CAP), yang ditempatkan dan dikelola oleh unit Bisnis Kantor Pos setempat. Keberadaannya penting dalam mempercepat tercapainya masyarakat informasi yang ditargetkan tahun 2015 tercapai, yakni dengan melakukan akses informasi, interaksi sosial/komunikasi melalui fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang motivasi pengguna Warmasif dalam pemenuhan kebutuhan bermedia bagi masyarakat 7 (tujuh) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukan bahwa keberadaan Warmasif untuk pemenuhan kebutuhan informasi dan komunikasi kurang optimal dimanfaatkan sesuai dengan tujuan dan sasarannya, sementara pemenuhan kebutuhan hiburan dinilai cukup tinggi pemanfaatannya. Kata kunci: CAP, Warmasif, kebutuhan bermedia.

PENDAHULUAN Latar Belakang Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan salah satu pilar utama pembangunan bangsa saat ini, dan tidak satu bidang kehidupan/sektor pembangunan nasional yang tidak memerlukan penggunaan TIK. Bahkan maju tidaknya suatu negara ditentukan oleh penguasaan TIK oleh masyarakatnya. Dengan penguasaan teknologi tersebut, segala aktivitas informasi dan komunikasi dapat berjalan dengan cepat tanpa ada hambatan batas-batas suatu negara..
*

Drs. Syarif Budhirianto adalah peneliti muda di Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika(BP2KI) Bandung.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 99

Untuk terwujudnya masyarakat informasi yang efektif dan efisien dalam meningkatkan kesejahteraan, maka pemerintah memberikan fasilitas teknologi informasi dan telematika (TIK) kepada masyarakat. Salah satu fasilitas yang sudah dilakukan adalah dengan pemberdayaan telematika dan pemerataan infrastruktur informasi , seperti memfasilitasi pembangunan Community Access Point (CAP) di berbagai daerah di Indonesia. CAP merupakan fasilitas yang diberikan kepada masyarakat di bidang TIK, sehingga mereka dapat mengenal lebih jauh tentang manfaat dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia di bidang teknologi informasi dan komunikasi, serta mengurangi kesenjangan digital/digital device (Infomobilitas,2007:25) . Keterlibatan masyarakat dalam pemberdayaannya harus mampu mendorong upaya mewujudkan masyarakat informasi dalam menciptakan peluangpeluang digital. Saat ini keterlibatan masyarakat lebih banyak difasilitasi oleh sejumlah inisiatif penyediaan TIK yang berorientasi bisnis, misalnya wartel atau warnet, komunitas sekolah atau kampus yang didukung dengan fasilitas internet. CAP sebagai wahana multiguna untuk pengembangan masyarakat sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Di Indonesia tempat-tempat sejenis ini tumbuh dengan beragam nama, diantaranya Balai Informasi Masyarakat (BIM), Warung Informasi Teknologi (WARINTEK), Community Learning Centre, Community Training and Learning Center (CTLC), Warung Masyarakat Informasi (Warmasif), Telecenter, dan lain-lain. Salah satu model pengembangan CAP hasil kerja sama Ditjen Aplikasi Telematika cq Dit. E-Business dengan Kanwil Pos setempat dan Pemerintah Daerah setempat adalah Warmasif. Salah satu tujuannya adalah mempercepat dan menunjang tumbuh dan berkembangnya usaha pertanian, usaha kelautan dan perdagangan komoditi unggulan melalui e-commerce atau e-UKM yang terdapat di wilayah setempat (Studi Pemberdayaan CAP,2007 :20). Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan informasi secara optimal melalui sarana CAP, diantaranya mengetahui hargaharga pasar dari produk pertanian atau perikanan, sehingga seorang petani dapat memperkirakan harga yang sesuai untuk hasil produksinya dan dapat belajar mengenai cara mengolah hasil tani. Di negara berkembang lainnya, jenis CAP sudah dilakukan dengan baik, seperti Peru, China, Jordan , India dan lain-lain. Namun
100 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dengan tidak bermaksud menutupi fakta, ada juga CAP yang dibangun dan menuai kegagalan memberikan manfaat ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Dari kasus-kasus gagal inilah masyarakat pada umumnya menganggap bahwa strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan TIK tidak tepat sasaran. Keberadaan 7 (tujuh) Warmasif yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat (Kota Bekasi, Kota Bandung, Kab. Garut, Kota Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab. Karawang, dan Kab.Purwakarta) yang berdiri awal tahun 2007 perkembangannya belum memenuhi harapan sesuai dengan tujuan dan sasarannya.Upaya dalam pembangunan Warmasif memang bukan hal yang mudah dilakukan, karena diperlukan upaya dan pemahaman yang cukup mendalam. Tuntutannya bukan saja agar masyarakat mendapatkan akses terhadap informasi, melainkan juga tatanan kehidupan masyarakat itu, baik sosial, budaya dan ekonomi juga memerlukan dukungan agar menjadi lebih baik, lebih transparan dan membuka peluang setiap anggota masyarakat dalam memanfaatkan TIK. Selain itu dapat bermanfaat untuk membantu mengatasi masalah kehidupan masyarakat dengan tidak mengabaikan faktor manusia, perubahan budaya, sikap dan perilaku yang melandasi kearifan budaya lokal merupakan sesuatu yang penting dan strategis. Masalah Berdasarkan latar belakang, maka masalah penelitian ini adalah bagaimana motivasi pengguna Warmasif dalam memenuhi kebutuhan bermedia di Provinsi Jawa Barat? Identifikasinya adalah : 1. Bagaimana motivasi pengguna dalam mengakses fasilitas-fasilitas di Warmasif dalam pemenuhan kebutuhan informasinya. 2. Bagaimana motivasi pengguna dalam pemenuhan kebutuhan hiburannya 3. Bagaimana motivasi pengguna dalam pemenuhan kebutuhan komunikasi (interaksi sosial). Tujuan 1. Untuk mengetahui pemanfaatan warmasif oleh pengguna dalam pemenuhan kebutuhan informasi.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

101

2. Untuk mengetahui motivasi pengguna dalam mengakses fasilitasfasilitas dalam pemenuhan kebutuhan hiburan dan komunikasi/interaksi sosialnya. 3. Untuk mengetahui motivasi pengguna dalam pemenuhan kebutuhan berkomunikasi (interaksi sosial). Manfaat 1. Bermanfaat bagi Ditjen Aplikasi dan Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika dalam rangka penyusunan program, strategi dan kebijakan pemberdayaan Warmasif sebagai sarana pemenuhan kebutuhan informasi sesuai dengan sasaran dan tujuannya. 2. Berguna bagi pengelola Warmasif dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 3. Melalui peningkatan fungsi, peran dan pemanfaatan secara optimal berguna bagi masyarakat untuk mendukung upaya mempercepat tercapainya masyarakat informasi Indonesia yang ditargetkan tahun 2015. Kerangka Pemikiran Motivasi dan Kebutuhan Media Kebutuhan manusia yang berkaitan dengan media menurut McQuail dalam Lull (1998:120) meliputi kebutuhan akan informasi, hiburan dan integrasi sosial. Lebih lanjut menurut Katz, bahwa untuk memenuhi kebutuhan bermedia , setiap individu dapat mencapainya dengan cara pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dengan cara mengakses/menggunakan media yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhannya itu. Menurut Gerungan (1983: 25), motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan, atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu . Berkaitan dengan motif manusia yang menggunakan media internet, hal ini didasarkan pada suatu kebutuhan tertentu. , menurut Katz dalam Marshall (2000), beberapa kategori kebutuhan individu yang semuanya berasal dari fungsi sosial dan psikologi dari media diantaranya kebutuhan kognitif, afektif, integrative personal, interaksi sosial, dan kebutuhan akan pelarian.

102

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Media internet merupakan salah satu media massa yang pada pemunculannya bisa disebut membuat revolusi tersendiri baik untuk dunia komputer maupun pada dunia media massa. Media ini memiliki daya tarik tersendiri. Dalam hal daya tarik komunikasi, internet menawarkan kemampuan berkomunikasi secara elektronik (e-mail dan chatting) yang relatif mudah dan murah selama 24 jam penuh. Internet juga memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk mencari dan mengakses berbagai macam informasi. Hunter beranggapan bahwa Audiens tidak sepenuhnya pasif tetapi mereka merupakan individu yang secara sadar memilih jenis dan isi media. Dari media inilah mereka mencari informasi dan mendapatkan hiburan untuk memuaskan kebutuhan pribadi dan sosial mereka. Dengan kata lain, teori ini menunjukan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak (Effendi,1993:289) Kemudian Katz Hass dan Gurevitch memberikan beberapa kategori kebutuhan individu, yang semuanya berasal dari fungsi sosial dan psikologi dari media, kategori ini antara lain: 1. Kebutuhan interaksi sosial : memperkuat hubungan dengan keluarga, teman, dengan alam sekitar. 2. Kebutuhan akan pelarian : hasrat melarikan diri dari kenyataan, melepaskan ketegangan, kebutuhan akan hiburan. (Marshall,Jr., 2000) Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dicapai dengan dua cara, yaitu : (1) Pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dengan cara mengakses/menggunakan media yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan (2) Pemenuhan kebutuhan didapatkan dengan cara mempelajari isi informasi dalam media yang kemudian diterapkan dalam praktek. Berdasarkan hal tersebut, dapatlah diambil suatu modifikasi tentang macam-macam kebutuhan yang menjadi dasar motivasi para pengguna media internet ke dalam empat bagian yang mencakup fenomena penggunaan media internet dan www, yaitu :pemenuhan kebutuhan informasi, hiburan, interaksi sosial, serta kebutuhan pendidikan. Sehingga bagi masyarakat pengguna teknologi informasi dan komunikasi dapat meningkatkan terpaan media alternatif , di samping penggunaan media ini sebagai pemberdayaan dalam
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 103

meningkatkan pemakaian TIK, atau mengeleminir kesenjangan digital di masyarakat digital divide. (Kominfo,2002) Adapun pengertian dari motivasi menurut Sumantri adalah suatu proses penting untuk memahami tentang mengapa dan bagaimana perilaku seseorang dalam melakukan kegiatan tertentu, yakni : 1. Kebutuhan (needs): kebutuhan merupakan suatu kekurangan dalam pengertian keseimbangan, kebutuhan tercipta apabila terjadi ketidakseimbangan fisiologis, psikologis atau sosiologis. 2. Dorongan (drives): berorientasi pada tindakan untuk mencapai tujuan. 3. Tujuan (goals): segala sesuatu yang akan meredakan suatu kebutuhan dan akan mengurangi dorongan. (Sumantri,2001:54) Manusia mempunyai kebutuhan yang diusahakan untuk dipenuhi atau berusaha untuk dipuaskan. Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan inilah yang menjadi motivasi setiap individu. Menurut Halloran, motivasi adalah proses yang terdiri dari 3 tahap , yaitu : kebutuhan internal (internal need), kegiatan untuk memuaskan kebutuhan (a behavioral action to satisfy that need), dan pelaksanaan pemuasan kebutuhan itu (the accomplishment or the satisfaction of that need)(Effendi, 1993:113). Media Internet dan Community Access Point Di Provinsi Jawa Barat termasuk di tujuh kabupaten dan kota yang terdapat Warmasif, kini semakin banyak orang yang memanfaatkan internet untuk bermacam-macam kebutuhan, seperti kebutuhan akan informasi, hiburan maupun interaksi sosial, bahkan untuk keperluan bisnis. Selain telah secara revolusioner mengubah metode komunikasi massa dan penyebaran data atau informasi, internet juga telah membuktikan sebagai medium berjangkauan massal yang paling fleksibel. Media internet dapat dengan mudah mengintegrasikan seluruh bentuk media massa konvensional seperti media cetak dan audio visual bahkan tradisi lisan (oral tradition) melalui fasilitas-fasilitas yang ada. Fasilitas tersebut menurut Yuswanto adalah : 1. Fasilitas search engine : fasilitas pada media internet yang dirancang khusus untuk menyimpan serta menyusun jutaan alamat
104 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

situs yang sudah didaftarkan sebelumnya berdasarkan topik-topik tertentu, seperti www.yahoo.com 2. Fasilitas situs web (web sites) : fasilitas pada media internet yang menyimpan semua jenis informasi (file tulisan, gambar, video dan suara). Pada situs web ini tersimpan halaman web (web page) yang saling terhubung. 3. Fasilitas e-mail (electronic mail) : fasilitas pada media internet dan www yang berguna untuk mengirimkan pesan dalam format data elektronik dari satu komputer ke komputer lainnya. Ketika mengirimkan e-mail, pesan tersebut dikirimkan ke komputer yang ada di ISP (internet service provider) yang kemudian dikirimkan kepada penerima pesan. 4. Fasilitas Internet Relay Chat (chatting) : fasilitas pada media internet dan www yang memungkinkan para penggunanya untuk melakukan percakapan mengenai topik tertentu 5. Fasilitas FTP (file transfer protocol) : fasilitas pada media internet yang dirancang untuk mengirimkan (upload) dan menerima (download) suatu data. 6. Fasilitas order : fasilitas pada media internet yang memungkinkan para penggunanya melakukan suatu transaksi ekonomi dengan sistem keamanan yang sangat pribadi. (Yuswanto,2000:3) CAP merupakan sebuah pusat atau sentra di mana masyarakat (khususnya yang berada di perdesaan) dapat melakukan berbagai aktivitas komunikasi dan pengaksesan informasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang tersedia, terutama telepon, faksimili, komputer berikut perangkat pendukungnya, akses internet, dan layanan informasi lainnya, serta layanan yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti peningkatan wawasan, ketrampilan, keahlian melalui pendidikan dan latihan bagi masyarakat. Proyek Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP) kerjasama Bappenas dengan UNDP, dengan pengembangan telesenter sebagai model dari CAP, merupakan suatu fasilitas tempat masyarakat dapat berinteraksi, belajar , bekerja dan mendapat hiburan dengan memanfaatkan komputer, internet dan berbagai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) lainnya. Telecenter memungkinkan masyarakat melakukan hal tersebut dengan pihak di luar daerahnya, bahkan dengan dunia internasional melalui internet. Walaupun
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 105

berbeda-beda bentuknya, telecenter mempunyai karakteristik khusus, yaitu mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat, seperti membantu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara, berdemokrasi dan pembangunan, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berorganisasi dan melakukan usaha , meningkatkan peran serta pemuda/i dan perempuan, mengurangi keterisoliran, mengurangi kesenjangan digital, dan sebagainya. (Proyek Bappenas & UNDP, 2007:17). Pada dasarnya CAP bertujuan untuk : Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat perdesaan tentang arti penting informasi dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), sekaligus mengurangi kesenjangan akses informasi antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. Kedua, memberikan peluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat perdesaan dengan memanfaatkan ICT. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui perbaikan tingkat pendapatan. Keempat, memerangi kemiskinan dengan memanfaatkan ICT. Metode Penelitian 1. Sifat penelitian ini adalah deskriptif, pendekatannya kuantitatif, yakni untuk mengungkapkan motivasi pengguna (user) Warmasif sebagai pemenuhan kebutuhan bermedia di 7 ( tujuh ) kabupaten/kota di Jawa Barat terhadap pemenuhan bermedia. Lokasi penelitian adalah di Provinsi Jawa Barat. Dari 26 jumlah kota dan kabupaten yang ada, hanya ada 7 (tujuh) kabupaten dan kota yang terdapat fasilitas Warung Masyarakat Informasi ( Warmasif ), yaitu berdasarkan kesepakatan Direktorat Aplikasi dan Telekomunikasi (Depkominfo) dengan PT. Pos Indonesia yakni, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, Kab. Karawang, Kab. Kuningan, Kab. Garut, dan Kab. Purwakarta. 2. Responden penelitian untuk masing-masing Warmasif adalah 10 orang , jumlah keseluruhan 70 responden. Pengambilan responden untuk masing-masing Warmasif dilakukan dengan sampel random secara ordinal (Ordinal random sampling). Adapun dalam konteks pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan daftar catatan pengunjung dalam sebulan terakhir, kemudian daftar tersebut di satukan untuk diberi nomor secara berurutan mulai dari nomor satu sampai terakhir. Untuk pengambilan sampel,
106 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

diambil secara purposif mulai dari nomor ganjil terkecil (nomor 1,3,5 dan seterusnya sampai mendapat 10 sampel) Adapun data populasi atau pengunjung warung masyarakat informasi tanggal 1 30 April 2007 (Minggu tutup) per lokasi penelitian berdasarkan data hasil pra penelitian, sebagai berikut :
No. Lokasi Warmasif Jumlah Pengguna

Kota Bandung 130 orang 1. Kota Bekasi 35 orang 2. Kota Tasikmalaya 78 orang 3. Kab. Karawang 52 orang 4. Kab.Kuningan 12 orang 5. Kab. Garut 101 orang 6. Kab. Purwakarta 19 orang 7. Sumber:Pengelola Warmasif Setempat, April 2007 (diolah)

3. Pengumpulan data primer adalah kuesioner serta wawancara dengan pengelola dan nara sumber di lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder melalui studi kepustakaan dan literatur. 4. Pengolahan data dilakukan dengan menginventarisir seluruh data yang terkumpul dari hasil pengisian kuesioner serta hasil wawancara, selanjutnya dilakukan perhitungan tabulasi frekuensi, dan dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi. Definisi dan Operasionalisasi Konsep Definisi Konsep Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan, atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu . Motif manusia merupakan kebutuhan tertentu dalam mengakses media internet di Warmasif, macam-macam kebutuhan yang menjadi dasar motivasi para pengguna media internet digolongkan ke dalam empat bagian yang mencakup : pemenuhan kebutuhan informasi, hiburan, dan interaksi sosial/komunikasi . (Gerungan,1983) Warmasif adalah model pengembangan Community Access Point (CAP) dimana masyarakat yang berada di suatu wilayah dapat melakukan komunikasi, akses informasi global, pemasaran melalui
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 107

internet, transaksi online dan akses perpustakaan digital.Warmasif dibentuk berdasarkan kesepakatan kerja sama antara Ditjen Aplikasi Telematika Depkominfo dengan Dirut PT POS INDONESIA. Operasionalisasi Variabel Variabel motivasi kebutuhan bermedia terdiri atas sub variabel : pemenuhan kebutuhan informasi, pemenuhan kebutuhan hiburan, dan pemenuhan kebutuhan berkomunikasi. 1. Pemenuhan kebutuhan informasi, dengan indikator : asal mula mengenal Warmasif, jenis-jenis informasi, fasilitas internet Warmasif dalam proses pencarian informasi, dan sikap para pengguna tentang informasi yang didapat. 2. Pemenuhan kebutuhan hiburan, dengan indikator : pengetahuan para pengguna tentang hiburan , pengguna menggunakan fasilitas internet untuk mencari hiburan, dan sikap para pengguna tentang hiburan. 3. Pemenuhan kebutuhan komunikasi, dengan indikator : pengetahuan para pengguna tentang komunikasi pada media internet, penggunaan fasilitas internet di Warmasif untuk melakukan interaksi sosial, dan sikap para pengguna tentang interaksi sosial .

WARUNG MASYARAKAT INFORMASI Tujuan dan Sasaran Warmasif dibentuk berdasarkan kesepakatan kerja sama antara Ditjen Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika dengan Dirut PT POS INDONESIA, yaitu dalam upaya mengembangkan perdagangan komoditi unggulan melalui perdagangan elektronik / e-commerce atau e-UKM, meningkatkan layanan informasi dan pendidikan masyarakat. Tujuan Warmasif adalah : 1. Mempercepat tercapainya masyarakat informasi Indonesia (MII) yang ditargetkan tahun 2015 tercapai. 2. Mempercepat dan menunjang tumbuh dan berkembangnya usaha pertanian, usaha kelautan dan perdagangan komoditi unggulan

108

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

melalui e-commerce atau e-UKM yang terdapat di wilayah setempat. 3. Pendidikan masyarakat melalui perpustakaan digital dan layanan informasi kesehatan serta layanan informasi lain-lain. 4. Mempercepat terwujudnya Universal Service Obligation (USO) dalam bidang komunikasi dan informasi.

HASIL PENELITIAN Identitas Responden Jumlah responden penelitian adalah 70 (tujuh puluh) orang , identitasnya meliputi : jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan pendidikan. Jenis kelamin responden, laki-laki (Bandung):7,Bekasi: 5,Karawang: 9,Tasikmalaya: 6,Purwakarta: 3,Garut: 5, Kuningan: 8 = 43 (61,42%)), perempuan (Bandung) : 3, Bekasi: 5, Karawang:1,Tasikmalaya:4,Purwakarta:7,Garut:5,Kuningan:2 = 27 (38,58%)). Dari 70 responden yang berada di 7 (tujuh) lokasi Warmasif di kota dan kabupaten di Jawa Barat, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Tetapi Kategori jenis kelamin ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang diteliti. Sedangkan usia mereka yang terbesar adalah antara 17 24 tahun, disusul antara 25 32 tahun, dan sebagian kecil lagi adalah mereka yang berumur lebih dari 57 tahun. Banyaknya mereka yang mengunjungi Warmasif dari kalangan usia muda, karena pengetahuan dan pergaulan mereka semasa di bangku sekolah lebih tertarik mempelajari TIK. Usia mereka sebagian besar adalah antara 17 24 tahun yaitu sejumlah 41 orang atau 58,57 %. Pekerjaan responden sebagian besar adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa, yakni 40 orang dan sebagian kecil lainnya adalah petani, pengusaha, profesional, dan pensiunan, yaitu masing-masing satu orang. Sedangkan pendidikannya sebagian besar berlatarbelakang SMA, dan hanya sebagian kecil saja dari sekolah dasar. Hal ini menunjukan keberadaan Warmasif masih didominir oleh mereka yang berlatar belakang pelajar dan mahasiswa. Data secara rinci dapat dilihat pada tabel 1.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

109

Tabel 1 Identitas Responden


Identitas Responden Usia Krg. Dr. 17 th. 17-24 th. 25-32 th. 33-40 th. 41-48 th. 49-56 th. 57 th. lebih Jumlah Pekerjaan Pelajar/mhsw. Karyawan Petani/nelayan PNS/ABRI Pengusaha Profesional Pensiunan Tidak kerja Ibu rumah tgg. Lain-lain ... Jumlah Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana Jumlah 1 2 5 2 10 3 4 3 10 5 4 1 10 2 6 2 10 1 7 2 10 7 3 10 1 1 4 3 1 10 2 (2,85%) 9 (12,85 %) 38 (55,14 %) 12 (18,57 %) 9 (12,85 %) 70 (100 %) 3 10 5 2 2 1 10 6 1 1 1 2 10 5 1 1 1 1 10 7 10 1 1 10 8 1 1 3 2 2 1 2 2 10 6 40 (57,14 %) 6 (8,57 %) 1 (1,42 %) 3 (4,28 %) 1 (1,42 %) 1 (1,42 %) 1 (1,42 %) 9 (12,85 %) 5 (7,14 %) 3 (4,28 %) 70 (100 %) 4 2 1 2 1 10 3 4 1 2 10 3 1 3 3 10 2 7 1 10 1 1 5 1 1 1 10 3 3 3 1 10 4 3 1 2 10 20 (28,95%) 21 (29,57 %) 13 (18,57 %) 5 (7,14 %) 5 (7,14 %) 4 (5,71 %) 2 (2,85 %) 70 (100 %) Bdg. Bks. Krwng Tskml Pwkrt Grt. Kng Total 7 kota (Persentase)

110

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Berdasarkan karakteristik/identitas responden tersebut, secara keseluruhan dari jawaban yang diberikan dipandang cukup memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam pembahasan hasil penelitian. Pemanfaatan Warmasif Frekuensi pemanfaatan Warmasif di Kantor Pos sejak berdirinya awal tahun 2007, adalah 1-3 kali 51 (72,86%); 4-6 kali 15 (21,43%); 7-9 kali 4 (5,71%). Keberadaan Warmasif tergolong baru, dan belum semua masyarakat mengetahui , hal ini karena sosialisasi belum optimal. Sebagian besar pengguna Warmasif pemanfaatannya antara 1 sampai 3 kali , dan tidak ada seorangpun yang telah mengunjungi 10 kali lebih. Kurangnya masyarakat menggunakan Warmasif dimungkinkan karena letaknya hanya di kantor pos, serta ada persaingan dari usaha sejenis yang bertebaran di sudut-sudut kota, seperti warnet (warung internet).

Tabel 3 Asal Mula Mengetahui Warmasif


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sumber Keluarga Teman Tempat kerja Pemerintah Media cetak (surat kabar,majalah dll.) Media elektronik (televisi, radio, internet dll.) Di Kantor Pos Lainnya Jumlah Frekuensi 9 11 1 7 8 28 5 70 Persentase 15,71 21,43 2,86 11,43 14,28 27,14 2,86 100

Asal mula para responden mengetahui keberadaan Warmasif, sebagian besar dari Kantor Pos, baik sewaktu ada urusan dengan perposan, atau mengetahui ketika lewat ke kantor pos secara tidak sengaja. Hal ini wajar karena Warmasif keberadaannya masih satu
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 111

atap dengan Kantor Pos, dan masih dikelola oleh pegawai pos sendiri. Sedangkan dari kalangan pemerintah dinilai usaha sosialisasi kurang optimal, sehingga dari 70 responden tidak ada yang tersentuh. Selanjutnya , asal mula mengetahui Warmasif dari pihak keluarga, teman, dan dari media elektronik berimbang. Bila dari keluarga dan teman diperoleh dari informasi langsung, sedangkan media didasarkan pada terpaan yang mereka peroleh. Sedangkan mereka yang menyatakan lainnya adalah yang tidak menyebut secara pasti darimana asal mula mengetahui istilah Warmasif atau ragu menyebut sumber beritanya. Tabel 4 Motif Pemanfaatan Warmasif
No. Ya Tidak F % F % 61 87,14 9 12,86 1. Pemenuhan kebutuhan informasi 60 85,71 10 14,29 2. Pemenuhan kebutuhan hiburan 3 Pemenuhan kebutuhan komunikasi/interaksi sosial 49 70,00 21 30,00 Motif

Motif penggunaan Warmasif oleh pengguna sebagian besar adalah untuk pemenuhan kebutuhan informasi dan hiburan, dan sebagian kecil lainnya adalah untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. hal ini menunjukkan bahwa media ini sangat berguna untuk dijadikan sebagai media untuk mencari informasi dan hiburan. Sebagaimana dikemukakan oleh MC Quail bahwa media massa harus dapat digunakan untuk mencari informasi tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia. (McQuail,1987:72). Pemenuhan Kebutuhan Informasi Pemenuhan kebutuhan informasi yang diungkap adalah : kebiasaan dalam mencari informasi, jenis informasi yang dicari, fasilitas yang sering digunakan , frekuensi per minggu , dan sikap mengenai informasi media internet.

112

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Tabel 5 Jenis Informasi


No. 1 Jenis Informasi Frekuensi 22 14 27 10 8 30 5 43 7 166 Persentase 13,25 8,43 16,26 6,02 4,82 18,07 3,01 25,90 4,21 100

Informasi yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan bidang pendidikan (e-learning atau e-education) Informasi yang berhubungan dengan bidang 2 kesehatan Referensi perpustakaan (library online) 3 Mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam bidang perdagangan, sep. Menjual, membeli, 4 promosi produk (e-commerce) Belajar tentang menggunakan komputer 5 Mencari pekerjaan melalui internet 6 Mencari informasi pemerintahan (e7 government) Informasi sosial, politik, budaya, olah raga dll. 8 (umum). Lainnya 9. Jumlah n: 70, lebih dari satu jawaban.

Jenis informasi yang bersifat umum (sosial,politik, budaya, olah raga dan lain-lain) yang sering di akses oleh para pengunjung warmasif, disamping itu tidak sedikit yang mengakses tentang informasi di bidang pendidikan (e-education), mencari referensi perpustakaan (library online), dan informasi tentang lowongan pekerjaan. Sebaliknya informasi yang berhubungan dengan bidang perdagangan, seperti menjual, membeli, promosi produk (ecommerce) utamanya dari sektor usaha kecil dan menengah (UKM) , serta di bidang kesehatan yang notabene program dari Warmasif kurang diminati oleh penggunanya. Hal ini karena sebagian pengunjung Warmasif dari kalangan generasi muda (pelajar dan mahasiswa) yang kurang begitu berkepentingan (concern) dengan masalah-masalah perdagangan dan kesehatan, mereka justru sering mengakses dengan tren-tren yang berkembang dengan tuntutannya.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

113

Fasilitas yang paling sering digunakan para responden untuk mencari informasi adalah fasilitas search engine (mesin untuk mencari) diantaranya yang paling terkenal adalah yahoo dan google yakni 40 (73%). Selanjutnya Website atau situs 8 (8,1%), e-mail (surat elektronik) 5 (9,5%), Chatting 7 (5,4%), FTP/order 1(4,1%)Sikap pengguna tentang informasi yang di akses di Warmasif tergolong bagus , kecuali mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkan yang tergolong berimbang atau cukup bagus. Dari berbagai informasi yang ada di internet ternyata sebagian besar responden menyatakan berita-berita yang ada pada media ini sangat aktual serta selalu mendapatkan topik informasi tertentu yang dicari. Hal ini karena pemegang website atau situs di internet selalu di updating sesuai dengan kejadian faktual di masyarakat. Dengan cara inilah keberadaan media internet akan eksis dicari oleh user serta menyediakan data terbaru ( actual information) dibandingkan dengan media lainnya, seperti media televisi, radio, koran ataupun majalah. Sebaliknya, sebagian kecil dari mereka yang menilai bahwa berita-beritanya tidak aktual dan kurang dipercaya, dikarenakan saat mengakses pemegang website tidak meng up date data yang terbaru. Pemenuhan Kebutuhan Hiburan Tabel 6 Jenis Hiburan Ketika Mengakses Media Internet
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Jenis Hiburan Lagu (MP3) Chatting On-line games Adult web, situs porno Lagu (MP3) danchatting Lagu (MP3) dan on-line games Lagu (MP3) dan situs porno Chatting dan on-line games Chatting dan situs porno Jumlah Frekuensi 8 22 5 7 5 10 3 60 Persentase 13,4 35,8 9 7,5 9 17,9 7,5 100

Dari tabel di atas tergambar bahwa salah satu jenis hiburan yang paling banyak dicari oleh pengguna Warmasif adalah chatting . Hal ini
114 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dilakukan tidak hanya untuk berinteraksi dengan teman atau dengan sanak saudara yang tinggal saling berjauhan, tetapi juga dilakukan dengan individu yang sama sekali tidak saling mengenal, tidak hanya sekedar berkenalan secara online. Jenis hiburan lainnya adalah mendengarkan dan men-download lagu-lagu berformat MP3, baik lagu baru atau lama yang tak kalah kualitasnya dengan CD audio yang berformat Wav. Salah satu situs yang paling terkenal dan paling banyak digemari adalah www.mp3.com. Fasilitas yang paling sering digunakan untuk mencari hiburan adalah : search engine 46,3%, website atau situs 4,5%, e-mail 1,5%, chatting 38,8%, FTP 9%. Hampir setengah responden menggunakan search engine karena tidak mengetahui alamat situs yang akan dituju, sehingga penggunaan fasilitas ini sangat membantu dalam hal pencarian alamat situs yang dimaksud. Fasilitas chatting juga dapat digunakan untuk menghibur diri dengan cara melakukan percakapan dengan teman, keluarga, bahkan berkenalan dengan orang yang tinggal di luar negeri. Pemenuhan Kebutuhan Berkomunikasi Jenis interaksi sosial yang sering dilakukan adalah percakapan online dinyatakan oleh 53,7%, dan berkirim surat secara online 46,3%. Banyaknya yang melakukan interaksi berupa percakapan secara online dengan sebutan chatting, karena sebagai salah satu cara menjalin komunikasi dengan kerabatnya secara realtime. Begitu pula berkiriman surat secara online, tidak hanya dalam kecepatan proses pengiriman, tetapi menyangkut biaya yang murah. Fasilitas yang sering digunakan untuk berkomunikasi / interaksi sosial tergambar sebagai berikut : search engine 2 orang (3,7%), website atau situs 4 orang (6,1%), e-mail 21 orang (30,5%), chatting 39 orang (53,7%) dan e-mail serta chatting 4 orang (6,1%). Banyaknya yang tertarik menggunakan fasilitas chat dikarenakan mereka dapat menjadi bagian dari penduduk dunia yang sedang on line. Begitu pula penggunaan e-mail, mereka dapat berkiriman surat dengan berbagai macam data, seperti file gambar, lagu, suara bahkan file video. Responden beranggapan bahwa berkirim surat secara online cukup mudah, begitu pula dalam hal kerahasiaan atau privacy menyatakan penggunaan e-mail cukup terjaga. Hal ini karena pada
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 115

setiap alamat e-mail yang responden miliki dilindungi oleh password atau kata kunci yang hanya diketahui oleh para responden itu sendiri. Seperti terlihat pada tabel berikut, Tabel 7 Sikap Pengguna Tentang berkomunikasi Pada Media Internet
Sikap No. 1 2 3 4 Interaksi Sosial/komunikasi

F
Berkiriman surat secara on-line cukup mudah Berkiriman surat secara on-line kerahasiaannya cukup terjaga Merasa aman berbicara terus terang ketika chatting Mempercayai perkataan lawan bicara ketika chatting 48 35 37 10

Ya %
98,8 55,7 53,4 18,2

F
1 14 12 39

Tidak %
1,1 44,3 46,6 81,8

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemenuhan kebutuhan informasi pada warung masyarakat informasi (Warmasif) di Provinsi Jawa Barat kurang optimal dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna (user) sesuai dengan tujuan dan sasarannya, yakni dalam upaya mengembangkan perdagangan komoditi unggulan melalui perdagangan elektronik/ecommerce, serta meningkatkan layanan informasi pendidikan masyarakat. Sebaliknya mereka lebih banyak mengakses jenis informasi bersifat umum, yaitu informasi politik, budaya, olah raga, cari kerja, dan lainnya. 2. Motivasi dalam pemenuhan kebutuhan hiburan di Warmasif dinilai tinggi, yakni keinginan untuk sejenak melarikan diri dari realitas hidup, mencari kesenangan hedonistik, mencari kepuasan pribadi dan pelepasan emosi, serta jenis hiburan yang berbeda dengan yang didapat media lainnya. Pemenuhan kebutuhan hiburan biasanya dilakukan dengan cara melakukan chatting, men-download atau

116

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

mendengarkan lagu berformat MP3, bermain game online, atau membuka situs-situs porno. 3. Motivasi dalam melakukan komunikasi dapat menyerupai interaksi dunia nyata yakni dengan menggunakan webcam ketika melakukan chatting. Pemenuhan kebutuhan interaksi sosial biasanya dilakukan dengan percakapan secara on-line dengan sebutan internet relay chat (IRC) atau chatting, karena sebagai salah satu cara menjalani komunikasi dengan kerabatnya secara realtime. Begitu pula berkiriman surat secara online, tidak hanya dalam kecepatan proses pengiriman, tetapi menyangkut biaya yang murah. Saran 1. Hendaknya kesepakatan kerja sama antara Ditjen Aplikasi Telematika dengan PT POS Indonesia tentang Warmasif lebih ditingkatkan sosialisasinya, sehingga masyarakat dapat mengetahui keberadaannya didalam upaya meningkatkan layanan informasi dan pendidikan masyarakat. 2. Hendaknya pengelola Warmasif untuk lebih meningkatkan kemampuan mengakses internet, menambah fasilitas yang dapat memanjakan pelanggan, serta biaya akses internet yang lebih murah lagi kepada masyarakat, sehingga akan termotivasi lagi menggunakannya sebagai media informasi dan komunikasi. 3. Idealnya Warmasif berada di daerah-daerah yang memiliki komoditas unggulan tetap, seperti pertanian, perikanan, hasil kerajinan, dan lain-lain. Untuk selanjutnya dapat diberdayakan lagi, seperti pemasaran melalui internet, transaksi online, promosi barang dan akses digital lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Gerungan, WA,. 1983. Psychology Sosial. Bandung : PT Erasco. Arikunto, Suharsimi.1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta : Rineka Cipta. Effendi, Onong U. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : Citra Aditya Bakti. Mc.Quail. Denis. 1994. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 117

Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosda Karya. -------------------------. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja Rosda Karya. Yuswanto, Toni Edi. 2000. Web Design Plus. Bandung : Multiunion. Sumantri, Suryana. 2001. Perilaku Organisasi. Bandung : Universitas Pajajaran.Febrian, Jack. 2002. Menggunakan Internet. Bandung : Informatika. Kominfo,2002, Sistem Informasi Nasional. Departemen Komunikasi dan Informatika. Tersedia di : http//www.depkominfo.go.id Pareno,Sam Abede,2005. Media Massa, Antara Realitas dan Mimpi. Surabaya : Papyrus.

Sumber lainnya : 1. Departemen Komunikasi dan Informatika, Direktorat E-Business, Dirjen Aplikasi Telematika. Warung Masyarakat Informasi Indonesia, 2006. 2. Proyek Bappenas dan UNDP, Infomobilisasi , 2007, Jakarta. 3. Badan Litbang SDM, Pusat Litbang Aptel dan SKDI, Studi Pemberdayaan CAP Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan, Depkominfo, 2007 4. Situs resmi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) (http://www.apjii.or.id) dan situs http://www. Indonesiatelecenter.co.id 5. Situs lainnya : yahoo.com, google.com, berita.com, dan detik .com. 6. Hasil Pengumpulan Data Basis Tentang Lembaga Komunikasi Massa di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2006, BPPI Wil. III Bandung, Depkominfo RI.

118

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

SIKAP JURNALIS TERHADAP CITIZEN JOURNALISM Dida Dirgahayu* Abstraksi Saat ini, pers berada dalam situasi di mana pengertian wartawan dan media mengalami pergeseran penting sebagai akibat dari berkembangnya dua hal. Yaitu perkembangan jurnalistik dan perkembangan media. Dunia jurnalistik kini mulai mengalami perubahan, dulu reportase adalah tugas khusus yang dibebankan kepada wartawan atau reporter media massa, maka sekarang setiap warga bisa melaporkan peristiwa kepada media. Inilah yang kemudian disebut sebagai citizen journalism. Permasalahan penelitian ini adalah : bagaimana sikap jurnalis terhadap citizen journalism. Merupakan penelitian deskriptif (descriftive studies) dengan metode pendekatan kuantitatif. Manfaat penelitian ini diantaranya untuk memberikan gambaran tentang eksistensi citizen journalism diantara civic journalis (media mainstream) yang lazim disebut media massa. Kata kunci : Sikap, Jurnalis, Citizen Journalism

PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi telah mengubah hakekat media. Dengan internet, kini berkembang situs-situs lembaga maupun pribadi. Selain itu, berkembang juga weblog atau blog, di mana setiap orang bisa melaporkan peristiwa di sekelilingnya, atau paling tidak, melaporkan gagasannya kepada publik. Dengan demikian, kalau dulu media didirikan oleh lembaga, atau individu yang mempunyai uang dan kekuasaan (power), kini setiap individu bisa membuat media. Karena itu, di zaman internet ini, setiap individu juga adalah media. Dengan perkawinan jurnalistik baru dengan perkembangan teknologi
*

Dida Dirgahayu, S.Sos adalah peneliti pertama Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BP2KI) Bandung.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 119

media kita menyaksikan bahwa setiap individu adalah reporter, dan setiap individu adalah media. Pada saat bom Bali I dan II meluluh lantakkan bangunan, hasil rekaman masyarakat awam lah yang ditayangkan oleh media elektronik, dan menjadi foto utama media cetak. Ketika banjir, misalnya, begitu banyak warga masyarakat yang memberikan informasi kepada radio, televisi, media online. Begitu banyak peristiwa di sudut kota yang tidak ter-cover oleh media mainstream, tetapi dikabarkan dengan baik oleh masyarakat. Dengan berkembangnya citizen journalism, ternyata fungsi melaporkan sudah bukan tugas eksklusif wartawan/ reporter. Pertanyaannya adalah, apakah laporan awam bisa dikatagorikan sebagai berita. Apakah citizen journaslism dapat disetarakan atau masuk dalam katagori jenis jurnalistik ( media mainstream) atau sebatas ruang publik. Berdasarkan realitas inilah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sikap jurnalis surat kabar terhadap citizen journaslism. Permasalahan Pokok Dan Indetifikasi Masalah Permasalahan pokok dari penelitian ini adalah : Bagaimana sikap jurnalis terhadap citizen journaslism? Identifikasi masalahnya adalah : 1. Bagaimana pengetahuan dan pemahaman jurnalis tentang citizen journaslism ? 2. Bagaimana penilaian jurnalis terhadap citizen journaslism ? 3. Bagaimana reaksi jurnalis terhadap citizen journalism ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan : 1. Pengetahuan dan pemahaman jurnalis tentang citizen journaslism 2. Penilaian jurnalis terhadap citizen journaslism 3. Reaksi jurnalis terhadap citizen journalism Manfaat Penelitian ini layak dilakukan karena bermanfaat untuk memperoleh gambaran tentang sikap jurnalis terhadap citizen journaslism. Hasil penelitian dan kajian ini akan memberikan data awal, gambaran dan aspirasi para jurnalis.
120 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Kerangka Teori Kognisi menurut Scheerer, adalah proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal) diri sendiri. Penekanan Scheerer tidak hanya peristiwaperistiwa yang sifatnya eksternal tetapi lebih jauh adalah peristiwa yang ada dalam dirinya atau faktor internal. Komponen kognisi menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan (senang atau tidak senang) terhadap obyek. komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesediaan/kesiapan untuk bertindak terhadap obyek (Shaver,177). Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu sistem kognitif. Ini berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari perasaannya. Masing-masing komponen tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek. Aspek kognisi merupakan aspek penggerak perubahan karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan kemauan berbuat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara kognitif, afektif, dan konatif. Berdasarkan pendekatan ini setiap orang akan mencari keseimbangan dalam bidang kognisinya dan terbentuk dari sikap yang bersangkutan. Apabila terjadi ketidakseimbangan, individu akan berusaha mengubahnya sehinggga terjadi keseimbangan kembali.(SeverinTankard 2005:295). Operasional konsep dari sikap mengacu kepada tiga komponen dari sikap sebagai indikator, dimana masing-masing mempunyai fungsi yang diarahkan terhadap objek tertentu/ stimulus tertentu. Yaitu : 1. Komponen kognitif, pengetahuan, pengalaman, pengertian, pemahaman jurnalis tentang citizen journalism. 2. Komponen afektif, menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Objek dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, hal disukai atau tidak. Reaksi ini dipengaruhi kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi suatu objek. 3. Komponen konatif, berhubungan dengan kecenderungan untuk beraksi, bertingkah laku dengan cara tertentu, tapi konatif ini tidak meramalkan tingkah laku aktual itu sendiri.(Severin-Tankard,2005 : 295) Citizen journalism, menurut Lily Yulianti (panyingkul.com, 2006), merupakan model jurnalistik baru ini disebut sebagai
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 121

Jurnalisme Orang Biasa .Seperti namanya, Citizen Jurnalism ini memberi pengertian bahwa, setiap individu bebas melakukan kegiatan-kegiatan jurnalistik. Menuliskan pengalaman yang ditemui sehari-hari di lingkungannya, maupun melakukan interperetasi terhadap suatu peristiwa tertentu. Semua individu bebas melakukan hal itu, dengan perspektif masing-masing. Citizen Journalism tidak hadir sebagai saingan, tapi sebagai alternatif yang memperkaya pilihan dan referensi. Berita tidak lagi dilihat sebagai produk yang didominasi wartawan dan institusi pers. Masyarakat biasa seharusnya masuk dalam ekosistem media sebagai unsur yang aktif berinteraksi (http://sulungz.blogs. friendster.com). Tinjauan Pustaka Sikap Menurut Louis Thurstone dan Charles Osgood, sikap merupakan suatu bentuk evolusi atau reaksi perasaan terhadap suatu objek, baik perasaan mendukung atau memihak ( favourable ), atau perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada objek tersebut. (Azwar, 2003:5). Menurut Gerungan (1996:150), sikap merupakan kecenderungan bereaksi terhadap objek-objek, dimana kecenderungan bereaksi ini merupakan cara yang khas tergantung dari motivasi, emosi, persepsi, dan proses kognitifnya. Jurnalis Wartawan (journalist) adalah orang yang terlibat dalam pencarian, pengolahan, dan penulisan berita. Mulai dari Pemimpin Redaksi hingga koresponden yang terhimpun dalam bagian redaksi. Menurut UU No.40/1999 tentang Pers (pasal 1 poin 4), wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Wartawan ( journalist ) adalah orang yang secara rutin melakukan aktivitas jurnalistik, yakni aktivitas peliputan, perekaman, dan penulisan berita, opini, dan feature untuk media massa. Dalam sebuah lembaga penerbitan pers, wartawan masuk dalam Bagian Redaksi (Editor Department) yang dipimpin oleh Pemimpin Redaksi (Editor in Chief). Jadi, tidak semua orang yang bekerja di sebuah perusahaan pers (media massa) adalah wartawan. Merekalah yang memburu berita (fakta atau kejadian), meliput berbagai peristiwa, dan menuliskannya untuk dikonsumsi orang banyak. Di mana terjadi suatu peristiwa,
122 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

wartawan akan berada disana kata M.L Stein (1993:5), Seperti mata dan telinga para pembaca suatu harian. Wartawan adalah suatu profesi yang penuh tanggungjawab dan risiko. Karenanya, ia harus memiliki idealisme dan ketangguhan. Wartawan bukanlah dunia bagi orang yang ingin bekerja dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore setiap hari dan libur pada hari minggu. Tidak ada seorangpun tahu kapan kebakaran atau bencana lain akan terjadi. (Romli :2003 :8) Citizen Journalism Internet kini menjadi new media, media kontemporer yang memberi wahana baru dalam aktualitas pemberitaan. Lebih dari media apa pun yang telah ada. Keunggulan itu akhirnya dipergunakan oleh sebagian pihak untuk menjadikan media internet sebagai salah satu wadah media mainstream. Kendati begitu, pemberitaan atau penyebaran informasi di media internet ini tetap terpolarisasi pada model diktum. Bahkan lebih kuat dan leluasa. Karena regulasi pers maupun undang-undang pada media internet ini sangat kabur dan tidak tegas. Walhasil, awan pun mendapatkan kembali posisi lamanya. Perbedaan mendasar antara media mainstream yang tumbuh lebih awal dengan media mainstream pada internet, hanya terletak pada kecepatan penyampaian. Berdasar kesadaran itu, sejumlah orang melakukan pemikiran-pemikiran untuk menembus batas ini. Blog sebenarnya sebuah website juga. Website seperti kita ketahui adalah satu lembaran informasi yang ada di internet. Jadi ketika kita masuk ke internet, misalnya membaca berita surat kabar atau salah satu informasi departemen pemerintah atau perusahaan, itu yang kita sebut dengan Website. Weblog atau blog adalah versi mutakhir dari web. Disebut mutakhir karena di weblog kita bisa berkomunikasi, berdialog dengan orang yang memiliki blog. (http://www.pontianakpost.com) Pemberitaan Citizen Journalism lebih mendalam dengan proses yang tak terikat waktu, seperti halnya tenggat deadline di media mainstream. Bentuk Citizen Journalism dapat dilihat pada proses penayangan berita di televisi, dengan menggunakan visual dari masyarakat (kameramen amatir). Citizen Journalism dinilai sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat untuk menyuarakan pendapat secara lebih leluasa, terstruktur, serta dapat diakses secara umum dan sekaligus menjadi rujukan alternatif.
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 123

Antara jurnalis dengan aktifitas bloger Penulisan informasi adalah aktifitas penulisan atau penyusunan berita, opini, dan feature untuk dipublikasikan atau dimuat di media massa tentang peristiwa atau gagasan. Aktivitas tersebut dilakukan oleh wartawan (journalist) dan penulis (writter). Karenanya, jurnalistik disebut sebagai dunia kewartawanan. Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers (pasal 1 poin 4), wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.(M. Romli, 2005 : 6) Sebagai ujung tombak bagi suatu penerbitan surat kabar atau media massa lainnya, wartawan setidaknya mempunyai standar profesi sejati (real journalist) disamping aturan profesi lainnya. Wartawan media mainstream melakukan peliputan atas peristiwa berdasar pada tugas keredaksian, wartawan media mainstream membatasi diri pada 'informasi apa dan yang bagaimana' diinginkan pasar. Dalam aktifitas seorang bloger, sangat pasti tidak mengenal polarisasi pemberitaan karena semuanya tergantung kepada interest kemampuan penulis (bloger). Perbedaan nyata antara citizen journalist dan wartawan yang bekerja di media massa, dijelaskan dengan rinci oleh Bentley (2005) sbb: "Seorang wartawan yang bekerja di media massa, melakukan liputan karena penugasan, sementara seorang citizen journalist menuliskan pandangannya atas suatu peristiwa karena didorong oleh keinginan untuk membagi apa yang dilihat dan diketahuinya." Seorang penulis pada Citizen Journalism melakukan tugasnya dengan proses penetrasi terhadap obyek pemberitaan dengan totalitas dan penuh atmosfir. Citizen Journalism menjadi wadah 'gairah bercerita' dari semua individu. Jurnalisme yang berkembang saat adalah jurnalisme yang berbasis pada penggunaan teknologi internet, salah satunya adalah penggunaan weblog yang memungkinkan orang untuk menyuarakan opini terhadap berbagai peristiwa secara bebas. Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu. Clyde H. Bentley, guru besar madya pada Sekolah Tinggi Jurnalistik Missouri AS, menilai bahwa meski sebagian besar masyarakat tidak ingin menjadi jurnalis, tapi mereka ingin berkontribusi secara nyata dengan menuliskan pikiran atau pendapat mereka tentang suatu hal. Citizen Journalism menjadi pengimbang dari media-media yang selama ini melakukan pemberitaan berdasar kepentingan. Perspektif pembaca yang muncul dari suatu berita media mainstream yang terbiasa terpola
124 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

berdasar visi dan misi suatu media, relatif akan lebih murni di citizen journalism ini. Jumlah informasi yang di tawarkan citizen journalism akan lebih banyak dan beragam sementara media mainstream terikat dengan jumlah halaman (suratkabar), durasi penayangan (televisi) atau durasi penyiaran (radio). Berdasarkan kaidah jurnalistik dan teori tentang media massa seperti dikemukakan di atas, aktifitas maupun media yang digunakan dalam citizen journalism bukanlah sebuah jurnalistik baru atau bagian dari civic journalism, berbeda dan tidak bisa disamakan dengan dengan media mainstream pada umumnya. Demikian pula dipandang dari sudut pelakunya, aktifitasnya seorang bloger tidak sama dengan profesi seorang wartawan. Hal positif yang perlu disambut baik oleh kalangan citizen journalism maupun civic journalism adalah bahwa keduanya dapat saling mengisi dan memosisikan dirinya sebagai sumber informasi. Media massa sebagai media mainstream (civic journalism) Sebenarnya apa yang disebut sebagai civic journalism. Mungkin akan banyak orang yang rancu dengan istilah citizen journalism, padahal keduanya sama sekali berbeda. Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu (dalam pengertian setiap orang adalah wartawan dan kerja wartawan bisa dilakukan oleh setiap orang). Sedangkan civic journalism adalah upaya wartawan profesional dan media tempat mereka bekerja untuk lebih mendekat dengan persoalan warga (pembacanya), serta ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan itu secara langsung. Bukan hanya memberitakan peristiwa atau fenomena dalam sikap yang objektif dan imparsial, tapi lebih menyatu dan terlibat dalam membimbing warga dan mendorong warga untuk melakukan sesuatu. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas suatu fakta atau peristiwa yang dipilihnya, diantaranya realitas dari proses kampanye pemilu. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceriterakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Isi media pada hakikatnya adalah hasil rekonstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya, sedangkan bahasa bukan saja alat untuk merefresentasikan realitas,

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

125

namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. (Sobur, 2002 : 88). Institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan tersebut membuat kita mampu untuk memetik pelajaran dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap pengalaman itu, dan memperkaya khasanah pengetahuan masa lalu, serta menjamin kelangsungan perkembangan pengetahuan kita. Secara umum, dalam beberapa segi media massa berbeda dengan institusi pengetahuan lainnya (misalnya seni, agama, pendidikan, dan lain-lain) : Media massa memiliki fungsi pengantar (pembawa) bagi segenap macam pengetahuan. Jadi, media massa juga memainkan peran institusi lainnya. Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama. Media menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya dan sudah sejak dahulu mengambil alih peran sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain. Menurut asumsi dasar di atas, lingkungan simbolik di sekitar (informasi, gagasan, kepercayaan, dan lain-lain) seringkali kita ketahui melalui media massa, dan media pulalah yang dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik yang berbeda. Lingkungan simbolik itu semakin kita memiliki bersama jika kita semakin berorientasi pada sumber media yang sama. Meskipun setiap individu atau kelompok memang memiliki dunia persepsi dan pengalaman yang unik, namun mereka memerlukan kadar persepsi yang sama terhadap realitas tertentu sebagai prasyarat kehidupan sosial yang baik. Sehubungan dengan itu, sumbangan media massa dalam menciptakan persepsi demikian mungkin lebih besar daripada institusi lainnya. Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi (penengah/ penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa berperan sebagai penengah dan penghubung dalam pengertian bahwa: media massa seringkali berada diantara kita; media massa dapat saja berada diantara kita dengan institusi lainnya yang ada kaitannya dengan kegiatan kita; media massa dapat menyediakan saluran penghubung bagi berbagi institusi yang berbeda; media juga menyalurkan pihak lain untuk menghubungi kita, dan menyalurkan kita untuk menghubungi pihak lain; media massa seringkali menyediakan bahan bagi kita untuk membentuk persepsi
126 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

kita terhadap kelompok dan organisasi lain, serta peristiwa tertentu. Melalui pengalaman langsung kita hanya mampu memperoleh sedikit pengetahuan. Definisi Konsep Dan Operasional Konsep Definisi konsep dalam penelitian ini adalah : 1. Sikap Menurut Gerungan ( 1996:150), sikap merupakan kecenderungan bereaksi terhadap objek-objek, dimana kecenderungan bereaksi ini merupakan cara yang khas tergantung dari motivasi, emosi, persepsi, dan proses kognitifnya. Operasional konsep dari sikap mengacu kepada tiga komponen dari sikap sebagai indikator, dimana masing-masing mempunyai fungsi yang diarahkan terhadap objek tertentu/ stimulus tertentu. Yaitu : 1. Komponen kognitif, pengetahuan, pengalaman, pengertian, pemahaman jurnalis tentang citizen journalism. 2. Komponen afektif, menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Objek dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, hal disukai atau tidak. Reaksi ini dipengaruhi kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi suatu objek. 3. Komponen konatif, berhubungan dengan kecenderungan untuk beraksi, bertingkah laku dengan cara tertentu, tapi konatif ini tidak meramalkan tingkah laku aktual itu sendiri. 2. Citizen journalism Menurut Lily Yulianti (panyingkul.com, 2006), di Indonesia model jurnalistik baru ini disebut sebagai Jurnalisme Orang Biasa .Seperti namanya, Citizen Jurnalism ini memberi pengertian bahwa, setiap individu bebas melakukan kegiatankegiatan jurnalistik. Menuliskan pengalaman yang ditemui seharihari di lingkungannya, maupun melakukan interperetasi terhadap suatu peristiwa tertentu. Semua individu bebas melakukan hal itu, dengan perspektif masing-masing. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif ( descriptive research), bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, akurat, dan faktual, mengenai situasi-situasi, fakta-fakta dari populasi tertentu (Suryabrata,1983:19) Menggambarkan sikap jurnalis terhadap citizen
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 127

journalism. Sejalan dengan paradigma tersebut, penelitian dilakukan melalui pengumpulan data kuantitatif, dan untuk memperoleh data yang lebih mendalam dilakukan juga pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam. Tehnik penelitian ini adalah survey. Survey adalah satu bentuk teknik penelitian di mana informasi dikumpulkan dari sejumlah sampel berupa orang, melalui pertanyaanpertanyaan; satu cara mengumpulkan data melalui komunikasi dengan individu-individu dalam suatu sampel (Zikmund,1997). Populasi penelitian ini adalah jurnalis surat kabar di Kota Bogor. Jurnalis dalam penelitian ini dibatasi pada jurnalis yang bekerja / mempunyai bidang tugas redaksi/ baik redaktur maupun wartawan pada media massa surat kabar dan melakukan pencarian (peliputan) berita yang ada di Kota Bogor. Sampel ditentukan secara purposive sampling yaitu 64 jurnalis ( yang bekerja / mempunyai bidang tugas redaksi/ baik redaktur maupun wartawan, melakukan pencarian (peliputan) berita, calon responden memiliki pengetahuan tentang citizen journalism. Pemilihan sampel dilakukan secara tidak acak (non probability sampling). Dengan keterbatasan yang ada, tidak dimungkinkan dibuat kerangka sampling. Pengolahan data dilakukan dengan mengolah jawaban hasil wawancara dan kuesioner, dimasukan dalam tabel frekuensi dan persentase yang selanjutnya diinterpretasikan dan dianalisis. Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2007 di Kota Bogor, lokasi ini dipilih karena berdasarkan data dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat, Kota Bogor mempunyai jumlah wartawan yang bertugas sebanyak 317 orang.di daerah tersebut mempunyai jumlah wartawan yang banyak, merupakan daerah perkotaan sehingga akses jurnalis terhadap internet relatif lebih dimungkinkan.

128

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pengetahuan, Journaslism dan Pemahaman Jurnalis Tentang Citizen

Dari 64 orang responden, sebanyak 56 responden (86,15%) memiliki handphone sebagai alat yang memiliki/ bisa koneksi internet, 8 responden (13,85%) memiliki handphone tidak memiliki koneksi internet. Semua responden ( 64 orang ) memiliki perangkat komputer, dan sebanyak 47 orang (73,43%) memiliki fasilitas internet, dan 17 responden (26,57%) memiliki perangkat komputer tanpa koneksi internet. Bagi responden yang tidak memiliki handphone dan perangkat komputer berkoneksi internet, semuanya menyatakan tetap mengakses internet di kantor tempat bekerja. Data di atas menunjukan bahwa handphone dan internet telah menjadi bagian dari seorang jurnalis (wartawan), handphone bukan saja berfungsi sebagai komunikasi diantara perseorangan, tetapi kelengkapan fitur internet menunjukan bahwa kebutuhan informasi yang bisa diperoleh melalui akses internet lewat handphone telah menjadi kebutuhan. Demikian pula dengan kepemilikan perangkat komputer yang mempunyai fasilitas koneksi internet, telah memungkinkan seorang jurnalis melakukan pencarian sumber informasi, bahkan inspirasi melalui content yang tersedia dalam internet. Secara aplikatif, koneksi internet memungkinksn seorang jurnalis di lapangan untuk mengirim berita, baik dalam bentuk kata-kata atau gambar kepada perusahaan/ penerbitnya.Jawaban di atas menunjukan, bahwa handphone dan internet sebagai salah satu bentuk teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi fasilitas yang dimiliki dan mendukung pekerjaan jurnalis. Tingginya tingkat kebutuhan responden terhadap berbagai ragam informasi yang tersedia di berbagai situs internet. Analisis di atas diperjelas dengan gambaran tentang frekuensi penggunaan fasilitas internet. Dari 64 responden, sebanyak 58 responden (90,62%) mengakses internet setiap hari, dan 6 responden (9,38%) mengakses internet sesuai keperluan. Analisis tentang tingkat kebutuhan jurnalis terhadap teknologi informasi berupa akses internet, dan teknologi komunikasi handphone berkoneksi internet, diperkuat dengan gambaran tentang frekuensi
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 129

penggunaa, dimana sebagian besar responden menyatakan setiap hari mengakses internet. Dalam mengakses internet, 37 responden (57,81%) melakukannya antara 1 2 jam, 9 responden (14,6%) antara 3 4 jam, dan 18 responden (38,13%) menyatakan memgkses internet dengan frekuesi yang tidak menentu. Data ini menunjukan bahwa, semua responden menyatakan dalam setiap mengakses internet rata-rata di atas satu jam. Dalam mempergunakan fasilitas internet, 57 responden (89,06%) melakukannya berkaitan dengan pekerjaan, dan 9 responden (10,94%) mengakses tidak berhubungan dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Data ini menunjukan, bahwa handphone berakses internet serta perangkat komputer berkoneksi internet merupakan perangkat atau fasilitas pendukung responden yang berprofesi wartawan. Dari 57 responden, 23 responden (40,35%) mengakses internet untuk mengirim e-mail tentang berita ke redaksi, 11 responden (19,29%) untuk mencari data / berita , 8 responden (14,03%) melakukan komunikasi , 15 responden (26,33%) mengakses internet dengan keperluan yang beragam ( keperluan lainnya). Data di atas menunjukan bahwa, frekuensi maupun kebutuhan responden terhadap internet berkaitan langsung dengan pekerjaannya, hal ini tergambar dari sebagian besar responden mempergunakan internet untuk mengirim e-mail, dapat dianalisis bahwa soorang responden yang melakukan pekerjaan sebagai jurnalis dapat mengirimkan beritanya ke penerbit dengan mempergunakan e-mail,. Tentang citizen journalism, Dari 64 responden, seluruhnya mengenal istilah bloger sebagai aktifitas citizen journalism, . Sebanyak 52 responden (81,25%) sangat mengetahui aktifitas bloger, 12 responden (18,75%) menyatakan cukup mengetahui aktifitas citizen journalism. Data di atas menununjukan, bahwa responden selain mempergunakan fasilitas yang berhubungan langsung dengan pekerjaannya sebagai jurnalis, tetapi mengenal juga perkembangan dalam dunia internet, seperti halnya istilah blog dan bloger. Data di atas diperkuat dengan jawaban responden yang sebagain besar menyatakan selain mengenal juga mengetahui aktifitas bloger dalam dunia citizen journalism. Dari 64 responden yang mengenal istilah citizen journalism, sebanyak 51 responden (79,68%) mengenal dari internet, 5 responden
130 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

(7,81%) mengenal dari artikel surat kabar, 3 responden (4,30%) mengenal dari pembicaraan non formal, dan 5 responden (7,81%) mengenal citizen journalism membaca dari buku. Jawaban responden di atas sangat cocok dan sinkron dengan jawaban sebelumnya, dimana internet telah menjadi sumber informasi tentang perkembangan dunia internet. Sebagian besar responden menyatakan mengetahui istilah dan aktifitas citizen journalism justru dari media internet sendiri. Hal ini menunjukan bahwa memang responden memanfaatkan internet dalam menunjang pekerjaannya serta sebagai sumber informasi bagi penambahan wawasannya., Sebanyak 27 responden (42,18%) menyatakan setiap hari membuka web-bloger, 29 responden (45,31%) menyatakan dua hari sekali , dan , 8 responden (12,51%) menyatakan kadang-kadang membuka web bloger. Sama halnya dengan jawaban responden dalam membuka situs internet, responden dalam mengakses situs atau blog cukup tinggi frekuensinya. Sebagian besar responden menyatakan rata-rata setiap hari membuka blog dalam internet. Tentang keperluan membuka web para bloger, Sebanyak 39 responden (60,93%) menyatakan mencari informasi lokal yang tidak tercover oleh media massa, 17 responden (26,56%) menyatakan mencari artikel tentang informasi aktual, 8 responden (12,51%) menyatakan membuka blog karena sesuai dengan keperluan. Data di atas menunjukan bahwa, citizen journalism telah berfungsi sebagai media informasi dan sumber data bagi pekerjaannya sebagai jurnalis. Responden telah menempatkan citizen journalism sebagai back up data dan informasi terhadap hala-hal yang tidak diperoleh oleh dirinya sebagai jurnalis. Penilaian Jurnalis Tentang Citizen Journalism Sebanyak 49 responden (76,06.%) menyatakan bahwa citizen journalism membantu tugas mereka sebagai wartawan, dan sebanyak 15 responden (23,94%) menyatakan tidak membantu tugas wartawan . Sebagian besar responden menyatakan bahwa citizen journalism telah membantu dirinya sebagai jurnalis seperti telah di analisa pada jawaban sebelumnya. Namun bagi reponden yang menyatakan bahwa citizen journalism tidak membantu pekerjaanya, dimungkinkan karena

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

131

sumber informasi lain diluar internet masih memadai responden dalam melakukan pekerjaannya. Tentang isi atau content yang ada dalam aktifitas citizen journalism, 52 responden (81,25%) menyatakan bersifat opini, 9 responden (14,06%) menyatakan informasi, data atau lainnya, dan 5 responden (4,69%) menyatakan lebih bersifat ulasan atau pendapat pribadi. Tentang penilaian responden, dapat dianalisis bahwa di samping menyatakan bahwa citizen journalism bermanfaat bagi mendukung bidang kerjanya, responden sangat kritis dan selektif dalam memberikan penilaian tentang isi blog atau isi dari citizen jounalism. Sebagian responden menilai bahwa isi dari aktifitas citizen journalism sebagian besar hanya berupa opini penulis.Jawaban ini menyiratkan bahwa responden menempatkan citizen journalism sebatas sebagai pendukung dan bukan sebagai sumber berita. Tentang data, fakta, atau informasi yang ada dalam aktifitas citizen journalism, 17 responden (26,56%) menyatakan percaya, 39 responden (60,93%) menyatakan tidak percaya dan 8 responden (12,51%) menyatakan ragu-ragu. Terdapat jawaban responden yang menarik untuk dianalisis, bahwa sebagian besar responden menyatakan tidak percaya terhadap isi citizen journalism. Hal ini dimungkinkan karena penilaian responden sebagai jurnalis yang tidak begitu saja menyerap informasi tanpa melalui penelusuran kebenaran informasi. Reaksi Jurnalis Terhadap Citizen Journalism Dari 64 responden, seluruhnya merasa senang dengan kehadiran citizen journalism. 23 responden (35,93%) senang karena menambah sumber informasi, 13 responden (20,31%) karena dapat menambah wawasan, 17 responden (26,56%) karena alasan hiburan, dan 11 responden (11,20%) menyatakan senang terhadap kehadiran citizen journalism karena menunjukan aktifitas menulis masyarakat yang tinggi. Data di atas menunjukan bahwa semua responden menyambut baik aktifitas citizen journalism, selain sebagai sumber informasi, sarana penambahan wawasan dan sarana hiburan, responden sebagai seorang jurnalis menyatakan apresiasinya terhadap aktifitas menulis oleh kalangan bloger.
132 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Namun berkaitan dengan kontribusi citizen journalism terhadap tugas responden sebagai wartawan, 12 responden (18,75%) menyatakan ada kontrinbusinya, 52 responden (91,25%) menyatakan bahwa citizen journalism tidak berkontribusi terhadap tugas responden sebagai jurnalis. Kendatipun menyambut baik kehadiran citizen journalism, dalam hal kontribusi terhadap pekerjaannya, kembali responden menunjukan sikap kritis dan objektifnya. Data di atas menunjukan, sebagian responden menyatakan bahwa citizen jounalism tidak berkontribusi secara langsung terhadap profesinya sebagai jurnalis.Jawaban tersebut dimungkinkan karena memang tidak ada keterkaitan langsung antara seorang jurnalis aktifitas blog yang lazim disebut bloger. Tidak ada keterkaitan antara civic journalism/ media mainstream (media massa pada umumnya) dengan citizen journalism. Bagi 12 responden yang menyatakan citizen journalism berkontribusi terhadap profesi wartawan, 3 responden (24%) beralasan karena citizen jornalism biasa menjadi sumber informasi, 5 responden (41,66%) karena bisa menjadi sumber inspirasi, dan 4 responden (33,34%) menyatakan bahwa citizen journalism berkontribusi dalam hal memberikan wartawan ruang untuk beraktifitas di luar media mainstream. Data yang menunjukan jawaban responden yang menyatakan bahwa terdapat kontribusi citizen journalism bagi dirinya sebagai jurnalis, menegaskan bahwa citizen journalism hanya berkontribusi sebagi sumber inspirasi. Tentang eksistensi citizen journalism dalam media mainstream (media massa pada umumnya), sebanyak 58 responden (90,62%) menyatakan tidak setuju apabila citizen journalis disamakan dengan media mainstream, dan 6 responden (9,38%) menyatakan tidak tahu. Data di atas menunjukan kesamaan dengan pendapat para pakar/ ahli dibidang jurnalistik, bahwa memang tidak bisa disamakan antara media massa pada umumnya dengan citizen journalism. Jawaban responden di atas, sama dengan pernyataan responden tentang eksistensi antara bloger dengan wartawan. Sebanyak 58 responden (90,62%) menyatakan tidak setuju apabila bloger disamakan dengan wartawan, dan 6 responden (9,38%) menyatakan tidak tahu. Pernyataan responden melalui jawabannya tentang tidak bisa disamakannya antara media massa dengan citizen journalism, diperkuat dengan jawaban responden di atas. Sebagian besar responden menyatakan bahwa tidak bisa disamakan antara aktifitas
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 133

bloger dengan aktifitas seorang jurnalis. Lebih jelas sebagian responden menyatakan bahwa tidak setuju apabila aktifitas bloger disamakan dengan profesi wartawan. Persentase jawaban yang sama juga diperoleh dari jawaban tentang eksistensi citizen journalism dengan media mainstream (civic journalism) atau media massa pada umumnya. Sebanyak 58 responden (90,62%) menyatakan tidak setuju apabila citizen journalism disamakan dengan media massa (media mainstream), dan 6 responden (9,38%) menyatakan tidak tahu. Senada dengan ketidak setujuan dan penolakannya terhadap disamakannya antara aktifitas bloger dengan profesi wartawan, sebagian besar menyatakan tidak setuju apabila media massa pada umumnya (surat kabar, radio, 134rgument,dll) disamakan dengan citizen journalism. Jawaban responden tersebut memang objektif dan sangat argumentatif, media massa dan segala perangkatnya, dibentuk dan melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan aturan main yang baku. Tentang alasan tidak bisa disamakannya antara citizen journalism dengan civic journalism (media massa) yang diberikan oleh 58 responden, sebanyak 37 responden (53,79%) beralasan karena medianya berbeda, 21 responden (36,20%) karena audiensnya berbeda, dan 6 responden (10,01%) beralasan karena tidak ada persamaan sama sekali. Selain bentuk medianya yang berbeda, responden menilai bahwa tidak bisa disamakannya antara civic journalism/ media mainstream atau media massa pada umumnya dengan citizen journalism, karena faktor audiencenya pun sangat berbeda.

PEMBAHASAN Berdasarkan jawaban responden yang diberikan dan telah dianalisis di atas, pengetahuan, pemahaman sebagai (aspek kognitif), penilaian (aspek afektif), dan kecenderungan reaksi ( aspek konatif) responden sebagai seorang jurnalis sangat sesuai dengan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Responden sebagai seorang yang berprofesi jurnalis melalui jawabannya telah memberikan gambaran dan reaksinya tentang citizen journalism. Sebagai jurnalis, jawaban responden yang menggambarkan pengetahuan, pemahaman, penilaian dan reaksinya terhadap citizen
134 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

journalism. Gambaran sikap responden tersebut secara teoritis mengacu kepada teori atau konsep tentang sikap. Yaitu : 1. Komponen kognitif, pengetahuan, pengalaman, pengertian, pemahaman jurnalis tentang citizen jounalism. 2. Komponen afektif, menyangkut masalah emosional subjektif seorang jurnalis terhadap citizen journalism, dipengaruhi kepercayaan atau apa yang responden percayai sebagai benar dan berlaku bagi suatu objek. 3. Komponen konatif, berhubungan dengan kecenderungan untuk beraksi, bertingkah laku dengan cara tertentu, tapi konatif ini tidak meramalkan tingkah laku aktual itu sendiri.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengetahuan dan pemahaman jurnalis tentang citizen journaslism. Para jurnalis dalam penelitian ini telah mengetahui dan memahami istilah dan aktivitas citizen journalism. Sumber informasi tentang citizen journalism berasal dari informasi/ content dalam internet dan buku . Dalam memanfaatkan blog sebagai aktivitas citizen journalism, para jurnalis mempunyai frekuensi dan intensitas waktu yang tinggi. Selain sebagai sumber informasi dan data tambahan, citizen journalism juga berfungsi sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai jurnalis. Para jurnalis memahami timbulnya citizen journalism sebagai ruang publik melalui media internet dalam rangka partisipasi masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya, menceriterakan apa yang terjadi disekitarnya. Para jurnalis telah mempergunakan weblog dengan frekuensi dan intensitas waktu penggunaan yang cukup tinggi 2. Penilaian jurnalis tentang citizen journaslism. Terdapat penilaian yang kritis dan objektif dari para jurnalis, bahwa isi atau content dari blog sebagai media citizen journalism sebagian merupakan tulisan berbentuk opini dan ulasan. Dari penilaian tersebut memunculkan penilaian lainnya bahwa opini dan ulasan kurang dipercaya validitasnya, penilaian ini argumentatif karena sebagai seorang jurnalis dalam membuat berita tidak mencampurkan antara opini dan fakta. Para jurnalis menilai bahwa
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 135

kehadiran citizen journalism melalui aktifitas bloger telah membantu pekerjaannya sebagai jurnalis. Kontribusi yang diberikan citizen journalism diantaranya berupa sumber informasi dan inspirasi dalam hal informasi. 3. Reaksi jurnalis tentang citizen journalism. Para jurnalis merasa senang dan menyambut baik aktifitas citizen journalism, karena merupakan satu media bagi penyaluran dan peningkatan kemampuan menulis, penyampaikan pendapat, serta mengangkat sesuatu yang terjadi pada lingkungan sekitarnya. Kendatipun demikian, para jurnalis menyatakan bahwa tidak ada kontribusi atau manfaat secara langsung antara keberadaan citizen journalism dengan profesinya sebagai jurnalis. Terhadap anggapan bahwa setiap individu adalah reporter, dan setiap individu adalah media, secara eksplisit, tegas dan argumentatif, para jurnalis menyatakan bahwa tidak bisa disamakan atau tidak sama antara citizen journalism yang berkiprah dalam dunia internet dengan civic journalism ( media mainsteram) atau media massa umumnya seperti surat kabar, radio, televisi. Lebih jauh para jurnalis menyatakan sukapnya, bahwa tidak bisa disamakan atau tidak sama antara aktifitas bloger melalui media blog dalam citizen journalism dengan profesi wartawan. Kesimpulan ini sesuai dengan eksistensi wartawan dimana seorang wartawan adalah orang yang profesional, seperti halnya dokter atau pengacara. Ia memiliki keahlian tersendiri yang tidak dimiliki profesi lain (memburu, mengolah, dan menulis berita). Ia juga punya tanggungjawab dan kode etik tertentu. Saran Perlu adanya kesamaan persepsi yang konstruktif diantara jurnalis, bloger, praktisi pers dan komunikasi, praktisi telematika dan masyarakat pengguna media tentang keberadaan citizen journalism. Kesamaan persepsi diantaranya mengenai perbedaan, dan persamaan tentang tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja dan pelakunya. Perbedaan secara substantif maupun kelembagaan, sehingga dapat mendudukan keduanya dalam porsi, eksistensi, dan keberadaannya masing-masing.

136

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

DAFTAR PUSTAKA Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media, Bandung : Remaja Rosda Karya Romli, Asep Syamsul M. 2003. Jurnalistik Terapan. Bandung : Batic Press. Severin, Werner J., James W. Tankard Jr.. 2005. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, & Terapan Di Dalam Media Massa, Edisi kelima. Jakarta : Prenada Media. Sumber lain : http://sulungz.blogs.friendster.com http://www.pontianakpost.com Pikiran Rakyat, 2006, Pusat Data Redaksi (Unit: Cyber MediaDokumentasi Digital), Bandung

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

137

You might also like