You are on page 1of 22

Potensi Penerapan

Electronic Road Pricing pada Kota Metropolitan di


Indonesia
(Kasus Kota Jakarta)

Muhammad Nanang Prayudyanto Ofyar Z. Tamin, Prof.DR.Ir.


HPJI: B-1438 Staf Pengajar Fakultas Teknik
Mahasiswa Pasca Sarjana S3 Program Studi Teknik Sipil
Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung
Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung. Telp: (022)-
Jl. Ganesha 10, Bandung. Telp: (022)- 2508519, Fax: (022)-2530689
2508519, Fax: (022)-2530689 ofyar@trans.si.itb.ac.id
pramudo@plasa.com
nanang350@students.itb.ac.id

Abstrak

Munculnya gejala perubahan pendekatan pemecahan masalah kemacetan


transportasi perkotaan dari predict & provide menjadi predict & prevent,
memunculkan fenomena baru, ERP. Sebagai tools strategi untuk mengurangi
intensitas perjalanan (TDM), penerapan ERP (Electronic Road Pricing) menuai
keberhasilan dan juga kegagalan di beberapa kota-kota di dunia. ERP yang
menganut sistem pembayaran atas biaya transport yang dikeluarkan secara full
cost, memberikan revenue bagi pemerintah (daerah) untuk dapat dikembalikan
lagi menjadi instrument pelayanan angkutan bagi penduduk miskin.

Keputusan pemberlakuan ERP mengandung konsekuensi perubahan pola


perjalanan transport (trip distribution), pola pemilihan moda (modal split) dan
pola pembebanan perjalanan (trip assignment). Investasi ERP termasuk untuik
pembangunan sistem jaringan harus dipertimbangkan secara lebih rinci.

Pada beberapa kota-kota metropolitan di Indonesia, pembatasan lalu-lintas telah


ditetapkan, namun strategi yang tepat untuk mencapai maksud tersebut belum
secara jelas diuraikan. Kajian ini membahas potensi penerapan strategi ERP di
Jakarta, termasuk dampak sisi transportasi, investasi dan sosial.

Kata kunci: ERP, TDM, Jakarta.

Latar Belakang
Sejak tahun 1990-an mulai dirasakan pentingnya pembatasan lalu-
lintas, khususnya untuk kota-kota besar di Eropa, sebab
pertumbuhan lalu-lintas yang tidak dikendalikan (unrestrained
demand) akan menghadapi persoalan pendanaan dan dampak lalu-
lintas yang sangat berat, khususnya dirasakan oleh masyarakat dan
lingkungan sekitar. Membiarkan lalu-lintas tumbuh sampai pada
tingkat dimana kemacetan terjadi secara merata dan kontinyu,
telah menimbulkan inefisiensi secara ekonomis. Kondisi kemacetan
tersebut akan menyebabkan dampak sosial dan lingkungan,
menimbulkan polusi udara dan suara serta kondisi tidak nyaman
bagi pejalan kaki dan pemakai jalan, termasuk pengguna angkutan
umum. Persoalan yang dihadapi oleh kota-kota besar di Eropa ini
telah menyebabkan tekanan terhadap 2 kebijakan yang harus

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 1


berjalan bersamaan, yaitu: perbaikan pelayanan sistem angkutan
umum dan pembatasan penumpang.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi pembatasan penumpang
adalah efisiensi ekonomi. Untuk melakukan perbaikan dalam
efisiensi ekonomi dilakukan kebijakan melalui road pricing.
Pendekatan yang dilakukan adalah apabila tarif perjalanan belum
memenuhi biaya total perjalanan (full cost of journey) maka
kekurangannya akan ditanggung oleh seluruh masyarakat. Full cost
mencakup biaya perjalanan pribadi (mencakup biaya didalam
kendaraan, biaya bahan bakar, parkir, dll) serta biaya sosial yang
dibebankan oleh pemakai jalan kepada masyarakat (mencakup
tambahan kemacetan dan kecelakaan, serta dampak lingkungan).
Alasan lain yang bersifat non ekonomi adalah kebutuhan terhadap
penanganan kemacetan sebagai akibat dari keterbatasan
pendanaan untuk menangani seluruh persoalan kemacetan akibat
dibiarkan tumbuh secara alami tanpa pengendalian.

Metodologi
Makalah ini disusun menggunakan metodologi berdasarkan kajian
literatur, pengumpulan data primer dan sekunder serta analisis dan
kesimpulan.

Landasan Teori
Pada saat ini di banyak negara, mulai timbul kesadaran bahwa
pertumbuhan demand kendaraan pribadi yang tidak dibatasi, akan
menimbulkan permasalahan jika diakomodasikan dalam bentuk
suplai. Membiarkan lalu-lintas tumbuh dengan sebebasnya ternyata
telah mengakibatkan kemacetan yang tinggi dan secara ekonomis,
perjalanan yang dilakukan menjadi tidak efisien. Kemacetan yang
tinggi akan membuat persoalan dampak sosial dan lingkungan
(polusi udara dan suara), mempersempit pelayanan angkutan
umum serta membuat perjalanan pejalan kaki menjadi tidak
nyaman. Di negara maju muncul desakan kuat, bukan saja dari luar
tetapi dari institusi resmi negara seperti RCEP (Royal Commission
on Environmental Pollution, Inggris) yang menyatakan perlunya
dilakukan pembatasan pertumbuhan kendaraan bermotor (Travel
Demand Management, TDM) melalui pembayaran (pricing) dan
penggunaan angkutan umum.

TDM menurut Ohta (1998) merupakan usaha untuk memperkecil


kebutuhan akan transportasi sehingga pergerakan yang
ditimbulkannya masih berada dalam syarat batas kondisi sosial,
lingkungan dan operasional. Pergeseran paradigma kebijakan
transportasi perkotaan, menurut Ohta, dapat dijelaskan dalam dua
buah skema yang menggambarkan perbedaan antara pendekatan
konvensional dan pendekatan TDM (gambar 1).

Gambar 1 Situasi Transportasi Saat Ini (Ohta, 1998)

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 2


Secara umum, kebijakan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan
TDM adalah:
1. Melakukan pergeseran waktu perjalanan, pada lokasi tujuan
yang sama.
2. Melakukan pergeseran rute atau lokasi yang berbeda, pada
waktu perjalanan yang sama.
3. Melakukan pergeseran moda, pada lokasi dan waktu perjalanan
yang sama.
4. Melakukan pergeseran lokasi tujuan, pada lokasi, waktu dan
moda transportasi yang sama.

Tabel 1. Kebijakan Umum TDM

KEBIJAKA
STRATEGI TEKNIS
N
PERGESERA Strategi jam Mengarahkan agar kegiatan
N WAKTU masuk/keluar yang terjadi tidak
kantor/sekolah bersamaan waktunya
Batasan waktu Kendaraan berat
pergerakan pengangkut barang dapat
angkutan barang bergerak pada waktu-waktu
tertentu.
PERGESERA Road Pricing Electronic Road Pricing
N RUTE Area Licensing System
ATAU Jalan khusus Busway
LOKASI angkutan umum Truck Only Lane
Bicycle Lane
PERGESERA Pembatasan “3 in 1”
N MODA Jumlah Keterisian Car Poooling
kendaraan pribadi
Peningkatan MRT (Subway)
pelayanan Monorail
Angkutan umum
Pengembangan e-mail, faksimili dan
moda internet
telekomunikasi

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 3


PERGESERA Pembangunan Pergerakan diarahkan pada
N LOKASI tata guna lahan satu atau beberapa lokasi
TUJUAN yang berdekatan
Penyebaran sentra-sentra
perjalanan
Sumber: disarikan dari Tamin (2000).

Definisi ERP

Electronic Road Pricing merupakan sebagian dari strategi


pengendalian lalu-lintas dengan menetapkan biaya atas pergerakan
lalu-lintas pada arah tertentu, pada waktu tertentu dan untuk
keterisian jumlah penumpang tertentu, yang dikenal dengan
Congestion Charging. Congestion Charging (CC) dimaksudkan
sebagai kebijakan penerapan biaya (pricing) terhadap para
pengguna jalan untuk mengendalikan perjalanan (demand) pada
saat terjadinya kondisi kemacetan pada jaringan jalan perkotaan.
CC beranggapan bahwa kemacetan terjadi karena penerapan
pembiayaan yang kurang tepat (imperfect pricing), sehingga
dengan penerapan CC diharapkan terjadi keseimbangan antara
demand (kebutuhan) dengan supply (ketersediaan) perjalanan. CC
juga dilakukan untuk mengurangi intensitas dampak negatif
perjalanan kendaraan bermotor yang akan menimbulkan kerusakan
lingkungan yang lebih parah.

Penerapan CC, yang dikembangkan berdasarkan teori ekonomi,


bukan merupakan satu hal yang baru. Kajian terhadap implementasi
CC telah dilakukan di beberapa negara, dengan kesimpulan:
1. Dari beberapa alternatif pemberlakuan CC yang telah
diterapkan di Amerika Serikat, dengan mengembangkan (i)
pembedaan pajak kendaraan (differential fuel taxation), (ii)
pajak karyawan (employee tax), (iii) pajak parkir (parking
tax), (iv) tiket harian (daily licences), dan (v) pembiayaan
langsung (direct pricing), maka alternatif terbaik adalah
menggunakan direct pricing. (Kendrick, 1982).
2. CC untuk kota London, yang paling efektif dengan
menggunakan sistem pembiayaan berbasiskan wilayah (di
pusat kota London), waktu (jam-jam kerja) dan
penggunaan izin tambahan (supplementary licences).
3. CC untuk Singapura telah dilakukan beberapa kali
perubahan metoda. Singapore Area Licensing (SAL)
diterapkan tahun 1975, dan mengalami beberapa
perubahan sebagai respons pelayanan yang lebih baik. SAL
mengadopsi pembatasan wilayah di pusat kota pada pagi
hari (1978), diperluas untuk seluruh jalm kerja kantor
dengan pembedaan biaya pada jam puncak dan non-
puncak (1993), diubah dengan menggunakan Electronic
Road Pricing- ERP (1993). ERP dilakukan dengan sistem
“entry licensing” atau “point based charge”. (PBC).

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 4


4. Dalam implementasinya, penerapan CC di berbagai kota di
dunia ternyata tetap memerlukan adanya penegakan
hukum untuk memonitor dan mengendalikan sistem
pembayaran (charging) (London, 1995).
5. Teknologi diperlukan untuk mengintegrasikan sistem
pengumpulan biaya (fee-collection system) dengan
penegakan hukum sehingga diperoleh ketelitian dan
keandalan yang tinggi (accuracy and reliability), menjaga
kerahasiaan transaksi masing-masing pengendara, dan
keamanan terhadap pencolengan (vandalisme). Singapura
memutuskan menggunakan transponder dengan sistem
electronis cash dengan smart cards. (SAL, 1995).

Kendaraan yang akan masuk dalam wilayah ERP akan dikenali


dengan sensor yang diletakkan pada gantry (portal) di setiap pintu
masuk. Pada kendaraan terdapat alat berupa kartu bayar yang
nantinya akan secara otomatis berkurang sesuai dengan
penggunaannya karena menggunakan wilayah ERP tersebut. Proses
ERP bagi kendaraan yang masuk ke wilayah ERP dilakukan dalam 4
tahap: (1) Perekaman terhadap kendaraan sebelum kendaraan
masuk ke portal, (2) Proses penghitungan besarnya charging yang
dikenakan terhadap kendaraan, sesaat sebelum kendaraan masuk
ke portal, (3) Proses pendebeten sebagai akibat biaya yang
dikenakan, (4) Proses verifikasi atau penyesuaian terhadap data
kendaraan sesaat kendaraan akan masuk ke portal kedua, (5)
Proses pemotretan yang dilakukan terhadap kendaraan jika terdapat
ketidaksesuaian dengan data base, dan (6) Kendaraan keluar dari
portal kedua. Kendaraan yang masuk dalam wilayah ERP akan
diverifikasi dengan sistem pendataan (data base) yang
memungkinkan dilakukannya cross check antara pencatatan pada
detector dengan data base yang ada. Kendaraan yang dicurigai
tidak memiliki kesesuaian dilakukan pemotretan dari belakang di
gantry kedua.

Dari berbagai strategi CC asumsi dasar yang dijadikan sebagai


acuan adalah:
• Aksesibilitas dan mobilitas pusat kota harus tetap
dipertahankan untuk menjaga pertumbuhan perekonomian
• Kebijakan yang akan diterapkan mudah untuk dilaksanakan
dan diawasi.
• Kebijakan yang akan diterapkan tidak membutuhkan subsidi.

Tabel 2. Perubahan Kinerja Pusat Kota Akibat Paket


Kebijakan ALS
PARAMETER 1975 1978 1983
Penduduk 220.000 178.000 153.000
Mukim (dari 2,3 (dari 2,4 (dari 2,5
juta)*) juta) juta)
Tenaga Kerja 200.000 224.000 270.000

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 5


(dari 0,83 (dari 0,94 (dari 1,1
juta) juta) juta)
Retail 0,17 0,20 0,60
(juta m2) (dari 0,25) (dari 0,40) (dari 1,00)
Perkantoran 0,50 1,10 1,70
(juta m2) (dari 0,70) (dari 1,40) (dari 2,20)
Hotel 6.100 7.410 10.800
(kamar) (dari 8.200) (dari (dari
12.562) 17.175)
*) dari seluruh wilayah Singapura. Sumber: OECD, 1988

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 6


Gambar 2. Ilustrasi Proses ERP

Central Comms. AVID Local


Computer Controller Controller Controller
System Housing

1st Antenna ECS Site Detector 2nd Antenna


Controller Controller Controller Controller

In-vehicle
Unit

Central Comms. AVID Local


Computer Controller Controller Controller
System Housing

Antenna ECS Site Detector Antenna


Controller Controller Controller Controller

Detector Controller

In-vehicle
Unit

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 7


Central Comms. AVID Local
Computer Controller Controller Controller
System Housing

Antenna ECS Site Detector Antenna


Controller Controller Controller Controller

Sumber: ERP Singapura

Teori Penerapan ERP


Penerapan ERP akan merubah pola bangkitan perjalanan, pola
sebaran perjalanan, pola pemilihan moda dan pembebanan
perjalanan. Respons penerapan ERP adalah i) membayar ERP, ii)
merubah waktu perjalanan, iii) merubah rute perjalanan, iv)
menggunakan moda lain, v) menggunakan fasilitas park-and-ride,
vi) meningkatkan keterisian penumpang didalam kendaraan atau
vii) membatalkan perjalanannya.

“From a review of the previous Hong Kong ERP study and other
worldwide experience, the most likely responses of travellers to ERP
are identified as paying the road pricing charge, changing the time
of travel, changing the route taken, switching to other modes,
switching to use Park and Ride facility, increasing vehicle occupancy
for ERP cost sharing and suppressing of trip making”.(Wheway &
Cheuk, 1999).

− β ⋅U ijZ
e
pij ( Z ) =
∑e
− β ⋅U ijk ……………………. (1)

all Modes k
dimana:

Pij(Z) probabilitas alternatif Z dipilih untuk perjalanan dari


zone i ke zone j,
β faktor penyesuaian
U ijZ , U ijk faktor utilitas untuk alternatif Z dan k.

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 8


Untuk setiap pilihan alternatif, faktor utilitasnya didefinisikan
tersendiri, sehingga:
Untuk pilihan dengan menggunakan ERP, faktor utilitasnya adalah:

C ij ERP Feeij
U ijERP = Tij + + …………….………... (2)
VoTk VoT ERPk

ERP
dimana U ij utilitas untuk pilihan menggunakan ERP
Tij travel time dari i ke j dari network kendaraan pribadi;
PTTij travel time dari i ke j dari network angkutan umum;
C ij travel cost dari i ke j dari network kendaraan pribadi;

Sedangkan untuk pilihan menggunakan pergeseran waktu, fungsi


utilitasnya didefinisikan sebagai:
C ij ERP Feeij*
U ij∆time = Tij + + + ( k1 ⋅ ∆T ) ................ (3)
VoTk VoT ERPk

∆time
dimana U ij utilitas untuk pergeseran waktu;
∆T waktu untuk pergeseran waktu;
K1 konstanta perubahan akibat pergeseran waktu;
demikian, seterusnya sampai keseluruh tujuh pilihan alternatif
didefinisikan semuanya.

Ketika ERP Singapura (1998) diberlakukan, volume lalu-lintas yang


masuk ke kawasan pembatasan turun sampai 20-24% dari 271.000
kendaraan per hari menjadi 206.000 dan 216.000. dengan
penurunan volume, tingkat kecepatan menjadi meningkat dari 30-
35 km/jam menjadi 40-45 km/jam. Terjadi peningkatan kecepatan
kendaraan rata-rata sebesar 22%. Aplikasi ERP juga didukung
dengan kebijakan VQS (Vehicle Quota System) yang mengatur
pertumbuhan jumlah kendaraan secara nasional sesuai kapasitas
jaringan jalan melalui aturan fiskal dan izin pembelian kendaraan
baru dilakukan dengan mekanisme tender.

Potensi ERP di Jakarta


Perkembangan populasi Jabodetabek berdasarkan kajian studi
menunjukkan tingkat pertumbuhan yang terus meninggi.
Sementara itu, tingkat pendapatan penduduk berdasarkan hasil
survai HI (households interview) menunjukkan bahwa tingkat
penduduk yang berpendapatan rendah mencapai 49,5%, sedang
mencapai 43,9% dan berpendapatan tinggi mencapai 6,6%,
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga berdasarkan Pendapatan

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 9


KELOMPOK PENDAPATAN
RENDAH SEDANG TINGGI
(< Rp 1 (antara 1-4 ( > Rp 4
juta/bl) juta/bl) juta/bl)
Batas Pendapatan < Rp. 1 juta Rp. 1 juta - Rp. > Rp. 4 juta
4 juta
Jumlah Rumah
2.478.000 2.440.000 366.000
Tangga
Persentase Jumlah
49,5 % 43,9 % 6,6 %
RT
Rata-rata Rp.
Rp. 709.000 Rp. 1.875.000
Pendapatan 6.129.000
Sumber: SITRAMP, 2003

Wilayah kota Jakarta dalam proyeksi kedepan diperkirakan akan


mengalami pertambahan penduduk yang kecil sekitar 0,10% per
tahun, jauh dibawah rata-rata nasional. Bahkan wilayah Jakarta
Pusat akan mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif sekitar
–0,89% per tahun atau dengan kata lain, penduduk Jakarta Pusat
akan berkurang secara merata setiap tahun sebesar 0,89%.

Penggunaan Joki “3 in 1”
Untuk mengetahui sikap mereka terhadap sistem pengendalian lalu-
lintas dengan “3 in 1” yang telah diterapkan sejak tahun 1992,
dilakukan wawancara terhadap para pengguna joki yaitu mereka
yang mempunyai pilihan menggunakan jasa orang lain untuk dapat
masuk ke kawasan “3 in 1”. Mereka yang menggunakan joki harus
mengeluarkan biaya tertentu untuk membayar para joki ke tempat
tujuan yang dikehendakinya didalam kawasan “3 in 1”.

Besar biaya yang dikeluarkan oleh pengguna joki bervariasi antara


Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 10.000. Rata-rata biaya yang harus
dikeluarkan sebesar Rp. 5.789. Ditinjau dari jarak tempuh yang
mereka pergunakan, range jarak berada antara 3-14 km. Dengan
menghitung biaya joki per jarak tempuh, diperoleh rata-rata biaya
per km mencapai Rp. 793/km sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Biaya Joki per km

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 10


13
14
5

Jarak Tempuh (km)


5
5
4
5
5
4
4
0 500 1000 1500 2000 2500
Bayar Joki (Rp/km )

Berdasarkan pengamatan atas frekuensi penggunaan joki, para


pengguna joki menyatakan bahwa mereka menggunakan joki paling
sedikit 1 kali dan paling banyak 4 kali sepekan, dengan rata-rata 2
kali sepekan.

Apakah mereka merasa keberatan dengan pengeluaran mereka


terhadap para joki? Survai yang dilakukan menunjukkan bahwa
63,2% dari mereka tidak keberatan dengan biaya tersebut,
sedangkan yang merasa keberatan mencapai 38,8%.

Ketika pemerintah menginstruksikan larangan penggunaan joki,


bagaimana sikap mereka? Ternyata mereka akan memilih untuk
menggunakan angkutan umum yang memadai, dalam hal ini
monorel (57,90%) dan busway (26,30%). Hal ini menunjukkan
bahwa para pengguna joki yang notabene adalah pemakai
kendaraan pribadi akan beralih ke moda angkutan umum yang
mempunyai pelayanan yang baik. Sedangkan mereka yang tetap
akan menggunakan kendaran pribadi untuk menembus kawasan
pembatasan mencapai 15,8 %.

Gambar 4. Alternatif bagi Pengguna Joki


jika Larangan Joki Diterapkan

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 11


Tetap, 0%
Lain2, 5.30% Tetap+, 15.80%

Busw ay, 26.30%


Monorel, 57.90%

Penelitian dilakukan untuk melihat dampak kebijakan “3 in 1”


terhadap pelaku dunia usaha, memberikan informasi bahwa para
pelaku bisnis di kawasan Kota merasakan bahwa akibat kebijakan “3
in 1” usaha mereka yang mengalami penurunan mencapai 25%,
sedangkan mereka yang merasakan adanya peningkatan justru
lebih banyak, mencapai 41,67%. Adapun mereka yang melihat tidak
ada perubahan apapun mencapai sepertiganya atau 33,33%.

Latar belakang jawaban mereka ketika ditelusuri lebih jauh


mengenai antisipasinya sebagai pengusaha menunjukkan jawaban
yang lebih tegas, yaitu bahwa mereka sebagian besar memiliki
usaha di tempat lain
Turun
Kondisi Usaha (75%). Sebagai
Tetap
25.00% pengusaha, mereka
33.33%
terlatih untuk
melakukan antisipasi
setiap persoalan
bisnis secara cepat.
Dengan jawaban
tersebut, mereka
menyatakan tidak
sepenuhnya hanya
Naik mengandalkan
41.67% bisnisnya di wilayah
kota, tetapi mereka
memiliki usaha di
tempat lain.

Gambar 5. Dampak Kebijakan 3 in 1 Setelah Operasional


Busway

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 12


Sikap Pengguna Jalan terhadap Penerapan KPL

Sebagai bentuk menjaring sikap pengguna kendaraan pribadi ketika


nanti diterapkan kebijakan “3 in 1”, dilakukan penelitian terhadap
sikap mereka kelak. Diajukan pertanyaan apakah yang akan mereka
lakukan jika pemerintah daerah memberlakukan kebijakan “3 in 1”
di kawasan tempat mereka sehari-hari melakukan aktivitas
bisnisnya. Jawaban mereka disajikan dalam gambar 6.

Gambar 6. Alternatif Pengguna Jalan Akibat Penerapan KPL

Mblktr Pilihan KPL


2.50%
Spdm
Ttp
15.00%
25.00%

Ttp-Ptgn
10.00%

Alih AU Ttp-pool
45.00% 2.50%

Catatan:
Alih AU : berpindah ke angkutan umum
TTp-pool : tetap dengan mobil pribadi tetapi menggunakan pool parkir
TTp-Ptgn : tetap dengan mobil pribadi tetapi berangkat dengan patungan
Ttp : tetap dengan mobil pribadi masuk ke KPL
Mblktr : menggunakan mobil kantor
Spdm : beralih ke sepeda motor

Mereka menyatakan bahwa pilihan untuk berpindah ke angkutan


umum merupakan pilihan yang paling baik (45%), sedangkan
mereka yang bertahan dengan kendaraan pribadi mencapai
37,5%. Mereka yang tetap bertahan itu akan memilih untuk parkir di
luar KPL menggunakan sistem pooling, atau berangkat bersama-
sama rekan kerja (patungan) dan mereka ada juga yang akan tetap
memilih untuk membayar biaya kemacetan (charging).

Persepsi mereka yang saat ini menggunakan kendaraan pribadi


terhadap kenaikan parkir sebagai upaya pembatasan lalu-lintas
menunjukkan bahwa kenaikan tarif parkir merupakan upaya yang
masih dapat mereka terima. Intensitas kenaikan tarif parkir
berdasarkan penjaringan terhadap pendapat responden ditunjukkan
dalam gambar 7.

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 13


Gambar 7. Kenaikan Tarif Parkir
Kemauan Bayar Parkir M aksimal >10rb
0.00%
10rb
17.65%

1rb
44.12%

5rb
38.24%

Dalam persepsi pengguna jalan, kenaikan yang masih sangat


diterima apabila maksimal Rp. 1.000 per hari. Namun mereka yang
menyatakan kenaikan Rp. 5.000 masih bisa diterima mencapai
38,24%, bahkan jikapun kenaikan itu mencapai Rp. 10.000,
sebanyak 17,65% dari responden menyatakan masih bisa
menerimanya.

Jika KPL diterapkan, bagaimana sikap responden terhadap besaran


charging? Berdasarkan wawancara responden, sebanyak lebih dari
70% responden menerimanya jika besaran charging berada pada
level Rp. 3.000 ke bawah. Mereka sepakat karena memang latar
belakang ekonomi yang sedang sulit akibat kenaikan harga BBM
serta kemungkinan PHK yang diperkirakan akan terjadi pada awal
tahun 2006.

Gambar 8. Sikap Responden terhadap Besaran Charging

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 14


Kemauan Charge Maksimum

>8rb
6-8rb
0.00%
5.88%

3-5rb
20.59%

<3rb
73.53%

Pada tingkat charging Rp. 3-5.000 ternyata 20,59% responden


masih bisa menerimanya. Yang menarik, tidak ada satu responden
pun bersedia menerima tarif charging lebih besar dari Rp. 8.000.

Sebagai gambaran responden adalah mereka yang berlatar


belakang pendidikan sarjana (71,4%), pasca sarjana (14,3%) dan
sisanya SLTA. Jabatan mereka saat ini adalah Manajer Perusahaan/
kantor pemerintah /BUMN (53,6 %), pimpinan (10,7%) dan sisanya
merupakan staf (35,7%). Dari sisi pengeluaran yang dilakukan,
40,0% mereka adalah yang mengeluarkan biaya BBM per hari lebih
dari Rp. 50.000, sedangkan yang mengeluarkan BBM sebanyak Rp
41-50.000 mencapai 31,43%, dan sisanya mengeluarkan biaya yang
lebih sedikit. Dalam sisi pengeluaran untuk biaya tol, setiap hari
mereka mengeluarkan biaya Rp.6-10.000 (40,0%), sedangkan yang
lain mengeluarkan biaya Rp.3-5.000 (22,9%) dan sisanya lebih
sedikit dari keduanya.

Kebutuhan Investasi
Kawasan pembatasan lalu-lintas dengan menggunakan sistem ERP
dipilih sebagai alat untuk pengendalian secara otomatis.
Pembangunan infrastruktur ERP dikembangkan dalam satu sistem
komunikasi dedicated short-range radio communication
menggunakan peralatan yang terdiri dari:
• Cash Card, yaitu peralatan yang terdapat didalam kendaraan
atau IU (in-vehicle unit) yang dilengkapi dengan smart card.
• Gerbang ERP, yaitu berupa control point yang berlokasi pada
wilayah kordon dan ruas jalan sebagai pintu-pintu masuk ke
wilayah pembatasan lalu-lintas.
• Pusat pengendalian, merupakan alat pengendali yang
sekaligus memantau setiap penjuru wilayah pembatasan lalu-
lintas.

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 15


• Sistem Data Base, yang merupakan pendukung pengendalian
data kendaraan sekaligus mendukung deteksi pada gerbang
ERP.

Dalam sistem data base in-vehicle unit (IU), setiap nomor IU berlaku
untuk setiap nomor regristrasi kendaraan. IU terdiri atas satu slot
untuk menerima smart card yang berisi satu jumlah rupiah tertentu.
Cash card dapat dipergunalkan kembali setelah diisi ulang
(reusable) dan untuk memudahkan pengisiannya dapat
ditempatkan pada lokasi strategis seperti di lokasi ATM atau di
pompa bensin. IU mempunyai backlit liquid crystal display, yang
menunjukkan nilai rupiah ketika kartu cash card dimasukkan
kedalamnya. Iu juga mampu menunjukkan nilai saldo rupiah yang
masih terdapat didalamnya setelah kendaraan masuk ERP dan
direduksi dengan biaya charging.

Dengan berbagai moda yang masuk dalam sistem lalu-lintas ke


wilayah ERP, maka IU menyediakan berbagai jenis untuk setiap
moda, yaitu Sedan dan sejenisnya, Taksi, Kendaraan boks barang
(truk ringan) dan sejenisnya, Truk berat, Bus kota, Sepeda motor,
dan Kendaraan khusus, seperti ambulans, pemadam kebakaran dan
mobil patroli. Setiap kendaraan dikenakan charging yang berbeda
sesuai dengan nilai smp (satuan mobil penumpang). Setiap IU untuk
setiap moda memiliki warna tertentu yang berbeda, sehingga illegal
switching dapat dihindarkan. IU dilekatkan di kendaraan di dash
board dengan pelindung dan baut yang cukupo kuat untuk
mencegah dipindah-pindah ke kendaraan lainnya.

Pengendalian gerbang ERP dilakukan melalui local controller yang


terdapat tidak jauh dari lokasi gerbang. Data dari local controller
kemudian dikirim ke pusat pengendalian menggunakan diginet
telephone lines. Pusat pengendalian ini menerima data mengenai
semua transaksi ERP, mencatat setiap kesalahan dalam operasi
peralatan sekaligus secara digital mengirimkan data para
pelanggar, para pengguna jalan yang melakukan kesalahan atau
ketidaktahuan. Perhitungan biaya investasi pembangunan ERP
terdiri atas:
• Biaya gantry dan perlengkapannya
• Biaya IU (in-vehicle unit)
• Biaya smart card
• Biaya infrastruktur Control Room
• Biaya system ERP
• Biaya pematangan lahan
• Biaya rambu dan marka
• Pelatihan Sumber Daya Manusia
• Biaya sosialisasi
Perhitungan biaya gantry, yang terdiri dari pengadaan material,
perlengkapan dan galian disajikan pada Tabel 4. Rekapitulasi

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 16


seluruh biaya ERP disajikan dalam Tabel 4. Dalam perhitungan
tersebut, diperkirakan kebutuhan investasi pembangunan ERP
mencapai Rp. 459 milyar.
RENCANA ANGGARAN BIAYA
Tabel 4. Kebutuhan Investasi
(RAB) Satu Buah Gantry
Lokasi
Wilayah : Propinsi DKI Jakarta

Harga Satuan Total Harga


No Uraian Pekerjaan Volume
(Rp.) (Rp.)
A. PENGADAAN MATERIAL
1 1/6 Inch CCD Colour Camera 8 set 7,000,000.00 56,000,000.00
Auto iris & zoom Lens 7.5-200mm F 1,2 1/2 MZO
2 Camera Protective Housing 8 set 2,000,000.00 16,000,000.00
3 Mounting of Camera 8 unit 3,000,000.00 24,000,000.00
4 Pan and tilt unit 8 set 5,000,000.00 40,000,000.00
5 Power supply unit 8 set 10,000,000.00 80,000,000.00
6 Color video monitor 21 inch LCD 2 unit 7,000,000.00 14,000,000.00
7 Control panel 2 unit 7,000,000.00 14,000,000.00
8 Software ERP 1 unit 60,000,000.00 60,000,000.00
9 Tiang Kamera dan sensor 1 unit 200,000,000.00 200,000,000.00
10 Cabinet Rack 19" for all component in control room 1 set 50,000,000.00 50,000,000.00
11 Detector Controller 8 set 10,000,000.00 80,000,000.00
12 Antenna Controller 16 set 10,000,000.00 160,000,000.00

B. PERLENGKAPAN
1 Directly Burried 4 Core FO, Single Mode 3,000 m 55,000.00 165,000,000.00
2 UC Pembungkus Kabel Serat Optik 5 unit 3,087,000.00 15,435,000.00
3 Pipa PVC type AW diameter 3" 1,100 btg 83,300.00 91,630,000.00

D. GALIAN DAN PERBAIKAN GALIAN


1 Galian dan Perbaikan Galian Taman 120 m 31,000.00 3,720,000.00
2 Galian dan Perbaikan Galian Conblok 2,500 m 60,425.00 151,062,500.00
3 Galian dan Perbaikan Galian Aspal 80 m 238,425.00 19,074,000.00
4 Pengeboran Jalan Lengkap Pipa Aw 4" 350 m 270,000.00 94,500,000.00
5 Handhole 30 bh 346,200.00 10,386,000.00

Jumlah A…D 1,344,807,500.00


PPN 10% 134,480,750.00
Jumlah Total 1,479,288,250.00

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 17


Tabel 5. Resume Biaya Pembangunan ERP
Harga Satuan
No Diskripsi Volume Total (Juta Rp)
(Juta Rp)
1 Biaya Gantry 41 1,345 55,137
2 Biaya In Vehicle Unit 150,000 1 150,000
3 Biaya Smart Card 1,500,000 0.1 150,000
4 Biaya Infrastruktur Control Room 1 30,000 30,000
5 Biaya System ERP 1 1,000 1,000
6 Biaya Pematangan Lahan 41 400 16,400
7 Biaya Rambu dan Marka 41 100 4,100
8 Pelatihan SDM 100 10 1,000
9 Biaya Sosialisasi 1 10,000 10,000
Total 417,637
PPN 41,764
Total dengan PPN 459,401

Pendapatan dari Charging


Perkiraan pendapatan yang diperoleh dari congestion charging
dihitung berdasarkan perkiraan jumlah arus volume lalu-lintas yang
masuk ke kawasan ERP dan perkiraan besaran charging yang harus
dibayarkan oleh setiap pengguna jalan yang memasuki wilayah
tersebut. Dalam Tabel 6. dijelaskan perkiraan jumlah volume lalu-
lintas yang masuk dalam satu wilayah pembatasan (area pricing)
dan pembatasan jalan (road pricing). Dengan mengasumsikan
besaran charging sebesar Rp. 4.000 dan Rp. 8.000, maka besaran
pendapatan yang potensial dapat diperoleh oleh pemerintah
propinsi DKI Jakarta mencapai Rp. 142 milyar per tahun sejak tahun
2007.

Tabel 6. Arus Lalu Lintas ke Kawasan Pengendalian Lalu


Lintas

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 18


ARUSMASUK KAWASAN
Arus Masuk Vol. Kendr. Arus Masuk Vol. Kendr. Arus Masuk Charge Charge
No Jalur Paralel Pintu Masuk Pagi Pribadi Pagi Sore Pribadi Sore Harian T otal A T otal B
(smp/ jam) (kend/ jam) (smp/ jam) (kend/ jam) (smp) (Rp J uta) (Rp J uta)

1 Jl. Gunung Sahari Jl.Angkasa 2,485 880 1,924 681 3,122 12.5 25.0
2 Jl. Gunung Sahari Jl.Sutomo 2,285 809 2,672 946 3,510 14.0 28.1
3 Jl. Gunung Sahari Jl. Dr. Wahidin - - - - - - 0.0
4 Jl. Gunung Sahari Jl. Jayakarta/ Industri 2,766 979 2,574 911 3,781 15.1 30.2
5 Jl. Gunung Sahari Jl.Mangga Besar 3,342 1,183 3,561 1,261 4,887 19.5 39.1
6 Jl. Senen Jl. Atrium 4,685 1,658 3,308 1,171 5,659 22.6 45.3
7 Jl. Senen Jl. Kwitang 1,059 375 800 283 1,316 5.3 10.5
8 Jl. Mangga Dua Jl.P.Jayakarta 1,230 435 1,206 427 1,725 6.9 13.8
9 Jl. Mangga Dua Jl.Sebelah Eka Jiwa 200 71 53 19 179 0.7 1.4
10 Jl. Gajah Mada Jl. Mangga Besar 1,313 465 1,739 615 2,160 8.6 17.3
11 Jl. Gajah Mada Jl. Sukarjo WP 1,205 427 1,124 398 1,649 6.6 13.2
12 Jl. Gajah Mada Jl.Suryopranoto 1,768 626 2,251 797 2,845 11.4 22.8
13 Jl. Gajah Mada Jl.KH.Hasyim Asyhari 1,756 622 1,069 378 2,000 8.0 16.0
14 Jl. Gajah Mada Jl. Juanda 2,607 923 2,882 1,020 3,886 15.5 31.1
15 Jl. Thamrin Jl. Kebon Sirih 1,759 623 1,453 514 2,273 9.1 18.2
16 Jl. Thamrin Jl. Medan Merdeka Selt 2,118 750 2,514 890 3,279 13.1 26.2
17 Jl. Thamrin Jl. Wahid Hasyim 1,150 407 1,762 624 2,062 8.2 16.5
18 Jl. Diponegoro Jl. Cokroaminoto 1,982 701 1,736 614 2,632 10.5 21.1
19 Jl. Diponegoro Jl. Taman Suropati 2,231 790 2,726 965 3,510 14.0 28.1
20 Jl. Diponegoro Jl. Pegangsaan 675 239 432 153 784 3.1 6.3
21 Jl. Kramat Jl. Raden Saleh 1,357 480 1,183 419 1,798 7.2 14.4
22 Jl. Imam Bonjol Jl. Agus Salim 1,231 436 1,543 546 1,964 7.9 15.7

Jumlah 39,201 13,877 38,510 13,632 55,019 220.1 440.2

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 19


Tabel 7. Perkiraan Pendapatan dari Congestion Charging
ERP
Asumsi:
Charging Tahunan 142,143 ERP Mulai Diterapkan Tahun 2007
(Rp.Juta) Tarif Rp.4.000
Charging Tahunan 284,286 Tahun 2010
(Rp.Juta) Tarif Rp.8.000 Total Charge 522,393 (Rp. Juta) Tarif Rp.4.000
Total Charge 1,044,787 (Rp. Juta) Tarif Rp.8.000

Tahun 2020
Total Charge 4,453,049 (Rp. Juta) Tarif Rp.4.000
Total Charge 8,906,097 (Rp. Juta) Tarif Rp.8.000

Evaluasi Ekonomis (B/C Ratio)


Untuk menghitung kelayakan investasi ERP dilakukan pembahasan
terhadap kinerja benefit (pendapatan) dan cost (pengeluaran).
Tabel 8. menjelaskan hasil perhitungan tingkat investasi dan
pendapatan selama masa perhitungan sejak tahun 2007 sampai
tahun 2020.

Tabel 8. Evaluasi Ekonomi ERP


Investasi &
Tahun Pendapatan Present Value Cumulative (Rp.
Awal Thn Pemeliharaan
ke (Rp. Juta) (Rp. Juta) Juta)
(Rp. Juta)
1 2007 459,401 - (459,401) (459,401)
2 2008 45,940 142,143 87,457 (371,944)
3 2009 45,940 142,143 79,507 (292,437)
4 2010 45,940 142,143 72,279 (220,159)
5 2011 45,940 142,143 65,708 (154,451)
6 2012 45,940 142,143 59,734 (94,716)
7 2013 45,940 142,143 54,304 (40,412)
8 2014 45,940 142,143 49,367 8,955
9 2015 45,940 142,143 44,879 53,834
10 2016 45,940 142,143 40,799 94,634
11 2017 229,701 142,143 (33,757) 60,877
12 2018 45,940 142,143 33,719 94,595
13 2019 45,940 142,143 30,653 125,248
14 2020 45,940 142,143 27,867 153,115
Total 1,240,383 1,847,859 153,115

Berdasarkan hasil perhitungan evaluasi ekonomi, untuk masa


pelaksanaan ERP tahun 2007 dengan masa evaluasi sampai tahun
2020, dengan asumsi:
• Biaya investasi Rp. 459 milyar
• Pemeliharaan 10% per tahun, dengan pemeliharaan besar
setiap 10 tahun
• Tingkat suku bunga diperkirakan 10% per tahun
• Pendapatan per tahun sebesar Rp. 142 milyar,
maka berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh kesimpulan bahwa:
• Masa pengembalian kembali (break event) diperkirakan
selama 7 tahun.

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 20


• Tingkat B/C ratio diperkirakan mencapai 1,49.

Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan yang akan dikembangkan untuk mendanai ERP
dapat dilakukan dengan berbagai pola yaitu:
• Pemerintah propinsi sebagai perencana, pembangun sekaligus
operator ERP secara 100%,
• Pemerintah propinsi mengajak sektor swasta untuk
berpartisipasi dalam pembangunan gantry dan control room
• Pemerintah propinsi mengajak swasta dalam pengoperasian
ERP.
• Pemerintah propinsi mengundang investor menanamkan
modalnya dengan perjanjian masa konsesi tertentu.
• Pemerintah propinsi mengajukan pinjaman investasi kepada
lembaga donor dengan pengembalian dari pendapatan ERP.

Pintu Masuk Gambar 9. Lokasi


BEN

Pmbatasan Kawasan

MULI
A
Pembatasan Lalu Lintas di
YAM

BUDI
Pembatasan Jalan
UA
GA D

Jakarta
IN S

MANG
UA

PJ HI
EB

A DU
YA P
K BA
HAY

AR
GAJ

TA RU

Kesimpulan
AM
AH

WUR

MARINATAMA
MAD

A BESA
1. ERP berpotensi sebagai
R
A

MANGG IN
K

MASPION PLAZA
DU
ST

alat pengendali
RI
GUN
KAR

UNG

manajemen lalu-lintas,
TINI

A
KAS
SAHA

ANG

FIN
SU
KA
sekaligus sebagi UD
I
RI

ZAINUL ARI RJO NH


W MA
SA A

instrumen pembiayaan
UD
GAR
HARI
HASYIM ASY

infrastruktur
TANAH TINGGI

JUANDA

transportasi.
OTO
O PRAN
SURY MERDEKA UT

2. para pemakai jalan di


MERDEKA BT
NG

ME
CIDE

Jakarta yang saat ini


RD
IS

EK
MU

AT

MERDEKA SEL NG

menggunakan ”3 in 1” ITA
A

KW
I

KR

KB SIRIH
AM

diperkirakan akan NG
AT

IO
E NT
RA

WAHD HASYIM .S
MH THAMRIN

KR

beralih menggunakan
YA
ME
TEUKU UMAR

N
R

BA
NT
M MANSYU

83 SE
COKRO AMINOTO

PA
E

11
angkutan umum (45%)
NG

57/
13 AT
NG
EMB
SAL

dan 37,5% tetap KA


CI

U
AM
KI

PR
NI

PENJERNIHAN menempuh ke kewasan DIPONEG


ORO PROK
LAM
ASI

KPL dengan membayar


MA

LATU
TR

HA RHA
RI
AM

biaya charging.
SUL
AN

AN

TAN
AGU
IRM

NG
RA
RASUNA

3. Biaya charging yang


SUD

YA

realistis untuk Jakarta


SAID

diperkirakan sekitar Rp.


GAMBAR
3000 sekali masuk kawasan.
SKALA DINAS PERHUBUANGAN
4. Penerapan
LOKASI KAWASAN
ERP
TANPA SKALA
diperkirakan akan dipergunakan oleh 13.877
PROPINSI DKI JAKARTA

kend/jam waktu pagi dan 13.632 kend/jam pada waktu sore.


PEMBATASAN LALU LINTAS

5. Penerapan ERP akan memberikan nilai B/C sebesar 1,49


dengan nilai investasi Rp. 459 milyar. Break event
diperkirakan akan tercapai dalam waktu 7 tahun.

Daftar Pustaka

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 21


1. Al-Qur’an
2. Hadits Rasulullah saw
3. Bappenas-JICA (2003), Sitramp, Jakarta
4. Dinas Perhubungan (2005), Studi Pengembangan Kawasan
Pembatasan Lalu Lintas, Jakarta.
5. Fergusson,E, (2000) Auckland Regional Travel Demand
Management Strategy, Auckland Regional Council.
6. Harun,ASL, Henry,A, Maizir,I (ITB) (2001) Kajian Alternatif
Pendanaan Jalan (Road Fund) Di Sumatera Barat,
Simposium FTSPT, Denpasar.
7. Kendrick, M (1997) Transport In The Urban Environment,
The Institute of Highways & Transportation, London.
8. Ohta, K. (1998) TDM Measures Toward Sustainable
Mobility, Journal of International Association of Traffic and
Safety Sciences.
9. Prayudyanto, MN (2007), Proposal Penelitian, Program
Pasca Sarjana ITB, Bandung.
10. Prayudyanto, MN (2006), Seminar Topik Pilihan, Program
Pasca Sarjana ITB, Bandung.
11. Prayudyanto, MN dan Tamin, OZ (2006), Kajian
Perbandingan Penerapan Travel Demand Management
Di Singapura- London, FSTPT-IX, Malang.
12. Prayudyanto, MN dan Tamin, OZ (2006),Metoda Maksimum
Profit dan Minimum Cost untuk Mengkaji Alokasi
Transportasi Barang, FSTPT IX, Malang.
13. Tamin, OZ. (2000) Perencanaan & Permodelan
Transportasi, Penerbit ITB.
14. Tamin, OZ (2006) Rindu Bandung Bebas Macet, Pikiran
Rakyat, Bandung.
15. Victoria Transport Policy Institute (2005) Transportation
Elactisities: How Prices And Other Factor Affect Travel
Behaviour, TDM Encyclopedia.
16. Wheway & Cheuk (1999), Implementation Of Road Pricing
Model With The Emme/2 Macro Language, Wilbur Smith
Associates Limited, Hong Kong.

M.NanangP - Ofyar Z Tamin 22

You might also like