You are on page 1of 10

REALITAS SOSIAL UMAT ISLAM PADA MASA MODERN ABAD 18 M DAN SETERUSNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. DOSEN PEMBIMBING Teguh Setia Budi Disusun Oleh: Hadi Santoso Rismalil Ismi Afida Tri Hendry Andhika ( 09650208 ) ( 09650200 ) ( 09650211 )

Febrilia Ayu Rosalina ( 09650222 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA 2009

ABSTRAK Tiga persoalan mendasar telah menyita perhatian umat islam di abad ke-18: respon terhadap budaya non-muslim, konsen akidah dan amaliah Islam, serta akomodasi dengan pemikiran dan teknologi modern. Hal tersebut menjadi faktor dalam pembangunan khusus kehidupan politik dan sosial umat Islam. Pembaruan dalam Islam yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan yakni membawa umat Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran.

Kata Kunci : Umat Islam, modern, budaya barat, demokrasi.

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, rahmat, hidayah serta inayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Realitas Sosial Umat Islam pada Masa Modern Abad ke-18 dan Seterusnya. Sholawat serta semoga akan selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, yang telah membawa kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang, dan yang kita nantikan syafaatnya di dunia dan akhirat. Penulis sadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasanya yang pastinya mempunyai banyak kesalahan, tentunya dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan pengembangan berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Teknik Informatika khususnya dan untuk mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari berbagai pihak. Dalam lembar ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Kedua orang tua penulis yang selalu mendukung penulis, yang selalu mendoakan penulis dan selalu mendukung baik moril maupun materi. 2. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor Universitas Islam Negeri Malang yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
3. Bapak Teguh Setia Budi selaku dosen pembimbing mata kuliah Sejarah Peradaban

Islam. 4. Semua pihak yang telah berkenan memberikan dukungan dan semangat yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya.

Malang, 03 November 2009 Penulis DAFTAR ISI

iii

iv

BAB 3 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada permulaan abad ke-18, pemikir bangsa Barat mengkaji Islam dalam banyak variasi. Mereka dapat memandangnya sebagai musuh dan rivalnya, dengan menggunakan kebenaran-kebenaran dan tujuan akan keyakinan mereka, atau melihatnya sebagai salah satu bentuk agama dimana akal dan jiwa manusia mencoba memahami dan mendefinisikan sifat Tuhan dan alam semesta. Yang umum pada dua sikap ini adalah pengakuan terhadap fakta bahwa Muhammad dan pengikutnya telah memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Namun demikian, pada abad ini terdapat pemikiran baru terhadap umat Islam. Umat Islam mengambil banyak bentuk yang berbeda tingkatannya menurut pengalaman bangsa-bangsa Barat. Pada tahun 1863 Muhammadan Literary Society didirikan di Calcutta oleh seorang aristocrat bernama Nawab Abdul Latif. Dalam organisasi itu orang-orang islam tingkat menengah dan atas berkumpul dan membahas berbagai macam masalah politik, sosial dan agama seraya mengaitkan dengan ide dan ukuran Barat.

1.2. Rumusan Masalah Dalam makalah ini kami mempunyai masalah : 1. Apa ciri-ciri islam pada periode modern? 2. Bagaimana reaksi umat islam menanggapi dominasi kultur/budaya barat? 3. Bagaimana demokrasi dan identitas dalam modernitas?

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Ciri-ciri Umat Islam pada Masa Modern (1800 dan seterusnya) Ada beberapa perilaku yang dapat dijadikan cerminan terhadap penghayatan akan sejarah perkembangan Islam pada masa pembaruan ini. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.
a. Menyikapi kejadian masa lalu dengan sikap sabar dan menanamkan jihad

yang sesuai dengan ajaran Al Quran dan Al Hadist.


b. Sejarah dapat dijadikan sumber inspirasi untuk membuat langkah-langkah

inovatif agar kehidupan manusia dapat damai dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.
c. Memotivasi diri terhadap masa depan agar memperoleh kemajuan serta

mengupayakan agar sejarah yang mengandung nilai negatif atau kurang baik tidak akan terulang kembali.
d. Membangun masa depan berdasarkan pijakan-pijakan yang telah ada di

masa lalu sehingga dapat membangun negara senantiasa menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun gafur atau negara yang baik dan mendapat ampunan dari Allah SWT. e. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi di masa pembaruan cukup canggih dan menakjubkan sehingga melalui proses belajar akan dapat diperoleh kemajuan yang lebih baik bagi gemerasi-generasi muslim di masa depan. 2.2 Reaksi Umat Islam Menanggapi Dominasi Kultur/Budaya Barat GRABH, kata Arab untuk Barat, bisa berarti asing, tempat gelap dan tidak dimengerti, selalu menakutkan. Grabh adalah wilayah antah brantah. Segala yang tak kita pahami selalu menakutkan. Keasingan dalam bahasa Arab mengandung konotasi ruang yang amat luas, karena grabh adalah tempat matahari terbenam di situ kegelapan menunggu. Di baratlah malam menelan matahari, dan aneka teror mungkin terjadi. Di sanalah gharabah (keasingan) bersemayam. (1994:17 Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi).

2.3 Demokrasi dan Identitas dalam Modernitas Ketakutan orang Arab terhadap demokrasi tidaklah sebesar penderitaan mereka karena lemahnya akses terhadap kemajuan paling penting abad ini, khususnya toleransi, sebagai prinsip dan praktik. Yang dimaksudkan adalah humanisme sekular yang telah memungkinkan berkembangnya masyarakat sipil (civil society) di Barat. Gagasan-gagasan humanistik, kebebasan berpikir, kedaulaan individu, kebebasan untuk bertindak, toleransi, dipropaganada di Barat melalui aliran pemikiran sekular. Dengan sedikit pengecualian (khususnya Turki), negara Islam modern tidak pernah menyebut dirinya negara sekular dan tidak pernah mengikatkan dirinya dengan ajaran inisiatif individual. Sebaliknya, individualisme selalu mengambil posisi yang agak ambigu di kalangan para pembaharu gerakan nasionalis abad ke-19. Gerakan yang memusatkan diri pada perjuangan menentang penjajahan dan karena itu anti Barat ini, diwajibakan mengakarkan diri secara lebih mendalam, lebih dari yang pernah ada dalam Islam. Berhadapan dengan Barat yang militeristik dan imperalistik, para nasionalis Muslim terpaksa berlindung pada masa lalu mereka, dan menegakkan sebagai benteng, hudud, kultural untuk membaebaskan diri dari kekerasan kolonial. Masa lalu umat Islam yang dibangkitkan kembali tidak menambatkan identitas modern para tradisonal rasionalis. Sebenarnyalah, para nasionalis adalah para tahanan situasi historis yang tak dapat tidak, membuat modernitas menjadi pilihan yang niscaya. Baik mereka bisa membangun modernitas dengan mengklaim warisan humanistik para penjajah barat dengan resiko kehilangan kesatuan (sebab bila kirta berbicara tentang tradisi rasional, maka kita bernicara tentang rayu, aql, dan karena itu mungkin berbedapendapat) secara hati-hatimelindungi rasa peersatuan dalam menghadapi penjajah dengan berpeganag teguh pada masa lalu, mendukung masa lalu thaat,patuh dan menutup segala penemuan barat.1 Umat islam tidak memikirkan fenomena modernitas sebagai sesuatu yang terlepas dengan masa lalu, tetapi lebih dipandang dari segi hubungan yang diperbaharui dengan masa lalu.mereka tidak berpikir tentang fenomena modernitas dipandang dari segi kemajuan tetapi dari segi renasainsdengan demikian, yang
1

terpenting dipandang dari segi magis atau medis. Dalam sebagian besar pendekatan umat islam, pendekatan para pemikir politik dan keagamaan, hanya kebalikan dari prinsip-prinsip yang dinyatakan oleh pemahaman yang benar terhadap pemikiran pencerahan.

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

You might also like