You are on page 1of 45

BAB 1 PENDAHULUAN

Medication error secara luas didefinisikan sebagai kesalahan dalam pengeluaran resep, dispensing, atau administrasi dari obat, terlepas dari kesalahan tersebut menyebabkan konsekuensi merugikan atau tidak (Wiliams, 2007). Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien, mulai dari industry, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan, dan monitoring pasien. Leape (1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan antara lain kurangnya diseminasi pengetahuan terutama dokter yang merupakan 22% penyebab kesalahan, tidak cukupnya informasi, 14% dari kesalahan mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium, 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan tidak diikutinya SOP pengobatan, 9% kesalahan dalam membaca resep, salah mengerti perintah lisan, pelabelan dan kemasan, nomenklatur yang membingungkan, stok dan penyimpanan obat yang tidak baik, masalah dengan standard an distribusi, asesmen alat penyampai obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan, gangguan ketegangan dari lingkungan kerja, dan ketidaktahuan pasien (Purba, Soleha, & Sari, 2007). National Patient Safety Agency Report 2004 (UK) dan IOM Report 2000 (USA) menyatakan bahwa kesalahan pengobatan menyebabkan sejumlah besar kematian setiap tahunnya. Laporan ini mengenali bahwa mayoritas kesalahan terjadi bukan karena keteledoran tenaga medis, tetapi karena kecepatan dan kompleksitas dari obat. Sekitar 1/3 - 1/2 Adverse Drug Event berkaitan dengan kesalahan pengobatan (William, 2007). Di Indonesia kesalahan dalam pelayanan obat belum didata secara sistematis, sistem pelaporan maupun pencegahan yang terdokumentasi belum banyak dilaksanakan terutama di apotek komunitas (Purba, Soleha, & Sari, 2007). Laporan dari IOM (Institute of Medicine) 1999 secara terbuka menyatakan bahwa paling sedikit 44.000 bahkan 98.000 pasien meninggal di rumah sakit dalam satu tahun akibat dari kesalahan medis (medical errors) yang sebetulnya bisa dicegah. Kuantitas ini melebihi kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kanker payudara dan AIDS (Departemen Kesehatan RI, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan (medication error) padatahap ordering (49%), diikuti tahap administration 1

management (26%), pharmacy management (14%), transcribing (11%) Laporan di atas telah menggerakkan sistem kesehatan dunia untuk merubah paradigma pelayanan kesehatan menuju keselamatan pasien (patientsafety). Gerakan ini berdampak juga terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia melalui pembentukan KKPRS (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) pada tahun 2004. Dengan demikian keselamatan pasien merupakan bagian penting dalam risiko pelayanan di rumah sakit selain risiko keuangan (financial risk), risiko properti (property risk), risiko tenaga profesi (professional risk) maupun risiko lingkungan (environment risk) pelayanan dalam risiko manajemen. Badan akreditasi dunia The Joint Commision on Accreditation of HealthcareOrganizations (JCAHO) mensyaratkan tentang kegiatan keselamatan pasien berupa identifikasi dan evaluasi hendaknya dilakukan untuk mengurangi resiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit, pengunjung dan organisasinya sendiri (Departemen Kesehatan RI, 2008). Berdasarkan analisis kejadian berisiko dalam proses pelayanan kefarmasian, kejadian obat yang merugikan (adverse drug events), kesalahan pengobatan (medication errors) dan reaksi obat yang merugikan (adverse drugreaction) menempati kelompok urutan utama dalam keselamatan pasien yang memerlukan pendekatan sistem untuk mengelola. Pendekatan sistem bertujuan untuk

meminimalkan risiko dan mempromosikan upaya keselamatan penggunaan obat termasuk alat kesehatan yang menyertai. Secara garis besar langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain analisis sistem yang sedang berjalan, deteksi adanya kesalahan, analisis tren sebagai dasar pendekatan sistem. JCAHO menetapkan lingkup sistem keselamatan pelayanan farmasi meliputi : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage), sistem permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering& transcribing), sistem penyiapan, labelisasi, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi

(preparing&dispensing), sistem penggunaan obat oleh pasien (administration), monitoring(Departemen Kesehatan RI, 2008). Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker dalam hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua pasien mendapatkan pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan medication

errors(Departemen Kesehatan RI, 2008). 2

BAB 2 MEDICATION ERROR

2.1. Definisi Proses pengobatan (medication) adalah tindakan pemberian pengobatan pada suatu obyek yaitu pasien dengan tujuan menyembuhkan pasien.Error berarti kegagalan dari sesuatu yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan tujuan (error pada pelaksanaan) atau kesalahan pada perencanaan untuk mencapai tujuan (error pada perencanaan). Dengan definisi ini, medication error dapat diartikan sebagai sebuah kegagalan dalam proses pengobatan yang mengakibatkan atau mempunyai potensi untuk mengakibatkan bahaya pada pasien. Digunakan kata gagal menandakan bahwa proses tersebut telah berada dibawah standard yang seharusnya dicapai. Proses pengobatan yang dimaksud termasuk pengobatan untuk gejala atau penyebab penyakit, investigasi atau pencegahan penyakit serta perubahan fisiologis yang terjadi. Proses tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh terapi obat tapi juga termasuk proses manufacturing; compounding; prescribing; transcribing; dispensing; dan administration. Definisi bahaya yang dimaksud adalah implikasi dari kegagalan pengobatan yang tidak menjelaskan secara spesifik siapa yang melakukan kesalahan, dapat jadi dokter, perawat, farmasis, atau pembawa obat, juga tidak menyebutkan siapa yang bertanggung jawab untuk mencegah kesalahan (Aronson, 2009). Dimana definisi diatas mirip dengan definisi dari National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCCMERP). NCCMERP mendefinisikan kesalahan pengobatan sebagai Suatu kejadian yang dapat dicegah yang menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai atau membahayakan pasien di mana pengobatan tersebut dikontrol oleh tenaga medis profesional, pasien, atau konsumen, yang berhubungan dengan praktis profesional, produk kesehatan, prosedur, sistem termasuk prescribing; order communication; product labeling; packaging; compounding; dispensing; distribution; administration; education; monitoring; dan penggunaan." Istilah error / kesalahan juga digunakan dalam pelayanan medis, sebagaimana dikemukakan oleh Bryan A. Liang, yang memberikan definisi medical error sebagai suatu kekeliruan, suatu peristiwa yang tidak diduga akan terjadi, yang tidak 3

dikehendaki dalam pemberian pelayanan medis yang dapat mengakibatkan luka ataupun tidak sampai menimbulkan luka terhadap pasien (Guwandi, 2005). Kesalahan pengobatan (medication errors) adalah semua kejadian yang dapat menyebabkan pengobatan tidak sesuai atau yang dapat mencelakakan pasien dimana prosedur pengobatan tersebut masih berada di bawah kontrol praktisi kesehatan (Fowler, 2009). Kesalahan pengobatan (medication error) didefinisikan secara luas sebagai kesalahan dalam meresepkan, membagikan, dan memberikan obat, tanpa tergantung dengan di mana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi yang merugikan atau tidak. Definisi yang terbaru dari kesalahan pengobatan adalah kegagalan dalam proses pengobatan yang menyebabkan atau berpotensi menyebabkan kebahayaan pada pasien, kesalahan pengobatan dapat terjadi pada setiap langkah pengobatan yang menggunakan proses, dan mungkin atau tidak dapat menyebabkan ADE atau Adverse Drug Event(William,2007). Pengertian lain oleh Cohen, dkk., medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen,1991; Basse & Myers,1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Dalam Surat Keputusan Menteri tersebut juga telah disebutkan bahwa apoteker wajib memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).

2.2. Klasifikasi Kesalahan Obat National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCC MERP) mengklasifikasikan medication errorberdasarkan tingkat keparahan hasil dari pasien. Kesalahan yang dekat juga di klasifikasikan sebagai kesalahan potensial yang berhak mendapat sistem yang luas dan mengarah ke perbaikan. Kategorimedication error adalah sebagai berikut: Tabel 1. Taksonomi & kategorisasi medication error Tipe error Kategori A NO ERROR Keterangan Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan terjadinya error

B C

Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien Error terjadi, obat sudah mencapai pasien tetapi tidak menimbulkan risiko a) Obat mencapai pasien dan sudah terlanjur diminum/digunakan

ERROR-NO HARM

b) Obat mencapai pasien tetapi belum sempat diminum/digunakan D Error terjadi dan terhadap konsekuensinya pasien, diperlukan tidak

monitoring

tetapi

menimbulkan resiko (harm) pada pasien E Error terjadi dan pasien memerlukan terapi atau intervensi serta menimbulkan resiko (harm) pada pasien yang bersifat sementara F Error terjadi & pasien memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumah sakit disertai cacat ERROR-HARM G yang bersifat sementara Error terjadi dan menyebabkan resiko (harm) permanen H Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (mis. anafilaksis, henti jantung) ERROR-DEATH I Error terjadi dan menyebabkan kematian pasien

Gambar 1. Diagram Medication Error

Kejadianmedication errordibagi menjadi 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing,fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien(Cohen,1991). 1. Prescribing Errors Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep. Fase ini meliputi: a. Kesalahan resep Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui, terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute, konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu obat yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang sah) yang tidak benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien tersebut. Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang sampai pada pasien.

b. Kesalahan karena yang tidak diotorisasi Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis resep yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis diberikan kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis, dosis diberikan diluar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan, misalnya obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di bawah suatu tingkat tekanan yang ditetapkan sebelumnya. c. Kesalahan karena dosis tidak benar Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis obat yang diorder. d. Kesalahan karena indikasi tidak diobati Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu obat untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau glukoma tetapi tidak menggunakan obat untuk masalah ini.

e.

Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak memerlukan terapi obat.

2. Transcription Errors Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase ini. Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription errors, yaitu: a. Kesalahan karena pemantauan yang keliru Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk pengkajian respon pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.

b. Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan) Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek samping. Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu antibiotik, pasien memerlukan perhatian pelayanan medis. c. Kesalahan karena interaksi obat Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat, obat-makanan, atau obat-prosedur laboratorium. 3. Administration Error Kesalahan pada fase administration adalah kesalahan yang terjadi pada proses penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan. Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu : a. Kesalahan karena lalai memberikan obat Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum dosis terjadwal berikutnya. b. Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari waktu pemberian obat terjadwal. c. Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian suatu obat. Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis; melalui rute yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri sebagai ganti mata kanan), kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru. d. Kesalahan karena tidak patuh

Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu regimen obat yang ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh menggunakan terapi obat antihipertensi. e. Kesalahan karena rute pemberian tidak benar Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter, juga termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada tempat yang keliru (misalnya mata kiri, seharusnya mata kanan). f. Kesalahan karena gagal menerima obat Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan farmasetik, psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima atau tidak menggunakan obat. 4. Dispensing Error Kesalahan pada fasedispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi. Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors yaitu : a. Kesalahan karena bentuk sediaan Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang diorder oleh dokter penulis. Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan. b. Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian. Misalnya, pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan yang tidak benar. Tidak mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang secara fisik atau kimia inkompatibel. Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap pemaparan cahaya.

c. Kesalahan karena pemberian obat yang rusak Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan secara tidak tepat. Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Bentuk-bentuk kejadian medication error

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kesalahan Obat Kesalahan obat yang terjadi dapat disebabkan dua hal, yaitu kurangnya pengetahuan dan kesalahan dalam pelaksanaan. Kesalahan dapat terjadi jika sistem keamanan tidak diterapkan untuk mencegahnya. Semakin baik penerapan sistem keamanan diterapkan maka semakin besar kemungkinan kesalahan dapat dicegah sebelum sampai kepada pasien. Faktor yang menyebabkan terjadinya medication error adalah sebagai berikut: 1) Kondisi Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

10

Jumlah dan mutu apoteker tidak memadai dan juga penggunaan tenaga nonprofesional dalam bidang fungsi atau pekerjaan apoteker. 2) Ketidaksesuaian Sistem Distribusi Obat untuk Penderita Rawat Tinggal (PRT) Akibat tidak terlaksananya pengkajian profil pengobatan pasien dan pelayanan yang belum berorientasi pada pasien dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pengobatan. Sistem seperti ini merupakan sistem distribusi obat yang tidak sesuai. 3) Pelayanan Farmasi Klinik yang Belum Diterapkan Pelayanan farmasi klinik adalah suatu kegiatan dimana apoteker memberikan jaminan mutu pelayanan obat kepada pasien dengan maksud meningkatkan kesehatan pasien. Jika pelayanan farmasi klinik ini diterapkan di rumah sakit, kesalahan obat atau masalah yang berkaitan dengan obat dapat diminimalkan. 4) Cara Dispensing Obat yang Baik (CDOB) Tidak Diterapkan Berbagai kegiatan dalam CDOB tidak diterapkan, seperti penginterpretasian resepobat, profil pengobatan pasien, pemberian informasi yang lengkappada etiket, informasi kepada perawat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter, apoteker, perawat maupun pasien. 5) Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan, pengendalian, serta Pelayanan Obat Tidak Memadai. Kebijakan dan prosedur merupakan sarana untuk meningkatkan keamanan, efisiensi serta merupakan penuntun dalam melaksanakan pengelolaan, pengendalian dan pelayanan obat yang efektif dan efisien.

6) Pelaksanaan Sistem Formularium dan Pengadaan Formularium yang Belum Memadai. Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di rumah sakit yang tidak terkendali sebagai akibat sistem formularium yang belum diterapkan dapat menyebabkan kesalahan obat. 7) Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Belum Berdaya

11

PFT yang belum berdaya dapat terlihat melalui sistem formularium yang tidak terlaksana serta pengembangan kebijakan dan prosedur berkaitan dengan obat yang sangat lambat. 8) Unjuk Kerja Pelayanan IFRS Belum Memadai Jumlah dan mutu apoteker belum memadai yang terlihat dari fungsi pengelolaan, pengendalian dan pelayanan belum memadai dapat berkontribusi akan terjadinya kesalahan obat. 9) Pengetahuan Pasien dan Profesional Kesehatan Tentang Obat yang Kurang atau Tidak Memadai Pengetahuan pasien tentang obat yang kurang dapat menyebabkan ketidakpatuhan ataupun kesalahan penggunaan obat. Profesional kesehatan misalnya, dokter yang kurang mendapat informasi obat, dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan obat yang tepat bagi pasien tertentu. 10) Penyebab Kesalahan Obat yang Umum a. Kekuatan obat pada etiket atau dalam kemasan yang membingungkan Kekuatan atau dosis sediaan tidak jelas dimana sediaan tersebut terdiri dari bermacam-macam obat dengan perbandingan yang ada, contoh

cotrimoksazol (trimetroprim 800 mg + sulfametoksazol 400 mg). b. Nama atau bunyi nama obat yang terlihat mirip Penamaan sediaan obat yang hampir sama dapat menyebabkan medication error. Contoh obat yang sering menyebabkan kesalahan pengobatan adalah obat pencegah pembekuan darah Coumadin dan obat anti parkinson Kemadrin. Taxol (paclitaxel) suatu agen antikanker kedengarannya hampir sama dengan Paxil (paroxetine) yang merupakan suatu antidepresan. c. Kesalahan alat Contohnya pompa intravena dimana katupnya tidak berfungsi,

menyebabkan periode pemberian obat menjadi terlalu cepat. d. Tulisan tangan tidak terbaca Tulisan tangan yang kurang jelas dapat menyebabkan kesalahan dalam dua pengobatan yang mempunyai nama yang serupa. Selain itu, banyak nama

12

obat yang nampak serupa terutama saat percakapan di telepon, kurang jelas atau salah melafalkan. Permasalahannya menjadi kompleks apabila obat tersebut memiliki cara pemberian yang sama dan dosis yang hampir sama. e. f. Penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat Perhitungan dosis yang tidak teliti Kesalahan dalam menghitung dosis sebagian besar terjadi pada pengobatan pediatri dan pada produk-produk intravena. Beberapa studi menunjukkan bahwa kesalahan dalam perhitungan dosis tidak hanya ringan tetapi juga kesalahan yang fatal, misal kesalahan 10 kali lipat atau mencapai 15%. g. Kesalahan diagnosis Kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit dapat menyebabkan kesalahan tindakan medis selanjutnya. h. Menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep Pengunaan singkatan dalam resep terkadang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan obat, seperti misalnya: Singkatan U (unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan kesalahan pembacaan menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang berbahaya. Singkatan IU (International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena) atau 10. Singkatan q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat menyebabkan kesalahan pembacaan menjadi qid (quarter in die atau empat kali sehari) atau qod (setiap hari yang berbeda) Angka desimal seharusnya tidak ditulis. Angka 1.0 dapat terbaca sebagai 10 akibat tanda desimalnya berada pada garis keras resep. i. Kesalahan penulisan etiket

2.4. Upaya Apoteker dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kesalahan Obat Sejumlah pasien dapat mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan kesehatan, khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih.Berbagai upaya baik langsung maupun tidak

13

langsung sedang dilakukan oleh apoteker agar dapat meminimalkan kesalahan pengobatan. Berbagai upaya tersebut antara lain: 1. Pelaksanaan Tanggung Jawab Apoteker dalam Bidang Dispensing dan Ruang Perawatan Pasien a. Dalam Bidang Dispensing Apoteker wajib melakukan dispensing sesuai dengan cara dispensing yang baik, diantaranya: Mengikuti kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Menginterpretasikan resep dengan seksama. Mendokumentasikan P3 Memeriksa keakuratan dosis Memeriksa kelengkapan informasi pada etiket Melakukan pengendalian obat Menggunakan teknik yang baik dalam meracik obat serta dalam pencampuran sediaan intravena Melakukan pendokumentasian yang baik Meningkatkan kompetensi profesional, terutama dalam pengetahuan tentang obat, termasuk stabilitas dan inkompatibilitas obat Memastikan bahwa personel baru telah dilatih dengan baik Mengkoordinasikan berbagai kegiatan bidang dispensing dengan staf yang ada Memelihara kebersihan dan kerapian ruang dispensing Memberikan informasi obat yang diperlukan bagi apoteker, dokter, perawat dan pasien Mengkomunikasikan kepada semua staf IFRS berbagai hal berkenaan dengan pengembangan baru dalam bidang dispensing dan membantu dalam mengevaluasi personel Mengkoordinasikan kebutuhan farmasi dari ruang perawatan pasien dengan bidang dispensing b. Dalam Ruang Perawatan Pasien Apoteker wajib melakukan pengawasan dalam pemberian obat: Mengintepretasikan setiap dosis unit, serta pemberian obat campuran intravena 14

Mengevaluasi setiap kartu pengobatan pasien secara berkala untuk memastikan bahwa dosis telah diberikan dengan benar Memastikan secara berkala bahwa dosis yang diberikan telah

terdokumentasi pada waktu pengobatan Memastikan bahwa dokumentasi untuk obat golongan narkotik yang telah diberikan, dipelihara dengan benar Memastikan bahwa teknik pemberian obat yang tepat digunakan Bertindak sebagai penghubung antara apoteker, perawat dan staf medis Mengkomunikasikan pada perawat dan dokter tentang masalah pemberian obat Secara berkala menginspeksi ruang obat pada unit perawat guna memastikan pemeliharaan tingkat persediaan obat dan perlengkapan Memastikan bahwa obat-obat dan pelengkapan diadakan dari ruang dispensing sesuai dengan yang diperlukan Memastikan bahwa pelayanan pendukung lain yang dilakukan IFRS dilaksanakan dengan benar Mengkoordinasikan semua pelayanan farmasi pada tingkat unit perawat Memastikan bahwa ruangan obat adalah bersih dan teratur Memastikan bahwa keamanan yang tepat dipelihara dalam ruangan obat untuk mencegah pencurian c. Perawatan Langsung Pasien Mengidentifikasikan obat yang dibawa pasien ke rumah sakit Mengetahui riwayat penggunaan obat oleh pasien dan

mengkomunikasikan semua informasi berkaitan kepada dokter Membantu dokter dalam seleksi zat aktif dan produk obat Membantu dokter dalam seleksi regimen dosis dan jadwal, kemudian menetapkan waktu pemberian obat untuk jadwal tersebut (pelayanan farmakokinetik) Memantau terapi obat menyeluruh untuk keefektifan atau

ketidakefektifan, efek samping, toksisitas, reaksi alergi obat dan interaksi obat Memberikan konseling kepada pasien

15

Berpartisipasi dalam keadaan darurat dalam mengadakan dan menyiapkan obat-obat yang diperlukan, dan sebagainya

Kegiatan yang dilakukan farmasi klinik yaitu monitoring pengobatan pasien untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat yang rasional. Tanggung jawab umumnya antara lain : Mengadakan edukasi in-service bagi : Apoteker, residen apoteker dan mahasiswa farmasi Perawat dan siswa perawat Dokter dan mahasiswa kedokteran

Melayani informasi obat untuk dokter, perawat dan personel pelayanan kesehatan lain

2.

Pelaksanaan Sistem Distribusi Obat yang tepat untuk PRT Apoteker wajib menerapkan sistem distribusi obat yang tepat agar dapat

memenuhi persyaratan penyampaian obat yang baik, yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat jadwal, tanggal, waktu dan metode pemberian, tepat informasi untuk pasien dan untuk perawat pemberi obat kepada pasien.Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat tinggal, digunakan empat sistem, yaitu: a. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Reseporisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu. Sistem ini kurang sesuaiuntuk rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yangmenyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini biasanyadigunakan di rumah sakit-rumah sakit kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuaidalam penerapan keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien secaraindividual.

16

b. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep kemudian diberikankepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat menyiapkan semua obat yangdiperlukan dari persediaan obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepadapasien, termasuk pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan olehinstalasi farmasi. c. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual adalah dokter menulisresep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalianoleh apoteker dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obatkemudian diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat. Pengendalian obatyang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepadapasien oleh perawat. d. Sistem distribusi obat dosis unit. Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam,yaitu : 1) Sentralisasi Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakitsecara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabangIFRS di beberapa daerah perawatan penderita. 2) Desentralisasi Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya sistem ini sama dengan system distribusi obat persediaan lengkap diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral. 3) Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral. 17

Distribusi obat dosis unit secara desentralisasi perlu diterapkan untuk PRT dalam rumah sakit yang besar sekelas A, B, dan C. Sementara untuk rumah sakit yang kecil ( 50 tempat tidur) dapat diterapkan sistem distribusi obat dosis unit sentralisasi. Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat adalah : a. Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication administration record(MAR). b. Menuliskan nama generik dari obat pada MAR. c. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.

3.

Pelaksanaan Tanggung Jawab IFRS Sepenuhnya dalam Pengelolaan Obat di Rumah Sakit Pengendalian pengadaan, mutu, penyimpanan, dispensing, distribusi dan

penggunaan obat di rumah sakit sebaiknya menjadi tanggung jawab IFRS dimana PRT diwajibkan menggunakan obat yang disediakan oleh IFRS. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir kejadian kesalahan pengobatan di rumah sakit.

4.

Pemenuhan Standar Minimal IFRS IFRS atau apoteker sebaiknya memenuhi standar minimal dalam melaksanakan

tanggung jawabnya dalam pelayanan pasien di rumah sakit yang mencakup pelayanan farmasi yang baik (PFB) dan praktik dispensing yang baik. Jadi standar minimal kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang harus dilakukan IFRS secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan hasil yang baik. Standar minimal tersebut mencakup standar untuk manajerial meliputi pimpinan IFRS, personel IFRS, program, kebijakan dan prosedur; standar untuk fasilitas; standar untuk distribusi dan pengendalian obat; standar untuk informasi obat; standar jaminan terapi obat yang rasional; standar untuk penelitian; standar untuk pemberian obat dan produk biologik yang aman; dan standar mutu dalam pelayanan perawatan pasien. Apabila standar minimal ini diterapkan, kesalahan obat dapat dihindari sepanjang waktu.

5.

Penerapan Sistem Manajemen Mutu Menyeluruh (S3M) dalam IFRS S3M adalah suatu pendekatan manajemen dari suatu organisasi yang berorientasi

mutu, didasarkan pada partisipasi semua anggota atau personilnya. Tujuan dari penerapan S3M selain pencapaian keuntungan jangka panjang adalah manfaat bagi 18

anggota atau persnonelnya dan bagi masyarakat melalui kepuasan konsumen. S3M teridri atas berbagai kegiatan peningkatan yang melibatkan tiap personel organisasi / lembaga dalam suatu upaya terpadu menuju unjuk kerja yang meningkat pada tiap tingkat. S3M memadukan teknik manajemen fundamental, upaya penyempurnaan yang sedang berlangsung dan peralatan teknik di bawah suatu pendekatan disiplin, difokuskan pada penyempurnaan proses berkelanjutan. Berbagai kegiatan itu pada akhirnya difokuskan pada peningkatan konsumen/ pengguna. Karakteristik dari S3M yaitu berbasis strategi; fokus pada konsumen (internal dan eksternal); obsesi dengan mutu; pendekatan ilmiah dalam membuat keputusan dan solusi masalah; komitmen jangka panjang; kerja sama tim; peningkatan proses berkelanjutan; pendidikan dan pelatihan; menyatu untuk tujuan; serta keterlibatan dan pemberdayaan personel. Dengan menerapkan S3M, maka seluruh kegiatan IFRS diorganisasikan sedemikian sehingga faktor teknis, administratif, dan manusia yang memengaruhi mutu produk dan pelayanannya berada di bawah koordinasi. S3M harus memenuhi kebutuhan IFRS dan konsumen yang saling berhubungan. Kebutuhan IFRS adalah mencapai dan mempertahankan mutu yang diinginkan pada harga optimal yang terjangkau, dengan penggunanaan yang efisien sumber , teknologi, manusia dan bahan yang dimiliki IFRS. Sedangkan kebutuhan konsumen adalah IFRS menghantarkan / menyediakan sediaan obat dan pelayanan yang bermutu pada harga yang terjangkau dan mempertahankan mutu yang sama secara terus-menerus. S3M IFRS dimulai dengan mengidentifiksi kebutuhan dan persyaratan mutu dari professional kesehatan, terutama penderita dan berakhir hanya apabila produk dan pelayanan telah dihantarkan kepada konsumen tersebut yang masih tetap puas. S3M memandu tindakan personel IFRS, peralatan , sarana, sumber, dan informasi yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan mutu.

6. Pelayanan Farmasi Klinik yang Langsung Pelayanan farmasi klinik langsung adalah pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan hasil terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat. Tujuan pelayanan farmasi klinis adalah meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan obat sehingga meningkatkan dan memastikan kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat. a. Pelayanan dalam Proses Penggunaan Obat 19

Berbagai kegiatan apoteker dalam proses penggunaan obat adalah sebagai berikut: Dalam proses penggunaan obat, apoteker wajib melakukan wawancara riwayat obat pasien untuk mengetahui data penggunaan obat sebelum masuk rumah sakit. Data itu mencakup semua obat resep dan nonresep yang telah digunakan; sejarah alergi dan reaksi obat merugikan; fungsi ginjal; fungsi hati dan database pasien, seperti bobot, umur, dan sebagainya. Data tersebut di atas diperlukan dokter untuk menegakkan diagnosis dan pemilihan obat yang tepat. Membantu dokter menyeleksi obat dan regimen yang tepat. Menginterpretasi resep obat dokter. Mengkaji profil pengobatan pasien. Menyiapkan atau meracik obat dengan cara dispensing obat yang baik (CDOB). Memberi informasi kepada perawat. Memberikan konseling kepada pasien. Mengawasi pemberian obat. Memantau terapi obat menyeluruh.

b. Pengkajian pelayanan dan resep Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep, dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). c. Penelusuran riwayat penggunaan obat Penelusuran riwayat penggunaan obat adalah proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. d. Konseling Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan kesempatan kepada pasien/keluarga pasien mengeksplorasikan diri dan 20

membantu meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran sehingga pasien/keluarga pasien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam penggunaan obat yang benar termasuk swamedikasi. Tujuan umum konseling adalah meningkatkan keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi. Kriteria pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian konseling yaitu terutama untuk pasien rujukan dokter, pasien dengan penyakit kronis, pasien dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi, pasien geriatrik, pasien pediatrik, dan pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.

Tujuan khusus dari konseling adalah: 1. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien 2. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien 3. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat 4. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan penyakitnya 5. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan 6. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat 7. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi 8. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan 9. Membimbing dan membina pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien

Kegiatan yang dilakukan dalam konseling meliputi: 1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien 2. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three prime questions 3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat. 4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat 21

5. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien 6. Dokumentasi

7.

Pelayanan Farmasi Klinik yang Tidak Langsung Apoteker wajib melaksanakan pelayanan farmasi klinik dalam program rumah

sakit diantaranya: menyeleksi terapi obat, pemantauan terapi obat, pelayanan fokus pada pasien atau jenis obat, bertujuan untuk penyempurnaan terapi dengan edukasi penulis resep atau pasien. a) Pelayanan Farmasi Klinik dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta Kegiatan Formularium Formularium adalah himpunan obat yang diterima atau disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Sistem yang dipakai dalam formularium adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Apoteker selain aktif sebagai sekretaris PFT, juga aktif mengadakan evaluasi obat yang ada dalam perdagangan dan obat yang telah ada dalam formularium. Hasil evaluasi tersebut digunakan oleh PFT dalam mengambil keputusan untuk memasukkan ke atau menghapuskan dari formularium suatu obat tertentu. Dengan demikian obat yang tertera dalam formularium adalah obat yang terbaik dan diperlukan pasien di rumah sakit. b) Pelayanan Farmasi Klinik dalam Sistem dan Penerapan Formularium Dalam sistem formularium rumah sakit, apoteker berperan dalam menyiapkan data obat yang diusulkan untuk dimasukkan ataupun dihapuskan dari formularium. Demikian juga penggunaan formularium obat sebagai dasar dalam pengadaan, pengelolaan, pengendalian, dan pelayanan obat bagi pasien. Apoteker juga wajib berpartisipasi aktif memutakhirkan formularium obat rumah sakit. c) Peranan dalam Sistem Pemantauan Kesalahan Obat Apoteker aktif dalam program peningkatan mutu pemantauan kesalahan obat, yaitu dengan mengidentifikasi dan mendokumentasikan serta 22

mempelajari penyebab kesalahan obat agar dapat mengembangkan sistem untuk meminimalkan terjadinya kembali kesalahan tersebut. d) Evaluasi Penggunaan Obat Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi dan terstruktur yang dilaksanakan terus menerus, yang ditujukan untuk menjamin obat yang tepat, aman, dan efektif. Tahap pelaksanaan evaluasi penggunaan obat sebagai kegiatan jaminan mutu adalah sebagai berikut: Penetapan penanggungjawab yang umumnya adalah panitia farmasi dan terapi; Menilai pola penggunaan semua obat; Menentukan obat-obat khusus dan golongan obat untuk dipantau dan dievaluasi; Pengembangan kriteria penggunaan obat; Mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang diperoleh dari berbagai sumber meliputi rekaman medik, profil pengobatan penderita, permintaan obat non formularium, formulir permintaan obat, hasil laporan

laboratorium, rekaman pemberian obat atau kartu obat, rekaman reaksi obat yang merugikan, laporan peristiwa tertentu; Mengevaluasi penggunaan obat yang dibandingkan dengan kriteria; Mengadakan tindakan perbaikan untuk solusi masalah dan perbaikan penggunaan obat; Menilai efektivitas tindakan perbaikan dan dokumentasi perbaikan; Mengkomunikasikan hasil yang diperoleh kepada organisasi atau pihak yang berkepentingan. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) berlaku sebagai suatu alat penting untuk membuktikan bahwa obat berguna bagi perawatan pasien dengan memastikan bahwa obat itu aman, efektif, dan ekonomis (Penggunaan obat yang aman, efektif, dan ekonomis disebut Pengunaan Obat yang Tepat). Peranan utama apoteker sehari-hari dalam EPO, adalah mengkaji order atau resep obat terhadap kriteria penggunaan yang telah ditetapkan dan berkonsultasi dengan dokter penulis resep jika terjadi masalah. Kriteria atau standar penggunaan obat meliputi indikasi, kontraindikasi, dosis, interaksi 23

obat, waktu pemberian, kombinasi dan duplikasi penggunaan. Selain itu, apoteker menginterpretasi dan melaporkan temuan evaluasi kepada PFT, staf jaminan mutu, pimpinan rumah sakit dan lain-lain untuk mengusulkan perubahan dalam kebijakan serta prosedur pengendalian penggunaan obat. e) Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Peranan apoteker dalam pelayanan informasi obat bukanlah hal yang baru. Apoteker, secara tradisional adalah sumber utama informasi obat bagi dokter, perawat, pasien, dan profesional kesehatan lainnya. Informasi obat harus dievaluasi oleh apoteker, guna memastikan penggunaan obat yang aman dan efektif. Informasi obat adalah suatu bantuan bagi dokter dalam pengambilan keputusan, tentang pilihan obat yang paling tepat bagi seorang pasien tertentu. Perawat memerlukan informasi obat untuk mengetahui tentang penggunaan suatu obat tertentu; efek dan bahaya suatu terapi obat, agar perawat dapat mengkaji terjadinya efek merugikan, juga perawat perlu mengetahui penyiapan serta penggunaan obat yang tepat dan sebagainya. Pasien juga perlu diberi informasi tentang obat mereka, misalnya hubungan obat dengan penyakitnya, cara penggunaan, penyimpanan, efek samping serta cara menangani efek samping, cara memantau efek obat, dan sebagainya. Dengan demikian, ketaatan pasien terhadap regimen obatnya dapat meningkat. f) Peranan dalam Pemantauan dan Pelaporan ROM ROM adalah penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan. Akibatnya, ROM dianggap sebagai harga yang tidak dapat dihindarkan sebagai pertukaran manfaat terapi obat modern. Namun, diperkirakan bahwa paling sedikit setengah dari semua ROM dapat dihindari. Hal ini mengajukan suatu tantangan yang serius bagi semua pelaku pelayan kesehatan, untuk menyempurnakan perawatan kesehatan dengan memberikan manfaat dari terapi obat modern, sedangkan risikonya dikurangi. Apoteker berada pada posisi yang baik sekali untuk memenuhi tantangan ini karena pengetahuan farmakologi mereka yang dalam dan 24

peranan mereka untuk menyeleksi, mendispensing, dan memantau terapi obat. Salah satu tujuan dari kegiatan farmasi klinik adalah keharusan mencegah ROM sementara pelayanan ini memaksimalkan terapi obat. g) Penerbitan Buletin/Surat Berita Upaya untuk mengomunikasikan informasi berkaitan dengan kebijakan penggunaan obat dan perkembangan mutakhir yang memengaruhi seleksi obat adalah suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Seringkali, buletin/surat berita diterbitkan untuk mencapai sasaran tersebut. Peranan apoteker sangat penting dalam penerbitan buletin/surat berita di rumah sakit karena menyeleksi judul yang relevan dan menulis artikelnya kebanyakan dilakukan oleh apoteker. Suatu buletin/surat berita merupakan alat edukasi untuk memberantas penggunaan obat yang tidak tepat dan tidak terungkap dalam studi evaluasi penggunaan obat. h) Pelayanan Farmakokinetik Klinik Farmakokinetik klinik adalah proses penerapan prinsip farmakokinetik untuk menetapkan dosis, dan frekuensi pemberian obat tertentu bagi pasien tertentu. Penerapan prinsip ini memerlukan pengertian tentang karakteristik absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat tertentu dalam penyakit tertentu. Pengaruh faktor lain termasuk umur, penyakit, diet, dan penggunaan yang bersamaan obat lain juga harus dimengerti. Perkembangan regimen dosis individu pasien harus didasarkan pada temuan terpadu dari pemantauan kedua hal, yaitu konsentrasi yang memberi respons dan respons farmakologis terhadap obat. Fungsi klinik apoteker mencakup pemantauan terapi obat dan pengadaan pengkajian farmakokinetik klinik. Peranan utama apoteker yang terlibat dalam pelayanan farmakokinetik klinik antara lain: a. Mendesain regimen dosis obat spesifik pasien didasarkan pada karakteristik farmakokinetik dan farmakologi obat yang digunakan, tujuan terapi obat, penyakit, dan terapi obat bersamaan serta faktor-faktor lain yang berkaitan (misalnya umur, data laboratorium) yang dapat memengaruhi keamanan dan keefektifan terapi obat. b. Memantau dan menyesuaikan regimen dosis obat didasarkan pada respon farmakologis dan pada konsentrasi obat dalam cairan biologis (yaitu

25

plasma, serum, darah, dan cairan serebrospinal), serta dalam jaringan bersama dan tanda dan gejala atau parameter biokimia lain. c. Merekomendasikan prosedur penetapan kadar untuk menganalisis konsentrasi obat agar mempermudah evaluasi regimen dosis. i) Edukasi Obat Farmasi adalah profesi yang padanya melekat pengendalian obat, harus terlibat erat dengan berbagai kegiatan yang bertujuan mencegah atau mengurangi masalah penggunaan obat. Kebanyakan apoteker memahami masalah penting yang mungkin dapat terjadi, walaupun dengan penggunaan obat resep yang tepat, seperti reaksi merugikan dan interaksi obat. Banyak apoteker yang berpengetahuan luas tentang banyak masalah yang mungkin melekat dalam pengobatan sendiri dengan suatu obat nonresep. Oleh karena itu, masyarakat sangat perlu memelajari penggunaan semua jenis obat yang lebih rasional dan tepat. Kepentingan utama edukasi obat adalah manfaatnya kepada pengguna obat (pasien dan profesional kesehatan), yaitu penyempurnaan perilaku penggunaan obat dan penulisan obat guna mencapai kesehatan dan kesejahteraan yang optimal. Fokus setiap upaya edukasi obat adalah memberikan informasi obat, suatu strategi yang paling dipahami oleh apoteker. Dalam dunia teknologi yang sangat rumit dewasa ini, ketersediaan informasi mutakhir dan tepat memungkinkan seseorang untuk mengerti, membuat pilihan yang lebih baik serta untuk mencegah dan memberi solusi masalah. Individu yang paling baik untuk membantu orang dalam mencegah masalah penggunaan obat, dan dalam pencapaian pengalaman optimal yang diinginkan dari penggunaan obat mereka adalah apoteker. Ia mudah memperoleh sumber informasi bermutu tinggi dan program edukasi mengenai perilaku penggunaan obat. Terapi obat yang aman dan efektif paling sering terjadi, apabila pasien benar-benar diberi informasi tentang obat mereka dan penggunaannya. Pasien yang mengetahui banyak tentang obatnya menunjukkan peningkatan ketaatan terhadap regimen obat yang tertulis, mengakibatkan hasil terapi yang meningkat.

26

Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik adalah a. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction). b. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition (TPN) dan terapi antineoplastik. c. Menyiapkan dosis farmakokinetik. d. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih. e. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien. f. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat.

2.5. Rekomendasi bagi Apoteker untuk Pencegahan Kesalahan Obat Apoteker diharapkan memainkan peranan penting dalam pencegahan kesalahan dalam penggunaan obat. Secara ideal, apoteker perlu bekerja sama dengan dokter penulis dalam pengembangan, penerapan, dan pemantauan suatu rencana terapi untuk menghasilkan hasil terapi yang ditetapkan bagi pasien.Rekomendasi yang disarankan bagi apoteker adalah sebagai berikut : 1. Apoteker harus berpartisipasi dalam pemantauan terapi obat dan kegiatan EPO untuk membantu mencapai penggunaan obat yang aman, efektif dan rasional. 2. Untuk merekomendasikan dan mengenal terapi obat yang tepat, apoteker harus mengikuti pengetahuan yang mutakhir melalui kebiasaan membaca pustaka, berkonsultasi dengan sejawat dan pelaku pelayanan kesehatan lain, partisipasi dalam program edukasi profesional berkelanjutan, dan cara lain. 3. Apoteker harus membuat diri mereka sendiri tersedia kepada dokter penulis order dan perawat, untuk memberikan informasi dan nasehat tentang regimen obat terapi serta penggunaan obat-obatan yang benar. 4. Apoteker harus memahami system pengorderan obat dan kebijakan serta prosedur distribusi obat yang ditetapkan untuk rumah sakit, guna mengadakan distribusi yang aman dari semua obat-obatan dan suplai berkaitan untuk PRT dan pasien ambulatory. 5. Apoteker hendaknya tidak boleh menganggap atau menerka maksud dari order obat yang membingungkan. Jika ada masalah, dokter penulis order harus dihubungi sebelum dilakukan dispensing. 27

6. Apabila menyiapkan obat apoteker harus memelihara kerapihan dan kebersihan dalam lokasi kerja, serta melakukan satu prosedur pada satu waktu dengan sedikit mungkin interupsi. 7. Sebelum mendispensing suatu obat dalam situasi nondarurat, apoteker harus mengkaji order asli obat yang ditulis. Apoteker harus memastikan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan oleh personel pendukung atau melalui penggunaan alat otomatis dicek dengan cara manual atau cara teknologis. Semua proses harus memenuhi peraturan perundang undangan yang berlaku. Apoteker harus berpartisipasi, paling minimal pada proses pengecekan sendiri dalam membaca resep, pengetiketan dan perhitungan dosis. 8. Apoteker perlu mendispensing obat dalam bentuk sediaan siap diberikan apabila mungkin. Sistem dosis unit sangat direkomendasikan sebagai metode distribusi obat yang dikehendaki. 9. Apoteker harus mengkaji penggunaan etiket tambahan dan menggunakan etiket itu dengan hati-hati ,apabila jelas bahwa penggunaannya dapat mencegah kesalahan (misalnya, "kocok dulu", "untuk penggunaan luar saja", dan "tidak untuk injeksi") 10. Apoteker harus memastikan bahwa obat telah dikirim ke lokasi perawatan pasien tepat pada waktu setelah menerima order, sesuai dengan kebijakan dan prosedur rumah sakit. 11. Apoteker harus mengamati cara obat digunakan sebenarnya dalam lokasi perawatan pasien; untuk memastikan bahwa prosedur dispensing dan penyimpanan diikuti dan untuk membantu perawat dalam mengoptimasi keamanan pasien. 12. Staf IFRS harus mengkaji obat-obatan yang dikembalikan ke IFRS. Proses pengkajian demikian dapat mengungkapkan gangguan sistem atau masalah yang diakibatkan kesalahan obat (misalnya, dosis yang lalai dan obat yang tidak diotorisasi). 13. Apabila mendispensing obat untuk pasien ambulatori (misalnya, pada pembebasan), apoteker harus mengonseling pasien atau pengasuhnya dan memverifikasi bahwa mereka mengerti, mengapa suatu obat ditulis dan didispensing, maksud penggunaan, tindakan pencegahan yang perlu diamati. dan informasi lain yang diperlukan.

28

14. Apoteker harus meninjau dan memberikan nasihat tentang isi dan desain dari formulir atau lembaran order obat tercetak, jika digunakan. Apoteker harus memelihara kecukupan rekaman, untuk memungkinkan identifikasi pasien yang menerima suatu produk yang salah.

2.6. Pengelolaan Kesalahan Obat Penggolongan kesalahan obat memungkinkan pengelolaan tindak lanjut yang lebih baik terhadap pendeteksian kesalahan obat. Penetapan penyebab kesalahan obat harus digabung dengan pengkajian dari keparahan kesalahan. Korelasi antara kesalahan dan metode distribusi obat harus dikaji (misal, dosis unit, persediaan di ruang, atau obat ruah; pracampuran dan sediaan oral atau injeksi). Proses ini akan membantu mengidentifikasi masalah sistem dan merangsang perubahan untuk meminimalkan terjadinya kesalahan kembali. Langkah-langkah pengelolaan medication errors : 1. 2. 3. Klasifikasikan jenis medication errors yang terjadi. Tentukan penyebab terjadinya medication errors. Medication errors harus didokumentasikan dan dilaporkan segera kepada dokter, perawat, dan kepala IFRS. 4. Untuk kesalahan yang signifikan secara klinik, pengumpulan fakta dan investigasi harus segera dimulai. Fakta yang harus ditetapkan dan

didokumentasikan termasuk apa yang terjadi, di mana peristiwa terjadi, mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi, siapa yang terlibat. Bukti produk (etiket dan kemasan) harus dicari dan disimpan untuk acuan di kemudian hari. 5. Identifikasikan langkah-langkah yang akan dilakukan dengan benar dan dokumentasikan 6. 7. Terapi perbaikan dan terapi suportif harus diberikan kepada pasien. Kesalahan obat harus dilaporkan kepada program pemantauan rumah sakit untuk kepentingan perbaikan mutu, peningkatan keamanan pasien untuk pencegahan kesalahan yang akan datang.

Jika terjadi gejala keracunan pada pasien, maka sebagai petugas kesehatan, seorang apoteker harus mampu mengelola kejadian keracunan tersebut dengan sigap dan benar, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut:

29

1. Semua pasien yang menunjukkan gejala-gejala keracunan harus segera dirujuk ke rumah sakit. 2. Berikan terapi suportif dan pengobatan yang bertujuan untuk menangani gejala (contohnya hipertensi). Fungsi vital pasien juga harus selalu dimonitor. a. Pengeluaran racun dari saluran pencernaan Lakukan prosedur cuci lambung Pengeluaran racun dari saluran pencernaan hanya dilakukan dengan pertimbangan yang matang, yaitu jika jumlah racun yang masuk ke tubuh pasien berada pada jumlah yang mengancam jiwa dalam waktu yang cepat. b. Pencegahan absorpsi racun Lakukan dengan menggunakan karbon aktif karena karbon memiliki kemampuan mengikat racun dan mengurangi absorpsinya. Penggunaan karbon relatif aman dan lebih efektif. c. Penggunaan antidote Terdapat beberapa antidot yang dapat digunakan secara terbatas untuk sejumlah racun, diantaranya adalah: Pada keracunan parasetamol, berikan asetilsistein untuk melindungi hati jika pemberian parasetamol dosis tinggi belum melewati 10-12 jam. Pada keracunan besi, berikan desferrioxamin yang depat mengkhelat besi Pada keracunan opiat yang muncul dengan sedasi, supresi batuk dan depresi pernafasan, berikan nalokson yang merupakan antagonis reseptor opioid yang tersedia sebagai injeksi intra vena d. Peningkatan eliminasi racun dengan alkalinisasi urin Pada keracunan obat yang bersifat asam, misalnya pada keracunan aspirin yang ditandai dengan stimulasi pusat pernafasan dan nyeri abdomen, nausea, tinnitus, vertigo, serta ketulian, dapat dilakukan rehidrasi dan alkalinisasi urin. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan eliminasi obat yaitu dengan meningkatkan ionisasi aspirin dan mencegah reabsorpsinya pada ginjal.

30

Respon setelah terjadi medication errors: 1. Meminimalisasi efek dari kesalahan medikasi pada pasien 2. Berikan pasien perhatian penuh 3. Pindahkan pasien ke tempat terpisah jika memungkinkan 4. Cari penyebab terjadinya kesalahan medikasi 5. Meminta maaf kepada pasien dan jelaskan kesalahan yang telah terjadi 6. Perbaiki kesalahan yang terjadi 7. Catat segala tindakan yang dilakukan

2.7. Pedoman Penggunaan Obat yang Aman dan Efektif Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009, setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan. Hal tersebut juga memiliki makna bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala aspek pengobatan, termasuk terapi obat yang diberikan saat kondisi seseorang sakit. Penyedia pelayanan kesehatan harus mendorong pasien untuk mengambil peran aktif dalam penggunaan obatnya dengan bertanya dan mempelajari mengenai regimen pengobatan tersebut. Beredarnya obat bebas dan bebas terbatas serta pelaksanaan swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan. Hal ini terjadi akibat keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya.(Depkes RI (b), 2006). Swamedikasi adalah Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat. (Depkes RI (b), 2006) Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari salah guna obat (drug misuse). Salah guna obat adalah penggunaan bermacam-macam obat tetapi efeknya tidak sesuai, tidak rasional, tidak tepat dan tidak efektif. bahaya salah guna obat antara lain menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, pengeluaran obat menjadi lebih banyak atau pemborosan, tidak bermanfaat atau menimbulkan ketagihan.(Depkes RI (a), 2006) Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas tahun 2006. Cara pemilihan obat perlu diperhatikan : 31

1. Gejala atau keluhan penyakit 2. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus dan lain-lain. 3. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu. 4. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat. 5. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat dengan obat yang sedang diminum. 6. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan kepada Apoteker. Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam cara penggunaan obat yaitu 1. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus. 2. penggunakan obat harus sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur. 3. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan penggunaan dapat dihentikan dan ditanyakan kepada Apoteker dan dokter. 4. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama. 5. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap tanyakan kepada Apoteker.

Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata, salep mata, obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim/salep rektal dan tablet vagina. Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, cara penggunaan obat oral sesuai dengan petunjuk : 1. Minum obat dengan segelas air

32

2. Ikuti petunjuk dari profesi pelayanan kesehatan (saat makan atau saat perut kosong)

3. Obat untuk kerja diperlama (long acting) harus ditelan seluruhnya. Tidak boleh dipecah atau dikunyah

4. Untuk sediaan cair, digunakan sendok obat atau alat lain yang telah diberi ukuran untuk ketepatan dosis. Jangan gunakan sendok rumah tangga 5. Jika penderita sulit menelan sediaan obat yang dianjurkan oleh dokter minta bentuk sediaan lain

Petunuk pemakaian obat oral untuk bayi/anak balita : 1. Sediaan cair untuk bayi dan balita harus jelas dosisnya, gunakan sendok takar dalam kemasan obatnya 2. Segera berikan minuman yang disukai anak setelah pemberian obat yang tidak enak/ pahit

Petunjuk pemakaian obat tetes mata 1. Ujung alat penetes jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata) dan selalu ditutup rapat setelah digunakan 2. Untuk glaucoma atau inflamasi, petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan harus diikuti dengan benar 3. Cara penggunaan obat tetes mata meliputi : 33

a. Tangan dicuci bersih b. Kepala ditengadahkan c. dengan jari telunjuk, kelopak mata bagian bawah ditarik kebawah untuk membuka kantung konjungtiva, obat diteteskan pada kantung konjungtiva dan mata ditutup selama 1-2 menit, jangan mengedip d. ujung mata dekat hidung ditekan selama 1-2 menit e. tangan dicuci untuk menghilangkan obat yang mungkin terpapar pada tangan

Petunjuk pemakaian obat salep mata 1. Ujung tube salep jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata) 2. Cara penggunaan obat salep mata yaitu a. Tangan dicuci bersih b. Kepala ditengadahkan c. dengan jari telunjuk, kelopak mata bagian bawah ditarik kebawah untuk membuka kantung konjungtiva, tube salep mata ditekan hingga salep masuk dalam kantung konjungtiva dan mata ditutup selama 1-2 menit. Mata digerakan ke kiri-kanan, atas-bawah. ujung mata dekat hidung ditekan selama 1-2 menit d. setelah digunakan, ujung kemasan salep diusap dengan tissue bersih (jangan dicuci dengan air hangat) dan wadah salep ditutup rapat e. tangan dicuci untuk menghilangkan obat yang mungkin terpapar pada tangan

Petunjuk pemakaian obat tetes hidung 1. hidung dibersihkan dan kepala ditengadahkan bila penggunaan obat dilakuakan sambil berdiri dan duduk atau penderita cukup berbaring saja 2. kemudian teteskan obat pada lubang hidung dan biarkan selama beberapa menit agar obat dapat tersebar dalam hidung. 34

3. untuk posisi duduk, kepala ditarik dan ditempatkan diantara dua paha

4. setelah digunakan, alat penetes dibersihkan dengan air panas dan keringkan dengan tissue bersih

Petunjuk pemakaian obat semprot hidung 1. hidung dibersihkan dan kepala tetap tegak. Kemudian obat disemprotkan kedalam lubang hidung sambil menarik napas dengan cepat

2. untuk posisi duduk, kepala ditarik dan ditempatkan diantara dua paha 3. setelah digunakan, botol alat semprot dicuci dengan air hangat tetapi jangan sampai air masuk kedalam botol kemudian dikeringkan dengan tissue bersih

Pemakaian Obat tetes telinga 1. ujung alat penetes jangan menyentuh benda apapun termasuk telinga 2. cuci tangan sebelum menggunakan obat tetes telinga 3. bersihkan bagian luar telinga dengan cotton bud/kapas bertangkai pembersih telinga 4. jika sediaan berupa suspense, sediaan harus dikocok terlebih dahulu 5. cara penggunaan : a. penderita berbaring miring dengan telinga yang akan ditetesi obat menghadap keatas. Untuk membuat lubang telinga lurus sehingga 35

mudah ditetesi maka bagi penderita dewasa daun telinga ditarik ke atas dan ke belakang. Sedangkan bagi anak-anak telinga ditarik ke bawah dan kebelakang. b. Kemudian obat diteteskan dan dibiarkan selama 5 menit c. Bersihkan ujung penetes dengan tissue bersih

Petunjuk Pemakaian Obat Supositoria 1. Cuci tangan, suppositoria dikeluarkan dari kemasan, suppositoria dibasahi dengan air

2. Penderita berbaring dengan posisi miring dan suppositoria dimasukan kedalam rectum 3. Penderita berbaring dengan posisi miring, dan suppositoria dimasukan ke dalam rectum

4. Masukan suppositoria dengan cara bagian ujung suppositoria didorong dengan ujung jari sampai melewati otot sfingter rectal; kira-kira - 1 inchi pada bayi dan 1 inchi pada dewasa 5. Jika supositoria terlalu lembek untuk dapat dimasukan, maka sebelum digunakan sediaan ditempatkan dalam lemari pendingin selama 30 menit kemudian tempatkan pada air mengalir sebelum kemasan dibuka 6. Setelah penggunaan suppositoria, tangan penderita dicuci bersih

36

Petunjuk pemakaian Obat Krim/ Salep Rektal 1. Bersihkan dan keringkan daerah rectal, kemudian masukan salep atau krim secara perlahan kedalam rectal 2. Cara lain adalah dengan menggunakan aplikator. Caranya adalah aplikator dihubungkan dengan wadah salep/krim yang sudah dibuka, kemudian dimasukan kedalam rectum dan sediaan ditekan sehingga salep/krim keluar. Buka aplikator dan cuci bersih dengan air hangat dan sabun

3. Setelah penggunaan, tangan penderita dicuci bersih

Petunjuk Pemakaian Obat vagina 1. Cuci tangan sebelum menggunakan obat dan gunakan aplikator sesuai dengan petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan harus diikuti dengan benar 2. Jika penderita hamil, maka sebelum menggunakan obat sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan professional keperawatan kesehatan 3. Penderita berbaring dengan kedua kaki direnggangkan dan menggunakan aplikator obat dimasukan kedalam vagina sejauh mungkin tanpa dipaksakan dan biarkan selama beberapa waktu

4. Setelah penggunaan, aplikator dan tangan penderita dicuci bersih dengan sabun dan air hangat

37

BAB 3 CONTOH KASUS

A. Prescribing Error 1. Tuan Hasan merupakan pasien yang terdaftar sebagai pasien Askes, dia melakukan kunjungan rutin ke sebuah rumah sakit , pada kunjungan kali ini tn. Hasan menerima resep dengan diagnosis dislipidemia, osteoartritis, hipertensi, gerd, cpod dan neuropati. Tn. Hasan menerima obat-obatan sebagai berikut: R/ Glucosamin 500 3x1 90 Nifedipine 2x1 60 Meloxicam 15 mg 1x1 30 Lansoprazole 30 mg 1x1 7 Neurodex 3x1 90 OBH Syrup 2x1 1 Dexanta 3x1 21 Dalam resep tersebut pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan diagnosa yaitu OBH syrup yang seharusnya tidak perlu diberikan. Terdapat pula pengobatan ganda untuk diagnosis gerd, yaitu lansoprazole (PPI) dan dexanta (antasida).

2. Seorang wanita kulit putih (70 th) yang sedang mendapatkan terapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi untuk asma didiagnosis mengalami infeksi jamur Scedosporium apiospermum pada kulit dan jaringan subkutan. Untuk itu, dia mendapat pengobatan dengan itrakonazol untuk 2 bulan.Ia kemudian mengalami Cushing's syndrome yang diduga karena interaksi antara itrakonazol and budesonid yang diperantarai oleh cytochrome P450. Dia juga mengalami adrenal insufficiency sekunder yang membutuhkan pengobatan jangka panjang dengan penggantian hidrokortison. Budesonide adalah glukokortikoid poten yang dimetabolisir di hati oleh isoenzim cyp 3A 4. Itraconazole adalah inhibitor poten citokrom p450. Obat ini dapat menghambat metabolism kortikosteroid inhalasi atau oral, menyebabkan kelebihan kortisol yang lebih lanjut menyebabkan terjadinya Cushings syndrome dan adrenal insufficiency. Dari analisis diduga kejadian tersebut disebabkan oleh interaksi itraconazole dan budesonide. 38

B. Transcription Error 1. Sebagai seorang staf perawat, Lisa ditugaskan untuk pasien yang telah menerima opioid melalui kateter epidural selama operasi baru-baru ini. Pasiennya telah kembali dari departemen post-anestesi dengan laju pernapasan rendah secara periodik disertai oleh denyut nadi normal dan tekanan darah (BP) yang lebih rendah. Narcan diperintahkan PRN diberikan dalam dosis 0,2 mg intravena (IV) dengan laju pernapasan pasien jatuh di bawah 10. Lisa melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasiennya setiap 30 menit setelah ia kembali ke unit bedah. Sekembalinya, dia menilai tingkat pernapasan 8, denyut nadi 50, dan BP 88/60. Menurut perintah dokter, ia menyiapkan dosis IV Narcan untuk membawa tanda-tanda vital pasien hingga parameter yang sesuai dengan pasien yang ditinggalkan oleh anestesi. Setelah Lisa disuntikkan obat ke port IV, ia segera mulai menyusun obat yang dia berikan. Secara terkejut dia melihat vial kosong di tangannya. Itu berlabel "2 miligram per 1 mililiter (ml)" dan dia baru saja menyuntikkan vial 1 ml keseluruhan. Dia segera melaporkan kesalahan kepada perawat muatan dan segera kembali ke pasiennya. Dalam beberapa menit, pasien mengeluhkan mual. Lisa segera mengambil tanda-tanda vitalnya lagi, untuk menemukan bahwa respirasinya, denyut nadi dan BP telah kembali normal, dan pasiennya jauh lebih waspada daripada sebelumnya. Kemudian Lisa ditugaskan dokter yang hadir dan anestesi untuk melaporkan kesalahan dan kondisi pasien sekarang. Mereka berdua menyuruh Lisa untuk memperhatikan pasien secara seksama, menyatakan bahwa hal itu mungkin apa yang pasien butuhkan. Lisa menjadi tenang, namun kesalahannya hampir menguasai kemampuannya untuk menyelesaikan shift. Dia tahu bahwa, ia telah memberikan 10 kali dosis IV normal obat lainnya, konsekuensinya pasien akan semakin parah dan kemungkinan dipindahkan ke Intensive Care Unit dengan kematian berikutnya menjadi kemungkinan nyata. Lisa mengisi laporan insiden seperti yang dipersyaratkan dan pulang ke rumah. Dia tetap mampu berdiri sampai ia berjalan di pintu rumah, tetapi suaminya bertanya tentang hari ini dan dia meneteskan air mata dan menuju 39

ke kamar tidur. Dia tidak bisa berhenti memikirkan betapa mudahnya dia bisa "membunuh pasiennya."

2. Seorang pria 73 tahun dengan aritmia jantung yang lama datang ke klinik rawat jalan untuk pemeriksaan rutin. Setelah evaluasi, ia menerima resep tulisan tangan untuk Rythmol (propafenone), 150 mg, yang telah menjadi obat antiaritmia biasanya selama 3 tahun terakhir. Pasien menghantarkan resep ke klinik farmasi. Tak lama setelah mulai minum obat, pasien mulai merasa "sangat, sangat buruk," dengan mual, berkeringat, dan detak jantung yang tidak teratur. Gejala ini berlangsung selama 2 minggu, dan pasien dipanggil dokter untuk menjadwalkan janji selanjutnya. Pasien membawa obat ke dokternya, yang menyatakan bahwa tablet Rythmol tampak berbeda dari penampilan mereka biasa. Setelah penyelidikan, dokter mengidentifikasi obat pasien sebagai Synthroid (levothyroxine), 150 mcg, bukan dimaksudkan Rythmol

(propafenone), 150 mg. Ketika dokter berbicara dengan apoteker yang telah mengisi resep, menjadi jelas bahwa kesalahan pengobatan pengeluaran telah terjadi karena tulisan tangan tidak jelas pada resep asli. Gejala-gejala pasien mual, berkeringat, dan detak jantung tidak teratur yang terkait dengan kedua penghentian sengaja, tiba-tiba dari Rythmol dan penggunaan yang tidak perlu Synthroid pada dosis awal yang relatif tinggi. Synthroid segera dihentikan, dan pasien kembali menggunakan Rythmol seperti resep aslinya.

C. Administration Error 1. Resep obat larutan KCl oral dipersiapkan dalam jarum suntik untuk

diberikan kepada pasien melalui selang nasogastrik. Pengobatan intavena juga dipersiapkan dalam bentuk jarum suntik dan dibawa ke sisi tempat tidur pasien dalam piringan (nampan) yang sama. Dua orang perawat mempersiapkan dan memeriksa obat untuk pasien ini. Perawat kedua dipanggil. Perawat yang lainnya mendatangi pasien dan mulai memberikan KCl oral yang seharusnya diberikan melalui selang nasogastrik, namun diberikan melalui intravena. Akibatnya pasien memerlukan perawatan intensif dan menghabiskan lima hari di unit perawatan intensif. 40

2. Seorang pasien pria tua menjalani operasi jantung dan baru saja pulih dari anestesia di bagian perawatan intensif pascaoperasi kardiak. Dia menunjukkan tanda-tanda pemulihan, dan penyapihan dari ventilator mulai diperlambat. Laporan menunjukkan bahwa terjadi asidosis metabolik ringan karena

hipotermia. Sodium bikarbonat diberikan diberikan secara intravena secara perlahan. Beberapa detik setelah injeksi, pasien mengalami bradikardi diikuti oleh penghentian kardiak. Resusitasi kardiak dilakukan segera sesuai dengan protokol standar. Pasien berhasil dibangkitkan kembali dengan injeksi bolus adrenalin, kalsium, sodium bikarbonat. Analisis akar masalah dilakukan oleh seorang konsultan sementara proses resusitasi kardiak berjalan. Mereka terkejut menemukan 5 ampul potasium klorida yang rusak tergeletak pada meja pengobatan pasien. Ternyata pasien diberikan 50 mL (100 mEq) potasium klorida dan bukan 50 mL (50 mEq) sodium bikarbonat untuk mengatasi asidosisnya. Hal ini terjadi karena warna label yang sama antara sodium bikarbonat dan potasium klorida. Kedua obat tersebut tersedia dalam ampul dari perusahaan farmasi yang sama dan keduanya dengan volume 10 mL dengan warna label merah. Selain itu, kedua obat tersebut disimpan dalam rak yang sama dan bersebelahan. Penggunaan ukuran/volume ampul yang berbeda (misal : 25 mL ampul sodium bikarbonat 7,5% dan 10 mL ampul potasium klorida 2 mEq/mL) yang disimpan pada tempat berbeda dapat mencegah kejadian medication error akibat look-alike ini.

D. Dispensing Error 1. Pada tahun 1998, seorang apoteker di Inggris dipenjara selama 18 bulan karena telah melakukan kesalahan pemberian obat kepada seorang pasien. Carmel Sheller, seorang wanita berusia 72 tahun memiliki beberapa penyakit kronis datang ke sebuah apotek dengan resep prednisolon pada bulan September 2007. Kemudian , seorang apoteker melakukan kesalahan dengan memberikan obat propanolol. Efek samping dari obat propanolol adalah menurunkan denyut jantung, sedangkan Ny. Carmel Sheller memiliki denyut jantung yang lemah, kemudian Ny. Carmel Sheller collapse setelah minum obat tersebut dan meninggal dunia tiga hari kemudian.

41

2. Seorang wanita berusia 63 tahun dirujuk ke bagian endokrinologi karena diduga mengalami insulinoma. 10 hari sebelumnya pasien dibawa ke UGD di rumah sakit setempat karena tiba-tiba mengalami kebingungan, agitasi, dan berkeringat pada malam hari. Tingkat glukosa darah pasien adalah 1,1 mmol/L pada uji pertama, dan 2,2 mmol/L pada uji berikutnya. Kemudian semua gejala segera hilang setelah beberapa menit diberikan infus glukosa. Diketahui bahwa obat yang dikonsumsi oleh pasien sebelumnya adalah furosemid (40 mg per hari), triamteren (50 mg per hari), amiodaron (200 mg, empat kali per hari selama seminggu sebelumnya), dan lorazepam (1 mg pada waktu tidur). Dua hari kemudian ditemukan bahwa tablet lorazepam yang dibawa oeh pasien ternyata merupakan tablet glyburide.

42

DAFTAR PUSTAKA

American Society of Hospital Pharmacists. (1993). ASHP guidelines on preventing medication errors in hospitals. Am J Hosp Pharm. ; 50:30514.

Aronson, J. K. (2009). Medication Errors: Definitions and Classification. Br. J. Clin. Pharmacol 67:6. Hal. 599-604.

Catellier, Claude R., et al. Drug-dispensing errors : one more case. Endocrinology Service Center Hospitalier de IUniversite Laval Sainte-Foy, Que. Can Med Assoc. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1488521/. 12 September 2012, pkl 08.30 Cohen, M.R. (1991). Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication Error, Washington, DC: American Pharmaceutical Association. Dalam: Hartayu, Titien Siwi & Widayati Aris. (2005). Kajian Kelengkapan Resep Pediatri Yang Berpotensi Menimbulkan Medication Error Di 2 Rumah Sakit Dan 10 Apotek Di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Pasien Safety). Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dan Direktorat Jendaral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dan Direktorat Jendaral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

43

Fowler, S.B., Sohler,Patricia., & Zarillo,D.F., et al. 2009. Bar Code Technology for Medication Administration: Medication Errors and Nurse Satisfaction. MEDSURG NursingMarch/April 2009: Vol. 18 (2). Proquest Database.

Gonzalez, F., Herce, J. L., dan Moraleda, C. (2009). A child presenting with acute renal failure secondary to a high dose of indomethacin: a case report. Journal of Medical CaseReports, 3:47.

Guwandi, J. (2005). Medical Error dan Hukum Medis. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention Medication Error. http://www.nccmerp.org/aboutMedErrors.html. 15 Oktober 2011,pkl 22.30. Pinzon,R. (2007). Peran Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Keamanan Pengobatan di Rumah Sakit: Seminar Nasional Teknologi, 24 November 2007. Yogyakarta 2007: (SNT 2007) ISSN : 1978 9777.

Purba, A.V., Soleha, M., dan Sari, I.D. (2007). Kesalahan Dalam Pelayanan Obat (Medication Error) dan Usaha Pencegahannya. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 10: 31-36 Shah, H. D. dan Shah, M. (2011). A case of look-alike medication errors. Indian J. Pharmacol. ; 43(4): 482483. Williams. (2007). Medication Error. R Coll Physicians Edinb. Vol 37: 343346.

44

45

You might also like