You are on page 1of 21

BAB II TINJAUAN TEORI

Penuaan pada setiap individu adalah normal. Proses penuaan tersebut diiringi dengan perubahan fisik dan psikologis. Salah satu gangguan yang terjadi pada lansia adalah gangguan mobilisasi. Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Sistem mobilisasi erat kaitannya dengan sistem muskuloskeletal karena tulang, sendi, dan otot merupakan unsur pembentuk sistem mobilisasi (Miller, 2004). 2.1 Perubahan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia Mobilisasi adalah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi agar kebutuhan dasar lain dapat tercapai dengan maksimal. Sistem dalam tubuh manusia dapat mempengaruhi sistem lain. Contohnya, ketika seseorang harus mengalami bedrest atau imobilisasi maka akan terjadi perubahan pada sistem sirkulasi tubuhnya. Beberapa pembuluh darah dalam tubuh dapat tertekan dalam waktu lama sehingga akan mempengaruhi sistem integumen. Lansia mengalami perubahan pada anatomi dan fisiologis tubuhnya, yang menyebabkan penurunan pada fungsi sistem tubuh. Fungsi mobilisasi manusia dihubungkan pada tiga hal, yakni tulang, otot dan persendian, yang juga didukung oleh sistem syaraf. Penurunan atau perubahan pada aspek tersebut akan mempengaruhi kemampuan mobilisasi pada lansia. 2.1.1 Tulang Tulang dan otot saling bekerja sama dalam membuat suatu gerakan. Tulang yang membuat manusia bergerak dengan gerakan yang jelas dan terarah (memiliki kerangka). Selain itu, tulang juga memiliki fungsi lain seperti tempat menyimpan kalsium, memproduksi sel darah serta menyokong dan melindungi organ dalam tubuh (Miller, 2004). Pertumbuhan tulang mencapai klimaks pada masa dewasa awal namun tulang tetap melakukan remodeling. Hal yang mempengaruhi proses pembentukan tulang kembali ini adalah berkurangnya absorpsi kalsium, meningkatnya serum hormon paratiroid, ketidakseimbangan aktivitas

osteoblas, tergantikannya sel sumsum oleh lemak dan sebagainya. Beberapa sebab yang sering mempengaruhi remodeling tersebut pada lansia meliputi hipertiroidisme, berkurangnya aktivitas, Chronic Obstrutive Pulmonary Disease (COPD), kekurangan kalsium dan vitamin D. 2.1.2 Otot Perubahan terkait penuaan yang berefek pada otot meliputi tiga hal, yakni berkurangnya serabut otot (jumlah dan ukuran), tergantinya serabut otot dengan jaringan penghubung atau lemak, dan rusaknya membran sel otot karena berkurangnya komponen cairan dan potassium di dalamnya. Penuaan juga mengakibatkan berubahnya sistem syaraf, yang akan mempengaruhi pergerakan otot yang dikontrol oleh syaraf motorik. 2.1.3 Persendian Beberapa perubahan pada persendian seiring penuaan adalah berkurangnya viskositas cairan sinovial, degenerasi kolagen dan sel elastin, pecahnya struktur jaringan penghubung, perubahan selular kartilago, pembentukan jaringan scar dan kalsifikasi di persendian dan jaringan penghubung. Perubahan tersebut dapat menyebabkan

ketidakseimbangan gerakan fleksi-ekstensi lansia dan erosi pada tulang. Selain itu, konsumsi purin yang terlalu banyak juga akan menyebabkan hasil metabolismenya, yakni asam urat menumpuk di persendian hingga bengkak dan terasa nyeri. Asam urat ini seharusnya dikeluarkan bersama urin dan feses namun ketika ginjal sudah mengalami penurunan fungsi, maka penumpukan asam urat akan bertambah parah.

2.2 Gangguan Mobilisasi pada Lansia Perubahan sistem muskuloskeletal yang telah dijelaskan di atas dapat menimbulkan beberapa efek yang dapat mengganggu kebutuhan mobilisasi lansia (Miller, 2004), yakni: Berkurangnya kekuatan otot Keterbatasan rentang gerak persendian

Menurunnya sistem pendukung lain yang menambah resiko jatuh dan fraktur pada lansia, seperti penurunan penglihatan dan sistem syaraf.

Selain perubahan-perubahan tersebut, terdapat beberapa gangguan mobilisasi yang sering terjadi pada lansia secara umum yaitu osteoporosis, jatuh dan fraktur, serta arthritis. 2.2.1 Osteoporosis Osteoporosis adalah proses menurunnya massa tulang secara berangsur-angsur yang dapat menjadi predisposisi terjadinya fraktur. Intake harian kalsium kurang dari 1200-1500mg dalam sehari dan 400600 IU vitamin D dapat meningkatkan resiko osteoporosis, karena kalsium dapat mengurangi bone loss, menambah kepadatan tulang dan menurunkan resiko fraktur, sedangkan vitamin D berfungsi

meningkatkan absorpsi kalsium. Hal ini juga dapat diperparah dengan tingginya asupan protein, kafein, sodium dan fosfor. 2.2.2 Jatuh dan Fraktur Fraktur, terutama yang berhubungan dengan osteoporosis dianggap sebagai penyebab utama morbiditas dan disabilitas pada usia tua (Stanley & Beare, 1999/2006). Faktor resiko untuk fraktur antara lain adalah penurunan fungsi penglihatan, kognitif, lingkungan tak kondusif. Disamping faktor-faktor resiko tersebut, perubahan terkait penuaan juga mempengaruhi tingginya angka kejadian fraktur pada lansia. Tabel 2.1 Faktor Resiko Osteoporosis, Jatuh dan Fraktur Faktor Resiko Osteoporosis Jenis kelamin perempuan Lanjut usia Kurang vitamin D dan kalsium Tulang berukuran kecil Kurus Defisiensi estrogen Jarang melakukan aktivitas berat Faktor Resiko Jatuh dan Fraktur Osteoporosis Perubahan pada fungsi sensori dan sistem syaraf pusat Dalam proses pengobatan Kondisi medis Depresi, demensia

2.2.3 Artritis Selain osteoporosis, resiko jatuh dan fraktur, lansia juga rentan untuk mendapat masalah kesehatan pada persendiannya. Penyakit persendian tersebut adalah artritis. Artritis dikenal dalam berbagai jenis, diantaranya yang paling umum yaitu ostoartritis, rheumatoid arthritis dan gout arthritis (asam urat). Pada osteoarthritis, faktor resikonya antara lain adalah sebagai berikut: Umur, seiring dengan semakin melemah dan menipisnya kartilago pelindung pada sendi saat menua Obesitas, akan menambah beban pada persendian Faktor genetik, tidak mutlak namun resikonya lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki keturunan keluarga yang mengidap osteoarthritis Terlalu banyak aktivitas, yang dapat menyebabkan benturan sendi berulangkali (namun terlalu kurang aktivitas pun dapat

mengakibatkan otot sekitar sendi dan fleksibilitas sendi melemah). Pada rheumatoid atritis, faktor resikonya antara lain: Faktor genetik, tidak mutlak namun resikonya lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki keturunan keluarga yang mengidap osteoarthritis. Infeksi, virus Epstein-Barr adalah salah satu virus yang dicurigai akan menimbulkan Rheumatoid Arthritis, meskipun sampai sekarang belum diketahui pasti apa penyebab infeksi yang mencetuskan arthritis.

Tabel 2.2 Perbedaan Ostoartritis, Rheumatoid Arthritis dan Gout Arthritis Kategori Tipe artritis Penyebab Osteoarthritis (OA) Penyakit sendi degeneratif Degenerasi atau berkurangnya kartilago yang berfungsi sebagai bantalan sendi Rhematoid arthritis (RA) Artritis inflamasi Kelainan reaksi auto imun yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang persendian hingga timbul nyeri yang mengganggu pergerakan Gejala Nyeri sendi ketika digerakkan (sendi bergesekan), kaku sendi (karena bantalan sendi sudah rusak) Tujuan perawatan Mengurangi nyeri, meningkatkan/mengembalikan fungsi sendi Kedaan progresif yang dimulai dengan rasa sakit dan kaku, bengkak pada sendi, ada benjolan kecil muncul dibawah kulit Mengurangi nyeri, meningkatkan fungsi sendi, mengontrol RA Mengurangi nyeri, mengatasi penyebab dengan mengurangi tingkat asam urat dalam darah agar tidak terjadi penumpukan lebih lanjut Obat medis yang Asetaminofen, NSAID (non biasa digunakan anti-inflammatory drug) Metotrexat, sulfalazine, hidrokloroquin, TNF antagonis, (terkadang) NSAID NSAID untuk tingkat akut, allopurinol / uricosuric untuk mengurangi asam urat dalam darah Nyeri pada sendi, kaku sendi, bengkak pada sendi, adanya benjolan kecil di bawah kulit Gout arthritis (Asam urat) Arthritis inflamasi Tingginya kadar purin dalam darah sehingga terakumulasi pada persendian dan menyebabkan nyeri

2.3 Mekanisme Perubahan Patofisiologi pada Pemicu 1 Kasus 2 Kasus yang disajikan dalam makalah ini merupakan kasus seorang lansia laki-laki berumur 72 tahun tinggal di panti wreda, sudah setahun mengalami hemiparesis dextra karena stroke. Petugas panti selalu membantu seluruh aktivitas klien, mulai dari mandi, buang air, dan makan. Hasil pengkajian perawat didapatkan data kontraktur pada kaki kiri dan tangan kiri, klien tidak dapat menggerakkan kaki kirinya sama sekali. Selama ini klien tidak pernah mengikuti kegiatan senam di panti, sehari-hari hanya berbaring di kasur. Gangguan mobilitas fisik yang dialami oleh lansia pada kasus disebabkan oleh dua hal yaitu perubahan-perubahan akibat penuaan dan penyakit stroke yang mengakibatkan klien mengalami hemiparesis dextra.

Skema 2.1 Mekanisme Perubahan Patofisiologi Lansia pada Kasus

Aging

<< Kalsium, & Vit.d

Jarang beraktivitas

Remodeling

Viskositas cairan sinovial fleksibilitas jaringan sendi

Pertumbuhan gugus kartilago

Bone loss

Kaku sendi

Stroke

Imobilisasi

Resiko Gangguan Mobilisasi

Resiko gangguan integritas kulit

2.4 Pengkajian Holistik dan Komprehensif pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi 2.4.1 Riwayat Kesehatan Pengkajian keperawatan memfokuskan pada bagaimana

perubahan yang berhubungan dengan usia mempengaruhi status fungsional lansia dan berikut adalah hal-hal yang perlu dikaji (Stanley & Beare, 1999/2006): Aktivitas dan pola istirahat (dulu dan sekarang) Diet klien (termasuk asupan kalsium dan vitamin D) Penggunaan obat-obatan baik yang dijual bebas maupun resep dokter (dulu dan sekarang) Cidera pada masa lalu (misal: fraktur, nyeri sendi, dan sebagainya) Pertanyaan spesifik tentang praktik keamanan klien 2.4.2 Pemeriksaan Umum Sebelum memeriksa daerah tertentu, scan klien dari ujung kepala ke ujung kaki, mencari penampilan umum dan tanda-tanda masalah muskuloskeletal. Tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi, pernapasan Tanda-tanda sakit, nyeri, atau tidak nyaman. Tidak memaksakan gerakan apabila tanda tersebut terjadi. Tabel 2.3 Pemeriksaan Umum Area/sistem Kesehatan umum Data subjektif Tanyakan tentang Berat badan Kehilangan berat badan Demam Sistem integumen Kelenjar Data objektif Mengukur Tanda-tanda vital Berat badan dan tinggi badan

Tanyakan tentang ruam dan Inspeksi ruam, lesi rambut rontok Tanyakan tentang Periksa kemerahan

pembengkakan kelenjar, mata mata merah Palpasi kelenjar

10

getah bening Pernapasan Kardiopulmonal Tanyakan tentang sesak napas Tanyakan tentang Auskultasi paru-

riwayat paru Auskultasi jantung suara

masalah kardiopulmonal

Gastrointestinal

Tanyakan muntah, diare

tentang

mual, Auskultasi usus keluhan Kaji lesi

bising

Genitourinari/ reproduksi Neurologis

Tanyakan nyeri

tentang

Tanyakan tentang perubahan Test sensasi, mati rasa, kesemutan

sensory

deficit, paralisis

Endokrin

Tanyakan

tentang

riwayat

diabetes melitus, tiroid

2.4.3 Pengkajian Fisik Muskuloskeletal Pengkajian fisik dari sistem muskuloskeletal memerlukan data pada bentuk tubuh, gaya berjalan, fungsi otak dan struktur tulang, kekuatan otot, pergerakan sendi, dan kemampuan untuk melaksanakan ADL (Dillon, 2007). 2.4.3.1 Pengkajian Sikap, Gaya Berjalan, dan Fungsi Serebelum Sikap Dimulai dengan mengkaji postur dari depan, belakang, dan samping. Mencari kesimetrisan bahu dan tulang belikat. Mencari deformitas kelengkungan tulang belakang: deformitas struktural atau deformitas fungsional. Kiposis: ketika berdiri, lengan santai terlihat menjuntai. Berdiri di belakang pasien untuk memeriksa lekukan, jika lekukan menghilang disebut kiposis fungsional, jika lekukan tetap ada berarti kiposis struktural. Skeliosis: seperti kiposis ditambah data ketika klien berdiri, lutut tidak simetris. Lordosis: klien berdiri menempel dinding. Tangan pemeriksa memasuki kurva lumbal, jika bebas bergerak berarti lordosis

11

struktural. Klien telentang, jika klien bisa meratakan kurva lumbal berarti lordosis fungsional. Gaya berjalan Kaji jarak antara kaki (normal: 2-4 inchi), panjang langkah. Terdapat beberapa gaya berjalan, yaitu heel strike, foot flat, midstance, push off.

Gambar 2.1 Gaya Berjalan a) heel strike, b) foot flat, c) midstance, d) push off Fungsi serebelum Mengkaji fungsi serebelum termasuk keseimbangan, koordinasi, dan ketepatan gerakan. Menguji keseimbangan menggunakan test romberg. Klien berdiri dengan kaki rapat dan mata terbuka akan dapat menjaga keseimbangan. Jika mata tertutup maka akan goyang sedikit saja. Menguji koordinasi tangan dengan meminta gerakan bolak balik supinasi-pronasi secara bersamaan, dilanjutkan dengan oposisi jari telunjuk ke jari-jari lainnya. Menguji koordinasi kaki dengan menggerakkan tumit satu ke bawah tulang kering kaki yang berlawanan. Menguji ketepatan gerakan dengan mata tertutup kemudian jari telunjuk menyentuh hidung. Mata terbuka jari telunjuk menyentuh jari telunjuk pemeriksa. Mengukur panjang kedua kaki, jika ada perbedaan panjang mungkin ada perbedaan panggul atau deformitas flexi pinggul. Perbedaan kurang dari 1 cm normal. Mengukur kedua lingkar lengan dan paha. Jika ada perbedaan kemungkinan terjadi atrofi atau hipertrofi. Perbedaan kurang dari 1cm normal.

12

2.4.3.2 Mengukur Kekuatan Otot Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan bersama dengan ROM. Hasil pengukuran menggunakan skala kekuatan otot sebagai berikut: 0 1 Otot tidak mampu bergerak Otot ditekan masih ada kontraksi atau kekenyalan, ini berarti otot masih belum atrofi atau belum layu 2 Dapat menggerakka otot atau bagian yang lemah sesuai perintah tetapi jika ditahan sedikit saja sudah tidak mampu bergerak 3 4 5 Dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan ringan Dapat bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal 2.4.3.3 Mengukur Rentang Sendi Rentang gerak sendi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mempertahankan fungsi sistem muskuloskeletal. ROM (Range of Motion) atau RPS (Rentang Pergerakan Sendi) ini dilakukan setelah inspeksi dan palpasi masing-masing sendi dan otot. Perawat menggunakan meteran dan goniometer untuk mengkaji rentang sendi klien. Meteran digunakan untuk mengukur panjang ekstremitas dan lingkar lengan. Goniometer digunakan untuk mengukur besarnya sudut ROM sendi. Cara penggunaannya adalah sebagai berikut : posisi awal adalah posisi netral/anatomis, yaitu tubuh tegak, lengan lurus disamping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap ke depan, sendi yang diukur harus terbuka (bebas pakaian), berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan, berikan gerakan pasif dua sampai tiga kali untuk menghilangkan gerakan subsitusi dan ketegangan karena kurang gerak, letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal pada garis tengah tubuh yang statik, letakkan tangkai goniometer yang

13

bergerak paralel terhadap aksis longitudinal tubuh yang bergerak. Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi. Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS. Metode perekaman pengukuran LGS menggunakan sistem rotasi 0-180. Ukuran ini menunjukkan seberapa besar sendi lansia dapat digerakkan. Hasil dari pengukuran luas gerak sendi dapat digunakan untuk menentukan tujuan dan rencana terapi dalam mengatasi gangguan mobilisasi.

Gambar 2.2 Penggunaan goniometer untuk mengukur luas gerak sendi. Luas gerakan yang terbatas dapat disebabkan karena deformitas skeletal, patologi sendi, atau kontraktur otot dan tendon sekitarnya. Sebelum melakukan rentang pergerakan sendi kaji juga adanya nyeri sendi, periksa adanya kelebihan cairan dalam kapsul, pembengkakan dan peningkatan suhu yang mencerminkan adanya inflamasi aktif. Deformitas sendi dapat disebabkan oleh kontraktur (pemendekan struktur sekitar sendi), dislokasi (lepasnya

permukaan sendi), subluksasi (lepasnya sebagian permukaan sendi), disrupsi struktur sekitas sendi. 2.4.3.4 Mengukur Panjang Badan Pada saat mengukur tinggi badan atau panjang badan seorang lansia, perlu diingat bahwa lansia dapat mengalami pengurangan tinggi badan atau panjang badan seiring dengan pertambahan usia. Pengurangan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : komponen cairan tubuh berkurang sehingga diskus invertebralis relatif kurang mengandung air sehingga menjadi lebih pipih; semakin tua semakin kifosis; osteoporosis yang sering terjadi pada wanita lanjut usia akan

14

mudah mengakibatkan fraktur vertebra sehingga tinggi badan berkurang; penurunan tinggi badan tersebut akan mempengaruhi hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh ( IMT). Oleh karena itu dianjurkan menggunakan ukuran tinggi lutut (Knee Height) : TB Pria : 59,01 + ( 2,08 x TL ) TB Wanita : 75,00 + ( 1,91 x TL ) ( 0,17 x U ) Keterangan : TB: Tinggi Badan (cm), TL: Tinggi Lutut (cm), U: Umur (tahun) Pengukuran orang sehat (dapat duduk) Seorang perawat harus menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien sebelum melakukan pengukuran. Anjurkan klien untuk duduk di kursi. Posisikan klien duduk yang sempurna (badan tegak, tangan bebas ke bawah dan wajah menghadap ke depan). Posisikan lutut kaki membentuk sudut 90o. Telapak kaki kiri yang diukur juga membentuk sudut 90o. Pasang alat pengukur tepat pada telapak kaki bagian tumit dan lutut. Lihat berapa panjang lututnya dan catat angka hasil pengukuran.

Gambar 2.3 Pengukuran panjang lutut pada lansia yang sehat. Pengukuran orang sakit (berbaring): hemiparesis dan kontraktur Setiap akan melakukan tindakan keperawatan, seorang perawat harus menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada lansia. Hal ini dilakukan agar lansia bisa berkoordinasi dengan baik saat pengukuran. Pasien tidur terlentang pada tempat tidur (usahakan posisi tempat tidur rata). Tempatkan alat penyangga diantara lipatan paha dan betis kaki kiri membentuk sudut siku 90. Beri

15

bantuan dengan bantal pada bagian pantat pasien jika alat penyangga terlalu tinggi. Telapak kaki kiri pasien membentuk sudut 90. Pasang alat pengukur tepat pada telapak kaki kiri pada bagian tumit dan lutut. Baca angka (panjang lutut) pada alat secara seksama dan cacat angka hasil pengukur.

Gambar 2.4 Pengukuran panjang lutut pada lansia yang sakit (hemiparesis dan kontraktur). 2.5 Intervensi Keperawatan dalam Pengelolaan Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi Lansia Asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia dengan gangguan mobilisasi bertujuan untuk mempertahankan kemampuan dan fungsi, serta mencegah komplikasi lebih lanjut pada klien. Upaya perawat mempertahankan kemampuan dan fungsi sistem muskuloskeletal pada lansia dilakukan dengan intervensi latihan fisik. Karena keluhan nyeri sendi banyak dialami oleh lansia, maka penanganan nyeri perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri saat latihan fisik dilakukan. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah kompres dengan tujuan meredakan nyeri dan mengurangi kekakuan sendi. Pencegahan komplikasi lebih lanjut pada lansia yang mengalami gangguan mobilisasi dilakukan dengan memenuhi nutrisi yang adekuat untuk mempertahankan struktur dan integritas tulang. Pencegahan komplikasi juga dilakukan dengan meningkatkan keamanan melalui penggunaan alat bantu jalan dan pengaturan posisi. 2.5.1 Kompres Gangguan mobilisasi pada kasus yang disajikan dimana lansia mengalami hemipharesis dextra dan kontraktur pada kaki kiri dan tangan kirinya, maka akan lebih dibahas mengenai kompres panas untuk mengurangi nyeri pada kontraktur klien. Efek fisiologis pada kompres

16

panas adalah terjadi vasodilatasi pembuluh darah, meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan metabolisme selular, merelaksasi otot, meredakan nyeri dengan merelaksasi otot, mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan synovial. Pada kontraktur, efek panas dari kompres panas akan mengurangi kontraktur dan meningkatkan rentang pergerakan sendi dengan lebih memungkinkan terjadinya sintesis otot dan jaringan penyambung.

2.5.2 Latihan Fisik: Range of Motion Latihan fisik bertujuan untuk pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem muskuloskeletal. Latihan fisik pada lansia diberikan sesuai dengan kemampuan dan kondisi kesehatannya. Prinsip pemberian latihan fisik lansia yaitu kondisi lansia sehat, latihan dimulai dari yang sederhana (seperti: ROM), latihan dapat secara aktif atau pasif, dan latihan dilakukan secara bertahap untuk mencapai target denyut jantung. Lansia pada kasus yang disajikan mengalami hemiparesis dextra dan kontraktur pada kaki dan tangan kirinya. Latihan fisik dimulai dari yang sederhana yaitu latihan rentang gerak atau ROM. Latihan RPS (Rentang Pergerakan Sendi) adalah latihan-latihan yang diberikan untuk mempertahankan fungsi sendi dan meningkatkan fungsi sendi yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan (Ellis, Nowlis, dan Bentz, 1996 dalam Novieastari, 2006). Tujuan dari latihan RPS meliputi: mempertahankan fungsi mobilisasi sendi memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atropi otot dan kontraktur mempersiapkan latihan lebih lanjut. RPS tidak boleh dilakukan pada lansia yang memiliki gangguan pada sistem kardiovaskuler dan pernapasan, lansia yang mengalami pembengkakan dan peradangan sendi, serta lansia yang mengalami cidera

17

pada sistem muskuloskeletal di sekitar sendi. RPS yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan kemampuan lansia. Berdasarkan tingkat kemampuannya, jenis latihan RPS dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) RPS aktif: klien melakukan latihan secara mandiri dengan atau tanpa supervise dari perawat. Klien juga dilibatkan secara aktif dalam perencanaan program latihan. Latihan dan aktif ini membantu otot serta

mempertahankan

fleksibilitas

sendi

kekuatan

meningkatkan penampilan kognitif. 2) RPS aktif asistif: latihan dilakukan oleh klien sesuai dengan kemampuannya dan sisanya dibantu perawat. 3) RPS pasif: latihan diberikan oleh perawat atau anggota tim kesehatan lain dimana klien menggerakkan rentang sendi oleh rentang geraknya orang lain. Latihan ini hanya membantu mempertahankan fleksibilitas Untuk mempertahankan rentang gerak, sendi-sendi haris dilatih dua sampai tiga kali pengulangan per hari (Stanley & Beare, 1999/2006).

2.5.3 Penggunaan Alat Bantu Jalan: Walker dan Tongkat Ambulasi atau gerakan untuk berjalan merupakan suatu fungsi yang perlu untuk dibantu, khususnya bagi klien yang berada pada kondisi sakit atau di tempat tidur yang mengalami immobilisasi. Tujuan dari mengajarkan klien menggunakan alat bantu jalan mekanik adalah: 1) meningkatkan kekuatan otot, pergerakan sendi, dan kemampuan mobilisasi; 2) menurunkan resiko kemampuan immobilisasi; 3)

menurunkan ketergantungan klien terhadap orang lain; 4) meningkatkan rasa percaya diri klien. Berikut ini adalah beberapa alat bantu jalan: 2.5.3.1 Walkers (alat bantu jalan) Alat ini memiliki dasar yang lebar sehingga lebih memberi keseimbangan dan keamanan. Terdiri dari tangkai besi dengan pegangan tangan, 4 kaki yang kuat dan satu tempat/ permukaan terbuka. Alat bantu ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami masalah keseimbangan.

18

Ukuran walker : siku harus difleksikan pada sudut 15-30 pada saat berdiri pada walker dengan tangan berpegang pada pegangan tangan walker. Ambulasi klien dengan alat bantu jalan (Walker): bantu klien berdiri di tengah-tengah walker dan pegang hand grips (pegangan pada batang yang lebih atas), lakukan langkah ke depan dalam walker, gerakan walker 6-8 inchi ( 15 cm) dan lakukan langkah ke depan dengan tungkai yang lain 2.5.3.2 Tongkat (canes) Tongkat merupakan alat ringan, membantu pergerakan dengan mudah, terbuat dari kayu atau besi. Tongkat dapat menjaga keseimbangan badan, diberikan bagi klien dengan hemiparesi dan digunakan untuk menurunkan ketegangan karena kumpulan beban yang berat. Tongkat tidak direkomendasikan untuk klien dengan kelemahan kaki bilateral. Terdapat 3 tipe tongkat yang umum digunakan, yaitu: 1) Tongkat standar, memberi dukungan minimal dan digunakan oleh klien yang membutuhkan sedikit bantuan untuk berjalan. 2) Tongkat bertangkai, terdapat gagang untuk dipegang sehingga memudahkan untuk memberikan stabilitas lebih besar dari tongkat standar, khususnya berguna untuk klien dengan kelemahan tangan. 3) Tongkat segi empat, mempunyai 3 atau 4 kaki yang memberikan dukungan keseimbangan lebih besar. Alat ini berguna bagi klien dengan parsial unilateral atau paralisis penih pada kaki. Cara membantu klien dalam ambulasi menggunakan tongkat: mulai dengan menempatkan tongkat pada sisi yang lemah, tempatkan tongkat ke depan 15-25 cm, jaga beban BB pada kedua tungkai, gerakkan sisi yang lebih maju, majukan tungkai melewati tongkat dengan kuat, gerakkan tungkai yang lemah ke depan rata dengan tungkai yang kuat, ulangi langkah-langkah.

19

2.5.3.3 Tongkat penopang (kruk) Terbuat dari kayu atau besi sepanjang ujung mencapai aksila. Kruk digunakan untuk memindahkan berat dari satu atau kedua kaki. Terdapat 3 tipe kruk, yaitu: kruk aksila, kruk lofstrand/ karade, kruk platform. Kruk aksila kebanyakan digunakan oleh klien semua golongan umur, kruk lofstrand mempunyai suatu pegangan tangan dan lingkaran besi yang melingkari lengan bawah. Kedua lingkaran besi dan pegangan tangan diatur sesuai dengan ketinggian klien. Kruk tipe ini sangat berguna untuk klien yang mengalami ketidakmampuan permanen seperti para plegia. Lingkaran besi menstabilkan dan membantu mengarahkan kruk. Kruk platform digunakan oleh klien yang tidak dapat menahan berat di pergelangan tangannya. Ukuran kruk mencakup 3 hal, tinggi klien, jarak antara bantalan kruk dengan aksila dan sudut fleksi siku. Gunakan 1 dari 2 metode berikut : 1) berdiri, posisi kruk dengan ujung kruk sekitar 14-15 cm dan 14-15 cm di depan kaki klien, bantalan kruk 4-5 cm di bawah aksila; 2) supine, bantalan kruk berada pada 3-4 cm di bawah aksila dengan ujung kruk diposisikan 18 cm di samping luar tumit. Bantu klien yang menggunakan kruk dengan memilih/ menggunakan langkah yang tepat : a) teknik 4 langkah : mulai dengan posisi tripod dimana kruk ditempatkan 15 cm di depan atau 18 cm disamping masing-masing telapak kaki, gerakan maju kruk kanan 14-15 cm, gerakan maju kaki kiri sejajar dengan kruk kiri, gerakan maju kruk 14-15 cm, gerakan kaki kanan maju sejajar dengan kruk kanan, ulangi langkah-langkah. b) teknik 3 langkah: mulai dengan posisi tripod, majukan kedua kruk dan kaki yang cedera, gerakan kaki ke depan dengan kuat. c) teknik 2 langkah : mulai dengan posisi tripod, gerakkan kruk kiri dan kaki kanan ke depan, gerakkan kruk kanan dan kaki kiri ke depan, ulangi langkahlangkah. d) teknik langkah mengayun : gerakkan kedua kruk ke

20

depan, angkat dan ayunkan tungkai ke kruk, biarkan kruk menahan berat badan, ulangi langkah-langkah. d) teknik langkah mengayun berlebih: gerakkan kedua kruk ke depan, angkat dan ayunkan kedua tungkai melalui dan melebihi kedua kruk.

2.5.4 Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Lansia dengan Gangguan Mobilisasi Asupan nutrisi sepanjang hidup seseorang mempengaruhi maturitas massa tulang pada lansia. Untuk mempertahankan struktur dan integritas tulang diperlukan asupan kalsium dan vitamin D yang adekuat. Penurunan kemampuan absorbsi pada saluran gastrointestinal pada lansia mengakibatkan lansia mengalami kekurangan kalsium. Oleh karena itu, diperlukan diet tinggi kalsium dan vitamin D pada lansia. 2.5.4.1 Diet Tinggi Kalsium Peran utama kalsium bagi tubuh adalah untuk membentuk dan memelihara tulang. Rekomendasi asupan kalsium bagi lansia adalah antara 1200-1500mg/hari (Miller, 2004). Sebanyak 99% kalsium dalam tubuh digunakan sebagai komponen struktur tulang dan gigi. Jika kadar kalsium dalam plasma kurang dari kebutuhan, maka tubuh akan mengambil kalsium dari tulang yang disebut dengan resorpsi. Oleh karena itu, asupan kalsium yang adekuat dibutuhkan agar kalsium dalam plasma terpenuhi sehingga proses resorpsi dapat dikurangi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium pada usus halus adalah hormone paratiroid, diet glukosa dan laktosa, serta motilitas normal usus. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat penyerapan kalsium pada usus adalah kandungan phytic acid pada serat dari kulit gandum, kandungan diet phosphor, polyphenol pada teh, kekurangan vitamin D, dan diare. Di sisi lain, karena terjadinya penurunan absorpsi kalsium pada saluran gastrointestinal, maka dibutuhkan asupan vitamin D yang adekuat karena vitamin D berperan dalam meningkatkan penyerapan atau absorbsi kalsium pada usus.

21

Pemenuhan kebutuhan kalsium dapat diperoleh dari berbagai makanan atau minuman. Sumber makanan atau minuman yang mengandung kalsium antara lain adalah susu, kedelai atau dalam bentuk olahannya seperti tahu, keju, brokoli, ikan sarden dan ikan salmon. Asupan nutrisi tersebut dapat meningkatkan penyerapan kalsium dalam usus dan mengurangi proses resorpsi kalsium dari tulang. Suplemen kalsium saat ini banyak tersedia dalam berbagai bentuk yaitu kalsium karbonat, kalsium sitrat, kalsium fosfat, kalsium glukonat, dan kalsium laktat. Suplemen kalsium karbonat merupakan bentuk kalsium yang sering digunakan. Jika dalam sehari mengonsumsi suplemen sebanyak 1000mg kalsium, makasuplemen perlu dibagi menjadi dua kali konsumsi dengan masing-masing dosis 500mg. Pembagian tersebut penting terutama bagi seseorang yang memiliki produksi asam lambung berlebih agar konsumsi suplemen lebih aman. 2.5.4.2 Diet Tinggi Vitamin D

Gambar 2.5 Metabolisme Vitamin D. (Zamora, 2006). Kebutuhan Vitamin D adalah 5g/hari (200IU/hari) untuk usia dibawah 51 tahun dan kebutuhannya meningkat menjadi 10g/hari (400IU/hari) untuk usia antara 51-70 tahun serta

22

kebutuhan semakin meningkat menjadi 15g/hari (600IU/hari) pada usia lebih dari 70 tahun. Kebutuhan vitamin D dapat diperoleh dari sinar matahari. Sinar ultraviolet dari matahari merubah kolesterol di kulit menjadi previtamin D. Pada makanan, vitamin D dapat diperoleh dari ikan sarden dan salmon. Vitamin D yang diperoleh dari makanan dapat dalam bentuk vitamin D aktif dan previtamin D. Previtamin D untuk selanjutnya diubah menjadi bentuk aktif oleh enzim pada hati dan ginjal. Vitamin D juga dapat diperoleh dari suplemen.

2.5.4.3 Diet Rendah Purin Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain

perubahan pada tulang, terjadi juga perubahan pada sendi. Masalah yang sering muncul pada lansia adalah atritis gout atau yang dikenal dengan asam urat. Penumpukan asam urat pada sendi mengakibatkan nyeri pada sendi. Asam urat merupakan hasil metabolisme purin. Purin merupakan protein yang termasuk golongan nukleo protein. Kelebihan asam urat dalam darah mengakibatkan penimbunan asam urat pada sendi-sendi kaki atau tangan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat untuk mencegah hal tersebut adalah dengan memberikan diet rendah purin pada klien. Diet rendah purin berarti asupan makanan yang diberikan pada klien adalah makanan-makanan yang mengandung sedikit atau tidak mengandung purin. Makanan-makanan yang

mengandung tinggi purin antara lain hati, ginjal, jantung, limpa, paru-paru, otak, sarden, ekstrak daging dan ragi. Makanan yang mengandung purin sedang antara lain adalah daging, ikan, kerang, kacang-kacangan, kacang buncis, bunga kol, bayam, asparagus dan jamur. Asupan makanan-makanan tersebut perlu dibatasi untuk mempertahankan kadar asam urat dalam darah normal. Jika kadar asam urat dalam darah normal, maka penumpukan asam urat pada

23

sendi dapat dikurangi sehingga radang sendi akibat penumpukan asam urat dapat dihindari. Diet rendah purin juga bertujuan untuk memaksimalkan pengeluaran kelebihan asam urat melalui urin. Asam urat lebih mudah larut dalam urin yang alkalis (Hartono, 2004). Pada diet ini, konsumsi lemak dikurangi karena lemak dapat menimbulkan asidosis (pembentukan keton) yang membuat urin menjadi lebih asam yang dapat menyulitkan ekskresi asam urat. Asupan cairan yang adekuat diperlukan untuk membantu pengeluaran kelebihan asam urat.

2.5.5 Pengaturan Posisi Jenis posisi tidur : Fowler adalah posisi tidur klien dimana kepala dan badan dinaikkan 4560. Kombinasi fowler adalah semi fowler (30-45) dan posisi high fowler tinggi (45-90). Posisi ini digunakan untuk klien yang mengalami masalah pernafasan. Dorsal recumbent adalah posisi tidur telentang dengan kepala dan bahu sedikit ditinggikan dengan bantal. Prone adalah posisi tidur dimana klien berbaring dengan posisi

telungkup dan kepala menghadap ke samping (Potter & Perry, 1997). Jika posisi ini dilakukan secara teratur, posisi ini dapat mencegah kontraktur fleksi pada bokong dan lutut. Lateral adalah posisi dimana klien berbaring pada satu sisi dari tubuh. Posisi ini baik digunakan untuk klien yang membutuhkan istirahat atau tidur ynag baik. Posisi lateral juga dapat menghilangkan tekanan pada sakrum dan tumit Sims adalah posisi antara sims dan prone.

You might also like