You are on page 1of 4

ANONIMITAS PARTAI POLITIK1

Oleh : Hendri Teja2

Pemilu bukan sekedar model partisipasi politik masyarakat, melainkan juga


merupakan ajang ”balas dendam” rakyat terhadap institusi politik. Parpol adalah institusi
politik yang akan paling merasakan dampak ketidakpuasan tersebut. Faktanya, sejak
Pemilu 2004, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja parpol makin menguat.
Wujud kongkritnya adalah tingginya angka golput. Data JPPR 2008 menyebutkan
kalau 13 pemilu gubernur dari 26 Pilkada Provinsi sepanjang 2005-2008 ”dimenangi”
oleh golput. Jajak pendapat Kompas pada 13-14 Agustus 2008 juga mencatat 3 dari 4
responden (76,5%) menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja Parpol. Sebelumnya
survey LSI juga menempatkan parpol di level terendah sebagai wadah menyuarakan
suara rakyat. Posisi teratas ditempati media massa (31 %), ormas (24 %), baru kemudian
birokrat dan parpol dengan nilai 11 %.
Realitas kemudian memaksa parpol untuk berbenah. Ironisnya, pembenahan
tersebut ternyata tidak menyentuh aras substansial bahkan malah membuat parpol
kehilangan jatidirinya.

Anominitas Parpol.
Apa yang membedakan Parpol dengan warung kelontong? Jawabnya adalah
barang dagangannya. Warung kelontong menawarkan produk-produk yang laku di
pasaran. Bila popularitas produk tersebut turun, maka pemilik warung kelontong dengan
tanpa dosa bisa memilih untuk beralih produk.
Parpol adalah institusi ”penjaja” ideologi. Menurut Ali Shariati (1982), ideologi
adalah keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas
sosial atau suatu bangsa atau suatu ras. Dalam konteks ini, aktor di balik revolusi Iran
tersebut menyebut 3 tahapan ideologi, yaitu: 1)cara kita melihat dan menangkap alam
semesta, eksistensi dan manusia; 2) cara khusus kita memahami dan menilai semua benda
dan gagasan atau ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kita; 3)

1
Pernah dimuat di www.selamatkan-indonesia.com dan www.gmpi.or.id
2
Penilis adalah Direktur Eksekutif YASIN-Padang
mencakup usulan-usulan, metode-metode, berbagai pendekatan dan keinginan yang kita
manfaatkan untuk mengubah status quo yang kita tidak puas.
Intinya, ideologi adalah identitas. Dan aras idealis tentu tak bisa menerima istilah
identitas ganda dari seseorang atau sekelompok orang. Dua ekor macan tidak mungkin
hidup dalam satu hutan. Sebagai sebuah identitas, maka ideologi memaksakan suatu
keberpihakan. Karena itu, fenomena loncatan-loncatan politikus apalagi di antara parpol-
parpol yang berbeda ideologinya merupakan konkrititas sikap oportunis.
Realitas kini menggambarkan kalau parpol tak jauh beda dengan warung
kelontong. Kian banyak parpol yang mengusung kandidat caleg maupun eksekutif yang
tidak seideologi. Koalisi antar parpol beda ideologi juga acap terjadi. Ironisnya,
fenomena ini nyaris merata di hanpir tiap daerah.
Pilkada kota Padang Oktober besok menegaskan 4 pasang kandidat yang diusung
koalisi Parpol, dengan komposisi: PPP-PDIP, Partai Golkar-Koalisi Sekato, Partai
Demokrat-PBB, dan PAN-PKS. Ironisnya pada Pilkada Padang Panjang dan Pariaman
kemarin, PAN adalah ”seteru” PKS, sementara pada Pilgub Sumbar 2005, PDIP
“berkawan” dengan PBB, dan PAN ”berkonco” dengan beberapa parpol kecil. Pada
Pilkada DKI Jakarta dan kota Payakumbuh, PKS ”dikeroyok” ramai-ramai, padahal pada
Pilpres 2004, PKS sudah pasang badan untuk capres PAN (putaran 1) dan capres Partai
Demokrat (putaran 2).
Koalisi antar parpol memang tuntutan politik untuk membentuk sebuah
pemerintahan yang kuat. Selain itu, koalisi antar parpol juga ditujukan untuk dapat lolos
persyaratan pengajuan kandidat pimpinan eksekutif sebagaimana yang termaktub dalam
UU Pemerintah Daerah dan UU Pilpres. Tetapi, alih-alih berdasarkan ideologis,
fenomena sebaran koalisi parpol di negeri ini lebih menggambarkan pesekutuan
pragmatis berlandaskan probabilitas menang-kalah. Identitas ideologis ditelikung oleh
hasrat kekuasaan.
Koalisi yang bersifat pragmatis tidak akan pernah bertahan lama. Koalisi tersebut
rentan terhadap godaan kekuasaan. Elemen-elemen pengusungnya akan mudah lari bila
situasi dan kondisi menawarkan ”kue kekuasaan” yang lebih besar.
Hak angket BBM adalah contoh kongkrit. Bagaimana bisa parpol-parpol
pengusung pemerintah mengelontorkan niatan tersebut, sementara menteri-menterinya
sudah menyatakan persetujuannya atas kebijakan tersebut. Desakan rakyat memang wajib
diikuti, tetapi realisasinya tetap dengan menggunakan etika politik. Perlu ada tahapan-
tahapan politik yang dilalui sebelum memutuskan membatalkan sebuah konsensus.
Karena bila tidak begitu, maka koalisi parpol tidak akan jauh beda dengan persekutuan
preman pasar yang saling sikut atau cari selamat sendiri –sendiri ketika polisi razia.

Anoreksi Politik
Anoreksi politik di kalangan akar rumpun merupakan rel yang disandingkan
dengan bantalan anonimitas parpol. Anoreksi politik adalah fenomena di mana
masyarakat politik cenderung melakukan diet berlebihan dengan cara menolak
berpartisipasi dalam sistem politik bahkan memuntahkan dan menolaknya, disebabkan
ketakutan akan citra negatif dari politik itu sendiri.
Tindakan-tindakan pragmatis parpol adalah loncatan proyektil yang membuat
masyarakat kebingungan. Pencitraan kalau politik adalah arena mesum, kotor dan amoral
makin menjangkiti masyarakat. Tak ada suara, janji maupun tindakan politikus yang
dinilai bisa dijadikan patokan. Ketidakpuasan menguat bahkan berujung pada sinisme
dan apatis pada politik formal. Golput kemudian menjadi saluran pengekspresian hasrat
ketidakpuasaan tersebut.
Bila ketidakpuasan pada parpol diwujudkan dengan tindakan tidak memilih
kembali parpol tersebut, maka tindakan tersebut adalah sesuatu yang positif. Maknanya
masyarakat sudah melek politik dan mau belajar dari kesalahan. Tetapi bila
ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam bentuk anoreksi politik, maka pemerintahan
yang dihasilkan dalam pemilu itu menjadi tidak memiliki legalitas. Ide kontrak sosial JJ
Rousseau menegaskan kalau syarat syah negara adalah keberadaan perjanjian antara
pemerintah dengan yang diperintah, atau negara dengan rakyat. Pemerintahan tanpa
adanya mandat dari rakyat adalah pemerintahan omong kosong.
Konsepsi tegaknya negara menjadi sesuatu yang tak mutlak untuk dipertahankan.
Karena pemilih pada akhirnya memiliki logika sendiri. Keberpihakan politik diyakini
tidak akan berdampak positif, bahkan mungkin negatif, terhadap kesejahteraan
masyarakat. Siapa pun elit yang diamanahi kekuasaan pada struktur pemerintahan tidak
akan membawa perubahan signifikan.
Pada kondisi tersebut maka pemikiran Andree Gidde bahwa negara hanya
merupakan satu titik dalam pencapaian civil society sebagai bentuk final dari hubungan
antar individu dalam masyarakat politik dapat terwujud. Intelektual sosialis tersebut
meramalkan kalau gagalnya sebuah negara bukan sekedar karena kuatnya nativisme dan
separatisme, tetapi karena memang dihancurkan sendiri oleh elitnya yang haus
kekuasaan.
Anoreksi politik pada kalangan akar rumpun merupakan pekerjaan besar bagi
parpol, bahkan segenap elemen pengusung terbentuknya masyarakat politik yang
demokratis, berdaulat, bermartabat dan mandiri. Karena, meminjam pernyataan
Goenawan Muhammad, politik mati ketika tak ada lagi terasa sebuah ruang, sebuah
negeri, sebuah rantau, tempat para warga merasa bisa bergabung dan bersaing untuk
membuat ruang itu tidak sekedar nyaman, tapi juga punya makna. Demokratisasi
Indonesia tampaknya masih membutuhkan waktu panjang untuk terwujud.

You might also like