You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang
Minyak bumi diperkirakan akan habis dalam 18 tahun. Penyebab dari masalah tersebut datang karena minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, sehingga untuk mendapatkannya kembali memerlukan waktu ratusan juta tahun lamanya (Seminar Salman Nature Expo II, 2006). Peran minyak bumi dalam penyediaan energi nasional pun masih dominan. Sekitar 53% dari kebutuhan energi nasional dipenuhi dari minyak bumi. Jumlah tersebut tidak cukup dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sehingga, untuk memenuhinya, negara kita harus mengimpor dari luar negeri. Walaupun masih mampu mengekspor minyak bumi, tetap saja saat ini Indonesia menjadi net oil importing country (Seminar Salman Nature Expo II, 2006). Untuk mengatasi permasalahan cadangan minyak bumi yang semakin terbatas dan harga minyak yang terus meningkat, perlu dikembangkan energi alternatif untuk menggantikan minyak bumi. Salah satu energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan adalah fuel cell mengingat potensinya yang cukup besar dan termasuk jenis sumber energi yang terbarukan (Seminar Salman Nature Expo II, 2006). Teknologi konvensional menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi dipandang kurang efisien serta menimbulkan polusi udara. Pembakaran minyak bumi menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbondioksida (CO ) yang berbahaya.
2

Sebagai solusi, baru-baru ini telah dikembangkan teknologi fuel cell yang terus mengalami riset dan pengembangan di beberapa negara maju. Teknologi fuel cell ini dipandang lebih efisien, tidak menimbulkan polusi seperti halnya pembangkit energi tenaga minyak bumi (Kompas, 2005; Sopiana, 2005; Lu, 2005; Bae, 2005; Alberti, 2003). Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Prancis pun sudah mulai menerapkan teknologi fuel cell pada pembangkit energi di gedung- gedung bertingkat, rumah tangga, bus, mobil, atau alat-alat elektronik seperti PDA dan handphone dalam bentuk prototipe. Bahkan, beberapa pihak sudah

mengkomersilkan teknologi ini seperti yang dilakukan pabrik Toyota dan Mercedes Benz. Oleh sebab itu, di masa depan fuel cell diperkirakan menjadi sumber energi utama di dunia (Kompas, 2005). Pada penelitian ini, akan dibuat membran fuel cell yang berasal dari limbah plastik LDPE dan menggunakan metode inversi fasa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plastik LDPE Plastik merupakan bahan kemasan utama saat ini. Salah satu jenis plastik adalah Polytehylene (PE). Polietilen dapat dibagi menurut massa jenisnya menjadi dua jenis, yaitu: Low Density Polyethylene (LDPE) dan High Density Polyethylene (HDPE). LDPE mempunyai massa jenis antara 0,91-0,94 g/mL, separuhnya berupa kristalin (50-60%) dan memiliki titik leleh 115 0C. Sedangkan HDPE bermassa jenis lebih besar yaitu 0,95-0,97 g/mL, dan berbentuk kristalin (kristalinitasnya 90%) serta memiliki titik leleh di atas 127 0C (beberapa macam sekitar 135 0C) (Billmeyer,1971). Secara kimia, LDPE mirip dengan HDPE. Tetapi secara fisik LDPE lebih fleksibel dan kerapatannya lebih kecil dibandingkan HDPE. Perkembangan selanjutnya, telah diproduksi LDPE yang memiliki bentuk linier dan dinamakan Low Linear Density Poliethylene (LLDPE) (designinsite.dk). Kebanyakan LDPE dipakai sebagai pelapis komersial, plastik, lapisan pelindung sabun, dan beberapa botol yang fleksibel. Kelebihan LDPE sebagai material pembungkus adalah harganya yang murah, proses pembuatan yang mudah, sifatnya yang fleksibel, dan mudah didaur ulang. Selain itu, LDPE mempunyai daya proteksi yang baik terhadap uap air, namun kurang baik terhadap gas lainnya seperti oksigen. LDPE juga memiliki ketahanan kimia yang sangat tinggi, namun melarut dalam benzena dan tetrachlorocarbon (CCl4) (Nurminah, 2002; Billmeyer, 1971). Keunggulan lain jenis plastik berkerangka dasar polietilen dibandingkan dengan jenis plastik lainnya ialah jenis plastik ini mempunyai nilai konstanta dielektrik yang kecil, sehingga sifat kelistrikannya lebih baik (Billmeyer,1971). Sifat tersebut semakin baik dengan tingginya jumlah hidrogen atau klorida dan fluorida yang terikat pada tulang punggung Polietilen (exceedmpe.com). LDPE diklasifikasikan sebagai materi semipermeabel karena

permeabilitasnya terhadap bahan kimia yang volatil. LDPE diproduksi dari gas etilen pada tekanan dan suhu tinggi dalam reaktor yang berisi pelarut hidrokarbon dan katalis logam yaitu Ziegler Catalysts. Polimer yang dihasilkan berupa bubur yang

kemudian difiltrasi dari pelarutnya (digilib.batan.go.id). LDPE disintesis secara komersial pada tahun 1940. Sintesis tersebut menghasilkan LDPE dengan rantai bercabang. Hasil ini dibuktikan dengan spektroskopi IR. Percabangan LDPE dapat mengandung 50 cabang pendek dan paling sedikit 1 cabang panjang setiap basisnya. Percabangan yang terbentuk menghasilkan bentuk ikatan silang. (Billmeyer,1971). 2.1 Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) Polymer electrolyte membrane fuel cell (PEMFC) disebut juga proton exchange membrane fuel cell. Membran ini berupa lapisan tipis padat yang berfungsi sebagai elektrolit pemisah katoda dan anoda. Membran ini secara selektif mengontrol transport proton dari anoda ke katoda dalam fuel cell. PEMFC mengandung katalis platina. Untuk menghasilkan energi, PEMFC hanya memerlukan hidrogen, oksigen dari udara, dan air untuk mengoperasikannya. Selain itu, pada fuel cell ini tidak dipakai fluida yang bersifat korosif seperti jenis lainnya (ifci-iipc.nrc-cnrc.gc.ca). PEMFC merupakan sebuah sistem bebas pelarut. Sistem fuel cell ini menggunakan fasa penghantar bersifat ionik berupa gugus garam yang matriks polimernya bersifat polar, seperti pada garam anion F-, Cl-, I-, SCN-, ClO4-, CF3SO3-, BF4-, dan AsF6-. Semakin besar ukuran anion dan semakin terdelokalisasi muatan, maka semakin sulit tersolvasi sehingga dapat terjadi ikatan non permanen antara anion dan proton (Fiona M, 1997). Penelitian mengenai anion pada gugus fungsi tersebut, sampai sekarang, baru dilakukan hanya sampai CF3SO3-. Pada penelitian selanjutnya akan dilakukan penelitian terhadap gugus anion lainnya, seperti sulfonamida dan polibenzilimidazol (Staiti, 2001). Sampai sekarang telah banyak dikembangkan berbagai basis elektrolit dalam pembuatan sel elektrokimia. Basis elektrolit yang sudah dikembangkan antara lain: 1. Mempunyai hantaran yang cocok untuk aplikasi sel elektrokimia 2. Mempunyai hantaran listrik yang rendah 3. Mempunyai sifat mekanik yang baik 4. Mempunyai kestabilan kimia, elektrokimia dan fotokimia yang baik 5. Murah dalam pembuatannya (Fiona M, 1997).

Mekanisme penghantaran ion pada polimer elektrolit sudah banyak dipelajari dan dimodelkan oleh peneliti. Salah satu model penghantaran ion adalah pergerakan ion dalam material kristalin sepanjang terowongan berbentuk silinder. Namun, model ini mulai ditinggalkan orang, karena ditemukan sebuah rumusan Arrhenius yang menyatakan hubungan pergerakan torsi antara ikatan C-C dan C-O sebagai fungsi eksak dari hantaran proton. yang dinyatakan sebagai persamaan Vogen-TammanFulcher (VTF). Persamaan ini dibuktikan dengan hasil difraksi sinar X. (Fiona M, 1997). PEM fuel cell bekerja pada temperatur yang relatif rendah, yaitu sekitar 80C (176F). Rendahnya suhu operasi ini menyebabkan rendahnya waktu pemanasan (warm-up time). Selain itu PEM memiliki kerapatan daya yang cukup tinggi karena sifat-sifat inilah maka PEM banyak digunakan sebagai sumber daya bagi alat-alat elektronik portable dan alat-alat transportasi (sciencedirect.com). Membran polimer merupakan komponen yang sangat penting dalam PEM fuel cell. Membran polimer ini dapat memisahkan reaktan dan menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan di anoda menuju katoda sehingga menghasilkan energi listrik. Persamaan reaksi yang terjadi di anoda dan katoda dapat dituliskan sebagai berikut: Anoda : H2 - + 2e2H Katoda : 1/2O2 + H+ + 2eH O (Yohan, dkk, 2005).
2

Gambar 2.1 Diagram Kerja Fuel Cell jenis PEMFC

Kemurnian gas hidrogen sangat mempengaruhi emisi buang sistem fuel cell berbasis polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi memberikan tingkat emisi yang mendekati zero emission. Penggunaan hidrogen dengan tingkat kemurnian tinggi juga dapat memperpanjang waktu hidup membran fuel cell dan mencegah pembentukan karbonmonoksida (CO) yang beracun, pada permukaan katalis (Yuliandi, 2002). Peranan elektroda sangat penting pada proses pengubahan fluks difusi proton menjadi energi listrik. Pada elektroda, perbedaan potensial kimia dikonversi menjadi potensial listrik sesuai persamaan Nernst. Pada perkembangan fuel cell terakhir, telah diteliti suatu cara perakitan yang baik untuk menghasilkan energi listrik paling maksimal, yaitu dengan Membrane Assembly Electrodes (MEA). Perakitan elektroda dilakukan dengan cara pencangkokan elektrokatalis secara langsung pada waktu pembentukan polimer TFPE (Yasuda, et.al, 2005). Salah satu membran fuel cell yang digunakan secara komersial adalah membran tetrafloro-polietilen. Membran ini bersifat selektif semipermeabel terhadap proton dan memiliki sifat elektrik yang baik sebagai konduktor. Sifat konduktivitas tersebut ditunjukkan dengan tetapan dielektriknya yang kecil. Namun, sebagai membran fuel cell TFPE juga harus berperan sebagai media tranport proton (engr.psu.edu). Sifat transport proton dari membran ini dapat dipenuhi dengan menambahkan gugus sulfonat (SO3-) sebagai rantai sampingnya. Bagian rantai samping inilah yang dapat dijadikan media transit proton. Fungsi gugus sulfonat tersebut akhirnya dapat dijadikan patokan bagi sebuah membran untuk dipilih sebagai membran fuel cell (stratingh.eldoc.ub.rug.nl). Kecepatan transport proton yang terjadi, dipengaruhi oleh sifat difusi proton dalam membran polielektrolit yang dipakai. Difusi yang terjadi dinyatakan sebagai nilai difusi transport Ficks, sebagai fungsi dari konsentrasi proton. Difusi ini mengaitkan antara fluks transport dengan fluks transfer muatan pada elektroda. Hubungan tersebut dinyatakan dalam hukum pertama Ficks untuk difusi kimia (John OM, et.al, 2000). JD = -D dC/dx Hukum pertama tersebut menyatakan variasi waktu dan ruang sebagai fungsi konsentrasi. Semakin besar nilai tetapan difusi yang terjadi, maka kecepatan transport

proton akan semakin besar. Kecepatan transport sebanding dengan nilai konsentrasi H+ yang dioksidasi (John OM, et.al, 2000). Peneliti sebelumnya telah berhasil memodelkan transport massa, panas, dan muatan dalam suatu persamaan yang umum yaitu Maxwell-Stefan (Schultz, et.al, 2006; Gnusin, 2005; Nikonenko, 2005). Secara teknis, bahan dari TFPE ini masih kurang baik dalam hal menahan gas dan belum dapat mencegah methanol cross-over secara baik. Adanya methanol crossover menyebabkan terhambatnya transfer proton. Pencangkokkan polimer pendukung polistiren secara radiasi adalah salah satu metode untuk memodifikasi membran polietilen tersulfonasi ini sehingga dihasilkan adanya polimer ikatan yang silang lebih pada kompak. polimer

Pencangkokkan

menyebabkan

(ingentaconnect.com). Selain permasalahan cross over methanol, TFPE juga memiliki kelemahan lain yaitu ketahanan termal yang rendah. Hal ini telah diteliti oleh para pakar sebelumnya yang menyatakan bahwa pada suhu di atas 120oC kelembaban membran tidak terjadi dengan baik (Reed, 2004). Akibatnya, hantaran proton yang dihasilkan tidak maksimum. Namun, kondisi demikian tidak mengurangi nilai jual Nafion, karena umumnya fuel cell diterapkan pada sistem dengan suhu operasional yang rendah (Yohan, dkk, 2005; Yuliandi, dkk, 2002). Dalam rangka optimalisasi sifat membran fuel cell dilakukan penggabungan membran dengan material pendukung. Penggabungan umumnya dilakukan dengan pembentukan kopolimer, blending polimer maupun penggabungan dengan suatu komposit (Xing, dll, 2004). Penggabungan ini bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat membran seperti ketahanan termal, ketahanan kimia, ketahanan mekanik, sifat hantaran dan sifat resistensi membran (pubs.acs.org).

2.3 Polistiren Tersulfonasi


2.3.1 Polistiren Stiren merupakan suatu senyawa organik dengan rumus molekul

C6H5CH=CH2. Gugus vinil yang terdapat pada stiren menjadikan stiren dapat mengalami reaksi adisi kontinu membentuk suatu polimer polistiren.

Gambar 2.2 Polistiren

Pada temperatur ruang, polistiren secara normal merupakan padatan termoplastik, akan tetapi pada temperatur tinggi, polistiren dapat meleleh. Polimerisasi polistiren menjadi rantai panjang berlangsung pada ikatan rangkap karbon viniliknya. Walaupun polimerisasi larutan atau imulsi biasanya digunakan, sebagian besar polistiren digunakan dengan polimerisasi suspensi atau dengan polimerisasi massa. Polimerisasi stiren dimulai dengan proses yang disebut prepolimerizer, suatu wadah yang didalamnya terdapat stiren yang akan dipolimerisasi (biasanya dengan menggunakan poroksida sebagai oksidator) diaduk hingga campuran reaksi terkonsentrasi menjadi polimer akibat adanya proses pencampuran yang efisien dan perpindahan panas yang baik. Umumnya, larutan tersebut mengandung sekitar 30% polimer dengan kekentalan yang sesuai untuk diolah lebih lanjut. 2.3.2 Sulfonasi Polistiren

Reaksi sulfonasi merupakan suatu reaksi substitusi yang bertujuan untuk mensubstitusi atom H dengan gugus -SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbonnya. Polimer dan agen sulfonasi harus berada pada fase yang sama. Pelarut yang digunakan tidak boleh bereaksi dengan polimer maupun dengan agen sulfonasi. Polistiren tersulfonasi (PSS) akan memiliki gugus -SO3H pada posisi para. Pada PSS akan ditemui ikatan silang yang berguna untuk aplikasi pertukaran ion dan membran penukar proton. Secara natural, PSS bersifat higroskopis.

Gambar 2.3 Polistiren sulfonasi 2.4


Karakterisasi Membran Fuel Cell Analisis struktur terhadap membran dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, yaitu: Spektroskopi IR (Infra Red), NMR (Nuclear Magnetic Resonance), XRD (X-ray Difraction), Small Angel XRD, TEM, dan SEM Pada penelitian digunakan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) untuk menganalisis struktur FTIR

merupakan salah satu jenis spektroskopi yang bersifat kualitatif. FTIR menggunakan energi yang bersumber dari sinar inframerah sebagai energi pengganggu. Penyinaran sampel dengan FTIR menyebabkan peristiwa transisi energi. vibrasi molekul polimer. Sinyal hasil penangkapan detektor selanjutnya ditransformasikan dari bentuk sinyal biasa menjadi sinyal yang lebih kontinu dengan menggunakan transformasi fourier. Hasil analisis diharapkan

menunjukkan sinyal yang khas untuk ikatan C-C alkil dan S=O gugus sulfonat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Alat dan Bahan Peralatan: 1. Neraca analitis 2. Reaktor vakum gas dan chambernya 3. Hotplate 4. Magnetic stirer 5. Tabung Gas N2 6. Corong Pemisah 250 ml 7. Gelas kimia 1000, 400, dan 100 ml 8. Gelas ukur 50 ml 9. Lampu UV 10. Flowmeter 11. Casting Film Apparatus Bahan: 1. Sampah Plastik LDPE 2. Aquadest 3. H2SO4 95%-97% 4. Gas N2 5. Polistiren 6. Diklorometana 7. Anhidrida asetat 8. 2-Propanol

3.3.2 Sntesis polistiren tersulfonasi 1. Preparasi larutan asetil sulfat Sebanyak 2 mL diklorometana dicampurkan dengan 0,014 mol anhidrida asetat. Kedua larutan tersebut harus dicampurkan dalam kondisi atmosfer inert dengan
o

mengalirkan gas nitrogen. Larutan tersebut kemudian didinginkan pada suhu 0 C

lalu ditambahkan H SO 98% sebanyak 0,084 mol sambil diaduk ing homogen.
2 4

Larutan yang terbentuk adalah asetil sulfat. 2. Sulfonasi polistiren Sebanyak 2 gram polistiren ditambahkan pada 20 mL larutan diklorometana kemudian dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan diaduk lalu dipanaskan pada
o

suhu 40 C hingga homogen. Selanjutnya larutan tersebut dialiri gas nitrogen selama 30 menit lalu ditambahkan asetil sulfat. Larutan tetap diaduk dan suhu
o

dipertahankan 40 C selama 120 menit. Larutan kuning bening yang terbentuk merupakan polistiren yang telah tersulfonasi (PSS). 3. Pemurnian PSS PSS hasil sintesis dimurnikan dengan menambahkan air mendidih ke dalam PSS kemudian disaring menggunakan kertas saring lalu dikeringkan dalam vakum dan terakhir disimpan dalam desikator. PSS ini siap untuk dilarutkan dan dilaminasikan pada LDPE-g-F. 3.3 Sintesis membran fuel cell dengan inversi fasa 1. Pembuatan larutan membran Didalam Erlenmeyer bertutup dilarutkan PSS yang telah dimurnikan dalam pelarut DMF dengan konsentrasi 10% (b/b) dan 20% (b/b). Campuran diaduk sampai terbentuk larutan yang homogen. Larutan dibiarkan selama satu malam untuk menghilangkan gelembung udara yang terbentuk selama pengadukan. Larutan ini kemudian disebut larutan cetak dan siap untuk proses pencetakan. 2. Pencetakan membran Untuk mendapatkan membran komposit, pencetakan membran dilakukan dengan teknik inversi fasa. Pelat kaca dicuci dan dibersihkan dengan aseton lalu ditempatkan polimer LDPE-g-F. Pada bagian pinggir polimer LDPE-g-F tersebut ditempelkan selotip dengan ketebalan tertentu. Larutan cetak PSS dituang diatas polimer LDPE-g-F secukupnya. Dengan menggunakan batang kaca, larutan cetak ditarik sehingga membentuk film tipis. Film ini dibiarkan selama 10 menit dan 25 menit untuk terjadinya penguapan parsial pelarutnya. Selanjutnya, film dimasukkan kedalam bak koagulasi berisi aquades pada suhu ruang dan dibiarkan

selama satu malam untuk mendapatkan koagulasi sempurna. Membran tipis yang terbentuk dicuci dengan aquades untuk menghilangkan sisa pelarut kemudian dikeringkan di udara terbuka. 3.4 Karakterisasi 1. Pengujian Struktur Pengujian struktur polimer LDPE-g-F dan PSS dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Program Studi Kimia Institut Teknologi Bandung. Pengujian struktur dilakukan secara spektrofotometri FTIR. Sampel yang dianalisis dibuat serbuk dan dihomogenkan dalam KBr sehingga terbentuk pellet KBr. 2. Analisis morfologi membran Analisa morfologi membran dilakukan dengan menggunakan peralatan Scanning Electron Microscopy (SEM) JEOL JSM-6360LA di PPPGL. Analisa SEM dilakukan untuk setiap variasi komposisi yang diteliti. Membran kering dibekukan dengan nitrogen cair sehingga membran menjadi beku. Membran beku kemudian dipatahkan dan ditempelkan pada holder. Membran dilapisi dengan emas lalu dimasukkan kedalam chamber. Selanjutnya dilakukan pemotretan membran terhadap permukaan dan penampang lintang membran. 3. Pengujian konduktivitas proton Pengukuran transpor ion H+ dilakukan untuk menentukan laju alirnya. Pengukuran dilakukan dengan menempatkan larutan pH 1 pada kompartemen umpan dan aqua pada kompartemen permeat. Pengukuran pH pada kedua kompartemen dilakukan setiap 1 jam. Aluran konsentrasi ion H+ baik pada kompartemen umpan maupun permeat dibuat terhadap waktu. Permeabilitas ion H+ ditentukan dalam satuan mmol/jam. Perlakuan yang sama diberikan pada setiap membran dengan variasi konsentrasi dan waktu evaporasi tertentu.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sintesis LDPEgF Secara umum, membran dapat dibuat dari sejumlah besar material yang berbeda. Polimer merupakan material utama yang banyak digunakan untuk sintesis membran organik. Modifikasi polimer kerapkali dilakukan untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Pada penelitian ini, telah dilakukan modifikasi polietilen dari sampah plastik LDPE untuk memperoleh suatu polimer dengan karakteristik yang mirip dengan TFPE. Modifikasi LDPE menjadi TFPE telah dilakukan melalui pencangkokan polietilen dengan asam fluorida. Pencangkokan dilakukan dengan meradiasi polietilen menggunakan sinar UV. Pencangkokan secara iradiasi merupakan salah satu metode untuk memodifikasi bahan-bahan polimer. Metode ini telah banyak digunakan misalnya untuk menyiapkan membran selektif penukar ion, membuat bahan elastomer, mengembangkan polimer yang ramah lingkungan, dan pengujian proses pembuatan membran penukar ion. Apabila suatu polimer diradiasi, terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu terdegradasi atau berikatan silang. Pada proses degradasi terjadi pemutusan ikatan rantai utama polimer, sedangkan pada pengikatan silang terbentuk ikatan antara molekul polimer. Menurut Sun, pembentukan struktur ikatan silang pada TFPE dapat menyebabkan terjadinya penurunan titik leleh, kenaikan suhu transisi gelas, dan nilai ZST (Zero Strength Temperature). Kondisi ini berpengaruh pada saat terjadinya perubahan struktur ikatan dari molekul linier menjadi struktur jaringan tiga dimensi. Pada peristiwa degradasi, terjadi pengurangan berat molekul yang berdampak pada penurunan sifat-sifat mekanik. Sedangkan pada pengikatan silang terjadi penambahan berat molekul karena adanya rantai cabang pada polimer. Pertambahan berat molekul ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada penambahan kekuatan ikatan, malahan sifat-sifat mekaniknya mengalami sedikit penurunan. Teknik pengcangkokan dengan iradiasi sebagai penginduksi bagian aktif matriks polimer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pencangkokan film

dengan monomer secara bersamaan dan langsung (simultaneous grafting) dan pencangkokan dengan monomer setelah polimer diiradiasi (pre-irradiation grafting). Dalam penelitian ini dipilih teknik kedua. Teknik ini sangat baik digunakan untuk polimer semacam TFPE yang merupakan material semikristalin karena radikal bebas yang dihasilkan dari proses iradiasi mempunyai umur yang lebih panjang.dan homopolimer yang terbentuk dapat dicegah seminimal mungkin sehingga dapat disiapkan kopolimer cangkok yang relatif murni. Mekanisme reaksi rantai pembentukan polimer dalam proses kopolimerisasi meliputi tahaptahap inisiasi, propagasi, dan terminasi. Kekhasan reaksi polimerisasi adalah pada tahap inisiasi. Pada pencangkokan secara iradiasi, inisiasinya adalah radikal yang dihasilkan dari proses iradiasi polimer. Radikal polimer yang terbentuk pada tahap propagasi akan bereaksi dengan asam fluorida menghasilkan LDPE yang tercangkok F-. Pada tahap terminasi terjadi penggabungan antar LDPE yang tercangkok F- membentuk suatu rantai panjang polimer yang baru. Pada penelitian ini dilakukan analisis gugus fungsi terhadap polimer hasil pencangkokan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Sebelum dianalisis polimer hasil pencangkokan dicuci terlebih dahulu dengan air untuk menghilangkan sisa asam fluorida yang menempel pada polimer setelah itu polimer dikeringkan dan sampel siap dianalisis. Spektrum serapan FTIR pada LDPE sebelum dan sesudah pencangkokan diperlihatkan pada Gambar 5.1. Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa spektrum LDPE dan LDPEgF mempunyai posisi serapan yang sama pada daerah gugus fungsi. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi dengan sinar UV tidak mengubah struktur asli LDPE.

Gambar 5.1 Spektrum serapan infra merah: LDPE mula-mula LDPE-g-F

Tabel 5.1 Analisis FTIR LDPE-g-F Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa untuk spektrum LDPEgF terdapat puncak baru pada daerah sidik jari 1002, 98 cm-1. Puncak ini merupakan pita serapan yang khas untuk vibrasi CF pada alkana. Ini membuktikan bahwa proses pencangkokan F- pada LDPE dengan menggunakan kondisi yang

disarankan telah berhasil. Optimasi pencangkokan F- pada LDPE dapat dilakukan dengan menggunakan sumber iradiasi yang lebih kuat seperti sinar dengan dosis tertentu sehingga diduga akan dihasilkan pita serapan untuk vibrasi CF2. Peningkatan konsentrasi HF yang digunakan pada penelitian ini juga dapat digunakan sebagai langkah lain untuk mengoptimasi pencangkokan.
5.2 Sintesis Agen Sulfonasi Agen sulfonasi yang digunakan dalam percobaan ini adalah asetil sulfat. Asetil sulfat ini dibuat dengan mereaksikan diklorometana, asam sulfat dan anhidrida asetat. Diklorometana pada reaksi ini berfungsi sebagai pelarut. Anhidrida asetat ini ditambahkan ke dalam larutan untuk menghindari terbentuknya air pada saat reaksi terjadi karena anhidrida asetat ini higroskopis sehingga dapat mengikat air. Reaksi pembentukan asetil sulfat ini harus se-inert mungkin, oleh karena itu, saat pembuatan asetil sulfat perlu dialirkan gas nitrogen. Suhu saat pembuatan asetil sulfat ini diturunkan menjadi 0 0C saat penambahan asam sulfat. Hal ini dilakukan untuk mencegah bumping saat penambahan H2SO4. Selain itu, penurunan suhu ini dilakukan untuk mencegah penguapan pada diklorometan karena reaksi yang terjadi saat H2SO4 ditambahkan ke dalam diklorometana dan anhidrida asetat adalah reaksi eksoterm. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Asetil sulfat sebagai agen sulfonasi harus segera dipakai (fresh) karena asetil sulfat mudah teroksidasi sehingga akan ada oksigen yang terlarut saat pembentukan polistiren tersulfonasi. Asetil sulfat yang didapat dari reaksi tersebut adalah larutan berwarna kuning jernih.

Gambar 5.2 Proses sintesis agen sulfonasi (a); agen sulfonasi (b) 5.3 Sintesis Polistiren Tersulfonasi Sintesis polistiren tersulfonasi ini sama seperti saat sintesis polistiren bahwa keadaan harus seinert mungkin untuk mencegah adanya gas oksigen yang terlarut. Sintesis PSS dilakukan dengan mencampurkan polistiren yang telah dilarutkan dalam diklorometana dengan asetil sulfat. Proses ini dilakukan kurang lebih 2 jam pada suhu 40 0C. Suhu 40 0C ini merupakan suhu yang optimal agar reaksi sulfonasi berjalan sempurna. Setelah 2 jam akan terbentuk larutan berwarna kuning jernih. Reaksi sulfonasi ini kemudian dihentikan dengan menambahkan 2propanol selama 30 menit dan kemudian didinginkan pada temperatur ruang. Terakhir PSS dapat diisolasi. Reaksi pembentukan polistiren tersulfonasi adalah sebagai berikut:

Pemurnian PSS dilakukan dengan meneteskan PSS hasil sintesis ke dalam air mendidih, akan tetapi pada percobaan ini, PSS yang terbentuk merupakan padatan berwarna kuning. Oleh karena itu padatan PSS hasil sintesis tersebut

kemudian langsung dimasukkan ke dalam air mendidih. Padatan PSS yang sudah dimurnikan berwarna putih. Karena PSS ini sangat higroskopis maka PSS tersebut dikeringkan dalam vakum kemudian didiamkan dalam desikator. Reaksi sulfonasi ini dapat terjadi dengan adanya pembentukan sulfon dikarenakan adanya reaksi ikatan silang antara dua gugus sulfon dari unit PSSO3H yang berbeda melewati mekanisme intermolekul maupun intramolekul. Ikatan silang dapat meningkat dengan meningkatnya keberadaan gugus sulfonat. Keberadaan gugus sulfonat ini ditingkatkan dengan menambahkan konsentrasi dari agen sulfonasi pada larutan polimer dan juga dapat dengan meningkatkan temperatur reaksi.

Gambar 5.3 Proses sintesis PSS (a dan b); PSS sebelum dimurnikan (c); proses pemurnian PSS (d) PSS dapat menghantarkan proton, tetapi karena sifat fisiknya yang rapuh sehingga tidak dapat dibuat sebagai membran fuel cell. Oleh karena itu, pada

penelitian ini, pembuatan membran dari PSS pada suatu support yang terbuat dari LDPE-g-F. Pemberian support berupa LDPE-g-F dilakukan karena LDPE-g-F memiliki ketahanan mekanik yang lebih baik selain dapat juga melewatkan proton melalui porinya. 5.4 Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR

Gambar 5.4 Spektrum overlay serapan infra merah: PS PSS

Gambar 5.5 Perbesaran spektrum overlay serapan infra merah: PS PSS

Gambar 5.6 Spektrum serapan infra merah polistiren murni PS PSS

Tabel 5.2 Analisis FTIR polistiren

Gambar 5.7 Spektrum serapan infra merah polistiren tersulfonasi (PSS)

Tabel 5.3 Analisis FTIR polistiren tersulfonasi (PSS) Spektrum FTIR dari polistiren dan polistiren tersulfonasi ini dimulai dari bilangan 400-4500 /cm. Pada polistiren terdapat spektrum yang menunjukkan adanya monosubstitusi benzen yaitu pada sekitar; 694,37 /cm dan 758,02 /cm. Monosubstitusi ini menunjukkan adanya etilen yang tersubstitusi pada cincin benzen. Sekitar 1452,40; 1492,90; dan 1600,92 /cm terdapat vibrasi dari ikatan rangkap C=C pada cincin benzen. Pada 2914,44 /cm menunjukkan adanya ikatan

C-H alifatik dari gugus etilen dan pada 3022,45 /cm menunjukkan adanya ikatan C-H pada cincin aromatik. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa sintesis dari polistiren telah berhasil dilakukan. aromatik. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa sintesis dari polistiren telah berhasil dilakukan. Polistiren yang tersulfonasi memiliki spektrum yang hampir sama dengan spektrum polistiren, hanya saja pada bilangan gelombang 696,30 /cm dan 756,10 /cm yang menunjukkan monosubstitusi spektrum tersebut hilang dan digantikan dengan spektrum pada bilangan gelombang 906,54 /cm yang menunjukkan substitusi benzen pada posisi 1,4. Pada spektrum PSS ini juga muncul spektrum baru yaitu pada panjang gelombang 1195,87 /cm dan 1246,02 /cm yang menunjukkan adanya vibrasi dari gugus fungsi O=S=O yang simetris dan gugus fungsi S-O. Menurut analisis literatur, gugus sulfonat berada pada rentang 1000 dan 1400 /cm. Pita vibrasi gugus sulfonat ini akan mendekati 1040 dan 1180 cm1. Menurut literatur, spektrum sulfonat yang mendekati 1180 cm-1 ini merupakan anion sulfonat yang terikat pada cincin fenil. Adapun terjadinya perbedaan nilai pita vibrasi sulfonat hasil sintesis dibandingkan dengan literatur disebabkan karena terbentuknya ikatan baru berupa gugus sulfonat sehingga pita vibrasi awal mengalami pergeseran. Data spektrum FTIR tersebut menunjukkan bahwa polistiren telah tersulfonasi. Pada bilangan gelombang 3101,54 /cm muncul spektrum dengan pita yang lebar yang tidak ditemukan pada polistiren. Spektrum pada 3101,54 /cm ini menunjukkan adanya ikatan hidrogen O-H dari gugus SO3H.
5.5 Sintesis membran komposit Membran komposit pada penelitian ini disintesis melalui teknik inversi fasapengendapan dengan pencelupan (immersion precipitation). Pembuatan larutan cetak

dilakukan dengan melarutkan PSS dalam DMF dan dibutil ftalat sebagai bahan perekat. Secara termodinamika, suatu polimer akan larut dengan baik apabila memenuhi dua parameter, yaitu: parameter kelarutan () dan parameter antaraksi pasangan polimer-pelarut (g12). Pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam pembuatan membran karena akan mempengaruhi struktur dan bentuk

membran yang diperoleh. Untuk mendapatkan larutan cetak yang homogen, polimer dan pelarut harus memiliki parameter kelarutan () yang berdekatan. Parameter kelarutan () merupakan salah satu parameter yang berperan dalam proses koagulasi secara pencelupan. Parameter ini diperlukan karena pada metode inversi fasa, penyiapan membran dilakukan dengan polimer yang terlarut. Berdasarkan penelitian sebelumnya, PSS dapat larut dengan baik dalam DMF. Pelarutan PSS oleh DMF terjadi melalui dua proses yaitu, penggembungan (swelling) yang lambat dan dispersi. Pada saat swelling, molekul pelarut teradsorpsi pada permukaan molekul polimer sehingga terjadi perubahan dimensi rata-rata. Molekul polimer menggembung dengan faktor yang berhubungan dengan antaraksi intramolekul antara segmen suatu rantai. Pada proses dispersi, polimer akan terdispersi membentuk larutan polimer dan tidak ada ikatan kimia yang putus. Polimer yang berikatan silang dapat menggembung dalam pelarut yang baik tetapi tidak dapat larut pada tahap ini. Tahapan pembuatan membran komposit dengan teknik inversi fasa melewati beberapa tahap, diantaranya: pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan larutan cetak, penguapan sebagian pelarut, pencelupan ke dalam bak koagulasi, dan difusi pelarut dengan non pelarut. Penguapan sebagian pelarut diatas pelat kaca menyebabkan pelarut DMF pada lapisan atas akan mengalami difusi ke atmosfer. Ini menyebabkan lapisan atas akan kekurangan pelarut sedangkan lapisan bawahnya kaya pelarut. Faktor penguapan ini dapat dipengaruhi oleh suhu ruang dan kelembaban udara pada saat pencetakan. Pada saat pencelupan kedalam non pelarut, DMF akan mengalami difusi ke air dan meninggalkan ruang-ruang yang akan membentuk pori membran. Pada proses ini akan terjadi pemisahan fasa. Selama pemisahan fasa berlangsung, fasa yang kaya polimer akan membentuk matriks membran, sedangkan fasa yang mengandung polimer terlarut (miskin polimer) akan membentuk pori. Karena lapisan atas film memiliki sedikit pelarut daripada lapisan bawahnya, maka lapisan atas akan mempunyai pori dengan ukuran yang lebih kecil dari lapisan bawahnya. Ukuran pori yang berbeda antara lapisan atas dan bawah membran menyebabkan membran berbentuk

asimetrik. Selektifitas membran asimetrik ditentukan oleh lapisan atas (lapisan aktif) membran.

Gambar 5.9 Proses casting membran komposit (a); membran komposit (b); pencelupan membran komposit (c)
5.5 Uji konduktivitas proton Pada penelitian ini telah dibuat membran komposit yang berasal dari limbah plastik LDPE sebagai membran fuel cell. Kinerja dari membran komposit ini dilakukan melalui pengukuran konduktivitas proton (sebagai pengganti fluks membran). Terjadinya transpor ion hidrogen (konduktivitas proton) pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati/mengukur perubahan pH pada larutan umpan dan permeat. Pada kompartemen umpan dari sel difusi digunakan larutan pH 1. Ini digunakan didasarkan kepada stabilitas membran komposit sehingga penggunaan pH yang ekstrim tidak Pada penelitian ini telah dibuat membran komposit yang berasal dari limbah plastik LDPE sebagai membran fuel cell. Kinerja dari membran komposit ini dilakukan melalui pengukuran konduktivitas proton (sebagai pengganti fluks membran). Terjadinya transpor ion hidrogen (konduktivitas proton) pada penelitian

ini dilakukan dengan mengamati/mengukur perubahan pH pada larutan umpan dan permeat. Pada kompartemen umpan dari sel difusi digunakan larutan pH 1. Ini digunakan didasarkan kepada stabilitas membran komposit sehingga penggunaan pH yang ekstrim tidak akan merusak membran. Mekanisme transpor pada membran

dapat terjadi berdasarkan pada sifat fisik dan kimia membran. Berdasarkan penelitian ini, konsentrasi ion hidrogen pada kompartemen umpan semakin lama semakin menurun. Sebaliknya, konsentrasi ion hidrogen pada kompartemen permeat semakin lama semakin meningkat. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi transpor ion hidrogen melalui membran.

Tabel 5.4 Konduktivitas proton pada larutan umpan dan permeat

Gambar 5.10 Proses difusi ion H melalui membran komposit dengan pengadukan menggunakan magnetic stirer (a); pengukuran pH pada kompartemen umpan dan permeat dari sel difusi (b dan c)

Kemiringan kurva dari aluran jumlah ion H+ terhadap waktu menyatakan nilai permeabilitas ion H+ yang dinyatakan dalam mmol/jam. Aluran kurva permeabilitas ion H+ ditunjukkan pada Gambar 5.11. Pada kurva terlihat bahwa semakin lama waktu operasi maka semakin banyak ion H+ yang berpermeasi melalui membran.

Gambar 5.11 Kurva permeabilitas ion H+ (konduktivitas proton) untuk membran komposit Dari persamaan kurva diatas terlihat bahwa gradien pada kurva menunjukkan nilai fluks membran, yaitu sebesar 3,8969.10-4 mmol/jam dengan R2 =0,9913. Dengan diperolehnya nilai fluks pada membran ini, mengindikasikan bahwa proton atau ion H+ telah dapat melewati membran. Ini berarti membran komposit yang dibuat pada penenlitian ini telah dapat digunakan sebagai membran penghantar proton atau membran fuel cell meskipun dengan nilai fluks yang masih relatif kecil.

BAB V KESIMPULAN

Pada penelitian ini telah berhasil disintesis LDPE-g-F dan PSS sebagai bahan membran komposit untuk fuel cell. Hasil analisis FTIR menunjukkan bahwa terdapat gugus C-F pada LDPE-g-F yang ditunjukkan oleh puncak pada bilangan gelombang
-1

1002,98 cm . Polistiren juga berhasil disulfonasi yang ditunjukkan oleh adanya


-1 -1

puncak pada bilangan gelombang 1195,87 cm dan 1246,02 cm yang menunjukkan adanya vibrasi dari gugus fungsi O=S=O yang simetris dan gugus fungsi S-O, puncak
-1

pada 3442,94 cm yang menunjukkan adanya ikatan hidrogen O-H pada gugus SO H,
3 -1

dan puncak pada 883,40 cm yang menunjukkan adanya substitusi benzen pada posisi para.

DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.batan.go.id/sipulitbang/abstrak.php?id=0031 http://ifci-iipc.nrc-cnrc.gc.ca/research_pemfc.html http://pubs.acs.org/cgi-bin/article.cgi/iecred/2005/44/i20/pdf/ie0501172.pdf http://stratingh.eldoc.ub.rug.nl/FILES/root/PicchioniF/2000/JMembrSciCarretta/2000 JMembrSciCarretta.pdf http://www.designinsite.dk/htmsider/m0003.htm http://www.engr.psu.edu/h2e/index.htm http://www.exceedmpe.com/Public_Products/Polyethylene/Polyethylene/Worldwide/ Grades_and_Datasheets/PE_GradeInfo_LDPE.asp http://www.freshpatents.com/Fullerene-based-electrolyte-for-fuel-cellsdt20050120ptan20050014051.php?type=description http://www.ingentaconnect.com/search/article?title=Ion exchange+membranes&title_ type=tka&year_from=1998&year_to=2005&database=1&pageSize=20&index =7

You might also like