You are on page 1of 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Definisi Depresi dan Bunuh Diri Depresi adalah suatu kondisi kronis, berulang, dan sering kali merupakan suatu gangguan yang sifatnya familial serta sering terjadi pertama kali pada masa anakanak dan remaja. Berawal dari stres yang tidak dapat diatasi maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Orang yang mengalami depresi umumnya mengalami gangguan emosi, motivasi, fungsional, dan gerakan tingkah laku serta kognisi. Depresi dapat diartikan pula sebagai suatu gangguan mood dimana ditandai dengan tidak adanya harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil keputusan dalam memulai suatu kegiatan, sulit berkonsentrasi, tidak memiliki semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri. Sehingga depresi dapat diartikan sebagai gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan gairah/kegembiraan) disertai dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan.1 Dalam kepustakaan terdapat banyak definisi bunuh diri atau suicide. Beberapa orang mengartikan (percobaan) bunuh diri sebagai segala perbuatan seseorang untuk membinasakan dirinya sendiri dalam waktu singkat dan orang itu akan tahu akibatnya. Untuk dapat memudahkan pengertian orang-orang tentang definisi bunuh diri tersebut, maka dapat digunakan definisi dari bunuh diri secara umum yakni segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat.5 2.2. Epidemiologi Sangat sulit untuk mendapatkan angka-angka yang dapat dipercaya tentang kasus bunuh diri dan kasus percobaan bunuh diri. Hal ini disebabkan oleh karena keluarga atau orang lain yang masih menutup-nutupi karena malu dan kemungkinan juga ada alasan yanga lain.5 Di dunia sekitar 1 juta orang meninggal akibat bunuh diri. Bunuh diri merupakan penyebab pertama dari tiga penyebab kematian pada anak dan remaja di dunia 4

dan insidennya meningkat cepat pada remaja dibandingkan kelompok umur lainnya.4 Di Kanada kasus bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua. Diperkirakan sekitar 3.665 individu di Kanada melakukan bunuh diri tiap tahunnya yang mana 500 individunya berusia 15-24 tahun. Gangguan jiwa merupakan faktor risiko yang sangat signifikan untuk terjadinya kasus bunuh diri pada remaja, dengan lebih dari 90% dari korban ditemukan memiliki minimal satu gangguan. Gangguan jiwa tersebut termasuk gangguan depresi mayor, bipolar disorder, alcohol abuse, skizoprenia, gangguan kepribadian, distimia, atau gangguan kecemasan.3 2.3. Etiologi Perilaku Percobaan Bunuh Diri Dewasa ini kalangan psikiatri memandanng bunuh diri sebagai perilaku yang bertujuan untuk mengatasi masalah hidup, suatu perilaku yang unik manusiawi dan kultural, yang sesungguhnya bukan berarti pemusnahan diri, melainkan penyelesaian masalah frustasi, penghindaran diri dari segala situasi yang tidak menyenangkan, peryataan amarah atau kegelisahan untu memperoleh keadaan tidur yang damai dan tentram.5 Penyebab invidu melakukan percobaan bunuh diri ini dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain faktor sosial, psikologi, biologi, dan juga genetik.6 Faktor Sosial Lingkungan sosial dapat menjadi suatu pengontrol sosial terhadap peraturanperaturan dan norma-norma yang berada di lingkungan sekitar melalui perasaan malu, tetapi juga dapat memudahkan dan menganjurkan bunuh diri apabila hal tersebut dianggap mampu menguntungkan kelompok, dimana dalam pengertian pengorbanan, kebudayaan, dan lain sebagainya. 5 Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial antara lain : bunuh diri egoistik, bunuh diri altruistik, dan bunuh diri anomik. Bunuh diri egoistik dilakukan oleh individu yang tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Ini disebabkan oleh karena kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu tersebut tidak memiliki kepribadian. Bunuh diri altruistik merupakan bunuh diri yang dilakukan oleh individu yang terikat pada tuntutan 5

dari sebuah tradisi khusus atau pun cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, dimana individu tersebut menganggap kelompok tersebut terlalu mengharapkannya. Sedangkan bunuh diri anomik terjadi apabila terdapat gangguan kesimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa dan kehilangan pegangan dan tujuan hidup. 5,6 Faktor Psikologi Freud dan beberapa psikoanalis lain, mencoba menafsirkan tingkah laku bunuh diri melalui pandangan psikologi.9 Dimana dalam karangannya yang berjudul Mourning and Melancholia, Freud mengatakan bahwa tingkah laku suicidal merupakan suatu perilaku untuk menyatakan amarah dan permusuhan terhadap seseorang yang dicintai sehingga mampu memaksa individu untuk melakukan impuls-impuls agresif yang tidak dapat diterima tersebut pada dirinya sendiri.6 Sedangkan meurut Menninger dalam Man against Himself, dimana dia melihat 3 komponen pada individu yang melakukan bunuh diri, yaitu keinginan untuk membunuh atau menyerang, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati atau menghukum diri sendiri. 5,6 Faktor Biologi Rendahnya konsentrasi central serotonin dapat berperan dalam perilaku bunuh diri. Suatu kelompok di Karolinska Institute di Swedia mencatat bahwa konsentrasi rendah dari asam metabolit serotonin 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA) dalam lumbar cerebrospinal fluid (CSF) dikaitkan dengan perilaku bunuh diri. 6 Faktor Genetik Risiko percobaan bunuh diri akan meningkat pada pasien psikiatri yang memiliki riwayat keluarga bunuh diri. Selain itu, bukti kuat perilaku bunuh diri yang disebabkan oleh faktor genetik juga berasal dari studi bayi kembar, anak adopsi dan dari genetika molekular. 6

2.4. Risiko Terhadap Perilaku Percobaan Bunuh Diri Meskipun belum ada tes khusus yang mampu mengidentifikasi seseorang melakukan percobaan bunuh diri namun terdapat beberapa faktor risiko yang spesifik terhadap perilaku percobaan bunuh diri. Dokter sebaiknya berhati-hati dalam menafsirkan faktor risiko dalam diri pasien sebab faktor risiko tersebut sering muncul namun bunuh diri tidak selalu terjadi. Dokter harus mampu menilai risiko bunuh diri pada pasiennya secara individual. Faktor risiko bunuh diri yang biasanya ada yakni adanya riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri pada keluarga, jenis kelamin laki-laki, masalah kesehatan mental pada orang tua, orientasi biseksual atau gay, riwayat kekerasan fisik atau seksual, dan pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya.4 Selain itu faktor sosial dan lingkungan juga berpengaruh, seperti ada tidaknya senjata tajam di rumah, hubungan anak dan orang tua yang tidak baik, kehidupan di luar rumah yang tidak baik, kesulitan di sekolah, isolasi sosial, dan ada atau tidaknya peristiwa dalam hidup yang menimbulkan tekanan, seperti kesulitan asmara atau pertengkaran dengan orang tua. 2 Masalah kesehatan mental seseorang juga menjadi faktor predisposisi untuk melakukan bunuh diri. Kesehatan mental merupakan faktor risiko yang sangat signifikan untuk dapat menyebabkan perilaku bunuh diri pada remaja, dimana lebih dari 90% dari korban ditemukan memiliki minimal satu gangguan diantaranya depresi, gangguan bipolar, psikosis, posttraumatic stress disorders (PTSD), dan adanya riwayat agresi atau impulsif. 2,3 Solomon membagi besarnya risiko bunuh diri dengan melihat adanya tanda-tanda tertentu menjadi tanda-tanda risiko berat dan tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda risiko berat meliputi: 5
1. Keinginan mati yang sungguh-sungguh dan pernyataan yang berulang-

ulang bahwa dia ingin mati (anggapan bahwa orang yang mengatakan demikian tidak akan berbuat hal tersebut ternyata keliru). 2. Adanya depresi dengan gejala rasa bersalah dan berdosa terutama terhadap orang-orang yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum berat,

rasa cemas yang hebat, rasa tidak berharga lagi, sangat berkurang nafsu makan, seks dan kegiatan, serta adanya gangguan tidur yang berat. 3. Adanya psikosis, terutama penderita psikosis yang impulsif, serta adanya perasaan curiga, ketakutkan dan panik. Keadaan semakin berbahaya bila penderita mendengar suara yang memerintahkan membunuh dirinya. Tanda-tanda bahaya meliputi: 5 1. Pernah melakukan percobaan bunuh diri (jadi anggapan bahwa orang yang pernah mencoba bunuh diri tidak akan berbuat demikian lagi juga keliru). Tempat dan cara percobaan bunuh diri juga penting untuk melihat kesungguhan penderita. Jika percobaan bunuh diri terdahulu dilakukan di tempat yang sepi dan kecil kemungkinan bahwa orang lain dapat menghalangi tindakannya, maka keinginannya untuk mati sangat besar dan sebaliknya. Cara yang dipakai untuk bunuh diri juga perlu diperhatikan. Bila yang dipilih cara yang lebih sulit dan menyakitkan, maka makin besar kemungkinan ia melakukan bunuh diri lagi. 2. Penyakit yang menahun. Penderita dengan penyakit kronis yang berat dapat melakukan bunuh diri karena mengalami depresi yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. 3. Ketergantungan obat dan alkohol. Alkohol dan beberapa obat mempunyai efek melemahkan kontrol dan mengubah dorongan (impuls) sehingga memudahkan bunuh diri. 4. Hipokhondriasis. Keluhan fisik yang konstan dan bermacam-macam tanpa sebab organik dapat menimbulkan depresi yang berbahaya. 5. Bertambahnya umur. Bertambahnya umur, terutama pria, tanpa pekerjaan atau kesibukan yang berarti, dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak berguna lagi. Tetapi dari beberapa artikel, di Indonesia paling banyak terjadi bunuh diri antara umur 20-40 tahun. 6. Pengasingan diri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat lagi menolong dan mengatasi depresi yang berat. 7. Kebangkrutan kekayaan. Individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau harapan masa depan, mengalami kekurangan gairah untuk hidup

dibandingkan dengan individu yang memiliki keluarga dan kedudukan sosial yang lebih berhasil. 8. Catatan bunuh diri. Setiap catatan bunuh diri harus ditanggapi sebagai tanda bahaya. 9. Kesulitan penyesuaian diri yang berlangsung lama. Individu dengan riwayat permasalahan yang lama atau hubungan antar individu yang tidak baik mempunyai kemungkinan lebih besar untuk melakukan bunuh diri. 10. Tidak jelas adanya keuntungan sekunder. Jika ancaman pasien tertuju pada orang tertentu di sekitarnya, mungkin percobaan bunuh diri bertujuan untuk memanipulasi dan mengharapkan pertolongan, maka risikonya lebih kecil. Jika tidak terdapat keuntungan sekunder yang jelas dan ancamannya betul-betul ditujukan pada dirinya, maka risikonya jauh lebih besar. Tanda-tanda di atas ini tentu masih harus disesuaikan dengan situasi setempat, tetapi setidaknya dokter sudah mempunyai pegangan. 5 2.5. Penegakkan Diagnosa Depresi dan Perilaku Percobaan Bunuh Diri Depresi merupakan suatu faktor utama penyebab terjadinya bunuh diri. Diagnosis depresi ditegakkan sedini mungkin sehingga dapat melakukan penanganan dan pecegahan percobaan bunuh diri sedini mungkin. Remaja yang mengalami depresi berat atau depresi mayor biasanya memiliki kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh diri. Depresi berat dan depresi mayor termasuk gangguan mood pada anak dan remaja pada semua umur dan kejadiannya meningkat seiring bertambahnya umur.4 Diagnosis depresi mayor dapat ditegakkan dengan kriteria diagnosa Diagnostic and Statistical Manual Fourth Edition Text Revision (DSMIV TR) dan depresi berat dapat ditegakkan dengan kriteria diagnosa The Tenth International Criteria Diagnostic (ICD 10).6,7 Menurut kriteria DSM-IV TR untuk depresi mayor, setidaknya harus didapatkan lima atau lebih simptom depresi selama dua minggu. Kriteria tersebut antara lain suasana perasaan depresif yang hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh subjek ataupun observasi orang lain (pada anak-anak dan remaja perilaku yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya), kehilangan ketertarikan atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas 9

sehari-hari, berat badan turun secara siginifkan tanpa ada program diet atau justru ada kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau hipersomnia berkelanjutan, agitasi atau retardasi psikomotorik, letih atau kehilangan energi, perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif, kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun, pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali. Gejala-gejala ini harus menyebabkan kesulitan sosial atau akademik dan untuk dapat menegakkan diagnosis depresi mayor, maka gejala-gejala tersebut bukan merupakan efek dari suatu substansi, misalnya alkohol, atau akibat kondisi pengobatan secara umum.1 Kriteria diagnosa berdasarkan ICD-10 yang dikutip dari buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa depresi berat tanpa gejala psikotik yang cenderung disertai dengan tanda-tanda percobaan bunuh diri. Dimana, setidaknya harus ada tiga gejala khas untuk episode depresi ringan dan sedang ditambah minimal empat atau lebih dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya harus memiliki intensitas berat. Tiga gejala khas tersebut antara lain afek depresif, kehilangan minat dan kesenangan, dan berkurangnya energi yang menuju pada meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Gejala lainnya yang lazim terjadi, yakni konsentrasi dan perhatian berkurang, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri, gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang kurang dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu berkurang. Apabila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) yang dominan, maka pasien mungkin tidak mampu untuk melaporkan gejalanya secara rinci. Bila demikian, penentuan secara menyeluruh dalam subkategori episode depresi berat masih dibenarkan. Episode depresi seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu. Jika ada gejala yang sangat berat dan periode lebih pendek, maka diperbolehkan untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari dua minggu.
7

10

Apabila diagnosis depresi berat atau mayor telah ditegakkan pada individu, sebaiknya dokter sedini mungkin mampu memberikan penanganan atau pun pencegahan terhadap perilaku percobaan bunuh diri.1 Untuk dapat menilai adanya ide-ide bunuh diri pada seseorang remaja cara terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan mewawancarai pasien secara langsung atau melakukan skrining melalui self-report.2 Tanyakan kepada pasien yang megalami depresi tersebut, apakah pasien pernah memiliki keinginan untuk membunuh dirinya sendiri. Sehingga dari hal tersebut dapat menjadi sebuah kesempatan pertama bagi pasien untuk mengungkapkan tentang ide-ide bunuh diri yang terkadang muncul di pikirannya.6 Bila melakukan wawancara dengan pasien remaja, sebaiknya dilakukan secara terpisah dari orang tua karena pasien sering menolak memberikan informasi apabila orang tua ada didekatnya. Pada saat melakukan wawancara, perhatian penuh kepada pasien harus diberikan karena apabila muncul suatu pertanyaan yang mengganggu secara tiba-tiba, dapat mengurangi rasa simpati yang telah terjalin sebelumnya dan dapat menurunkan perhatian remaja untuk melakukan sharing tentang kesehatan mentalnya. 2 Penggunaan scales begitu bermanfaat untuk skrining pada remaja. Hal ini disebabkan karena remaja tersendiri dapat menutupi informasi tentang keinginannya untuk bunuh diri dan tidak dilaporkan dalam self-report. Karakterisktik tes yang sering digunakan adalah Scale for Suicide Ideation (SSI), Scale for Suicide Ideation-Worst (SSI-W), dan Suicidal Ideation Questionnaire (SIQ). Penggunaan scales cenderung oversensitive dan underspesific serta tidak mempunyai predictive value.2 Demikian pula dengan prediktor biokimia yang tersedia terlalu invasif untuk dilakukan, seperti level CSF 5-HIAA. 4,8 2.6. Pencegahan Perilaku Bunuh Diri Pada Remaja dengan Depresi Tidak mungkin untuk dapat mencegah semua tindakan bunuh diri ataupun secara total mampu melindungi pasien dari perilaku bunuh diri. Oleh karena hal tersebut, sampai saat ini masih belum ada cara yang terbukti dapat mencegah tindakan bunuh diri secara total dan tepat. Strategi pencegahan bunuh diri sering terfokus pada adanya faktor-faktor risiko. Idealnya strategi-strategi ini harus menargetkan pada faktor risiko yang telah terbukti baik kausal dan dimodifikasi.9,3 Ada 11

beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku bunuh diri, yakni pencegahan primer, sekunder, dan tersier. 4 Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan metode pencegahan yang ideal untuk melawan keinginan bunuh diri dan dapat memproteksi masyarakat dari hal tersebut. Hal ini penting untuk dapat menurunkan faktor risiko dari bunuh diri, seperti depresi, substance abuse, isolasi dari lingkungan sosial, dan kekerasan dalam keluarga. Langkah utama dalam menangani perilaku bunuh diri pada remaja adalah dimana mencegah remaja tersebut mencapai titik dalam kehidupan mereka, dimana bunuh diri tampaknya menjadi satu-satunya pilihan untuk menangani segala masalah yang membebani hidup mereka. Kunci pencegahan ini adalah dengan mengevaluasi secara reguler remaja tersebut, dimana dapat ditanyakan tentang berbagai isu dalam kehidupan mereka, termasuk depresi, pikiran untuk bunuh diri, konflik di sekolah, konflik di rumah, persoalan asmara, dan masalah lainnya. 4 Selain itu, memodifikasi kondisi sosial, ekonomi dan biologis, seperti menurunkan angka kemiskinan, kekerasan, perceraian, dan promosi pola hidup yang sehat dapat secara signifikan berkontribusi terhadap pencegahan primer. 3,4 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder merupakan suatu tindakan pencegahan dimana merujuk pada deteksi dini dan penatalaksanaan kepada individu yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut.4 Menyediakan bantuan bagi remaja dan membantu mereka keluar dari pemikiran bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi masalah dapat dilakukan untuk mecegah terjadinya bunuh diri.3 Tujuan dari pencegahan sekunder ini adalah dapat menurunkan serta meminimalisir kemungkinan percobaan bunuh diri pada pasien dengan faktor risiko tinggi.4 Faktor resiko utama dari tindakan bunuh diri adalah adanya riwayat percobaan bunuh diri dan masih ada pikiran untuk melakukannya lagi. Dokter sebaiknya mampu secara reguler dan kontinyu dalam meminta keterangan pada pasien yang mengalami depresi menetap, kehilangan harapan, dan memiliki ide untuk melakukan bunuh diri kembali. Dimana untuk dapat memprediksi suatu tindakan bunuh diri tersebut sangat sulit untuk menentukan pasien dengan risiko 12

tinggi manakah yang akan benar-benar mewujudkan keinginan bunuh diri tersebut, kecuali pasien mengaku bahwa dirinya memiliki rencana untuk bunuh diri. 3 Penanganan terhadap remaja yang melakukan percobaan bunuh diri antara lain meliputi diagnosis dan penanganan terhadap gangguan kejiwaan yang sedang dideritanya, menilai risiko untuk melakukan bunuh diri, dan mengurangi akses terhadap hal-hal yang dapat membahayakan untuk terlaksananya bunuh diri tersebut, seperti misalnya tersedianya pistol, kaca, pisau, tali, dan sebagainya yang berada di lingkungan sekitar remaja tersebut.4 Pencegahan Tersier Pencegahan tersier dilakukan untuk dapat mengurangi konsekuensi dari percobaan bunuh diri. Dimana dapat dilakukan dengan cara meningkatkan edukasi tenaga kesehatan profesional mengenai tata cara dalam menilai dan menangani pasien dengan risiko bunuh diri yang mana hal ini akan dapat membantu deteksi secara cepat dan membatasi kerusakan yang ditimbulkan akibat bunuh diri tersebut. Mengingat, penurunan angka kejadian bunuh diri dapat terjadi apabila remaja mendapatkan intervensi dari dokter umum dan perawat yang telah diberikan pendidikan manajemen depresi sebelumnya.
3,10

Intervensi yang dapat dilakukan

pada tahap ini adalah menilai anggota keluarga yang mungkin terpengaruh tindakan bunuh diri tersebut sehingga memiliki keinginan untuk membunuh dirinya sendiri. 3,4 Cara pencegahan lainnya adalah hospitalization atau rawat inap di rumah sakit. Remaja yang mengalami depresi dan pernah melakukan percobaan bunuh diri membutuhkan evaluasi secara luas di rumah sakit untuk menyediakan perlindungan maksimal untuk melawan tindakan dari pasien melakukan bunuh diri. Terdapat beberapa indikasi untuk dapat merawat inap remaja yang melakukan percobaan bunuh diri dimana dapat dilihat pada Tabel 1. 4

13

Tabel 1. Indikasi merawat inap pasien remaja dengan keinginan bunuh diri

Sumber : Suicide in Adolescents: A Worldwide Preventable Tragedy. Greydanus DE, 2009, Rawat inap tidak hanya dapat melindungi pasien tetapi juga menyediakan waktu aman untuk memulai penanganan, menurunkan risiko, mobilisasi dukungan, dan merencanakan keamanan pasien setelah perawatan di rumah sakit. Meski demikian, merawat inap remaja tersebut bukanlah tindakan yang benar-benar mampu untuk dapat mencegah perilaku bunuh diri, kecuali masalah yang mendasari bunuh diri tersebut dapat diselesaikan kemungkinan percobaan bunuh diri mampu diatasi. Bunuh diri bukanlah merupakan suatu diagnosis tetapi 14

mencerminkan dasar konflik yang harus dikoreksi untuk dapat menghilangkan keinginan bunuh diri pada remaja. 3,4

15

You might also like