You are on page 1of 10

LAPORAN PENDAHULUAN POLIP HIDUNG A. Konsep Dasar 1.

Pengertian Polip hidung adalah massa yang lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat didalam rongga hidung. Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang banyak berisi cairan interseluler dan kemudian terdorong kedalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal atau sering kali bilateral. Polip hidung sering berasal dari sinus maksila ( antrum ) dapat keluar melalui ostium sinus maksila, masuk kerongga hidung dan membesar di koana dan nasoparing. Polip ini disebut polip koana ( Antro Koana ). Secara makroskopis polip terlihat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau ke abuabuan secara mikroskopis tampak sub mukosa hipertropi dan sembab. Sel tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinopil, limpost, dan sel plasma yang letaknya berjauhan di pisahkan oleh cairan intra seluler, pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit. Polip ini dilapisi oleh epitel thorax berlapis semu. 2. Etiologi Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis (mucoviscidosis). Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip, antara lain: Alergi terutama rinitis alergi Sinusitis kronik

Iritasi Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan

hipertrofi konka 3. Patofisiologi Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media. Berikut penjabaran patofisiologi polip hidung dalam pohon masalah : Reaksi Alergi/Hipersensitivitas Edema mukosa nasal (Pembengkakan mukosa hidung) Persisten Polip Hidung Ggn. Pola nafas

4. Anatomi dan Fisiologi Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa fungsi : sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara. Alat pencium terdapat dalam rongga hidung dari ujung saraf otak nervus olfaktorius. Serabut saraf ini timbul pada bagian atas selaput lendir hidung dikenal dengan olfaktori. Nervus olfaktorius dilapisi oleh sel-sel yang sangat khusus yang mengeluaran fibril yang sangat halus, terjalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius yang merupakan otak terkecil. Saraf olfaktorius terletak di atas lempeng tulang etmoidalis. Konka nasalis terdiri dari lapisan selaput lender. Pada bagian puncaknya terdapat sarafsaraf pembau. Kalau kita bernapas lewat hidung dan kita mencium bau suatu udara, udara yang kita isap melewati bagian atas dari rongga hidung melalui konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat tiga pasang karang hidung : o Konka nasalis superior o Konka nasalis media o Konka nasalis inferior Di sekitar rongga hidung terdapat rongga-rongga yang disebut sinus para nasalis yang terdiri dari : Sinus maksilaris (rongga tulang hidung) Sinus sfeinodalis (rongga tulang baji) Sinus frontalis (rongga nasalis inferior)

Sinus ini dilapisi oleh selaput lendir. Jika terjadi peradangan pada rongga hidung, lender-lendir dari sinus para nasalis akan keluar. Jika tidak dapat mengalir ke luar akan menjadi sinusitis.

5. Manifestasi Klinis Gejala yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini menetap, tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya sumbatan yang berat dapat menyebabkan hilangnya indra penciuman. Gangguan drainase sinus dapat menyebabkan nyeri kepala dan keluarnya sekret hidung. Bila penyebabnya alergi, penderita mengeluh adanya iritasi hidung yang disertai bersin-bersin. Pada Rinoskopi anterior polip hidung sering kali harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip ( Konka Polipoid ). Perbedaan antara polip dan konka :

Polip bertangkai sehingga mudah digerakkan, konsistensinya lunak, tidak

nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah, dan pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.

Konka Polipoid tidak bertangkai sehingga sukar digerakkan, konsistensinya

keras, nyeri bila ditekan dengan pinset, mudah berdarah, dan dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor 6. Diagnostik Test Karena polip menyebabkan sumbatan hidung, maka harus dikeluarkan, tetapi sumbatan karena polip tidak hanya ke dalam rongga hidung yang menghalangi aliran udara , tetapi juga aliran sinus paranasal sehingga infeksi di dalam sinus mudah terjadi. Apabila sewaktu polip dikeluarkan terjadi infeksi yang tidak diketahui, maka dapat terjadi perdarahan sekunder. Atas alasan ini maka sebelum setiap operasi dilaksanakan, perlu diadakan pemeriksaan rontgen sinus dan pembuatan biakan hapus dari hidung. Sehingga setelah polip dikeluarkan dan dilakukan pemeriksaan histologi, sebaiknya klien dikirim ke ahli alergi untuk mencari penyebabnya serta pengobatan. 7. Pengobatan Polip yang masih kecil mungkin dapat diobati secara konservatif dengan pemberian kortikosteroid per oral. Lokal disuntikkan ke dalam polip atau topical sebagai semprotan hidung.

Polip yang sudah besar dilakukan ekstraksi polip / polipeptomi dan menggunakn

senar polip. Apabila terjadi infeksi sinus, irigasi perlu dilakukan dan cara ini dilakukan dengan perlindungan antibiotic
Pada kasus polip yang berulang-ulang perlu dilakuka operasi etmoidektomi karena

pada umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada 2 cara, yaitu : Intra nasal Ekstra nasal

Polip bisa tumbuh kembali oleh karena itu pada pengobatan perlu ditujukan pada penyebabnya, misalnya alergi.

B. Konsep Keperawatan 1. Pengkajian a. Biodata Nama, jenis kelamin, umur, agama, suku/bangsa, status perkawinan, pekerjaan alamat, tanggal MRS, diagnosa medis, dan keluarga yang mudah dihubungi. b. Riwayat Kesehatan Riwayat Penyakit Sekarang Apa keluhan utama, bagaimana sifat keluhan (terus menerus, kadangkadang), apakah keluhan bertambah berat pada waktu-waktu tertentu atau kondisi tertentu. Usaha apa yang dilakukan di rumah untuk mengatasi keluhan tersebut Riwayat Penyakit Dahulu Apakah pasien pernah menderita penyakit hidung sebelumnya seperti rhinitis, alergi pada hidung Riwayat Penyakit Keluarga Apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit ini seperti klien saat ini dan pakah pernah / mengalami alergi / bersin Pengkajian Psikososial dan Spiritual Psikologis Bagaimana perasaan pasien terhadap penyakit yang dialaminya Sosial Bagaimana hubungan pasien dengan tim medis dan orang-orang Spiritual Bagaimana cara beribadah pasien sebelum dan saat sakit c. Pola Fungsi Kesehatan Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung

Pola Istirahat dan Tidur

Biasanya pasien tidak dapat tidur karena pilek yang dideritanya berbau Pola Sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus

Pola Persepsi dan Konsep Diri

Biasanya konsep diri pasien menjadi menurun karena pilek terus menerus dan

(baik purulen , serous, mukopurulen) d. Pemeriksaan Fisik


Status Kesehatan Umum

Keadaan umum, tanda-tanda vital, dan kesadaran Pemeriksaan Fisik Data Fokus Hidung o Inspeksi Inspeksi lubang hidung, perhatikan adanya cairan atau bau, pembengkakan atau ada obstruksi kavum nasi. Apakah terdapat peradangan, tumor. Inspeksi dapat menggunakan alat Rinoskopi. o Palpasi Lakukan penekanan ringan pada cuping hidung, bila konsistensinya lunak, tidak nyeri bila ditekan, tak mudah berdarah; maka dapat dipastikan klien menderita polip pada hidung 2. Data Subyektif dan Objektif a. Data Subyektif Klien mengeluh adanya massa yang menyumbat hidung Klien mengeluh adanya iritasi hidung yang disertai bersin-bersin Klien mengeluah tidak bisa atau mengalami gangguan pernapasan Adanya pembengkakka mukosa, iritasi mukosa, kemerahan Adanya massa berwarna putih seperti agar-agar Klien tampak sulit untuk inspirasi ekspirasi

b. Data Objektif

3. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Adanya Obstruksi Pada Hidung (Polip) Tujuan Kriteria Hasil : Jalan nafas menjadi lebih efektif : * Frekuensi nafas normal * Tidak ada suara nafas tambahan * Tidak terjadi dispnoe dan sianosis No 1. Intervensi Kaji bunyi kedalaman dan gerakan Penurunan dada wheezing 2. Pertahankan jalan nafas sekret klien, Posisi Rasional bunyi nafas menunjukkan membantu

dapat

menyebabkan atelektasis, ronchi dan akumulasi

memaksimalkan

tempatkan klien pada posisi yang ekspansi paru dan menurunkan upaya nyaman dengan kepala tempat tidur pernafasan 3. tinggi (posisi semi fowler) Catat kemampuan mengeluarkan Sputum berdarah kental atau cerah dapat mukosa/batuk efektif 4. diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka bronchial Berikan obat sesuai dengan indikasi - Mukolitik untuk menurunkan batuk mukolitik, bronkodilator ekspektoran, dan - ekspektoran - bronkodilator bronkus - bronkodilator bronkus b. Nyeri Akut berhubungan dengan Kerusakan Mukosa Hidung Akibat Pembesaran Mukosa Tujuan Kreiteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang : * Klien mengungkapkan nyeri yang dialaminya berkurang/hilang * Wajah klien tidak menyeringai menurunkan spasme untuk membantu spasme memobilisasi secret menurunkan

No 1. 2.

Intervensi Kaji tingkat nyeri klien Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya

Rasional Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri - Relaksasi : Membantu pasien tetap tenang dan mengurangi rasa sakit - Distraksi : Mengalihkan perhatian pasien terhadap nyeri yang dialaminya Mengurangi rasa nyeri dan mempercepat proses penyembuhan

3.

Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi

4.

Lanjutkan program dokter dalam pemberian obat analgetik

c. Resiko Tinggi Terjadi Gangguan Persepsi Sensori (Penciuman) berhubungan dengan

Menurunnya Kemampuan Dalam Penciuman Sekunder Terhadap Polip Tujuan No 1 2 3 : Tidak terjadi gangguan persepsi sensori (penciuman) Intervensi Kaji derajat ketajaman penciuman Bersihkan keadaan mukosa hidung Persiapkan untuk polipeptomi Rasional Mengetahui sejauh mana ketajaman penciuman pasien Membantu pasien untuk bernapas dan meningkatkan indra penciuman pasien Mencegah terjadinya resiko gangguan pernciuman

DAFTAR PUSTAKA Soepardi, M Efiaty Arsyad, Sp. THT. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal : 97 99 Higler, Adams Boies. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal : 173

Junadi, Purnaman dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Kedua. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Hal : 248 249 Syaifuddin, H, AMK. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC. Hal : 334

You might also like