You are on page 1of 19

ANALGESIK- ANTIPIRETIK ANALGESIK ANTI- INFLAMASI NONSTEROID (AINS)

1. PENDAHULUAN Obat analgesik antipiretik serta obat anti- inflamasinonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat- obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin- like drugs). sebenarnya tidak banyak manfaat kliniknya, karena ada AINS dari suggolonganyang sama memiliki sifat yang berbeda, sebaliknya. kemajuan penelitian memberi penjelasan ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin. 2. Farmakoterapi Nyeri Inflamasi Inflamasi merupakan suatu mekanisme proteksi tubuh terhadap gangguan dari luar atau infeksi. Akan tetapi inflamasi juga menjadi sebab timbulnya berbagai gangguan misalnya pada artritis. Terjadi pembatasan gerak sendi, kerusakan tulang dan tulang rawan serta struktur sendi. Respon inflamasi dimulai dengan antigen seperti virus, bakteri, protozoa, jamur atau trauma. Kerusakan sel karena inflamasi menyebabkan pelepasan enzim lisosom dari leukosit melalui aksinya pada membran sel. Dilepas juga kemudian arachidonicacid (asam arakidonat) dari senyawa pendahulunya oleh fosfolipase. Enzim sikooksigenase merubah asam arakidonat menjadi endoperoksid, zat biologic aktif dan berumur pendek. Seyawasenyawa ini cepat diubah menjadi prostaglandin dan tromboksan. Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid (AINS, Nonsteroidal Anti-Inflamatory Drugs, NSAID) Salisilat dan obat lain yang digunakan untuk mengobati penyakit rheumatic mempunyai kemampuan untuk menekan gejala dan tanda inflamasi. Beberapa di antara obat-obat itu juga berkhasiat sebagai antiinflamasi, inilah yang membuatnya bermanfaat untuk menangani kelainan-kelainan di mana nyeri berkaitan dengan intensitas proses inflamasi. Obat- obat yang dipakai isebagai antiinlamasi ada bermacam-macam, baik dalam struktur kimia maupun dalam mekanisme aksinya. Aspirin

Aspirin merupakan senyawa asam organik yang lemah, seperti juga beberapa obat antiinflamasi non steroid lain seperti ibuprofen, naproksen, dan sebagainya. Obat ini mampu: 1. Menghambat biosintesis prostaglandin 2. Menurunkan produksi free radicals dan superoksid 3. Interaksi dengan adenilatsiklase untuk merubah konsentrasi seluler dari CAMP

Aspirin merupakan obat yang relatif murah, dan masih merupakan obat pilihan pertama untuk antiinflamasi untuk keluhan sendiri dan musculoskeletal. Obat ini juga merupakan standar obat antiinflamasi yanmg lebih baru. Aspirin cepat diabsorbsi dari lambung dan bagian atas usus halus, kadar puncak tercapai dalam 1-2 jam. Konsentrasi yang besar dari salisilat dalam sel mukosa, akan merusak barier mukosa. Apabila pH dinaikkan (dengan menambah senyawa buffer) sampai Ph 3,5 atau lebih, iritasi lambung akan minimal. Farmakodinamika: 1. Efek antiinflamasi: Aspirin menghambat biosintesis prostaglandin, dengan memblok enzim siklooksigenase, suatu katalisator reaksi asam arakhidonat ke senyawa endoperoksid. Pada dosis tinggi, obat ini menurunkan pembentukan prostaglandin dan tromboksan A2. Aspirin menghambat mendekatnya granulosit dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat inflamasi.

2.

Efek analgesik: Aspirin efektif untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang, dengan berbagai sumber seperti muskuler, vaskulerdan dental. Juga pada nyeri postapartum, artritis dan bursitis. Dalam hal ini Aspirin mempunyai pengaruh perifer (melalui antiinflamasinya). Tapi mungkin juga menekan pacuan nyeri pada tingkat subkorteks.

3.

Efek antipiretik: Aspirin menurunkan suhu badan yang naik, tapi suhu badan normal hanya sedikit terpengaruh. Turunnya temperatur itu disebsbkan oleh banyaknya pembuangan panas yang disebabkan oleh vasodilatasi perife. Keringat juga bertambah banyak. Demam yang timbul pada kasus infeksi diperkirakan akibat produksi prostaglandin di sistem saraf pusat sebagai reaksi terhadap bakteri. Aspirin memblok efek ini, hingga memulihkan kontrol temperatur di hipotalamus dank arena itu terjadi efek vasodsilatasi.

4.

Efek platelet: Aspirin mempengaruhi hemostasis. Pemberian aspirin akan memperpanjang waktu perdarahan. Hal ini disebabkan karena aspirin menghambat agregasi platelet secara sekunder karena hambatannya pada sintesis tromboksan.sebaliknya tromboksan mendorong terjadinya agregasi platelet, aspirin menghambat agregasi platelet sampai 8 hari, yakni sampai terbentuknya platelet baru (obat lain yang menghambat agregasi platelet misalnya ialah:klofibrat, fenilbutazon, dispiridamol, tranquilizer, antidepresan). Pemakaian Terapetik:

1. Sebagai analgesik dan antiinflamasi, untuk nyeri viseral tadak efektif. Pada dosis yang lebih tinggi sebagai antiinflamasi, seing dipakai pada artritis rematoid, demem rematik dan inflamasi sendi yang lain. 2. Sebagai anti piretik 3. Penghambatan agregasi platelet. Banyak dipakai pada kasus TIA dan angina juga sebagai profilaktik. 4. Studi awal menunjukkan bahwa aspirin dapat menurunkan pembentukan katarak. Dosis: 1. Dosis analgesik/antipiretik: Dosis kurang dari 0,6 gram, oral. Dapat diulang tiap 4 jam. Dosis 0,3 gr, tiap 3 jam. Dosis anak: 50-75 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. 2. Rata- rata dapat sampai 4 gram/hari. Untuk anak: 50-75 mg/kg/hari. Kadar dalam darah 1530 mg/dl. Waktu paro (half-life): 12 jam. Biasanya dosis terbagi 3 kali/hari, sesudah makan. Efek samping/toksisitas: 1. Pada gastrointestinal Terjadi iritasi pada lambung karena: a) Iritasi mukosa oleh tablet yang tidak larut b) Absorpsi melalui lambung salisilat yang tidak terionisasi c) 2. Penghambatan pada prostaglandin protektif Pada sistem saraf pusat Pada dosis yang lebih tinggi, dapat terjadi: salisilisme yakni: tinnitus, kurangnya pendengaran dan vertigo. Dosis yang lebih besar: hipernea oleh karena efek langsung pada medulla oblongata. Pada toksisitas rendah terjadi alkalosis respirasi karena naiknya akumulasi derivate asam salisilat dan depresi pusat respirasi. 3. Lain- lain

a) Pada dosis harian 2 gram atau kurang, akan menaikkan kadar asam urat daklam serum, sementara dosis di atas 4 gram/ hari akan menurunkan kadar asam urat di bawah 2,5 mg/dl. b) Dapat menyebabkan hepatitis ringan c) Kadang- kadang menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomeruli. Toksisitas Overdosis Keracunan terjadi pada dosis yang melebihi 150-175 mg/kg bb pada anak-anak. Dalam hal ini kemudian dilakukan cuci lambung, hipertermi diatasi dengan kompres alkohol, mengatasi keseimbamgan asam- basa, kadang perlu infus sodium bikarbonat. Interaksi Obat: 1. Obat yang menambah efek intoksitasi salisilat termasuk: asetazolamid, amonium klorid. Alkohol menambah resiko perdarahan lambung. 2. Aspirin mendesak ikatan obat dari protein plasma, yakni pada: tolbutamid, klorpropamid, obat antiinflamasi nonsteroid, metotreksat, fenitoin, probensid. 3. Kortikosteroid mengurangi aktivitas farmakologik spironolakton, antagonis efek heparin, kompetisi dengan penisilin G untuk sekresi tubuler rend an menghambat efek urikosurik dari sulfinpirazon dan probenesid.

Obat Antiinflamasi Nonsteroid Yang Terbaru

Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan dalam 7 kelompok besar: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Derivat asam propionate Derivat indol Fenamat Asam pirolalkanoat Derivat pirazolon Aksikam Asam salisilat Aktivitas antiinflamasi dari obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) tersebut mempunyai mekanisme yang sama dengan aspirin, terutama karena kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Proses inflamasinya dikurangi dengan penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil, dan sel mast. Obat- obat AINS juga menurunkan sensitivitasnya pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamine, mem,pengaruhi produksi limfokin dan limfosit T dan

meniadakan vasodilatasi. Semuanya ialah penghambat sintesis protrombin walau derajatnya berbeda- beda. Mereka semua juga: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Analgesik Antiinflamasi Antipiretik Menghambat agregasi platelel Menyebabkan iritasi lambung Bersifat nefrotoksik

2.1 MEKANISME KERJA Telah disebutkan bahwa efek terapi naupun efek samping obat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis PG. penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. selain itu obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek anlgesik, anti-piretik dan anti-inflamasinya belum jelas. selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi. golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. setiap obat menghambat siklo-oksigenase dengan cara yang berbeda. khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kladar peroksid seperti di hipotalamus. lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada. aaspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini. sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklo-oksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit, yaitu 8- 11 hari. INFLAMASI. fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, dolor, tumor dan functio laesa. selam berlangsunya fenomen inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin. 5hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator- mediator kimiawi tersebut kecuali PG.

Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal. histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrien tentu akan lebih poten menekan proses inflamasi. RASA NYERI. PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. penelitian telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. jadi PG menimbulkan keadaan hiperalgesia. kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG. ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini, dan bukannya blokade langsung. DEMAM. suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu btubuh berada dihipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik di awali pelepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu pelepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik.

OBAT AINS

ASAM KARBOKSILAT

ASAM ENOLAT

Derivat

Derivat

Derivat

Pirazolon

Oksikam Fenamat

Propionat

. Aspirin . Benorilat . Diflunisal . Salsalat . Ibuprofen . Ketoprofen

. As. Tiaprofenat

. As. Mefenamat

. Azapropazon . Fenilbutazon . Oksifenbutazon

. Piroksikam . Tenoksikam

. Fenbuzen . Meklofenamat .Fenoprofen .Flurbiprofen

. Naproksen

Derivat Asam Fenilasetat

Derivat Asam AsetatInden/indol:

. Diklofenak . Fenklofenak

. Indometasin . Sulindak . Tolmetin

Gambar. Obat Analgesik anti inflamasi non steroid (obat AINS)

2.2 EFEK FARMAKODINAMIK Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi. Ada perbedaan aktivitas diantara obat- obat tersebut, misalnya: parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti- inflamasinya lemah sekali. EFEK ANALGESIK. Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang nerugikan. Obat mirip- aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi olek obat mirip aspirin. EFEK ANTIPIRETIK. Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro.tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik. EFEK ANTI-INFLAMASI. Kebanyakan obat dapat mirip aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan sebagai anti-inflamasi pada pengobatan kelainan muskuluskeletal, seperti artritis reumatoid. Osteoatritis dan spondilitis ankilosa.

2.3 EFEK SAMPING Selain menimbulkan efek terapi yang sama obat mirip aspirin juga memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem bisintesis PG. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang- kadand disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing- masing obat. Dua mekanismenya terjadi iritasi lambung ialah: 1. Iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan

2. Iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parental.

3. PEMBAHASAN OBAT 3.1 SALISILAT, SALISILAMID & DIFLUNISAL SALISILAT Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis. KIMIA. Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dari asam organic dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. FARMAKODINAMIK. Salisilat merupakan obat yang paling bayak digunakan sebagai anlgesik, antipiretik anti- inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dengan laju ini metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat. Efek terhadap pernafasan. Efek salisilat pada pernapasan sangat penting dimengerti, karena gejala pada pernapasan tercermin seriusnya gangguan keseimbangan asam basa dalam darah. Pada dosis terapi salisilat mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi CO2. Peninggian Pco2 akan merangsang pernapasan sehingga pengeluaran Co2 melalui alveoli bertambah dan Pco2 dalam plasma turun. Efek terhadap keseimbangan asam basa. Dalam dosis terapi yang tinggi, salisilat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2 terutama di otot skelet karena perangsangan fosforilasi oksidatif. Efek urikosurik. efek ini sangat ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis kecil (1 g atau 2 g sehari) menghambat ekskresi asam urat, sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. efek urikosurik ini bertambah bila urin bersifat basa. Dengan memberikan NaHCO3 kelarutan asam urat dalam urin meningkat sehingga tidak terbentuk Kristal asam urat dalam tubuli ginjal. Efek terhadap darah. Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini bukan karena hipoprotrombinaemia, tetapi karena asetilasi siklo- oksigenase trombosit sehingga pembentukan TXA22 terhambat. Pada pemakaian obat antikoagulan jangka lama sebaiknya berhati hati memberikan aspirin, karena bahaya perdarahan mukosa lambung.

Efek terhadap hati dan ginjal. Salisilat bersifat hepatotoksikdan ini berkaitan dengan dosis, bukan akibat reaksi imun. Gejala yang sering terlihat hanya kenaikan SGOT dan SGPT, beberapa penderita dilaporkan menunjukkan hepatomegali, anoreksia, mual dan ikterus. Salisilat dapat menurunkan fungsi ginjal pada penderita dengan hipovolemia atau gagal jantung. Efek terhadap saluran cerna. Efek iritasi saluran cerna telah dibicarakan di atas. Perdarahan lambung yang berat dapat terjadi pada dosis besar dan pemberian kronik.

FARMAKOKINETIK. Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar usus halus di bagian atas. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, terutama bila dipakai sebagai obat gosok atau salep. Setelah diabsorpsi salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan spinal, cairan peritoneal, dsb. salisilat di ekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu.

SEDIAAN. Aspirin (asam asetil salisilat) dan natrium salisilat merupakan sediaan yang paling banyak digunakan. Asam salisilat berbentuk bubuk digunakan sebagai keratolitik dengan dosis tergantung dari penyakit yang akan diobati.

INDIKASI. Antipiresis. Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15- 20 mg/kgBB, diberikan tiap 4- 6 jam dengan dosis total tidak melebihi3,6 g per hari. Demam reumatik akut. Dalam waktu 24- 48 jam setelah pemberian obat yang cukup terjadi pengurangan nyeri, kekakuan, pembengkakan, rasa panas dan merahnya jaringan setempat. Arthritis rheumatoid. Sebagian penderita arritis rheumatoid dapat dikontrol dengan salisilat saja. Bila hasilnya tidak memadai, dapat digunakan obat lain. Selain menghilangkan rasa nyeri, salisilat jelas menghambat inflamasinya. Dosisnya ialah 4-6 g/hari tetapi dosis 3 g sehari kadang- kadang cukup memuaskan. Penggunaan lain. Aspirin digunaka untuk mencegah thrombus koroner dan thrombus vena dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit,

INTOKSIKASI. Salisilat sering digunakan untuk mengobati segala keluhan ringan dan tidak berarti sehingga banyak terjadi penyalahgunaan. Keracunan salisilat yang berat dapay

menyebabkan kematian. Pada intoksitasi yang lebih berat gejala SSP menjadi lebih jelas disertai timbulnya kegelisahan, iritatif, inkorehensi, rasa cemas, vertigo, tremor, diplopia, delirium.juga terjadi erupsim kulit dan gangguan keseimbangan asam-basa. Terapi intoksikasi mencakup bilas lambung dan koreksi gangguan cairan dan elektrolit. Bilas lambung dilakukan dengan mengeluarkan semua obat yang ditelan. Pada intoksikasi metal salisilat tindakan ini dilakukan sampai tidak tercium bau minyak wintergreen dalam cairan bilasan. Untuk mengatasi demam, kulit diusap denagn alcohol.

SALISILAMID Adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgetik dan antipiretik mirirp asetosal, walaupun dalam badan salisilamid tidak diubah menjadi salisilat. Efek analgesic antipiretik salisilamid lebih lemah dari salisilat, karena salisilat dalam mukosa usus mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga hanya sebagian salisilamid yang diberikan masuk sirkulasi sebagai zat aktif. Obat ini mudah diabsorpsi usus dan cepat didistribusi ke jaringan. Obat ini menghambat glukuronidasimobat analgesic lain di hati misalnya Na salisilat dan asetaminofen, sehingga pemberian bersama dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat tersebut.

DIFLUNISAL. Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat, tetapi invivo tidak diubah menjadi asam salisilat. Bersifat analgesik anti-inflamasi tetapi hampir bersifat antipiretik. Indikasi diflunisal hanya sebagai analgesik ringan sampai sedang dengan dosis awal 500 mg disusul 250-500 mg tiap 8-12 jam. Efek sampingnya lebih ringan daripada asetosal dan tidak menyebabkan gangguan pendengaran.

3.2 PARA AMINOFENOL Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.

FARMAKODINAMIK. Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.

Efek anti- inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung. INDIKASI. Di indonesia penggunaan parasetamol sebagai anlgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolon. Penggunaannya untuk meredakan demam tidak seluas penggunaannya sebagai analgesik. SEDIAAN DAN POSOLOGI. Paraseamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5 ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg 1 g per kali, dengan maksimum 4 g per hari; untuk anak 6- 12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 gram per hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60-120 mg/ kali dan ayi dibawah 1 tahun: 60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. EFEK SAMPING. Manifestasinya berupa eritem atau utikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira- kira 1-3% Hb diubah menjadi met- Hb. Toksisitas akut. Akibat dosis toksik yang paling serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Anoreksi, mual dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selamaseminggu atau lebih. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan enselofati, koma dan kematian.

Trauma/luka pada sel Gangguan pada membran sel

Fosfolipid Enzim fosfolipase

Enzim fosfolipase

Enzim fosfolipase

Dihambat kortikosteroid enzim siklooksige nase

Enzim lipoksigenase Asam arakidonat

Dihambat obat AINS

Hidroperoksid Endoperoksid PGG2/PGH

PGE2, Prostasiklin Tromboksan A2 Leukotrien

PGF2,

PGD

Gambar. Biosintesis prostaglandin

3.2 PIRAZOLON ANTIPIRIN, AMINOPIRIN DAN DIPIRON

Antipirin

(fenazon)adalah

5-okso-1-

fenil-2,3-dimetilpirazolidin.

Aminopirin

(aminodopirin) adalah derivat 4- dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara suntikan. INDIKASI. Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai analgesik antipiretik karena efek anti inflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak digunakan lagi karena lebih toksik daripada dipiron. Karena keamanan obat ini diragukan, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik antipiretik suntikan atau bila pasien tidak tahan analgesik-antipiretik yang lebih aman. Dosis untuk dipiron ialah tiga kali 0,3-1 gram sehari. Dipiron tersedia dalam bemntuk tablet 500 mgdan larutan obat suntik yang mengandung 500 mg/ml. Efek samping dan intoksikasi. Semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia, efek samping ini banyak terjadi damn bersifat fatal, sehingga pemakaiannya sangat dibatasi atau dilarang sama sekali. Pada pemakaian dipiron jangka panjang, harus diperhatikan kemungkinan diskrasia darah ini, dapat

menimbulkanhemolisis, udem, tremor, mual dan muntah, perdarahan lambung dan anuria. FENILBUTAZON DAN OKSIFENBUTAZON Fenilbutazon adalah 3,5- diokso- 1,2- difenil-4- butilpirazolidin dan oksifenilbutazon adalah derivat oksifenilnya. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati artritis reumatoid dan sejenisnya sejak tahun 1949. FARMAKODINAMIK. Efek anti-inflamasi fenilbutazon untuk penyakit atritis reumatoid dan sejenisnya sama kuat dengan salisilat, tetapi efek toksiknya berbeda. Efek analgesik terhadap nyeri yang sebabnya nonreumatik lebih lemah dari salisilat. Fenilbutazon memperlihatkan retensi natrium klorida yang nyata, disertai dengan pengurangan diuresis dan dapat menimbulkan udem. Fenilbutazon memperlihatkan efek urikosurik ringan dengan menghambat reabsorpsi asam urat melalui tubuli. FARMAKOKINETIK. Fenilbutazon diabsorpsi dengan cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadar tertinggi dicapai dalam waktu 2 jam. Fenilbutazon dan oksifenbutazon diekskresi melalui ginjal secar lambat, karena ikatannya dengan protein plasma membatasi filtrasi glomerulus. Interaksi obat. Karena afinitasnya terhadap protein plasma lebih kuat daripada obat lain, maka fenilbutazon dan oksifenbutazon dapat menggeser obat lain dari ikatannya dengan protein. Pemakaian fenilbutazon dan oksifenbutazon bersama dengananti koagulan oral dan hipoglikemik oral haruslah diawasi secara ketat

Sediaan. Fenilbutazon tersedia sebagai tablet bersalut gula 100 mg dan 200 mg. Juga ada dalam bentuk suntikan . oksifenbutazon tersedia dalam bentuk tablet 100 mg. Indikasi. Dalam klinik fenilbutazon dan oksifentazon digunakan untuk mengobati penyakit pirai (gout) akut, arthritis rheumatoid dan gangguan sendi otot lainnya misalnya spondilitis ankilosa, osteoatritis. Karena toksisitasnya, fenilbutazon haya digunakan bila obat lain yang lebih aman tidak efektif lagi. Efek non terapi. Alergi terhadap fenilbutazon dan oksifentazon sering terjadi berupa reaksi kulit seperti urtikaria, udem angioneurotik, eritema nodosum, sindrom Stevens-Johnson, dermatitis eksfoliativa dan lain-lain. Kedua obat ini mengiritasi lambung cukup kuat sehingga sering menimbulkan keluhan pada epigastrium, bahkan dapat menyebabkan korosi lambung, tukak lambung akut atau kronik dan perdarahan lambung. Efek samping lain seperti vertigo, insomnia, euphoria, hematuria, dan penglihatan kabur pernah dilaporkan. Kontraindikasi. Fenilbutazon dan oksifentazon dikontraindikasikan pada penderita dengan hipertensi, penyakit jantung, penyakkit ginjal, dan gangguan fungsi hati sehubungan dengan sifatnya yang menyebabkan retensiair dan natrium.

3.4 ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NONSTEROID LAINNYA Beberapa AINS dibawak ini umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesic, antipiretik. Efek antipiretiknya baru terlihat pada dosis yang lebih besar daripada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksik daripada antipiretik klasik, maka obat-obat ini hanya diguunakan untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti arthritis rheumatoid, osteoatritis, spondilitis ankilosa dan penyakit pirai. 1) IBUPROFEN Ibuprofen merupakan derivat dari asam fenilpropionat. Pada dosis 2400 mg, efek antiinflamasinya setara dengan 4 gram aspirin. Pada dosis lebih rendah, hanya efek analgesiknya yang jelas, sedang efek anti-inflamasinya sedikit. Waktu paroh 2 jam, metabolism di hati, 10% diekskresi tanpa diubah. Kontraindikasi: polip hidung, angioudem, reaksi bronkospatik pada aspirin. Efek samping meliputi juga: bercak merah, pruritus, tinnitus, dizziness, nyeri kepala, cemas, meningitis aseptic dan retensi cairan. Efek hematologik yang serius: agranulositosis, anemia aplastik. Pada ren: kegagalan ginjal akut, nefritis interstisial dan sindrom nefrotik. 2) NAPROKSEN DAN FENOPROFEN Naproksen ialah asam naftilpropionat, terikt pada protein plasma, waktu parohnya 13 jam. Antasida menunda absorpsinya. Diekskresikan lewat urin dalam bentuk metabolit tidak aktif

glukoronid. Seperti halnya ibuprofen, naproksen berkompetisi dengan aspirin pada tempat ikatannya dengan protein plasma. Ia juga memperpanjang waktu protombin. Dosis rata- rata untuk arthritis (inflamasi) ialah 375 mg 2 kali sehari. Fenoporofen juga merupakan derivate asam propionate. Waktu paronya 2 jam. Dosis untuk arthritis (inflamasi) ialah 600=800 mg. 4 kali sehari. Efek samping dan interaksi obat naproksen dan fenoprofen menyeruoai ibuprofen, yakni: nefrotoksik, interik, nausea, dispepsi, udema perifer, rash pruritas, efek system saraf bpusat dan kardovaskuler. 3) INDOMETASIN Indometasin merupakan derivat indol. Walaupun lebih toksik dari aspirin, tapi efektivitasnya juga lebih tinggi. Ia juga penghambat sintesis prostaglandin. Metabolisme di hati. Waktu paro serum: 2 jam. Indometasin pada prinsipnya tidak dipakai untuk anak- anak. Indikasi: arthritis (gout) akut, ankylosing spondilitis, osteoarthritis, kondisi, inflamasi ekstra artikuler (perikarditis, pleuritis). Efek buruk dari indometasin ialah: nyeri abdominal, diare, hemoragi gastrointestinal, pancreastitis, nyeri kepala hebat dan kadand disertai dengan dizziness, konfusi, depresi. Kadang: psikosis dengan halusional. Pada gambaran darah dapat: trombositopeni, anemia aplastik. Kontraindikasi: hamil, hati- hati pada penderita psikiatrik dan penyakit peotik. 4) SULINDAK Suatu obat sulfoksid, yang baru aktif setelah diubah oleh enzim hati menjadi sulfide, durasi aksi 16 jam. Indikasi dan reaksi buruknya menyerupai obat AINS yang lain. Dapat juga terjadi Sindrom Stevens-Johnson, trombositopenia, agranulositosis dan sindrom nefrotik. Dosis rata- rata untuk arthritis inflamasi ialah: 200 mg/ hari, 2 kali sehari. 5) MEKLOFENAMAT Derivat fenamat, mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 30-60 menit, waktu paro 2 jam. Ekskresi lewat urin sebagian besar dalam bentuk konjugasi glukuronid. Efek sampingnya menyerupai obat AINS lain, nampaknya tidak mempunyai keistimewaan disbanding yang lain. Kontraindikasi: 200-400 mg/ hari, terbagi dalam 4 dosis. 6) ASAM MEFENAMAT Juga derivate fenamat. Mempunyai efek analgesic, tapi sebagaianti-inflamasi kurang kuat disbanding aspirin serta lebih toksik. Obat ini tidak boleh diberikan berturut- turut lebih dari 1 minggu dan tidak diindikasikan untuk anak- anak. Dosis awal 500 mg (dewasa), selanjutnya 250 mg.

7)

TOLMETIN Suatu derivate dari asam pirolalkanoat, menyerupai aspirin dalam efektivitasnya terhadap arthritis rematoid dan osteoatritis pada penderita dewasa dan remaja. Waktu paronya pendek: 1 jam. Rata- rata dosis dewasanya ialah: 400 mg, 4 kali sehari.

8)

FENILBUTAZON Merupakan derivate pirazolon, mempunyai efek anti-infalamsi yang kuat. Akan tetapi diketemukan berbagai pengaruh buruknya seperti: agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik, sindroma nefrotik, neuritis optic, tuli, reaksi alergik serius, dermatitis eksfoliatif serta nekrosis hepar dan tubuler ren. Indikasi utama fenilbutazon ialah terapi singkat pada nyeri arthritis gout akut dan tromboflebitis superficial.

9)

PIROKSIKAM Waktu paronya 45 jam, oleh karena itu pemakaiannya cukup sekali sehari. Obat ini cepat diabsorpsi dari lambung dan dalam 1 jam konsentrasi dalam plasma mencapai 80 % dari kadar puncaknya. Ekskresinya sebagian besar dalam bentuk konjugasi glukoronid, dan sebagian kecil tanpa diubah. Keluhan gastrointestinal dialami oleh sekitar 20% penderita, efek buruk lainnya ialak dizznes, tinnitus, nyerimkepal dan ruam kulit (skin rash). Dosis harian: 20 mg

10)

DIFLUNISAL Derivate difluorofenil asam salisilat. Waktu paronya dalam plasma ialah 8-12 jam dan mencapai steady state setelah beberapa hari. Seperti halnya aspirin ia mempunyai efek analgesic dan anti-inflamasi akan tetapi efek antipiretiknya kecil. Sulit diketahui bagaimana seseorang lebih responsif pada satu obat dengan yang lain, mungkin karena kemampuan metabolismenya berbeda atau efek placebo atau yang lain.

11)

MELOKSIKAM (MELOXICAM) Merupakan generasi baru NSAID. Nama kimianya ialah 4- hydroxyl- 2-methyl-N-(5- methyl2-thiazollyl)-2H-1,2- benzothiazine-3- carboxamide; suatu penghambat siklooksigenase-2 selektif (COX -2). Studi meta- analisis yang dilakukan oleh Lubis (1999) menunjukkan bahwa meloxicam 15 mg mempunyai kecenderungan lebih efikasius disbanding dengan NSAID standar lainnya. Penghambat siklooksigenase dan berikutnya penghambatan produksi prostaglandin merupakan efek terapi dan sekaligus efek toksik pemberian NSAID. Obat yang dikenal dengan mempunyai selektivitas penghambatan COX- 2 yang tinggi antara lain ialah selekoksib (celecoxib). Obat tersebut efektif dan aman untuk saluran gastrointestinal.

12)

DIKLOFENAK

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal (first-pass) sebesar 40-50 %. Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritama kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat AINS, pemakaian obat ini harus berhati- hati pada penderita tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dua atau 3 dosis. 13) FENBUFEN Berbeda dengan obat AINS lainnya, fenbuzen merupak suatu pro-dug. Jadi fenbuzen sendiri bersifat inaktif dan metabolit aktifnya adalah asam 4-bifenil-asetat. Efek samping obat ini sama seperti obat AINS lain. Pemakaian pada penderita tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan ginjal, dosis harus dikurangi. Dosis untuk indikasi penyakit rheumatoid sendi adalah dua kali 300 mg sehari dan dosis penunjang satu kali sehari 600 mg sebelum tidur. 14) KETOPROFEN Derivate asam propionate ini memiliki efektivitas seperti ibuprofen dengan sifat antiinflamasi sedang. Absorpsi berlangsung baik dari lambung dan waktu parih plasma sekitar 2 jam. Efek samping sama dengan AINS lain terutama menyebabkan gangguan saluran cerna, dan reaksi hipersensitivitas. Dosis 2 kali 100 mg sehari, tetapi sebaiknya ditentukan secara individual. 15) NAPROKSEN Merupakan salah satu derivate asam propionate yang efektif dan insiden efek samping obat ini lebih rendah dibandingkan derivate asam propionate lain. Tidak terdapat korelasi antara efektivitas dan kadar plasma. Ikatan obat ini dengan protein plasma 98-99 %. Efek samping yang dapat timbul ialah dyspepsia ringan sampai perdarahan lambung. Efek samping terhadap SSP berupa salit kepala, pusing, rasa lelah dan ototoksisitas. Dosis untuk terapi penyakit reumatik sendi adalah 2 kali 250-375 mg sehari. Bila perlu dapat diberikan 2 kali 500 mg sehari. 16) ASAM TIAPROFENAT Asam tiaprofenat memperlihatkan sifat sama seperti derivate asam propionate lainnya. Waktu paruh dalam plasma kira-kira 2 jam dan eksresi terutama melalui ginjal sebagai konjugat asilglukuronida. Efek samping sama seperti obat AINS lainnya. Dosis 3 kali 200 mg sehari.

17)

NABUMETON Salah satu obat AINS terbaru merupakan pro-dug. Obat ini diserap cepat dari saluran cerna dan di hati akan dikonversi ke satu atau lebih zat aktifnya.metabolit ini menghambat kuat dari

enzim siklo-oksigenase. Zat aktif tersebut diinaktivasi di hati secara o-demetilasi dan kemudian dikonjugasi untuk di ekskresi. Efek samping yang timbu selama pengobatan relatif lebih sedikit, terutama efek samping terhadap saluran cerna. Farmakokinetik. Dengan dosis 1 gram/hari didapatkan waktu paruh (T ) sekitar 24 jam (22,5 +/- 3,7 jam). Pada kelompok usia lanjut, T ini bertambah panjang dengan 3-7 jam

REFERENSI 1. Anief . Moh, Prof. Dr. 1995. Prinsip umum dan Dasar Farmakologi, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta 2. Day, R., Quinn, D, Williams, K., Handel, M. & Brooks, P. 2000. Cognnective tissue and bone disorders. In; SG. Carruthers, BB. Hoffman, KL. Melmon, & DW. Nierenberg (eds), Clinical pharmacology. 4 th ed. Pp:645-702 McGraw-Hill, New York. 3. Huang JQ, S Sridhar, Hunt RH. Peran Helicobacter pylori infeksi dan obat-steroid anti peradangan non penyakit ulkus peptikum:. Metaanalisis sebuah Lancet. 2002;359:1422. 2002; 359:14-22 4. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal. 327-328, 351. 5. Goodman & Gilmans. 2001. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th ed. 6. http://www. analgesic-antipyretic.html 7. http://www.medscape.com/viewarticle/537837 8. Ansel, Howard C. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta : UI Press. Hal. 120-130. 9. Katzumg, B.G. (1989). Farmakologi Dasar dan. Edisi kedua. Jakarta : Hipokrates. Hal. 25. 10. Mycek, M.J., R. A. Harvey dan P. C. Champe. (1997). Farmakologi Ulasan Bergambar.

Edisi Kedua. Jakarta : Widya Medika. Hal. 135 dan 404-406 Kirimkan Ini lewat Email

You might also like