You are on page 1of 14

HUKUM ADAT DI WILAYAH PESISIR BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG

Hukum dibuat dan diberlakukan dalam suatu negara merupakan sebagai alat untuk mencapai suatu ketertiban, juga sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan umum. Pemahaman ini juga hidup dalam masyarakat dan disukai oleh para politisi yang memegang kekuasaan. Hukum dipandang sebagai kekuasaan pemerintahan dalam mengatur interaksi tingkah laku antara Negara, melalui seperangkat lembaga negara dan lembaga-lembaga komunitas politik, dan dijalankan melalui sistem dan cara yang dibentuk, ditetapkan dan dijalankan secara tekhnis oleh pemerintah maupun lembaga peradilan. Pelaksanaan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki sangat sedikit diminati oleh pemegang kekuasaan, namun sangat dikehendaki oleh warga dari suatu negara. Untuk menjadikan hukum sebagai perangkat yang berfungsi untuk tercapainya kesejahteraan dan keadilan bukan hal yang baru. Ajaran fungsional ini sudah lama diajarkan oleh Roscoe Pound bahwa :... besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum modern adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional [Alvin S.Johnson,Rinaldi Simamora 2004]. Banyak masalah timbul khususnya negara berkembang dengan masuknya ekonomi pasar ke daerah pedesaan. Hal ini berlangsung dengan dukungan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Pemerintah sebagai alat negara yang mengatur interaksi tingkah laku antara negara melalui seperangkat lembaga negara dan lembaga komunitas politik dengan masyarakat pemilik modal dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sistem yang dibentuk, ditetapkan dan dijalankan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam secara teknologi dengan memberi keuntungan sebanyak-banyaknya pada negara . Hal ini mendorong negara untuk mengedepankan model-model pengelolaan negara secara homogen. Model pengelolaan secara homogen serta mengkonsentrasikan keputusan ditangan pemerintah pusat, mengakibatkan kehidupan masyarakat semakin marjinal dan ancaman lingkungan berupa degradasi sumber daya alam. Beberapa negara lain posisi negara yang mengakomodasikan peran masyarakat, mendorong munculnya tuntutan otonomi pemerintahan yaitu otonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam wilayah dan hukum adat masyarakat setempat untuk meningkatan kepentingan mereka dalam pencapaian tingkat kesejahteraan yang signifikan. Hukum adat masyarakat setempat turut diberlakukan dengan bijak oleh pemerintah untuk menghindari konflik-konflik antara hukum negara dan hukum adat dalam mencapai kepentingan negara dan masyarakat adat .

Pemerintah dapat memberlakukan pengelolaan sumberdaya alam secara homogen baik di tingkat provinsi, kabupaten/ kota dan desa. Persoalan akan timbul di tingkat desa atau kecamatan jika keadaan kecamatan dalam lingkungan heterogen. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam akan memberi konsekuensi keberlanjutan terhadap keamanan sosial, pengurangan kemiskinan, isu-isu gender dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat di tingkat desa atau satu kecamatan. Untuk melindungi sumberdaya alam dan meningkatkan taraf hidup masyarakat desa terutama daerah yang penting untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan ekonomi pasar. Wilayah laut dengan sumberdaya alamnya memiliki arti penting bagi pembangunan bangsa Indonesia karena penduduk dan daerahnya sebagaian besar terletak di kawasan pesisir. Wilayah pesisir Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km[Dahuri et al.2001]. Garis pantai yang luas ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Sebagian besar masyarakat kita menggantungkan hidupnya sebagai nelayan maka harus dikelola dengan bijaksana agar terlindungi dari aktivitas kehidupan manusia yang mengancam kelestariannya. Banyaknya masalah yang timbul didalam masyarakat pesisir seperti pengrusakan ekosistem laut dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat pesisir tentang sumberdaya hayati dan biota laut yang menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam sektor perikanan. Sebagian besar daerah pesisir di Indonesia sudah mengalami kerusakan karena tidak dikelola dengan baik , teratur serta tidak memperhatikan lingkungan. Nelayan terus bertambah secara pesat tanpa diimbangi alat tangkap yang memadai. Nelayan Indonesia tergolong tradisional karena hanya menggunakan peralatan tangkap yang sederhana dan ukuran kapal yang kecil sehingga hasil tangkapan tidak begitu banyak Hal ini mengakibatkan eksploitasi berlebihan untuk wilayah tertentu terutama daerah pesisir. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan banyak terjadi persaingan antara nelayan tradisional dengan nelayan kapal besar karena perbedaan hasil tangkapan ikan. Hal ini terjadi karena pelanggaran wilayah operasi penangkapan yang sering dilanggar oleh kapal-kapal besar. Persaingan ini memicu nelayan tradisional menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti bom dan potasium sianida. Akibatnya kerusakan wilayah pesisir semakin memprihatinkan, karena dieksploitasi secara berlebihan, dan juga dirusak oleh bahan-bahan tersebut. Cara yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan laut terutama daerah pesisir adalah dengan melibatkan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan lokal. Pengelolaan sumberdaya alam ini meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu, mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaaan daerah pesisir

akan meningkatkan pengawasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dari tindakan eksploitasi daerah pesisir. Pengelolaan yang berbasis masyarakat merupakan suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem ini masyarakat diberi kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya alam yang di milikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya. Keikutsertaan masyarakat berarti memberikan peranan kepada masyarakat dalam mengelola laut. Peranan ini adalah aturan-aturan yang dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri . Sehingga kadangkala hukum-hukum formal perikanan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan pikiran masyarakat sehingga tidak dipahami. Akibatnya terjadi kesalahpahaman dan hukum-hukum itu tidak bisa dijalankan dengan baik. Perbedaan ini dapat diatasi dengan menyelaraskan hukum-hukum formal dengan hukum-hukum non formal yang sudah ada dalam masyarakat pesisir . Dalam kondisi ini maka kita harus mencoba identifikasi dan inventarisasi tradisi lokal dan hukum adat yang sudah diberlakukan secara turun-temurun sampai saat ini. Selain masyarakat adat, dijumpai juga kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari bagian lain wilayah Indonesia. Mereka hidup disekitar mayarakat dan hukum adat setempat disamping adanya hukum-hukum kebiasaan yang berlaku dikalangan mereka sendiri. Bila memungkinkan, tradisi lokal dan hukum adat tersebut kita serasikan dengan hukum positif, apakah masih layak dan cukup efektif sebagai alat pengendali dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam situasi ini kita berharap dengan disosialisasikannya tradisi lokal dan hukum adat tersebut kepada stakeholder bidang kelautan dan perikanan manfaat penyelenggaraan program kelautan dan perikanan akan semakin dirasakan oleh berbagai pihak. Sebagai contoh kita lihat dengan dibuatnya awig-awig oleh masyarakat di Nusa Tenggara Barat ternyata mampu mengantisipasi kerusakan lingkungan, yakni dengan memberlakukan pengaman wilayah pesisir dan laut secara tegas dan adil tanpa terkecuali bagi nelayan perusak lingkungan maupun oleh oknum yang mendukung kegiatan pengrusakan ini. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah maka setiap daerah mempunyai kewenangan mengelola dan mengembangkan kegiatan di daerahnya sesuai dengan kemampuan dan prakarsa masing-masing daerah berdasarkan potensi yang ada. Dalam pelaksanaanya akan muncul berbagai konflik yang pada akhirnya merugikan sumberdaya laut dan perikanan, sehingga perlu penyadaran kepada segenap pelaku. Substansi desentralisasi adalah sebuah proses sistematis yang memberi pesan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek pembangunan , maka

desentralisasi juga mengandung makna masyarakat sebagai pelaku penting dan sekaligus sebagai penerima manfaat dari berbagai pembangunan. Dengan memberikan wewenang kepada masyarakat untuk menggunakan hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, dapat menjadi alternatif pengelolaan berbasis yuridis formal. Pada beberapa daerah pesisir hukum adat dan hak-haknya pada tahap tertentu masih diakui secara umum dalam perangkat kebijakan nasional, sebagai contoh: Propinsi Sulawesi Selatan (Ponggawa Sawi), Propinsi Maluku (Tradisi Sasi), Propinsi Sumatera Selatan (Lebak Lebung), Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Panglima Laot), Propinsi Nusa Tenggara Barat (Awig-Awig) dan Propinsi Papua (Ondoafi). Kebijakan-kebijakan tersebut menekankan keseragaman institusi diseluruh daerah yang diterapkan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini ternyata berdampak tradisi lokal, masyarakat adat serta praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam. Desentralisai dengan jelas menyuarakan kesempatan besar pada masyarakat dan lembaga adat sehingga diharapkan bahwa persatuan nasional dapat diperkuat dengan meningkatkan kapasitas berbagai komponen masyarakat adat dalam mengelola ekonomi masyarakat. Dalam hal ini masih diperlukan langkah-langkah untuk merumuskan suatu kebijakan nasional dan menciptakan beberapa cara bagi koordinasi pemerintah dalam berbagai tingkat. Kegiatan ini bertujuan untuk memperdayakan masyarakat adat untuk merancang program-program serta menyumbang pada penawaran kebijakan kebijakan negara melalui revitalisasi hukum adat/tradisi lokal yang akhirnya akan mempengaruhi pendekatan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dalam memahami peran institusi adat serta memperkuatnya. Bila di negaranegara lain dicapai kesepakatan antara masyarakat adat untuk memberlakukan proses pencapain kepentingan bersama yang menggunakan hukum negara, dan pada saat yang bersamaan menggunakan hukum adat masyarakat setempat, yang hasilnya menghilangkan konflik kepentingan di antara para pihak.Apakah hal ini dapat kita terapkan di Indonesia ? 1.2 TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk : a. Tercapainya keserasian tradisi lokal dan hukum adat dalam bidang pengeloaan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan hukum-hukum positif; b. Adanya pemahaman terhadap hukum adat yang banyak berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam; c. Penerapan dan menghidupkan kembali tradisi lokal dan hukum-hukum adat yang sudah memudar; d. Penguatan lembaga-lembaga adat setempat dalam rangka untuk penerapan dan menghidupkan kembali tradisi lokal dan hukum adat;

e. Penegasan peranserta masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian dalam pembanguan sektor kelautan dan perikanan; f. Meningkatkan kekuatan dan kelemahan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan berkaitan dengan penguranagan kemiskinan. 1.3 SASARAN a. Terkumpulnya data dan informasi tentang hukum adat/tradisi lokal yang hidup di masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan; b. Terciptanya kesepakatan untuk menerapkan kembali tradisi lokal(kebiasaankebiasaan masyarakat) dan hukum adat dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi peranserta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan; c. Tercapainya mekanisme yang sinergis dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara terpadu dan berkesinambungan yang tertuang dalam bentuk perda; d. Terevitalisasinya norma hukum adat/tradisi Awig-Awig di NTB. 1.4 RUANG LINGKUP

1.4.1

Lingkup Materi

Lingkup materi kegiatan dari pekerjaan Penyelarasan Hukum Adat/Tradisi Lokal dengan Hukum Formal Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan meliputi : a. Pengumpulan data , baik di Pusat (Jakarta) maupun di Daerah (wilayah studi) yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. b. Melakukan studi literature dan perpustakaan. c. Pengumpulan data dan identifikasi lapangan melalui grup diskusi dan partisipatif. d. Melakukan inventarisasi, klarifikasi, analisa dan kodifikasi bentuk-bentuk hukum dan tradisi lokal dalam bidang pengelolaan kelautan dan perikanan, sehingga terevitalisasinya hukum adat. e. Presentasi Laporan Akhir. f. Sosialisasi di daerah.

1.4.2.

Lingkup lokasi Daerah penerapan sebagai lokasi sampel(contoh) tempat inventarisasi,kodifikasi dan revitalisasi hukum adat dilakukan di propinsi sebagai berikut :

a. b.

Propinsi Sulawesi Selatan Propinsi Maluku

adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan kebiasaaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan hukum, tetapi bisa juga berbeda .Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan individu, dan juga sama-sama sebagai sarana pengendali sosial dalam kehidupan masyarakat. BAB II PENDEKATAN DAN METODOLOGI

2.1 METODE PENDEKATAN Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan didaerah sangat ditentukan oleh karakteristik sosial, ekonomi dan budaya setempat, sehingga model yang harus diterapkan untuk masing-masing daerah memiliki spesifikasi tertentu. Begitupun dengan kegiatan penyerasian Hukum Adat/Tradisi Lokal melalui Sinergi dengan Hukum Formal dalam pengelolaan SDKP ini, sangat memperhatikan aspekaspek diatas, sehingga kegiatan ini menggunakan 2(dua) pendekatan umum, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan partisipatif. 3.1.1 Pendekatan Studi Kasus

Pendekatan Studi Kasus adalah: pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau menginterprestasi suatu kasus dalam konteks secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar(Salim,2000).Kecenderungan utama diantara semua ragam studi kasus adalah bahwa studi ini menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan : mengapa keputusan ini diambil, bagaimana diterapkan dan apakah hasilnya (Yin diacu dalam Salim,2000). Oleh karena itu, dalam studi ini, selain mengiventarisasi jenis/bentuk hukum adat dan tradisi lokal yang ada, juga dilakukan studi identifikasi mengenai akar budaya, setting sosial yang ada, serta kecemburuan perkembangan pola pikir masyarakat dan penerapan hukum adat/tradisi lokal dan implikasinya terhadap sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dari studi kasus ini, diharapkan dapat diperoleh suatu model revitalisasi hukum adat/tradisi okal dalam pengelolaaan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang dapat sebagai acuan/masukan bagi penyususnan peraturan perimbangan formal yang dapat

diberlakukan secara lokal/regional (dalam bentuk Perda). Selanjutnya model revitalisasi tersebut dapat direplikasi di daerah lain, melalui penyesuaian/penyerasian dengan budaya/tradisi lokal setempat.

HUKUM ADAT TRADISIONAL SEBAGAI PRANATA PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR

Untuk melibatkan langsung sistem tradisional dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan diwilayah pesisir merupakan suatu bentuk pelibatan dan pengalokasian kewenangan dan tanggung jawab masyarakat pesisir. Keterlibatan masyarakat pesisir dalam wewenang dan tanggung jawab ini bukan tanpa alasan, hal ini berdasarkan tingginya biaya operasional dan manajemen jika terus berada dibawah pemerintahan pusat. Pemerintah menyadari keterbatasan ini sehingga efektifitas pengelolaan berada ditangan penggunanya sendiri, dalam hal ini masyarakat pesisir.Masyarakat pesisir juga bukan mampu secara totalitas mengelolanya tanpa bantuan dari pemerintah atau instansi terkait lainnya. Masyarakat pedesaan umumnya masih memberlakukan hukum adat ataupun hukum kebiasaan mereka sebagai suatu peraturan yang mengatur perilaku dalam hubungan dengan orang lain, baik terhadap pribadi, keluarga, kelompok, lingkungan alam dan dunia luar lingkungan mereka sendiri . Kehidupan mereka bersama dengan hukum adat ataupun hukum kebiasaan berlangsung tanpa campur tangan dari lembaga negara. Hukum adat tidak saja merupakan realita sosial tetapi juga memiliki ketertiban , kerangka maupun nilai-nilai dasar sendiri. Di dalam hukum adat terdapat keragaman pengetahuan, tradisi dan nilai- nilai masyarakat asli. Kehadiran hukum adat dan hukum kebiasaan di tengah-tengah hukum negara, jika dilihat dari kompleksitas hukum, baik dari hukum negara maupun bukan hukum negara. Pembahasan hukum adat di dalam sistem hukum nasional ditujukan untuk menciptakan pemahaman dan pengertian yang lebih besar terhadap keragaman yang berasal dari hukum negara dan bukan hukum negara seperti hukum adat maupun hukum kebiasaan, yang mengatur tertib hukum di dalam massyarakat. Di Nangroe Aceh Darusalam, hukum agama menjadi dasar utama bagi hukum adat, bahkan terhadap hukum negara. Mempelajari hukum adat atau kebiasaan tidak hanya mempelajari ketentuan normatifnya tetapi juga mempelajari perilaku masyarakat maupun kondisi yang mendorong terjadinya hukum adat atau hukum kebiasaan tertentu. Perubahan kondisi akan mempengaruhi perilaku masyarakat, baik secara individual maupun secara kelompok .Hukum dikalangan mereka juga dapat berubah.

Hukum adat merupakan suatu sistem pengendali sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat pada suatu negara yang tidak diatur secara politis. Ketertiban sosial dalam

masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan .Hukum ditaati bukan karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, tetapi karena sistem timbal-balik dan prinsip publisitas. Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan : a. kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat melalui prinsip timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga; b. hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat; c. sistem pertukaran mas kawin;dan d. hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama. Apabila hukum diberi pengertian sempit, hanya sebagai sistem pengendali sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, pengadilan atau jaksa maka hukum pada masyarakat sederhana yang tidak terorganisasi sebagai tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang luas sebagai proses pengendali sosial yang secara empiris berlangsung dalam masyarakat, maka semua bentuk yang sangat sederhana memiliki hukum dalam bentuk mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial sebagai sarana pengendali sosial. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam hubungan antar individu..Sedangkan kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan hukum , tetapi bisa juga berbeda. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang samasama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan individu, dan juga sama-sama sebagai sarana pengendali sosial dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat pesisir sendiri, sistem tradisional sudah lama dikenali dan digunakan sebagai alat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan daratan walaupun sifatnya lokalitas semata jika tolak ukurnya adalah pemanfaatan dan pengelolaannya. Sistem tradisional yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar (sandang dan pangan) kebanyakan lahir dari persepakatan aturan norma hubungan sosial dan ekonomi yang statusnya belum banyak terlegitimasi akibat minimnya analisis keefektifan sistem tradisional itu sendiri

10

Beberapa sistem tradisional masih banyak yang bertahan dan dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, tetapi ada juga yang sudah hilang akibat lemahnya kedudukan mereka. Kegagalan pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang berpusat pada pemerintah terutama negara berkembang menjadi suatu pelajaran yang berharga untuk mengaktifkan sistem tradisional. Penguatan sistem tradisional akan mempercepat tercapainya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir karena banyak dibentuk dan dijalankan oleh masyarakat pesisir, dan yang terpenting proses pemberdayaan tangggung jawab pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sehingga akan terbentuk suatu tanggung jawab bersama. Sistem tradisional sebagai pranata sosial ekonomi menjadi fokus pada penulisan ini adalah : Propinsi Nusa tenggara Barat (awig-awig), Propinsi Sulawesi Selatan (Ponggawa-Sawi) dan Propinsi Maluku (Tradisi Sasi). Hambatan untuk membahas sistem tradisional adalah tidak mudahnya ditemukan bahan yang telah terdokumentasi dan kebanyakan hanya berdasarkan pada analisis perilaku sistem sosial ekonomi masyarakat, namun diyakini dalam masyarakat tersebut. Sistem ini sendiri sudah menjadi norma hubungan sosial dan ekonomi mereka sendiri-sendiri. Untuk mengetahui keterlibatan langsung sistem tradisional dalam rangka kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dimulai dengan menganalisa dinamika sistem tradisional itu sendiri, efektifitas, termasuk muatan norma hubungan sossial yang memungkinkan untuk menjadikan unsur penyelarasan di dalam UndangUndang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Otonomi Daerah Pengelolaan sumberdaya pesisir.

2.1

SISTEM TRADISIONAL PONGGAWA-SAWI (PROPINSI SULAWESI SELATAN) Sejarah Terbentuknya Ponggawa- Sawi

2.11

Kedudukan seseorang didalam masyarakat adat biasanya tergantung dari tingkat derajat etnis, hal seperti ini juga berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan. Tingkatan ini berlaku juga dalam penguasaan sumberdaya alam di wilayahnya. Kelompok minoritas umumnya mengusahakan sumberdaya yang belum atau menjadi perhatian etnis dominan. Di Sulawesi Selatan, ada tiga kelompok etnis dominan yaitu : Bugis, Makasar dan Mandar, sedangkan etnis minoritas seperti Tana Toraja hanya mengusahakan pemanfaatan wilayah daratan atau pegunungan akibat kondisi geografisnya yang tidak mempunyai laut. Walau demikian tidak semua etnis Bugis mempunyai wilayah laut, seperti Sidenreng Rappang dan Soppeng. Mereka memperoleh kebutuhan hidup sama seperti etnis Tana Toraja.

11

Ikatan kekerabatan antar anggota masyarakat pesisir tidak terlepas dari sejarah revolusi fisik masa lalu dimana pengelompokan orang berdasarkan asal etnis dilakukan untuk mempertahankan wilayahnya yang kemudian merambah kepada hal pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam kondisi demikian tejadi selektivitas orang yang dapat memimpin kelompoknya, termasuk akses perolehan sumberdaya alam di sekitarnya. Pada awalnya yang menjadi pusat perhatian adalah wilayah laut karena mereka beranggapan bahwa laut adalah kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan. Anggapan ini akhirnya menimbulkan sejarah bahwa masyarakat pesisir Sulawesi Selatan adalah masyarakat bahari.(Mattulada, 1995). Dalam sejarah, Ponggawa atau punggawa dapat diartikan sebagai pemimpin bagi suatu etnis tertentu. Kewenangan dari Ponggawa ini bersifat lokal, sehingga para pengikutnya(Sawi) sangat menggantungkan harapannya kepada Ponggawanya. Hubungan ini timbul sedikit banyak tergantung dari perang fisik masa lalu, saat itu kelompok etnis tertentu mencari seseorang yang dapat menjadi pemimpin perlindungan mereka. Perlindungan terus berlanjut dari perlindungan fisik sampai perlindungan sumberdaya sekitarnya sebagai sumber hidup. Akibatnya timbul suatu kepatuhan norma dan hubungan yang mengikat secara sosial demi kelangsungan hidup mereka. Pengikut( dalam bahasa Makassar disebut sebagai minawang, atau dalam bahasa Bugis disebut sebagai ata) dinormakan sebagai kepatuhan untuk memenuhi petunjuk atau perintah yang diberikan oleh Ponggawa. Norma hubungan ini tidak hanya berlaku untuk sawi sendiri dalam bentuk kepatuhan dan loyalitas, tapi bagi ponggawanya sendiri ada ikatan moral bagaimana cara mensejahterakan sawinya. Tingkat kesejahteran ini justru menjadi tolak ukur efektifitas hubungan norma sosial dan seberapa jauh suatu etnis dapat menjamin sumber hidup anggotanya dibandingkan etnis lainnya.

2.1 SISTEM TRADISIONAL AWIG-AWIG (NUSA TENGGARA BARAT)

Pengelolaan yang dikembangkan pada sektor kelautan dan perikanan di Indonesia saat ini berdasarkan pengelolaan partisipatif. Pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif ini telah dicoba di Nusa Tenggara Barat khususnya di Pulau Lombok dengan menggunakan awig-awig. Terlepas dari kontroversi tentang kurangnya efektifitas pengelolaan partisipatif dengan awig-awig, pengembangan awig-awig dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan potensi yang perlu dikembangkan. Tetapi dalam pelaksanaanya, kita perlu melihat dukungan sosial budaya yang ada di kawasan pengelolaan.

12

Awig-awig merupakan budaya yang diperkenalkan oleh masyarakat Bali ke Lombok. Dalam kehidupan berbanjar, masyarakat Bali mempunyai keterikatan dalam berperilaku yang dirumuskan sebagai awig-awig, yaitu hukum adat yang biasanya (awalnya) tidak tertulis, yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota banjar. Pelanggaran terhadap aturan banjar tersebut akan menerima sanksi dari banjar yang biasanya berupa sanksi sosial. Kehidupan berbanjar juga dikenal dalam masyarakat Sasak (Lombok), termasuk didalamnya awig-awig yang mengatur perilaku para anggota banjar. Awigaawig tradisional tersebut juga ada dijumpai di kawasan pesisir yang banyak dihuni oleh kaum pendatang(Bugis). Awig-awig tradisional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan sesuatu yang relatif baru, sekitar dekade 80-an. Walaupun ada awig-awig yang lebih tua dan beranfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, biasanya hal itu terjadi secara tidak langsung, atau bahkan tidak sengaja. Ada waktu tertentu orang sekitar laut dilarang melaut, ini berlaku bagi awig-awig di Tanjung Luar.Hal ini sangat bermanfaat untuk sedikit mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan pantai. Tetapi hal ini diragukan, apakah memang awig-awig dimaksudkan untuk tujuan demikian. Penggunaan awig-awig yang ditujukan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dijumpai di Kecamatan Tanjung, Lombok Barat, dan Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Di kedua lokasi tersebut, awig-awig yang dibuat tidak bisa lagi dikatakan tradisional. Bahkan sebagian merupakan awig-awig pesanan proyek pemerintah.

Negara Indonesia memiliki daerah kepulauan yang banyak.Setiap daerah kepulauan ini mempunyai hukum adat/tradisi lokal berbeda yang diwarisi secara turun temurun dalm konteks pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.Selama ini hukum adat/tradisi lokal tidak mendapat tempat yang wajar didalam sistem hukum formal.Dalam menjaga pelestarian ekosistem laut dari segala aktifitas pengrusakan ternyata hukum adat/tradisi lokal sangat efektif sebagai sarana pengendali.Efektifitas hukum adat/tradisi lokal sebagai pengenadali dalam sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan disebabkan karena adanya peran dan partisipasi langsung dari seluruh komponen masyarakat dalam sistem pengelolaannya.Sehingga dalam hal ini,lahir komitmen dan tanggungjawab beersama terhadap apa yang dipersepsi sebagai suatu milik bersama yang perlu dijaga dan dipelihara pelestariannya.Adapun hukum adat/tradisi lokal yang masih berlaku antaralain:1) hukum adat/tradisi Sasi di propinsi Maluku, 2)hukum adat/tradisi ponggawa Sawi di propinsi Sulawesi Selatan, dan 3) hukum adat/tradisi AwigAwig di kabupaten Lombok Barat,Nusa Tenggara Barat. 1) Hukum adat/tradisi Sasi

13

Hukum adat/tradisi Sasi ada ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara.Secara kolektif,sistem ini dikenal sebagai sasi,sebuah kata berasal dari bahasa Melayu Makasar berarti menyaksikan(Riedel dalam Soselia 1999) atau tanda larangan(Volker dalam Soselisa 1999).Di Pulau-pulau Maluku (Zerner 1994) men-sasi berarti menempatkan larangan pada panen,menangkap,atau mencuri sumberdaya ekonomi atau nilai subsisten milik masyarakat.

14

You might also like