You are on page 1of 29

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KPD (KETUBAN PECAH DINI)

A. DEFINISI Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban disertai keluarnya cairan amnion sebelum proses persalinan dimulai baik pada kehamilan cukup bulan maupun pada persalinan prematur. Ketuban pecah dini merupakan ancaman bagi janin, khususnya jika hal ini terjadi di awal kehamilan. Ketuban pecah dini ( KPD ) adalah pecahnya atau rupturnya selaput amnion sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi. ( Hossam, 1992 ). Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10 % dari semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, kejadian sekitar 4 %. Sebagian dari ketuban pecah dini mempunyai periode laten melebihi satu minggu. Early rupture of membrane adalah ketuban pecah pada fase laten persalinan.

B.

ETIOLOGI Penyebab pasti dari KPD ini belum jelas.Akan tetapi ada beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya KPD ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Trauma : Amniosintesis, pemeriksaan pelvis dan hubungan seksual. 2. Peningkatan tekanan intrauterus, kehamilan kembar, atau polihidromnion. 3. Infeksi vagina, serviks atau korioamnionitis streptokokus, serta bakteri vagina. 4. Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah atau selaput terlalu tipis. 5. Keadaan abnormal dari fetus seperti malpresentasi. 6. Kelainan pada serviks atau alat genetalia seperti ukuran serviks yang pendek ( < 25 cm ). 7. Multipara dan peningkatan usia ibu. 8. Defisiensi nutrisi.

Selain itu penyebab lain dari ketuban pecah dini ialah infeksi genetalia, serviks inkompeten, gemelli, hidramnion, kehamilan preterm, disproporsi sefalopelvik.

C.

PATOFISIOLOGI Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut :

Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi. Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.

D.

MANIFESTASI KLINIS Ibu biasanya datang dengan keluhan utama keluarnya cairan amnion atau ketuban melewati vagina.Selanjutnya jika masa laten panjang, dapat terjadi korioamnionitis. Untuk mengetahui bahwa telah terjadi infeksi ini adalah mula mula dengan terjadinya takikardi pada janin. Takikardi pada ibu muncul kemudian, ketika ibu mulai demam. Jika ibu demam, maka diagnosis korioamnionitis dapat ditegakkan, dan diperkuat dengan terlihat adanya puss dan bau pada secret. Selain itu Janin mudah diraba, Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering.

E.

PENATALAKSANAN Sebagai gambaran umum untuk penatalaksanaan KPD dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pertahankan kehamilan sampai cukup matur, khususnya maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat

Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemicu sepsis, meningitis janin, dan persalinan prematuritas

Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.

Pada kehamilan 24 sampai 32 minggu yang menyebabkan menunggu berat janin cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.

Menghadapi KPD, diperlukan KIM terhadap ibu dan keluarga sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan janinnya.

Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah USG untuk mengukur distansia biparietal dan peerlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan kematangan paru melalui perbandingan L/S

Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan selang waktu 6 jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi his spontan.

Konservatif

a) Rawat rumah sakit dengan tirah baring. b) Tidak ada tanda-tanda infeksi dan gawat janin. c) Umur kehamilan kurang 37 minggu. d) Antibiotik profilaksis dengan amoksisilin 3 x 500 mg selama 5 hari. e) Memberikan tokolitik bila ada kontraksi uterus dan memberikan kortikosteroid untuk mematangkan fungsi paru janin. f) Jangan melakukan periksan dalam vagina kecuali ada tanda-tanda persalinan. g) Melakukan terminasi kehamilan bila ada tanda-tanda infeksi atau gawat janin. h) Bila dalam 3 x 24 jam tidak ada pelepasan air dan tidak ada kontraksi uterus maka lakukan mobilisasi bertahap. Apabila pelepasan air berlangsung terus, lakukan terminasi kehamilan.

Aktif Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis tinggi. Bila ditemukan tanda-tanda inpartu, infeksi dan gawat janin maka lakukan terminasi kehamilan.

Induksi atau akselerasi persalinan. Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan mengalami kegagalan. Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus berat ditemukan.

F.

PENCEGAHAN Hal-hal yang harus diperhatikan saat terjadi pecah ketuban Yang harus segera dilakukan:

Pakai pembalut tipe keluar banyak atau handuk yang bersih. Tenangkan diri Jangan bergerak terlalu banyak pada saat ini. Ambil nafas dan tenangkan diri,.

Yang tidak boleh dilakukan: Tidak boleh berendam dalam bath tub, karena bayi ada resiko terinfeksi kuman. Jangan bergerak mondar-mandir atau berlari ke sana kemari, karena air ketuban akan terus keluar. Berbaringlah dengan pinggang diganjal supaya lebih tinggi.

G. KOMPLIKASI Ibu infeksi maternal : korioamnionitis (demam >380C, takikardi, leukositosis, nyeri uterus, cairan vagina berbau busuk atau bernanah, DJJ meningkat), endometritis

Janin

Penekanan tali pusat (prolapsus) : gawat janin Trauma pada waktu lahir Premature : Periode antara KPD dengan persalinan disebut periode laten. Pada usia hamil dini biasanya periode laten memanjang. Aterm : 90% periode laten 24 jam. 28-34 minggu : 50% inpartu dalam 24 jam, 80-90% inpartu dalam satu minggu.

H.

MANAGEMENT TERAPEUTIK Management terapeutik KPD bergantung pada usia kehamilan serta apakah ada tanda infeksi atau tidak. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan apakah selaput amnion benar benar rupture.Inkontinensia urine dan pengeluaran vagina merupakan tanda tanda untuk perlu mencurigai terjadinya rupture atau pecahnya selaput amnion.

Untuk membuktikannya, dengan cara menggunakan speculum steril, guna melihat kumpulan cairan amnion disekitar serviks atau dapat juga melihat langsung cairan amnion yang keluar melalui vagina. Analisis dengan kertas nitiozine akan menandakan keadaan alkali dari cairan amnion. Sekresi vagina pada wanita hamil memiliki nilai pH antara 7,0 7,2. Jika kertas tidak menunjukkan perubahan warna, berarti hasil tes negative yang mengindikasikan bahwa selaput membrane tidak rupture. Jika hasil tes positif maka akan terjadi perubahan warna kertas. Hal ini mungkin saja menandakan terjadinya keracunan karena urine, darah, dan pemberian antiseptic yang menyebabkan sekresi serviks menjadi alkali, sehingga mempunyai pH yang hampir sama dengan pH cairan amnion. Dapat juga dengan menggunakan tes ferning. Tes ferning digunakan dengan meletakkan sedikit cairan amnion diatas gelas kaca, kemudian tambahkan sodium klorida dan protein. Hasilnya akan berbentuk seperti tanaman pakis. Hasil tes menjadi negative pada kebocoran yang telah terjadi beberapa hari. Bisa juga digunakan dengan tes kombinasi, yaitu pemeriksaan speculum, tes dengan kertas netrazine atau tes ferning, sehingga diagnose menjadi akurat. Pada kehamilan preterm, serviks biasanya tidak baik untuk konduksi . Faktor seperti usia kehamilan, jumlah cairan amnion yang tersisa, kematangan paru paru janin, harus menjadi bahan pertimbangan. Selain itu perlu juga diperhatikan adanya infeksi pada ibu dan janin. Saat usia kehamilan antara 32 35 minggu perlu dilakukan tes kematangan paru janin dari cairan yang ada di vagina. Tes tersebut diantaranya adalah tes tes yang mengukur perbandingan surfaktan dengan albumin. Tes dengan menggunakan phosphatidyl glycerol, atau tes yang menghitung perbandingan lesitin dengan spingomielin. Aminiosintesis dan kultur kuman sering dilakukan jika terdapat tanda infeksi. Tes ini berguna untuk menghindari terjadinya respiratory distress syndrome ( RDS ) pada bayi jika bayi dilahirkan. Liggins dan howie ( 1972 ) menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid ( betametason ) akan mempercepat pematangan paru paru fetus dan akan menurunkan insiden terjadinya RDS. Namun, karena terjadinya peningkatan insidensi kelainan neurologis dan potensi meningkatkan insidensi potensi pada bayi baru lahir yang baru diberi kortikosteriod, maka pemberian kortikosteroid belum dapat disarankan. Bila janin belum viable ( < 36 minggu ) dan ingin mempertahankan kehamilannya, ibu diminta untuk istirahat ditempat tidur ( Baddress ), berikan obat obatan seperti : antibiotic

profilaksis yang dapat mencegah infeksi juga spasmolitik untuk mengundurkan waktu sampai anak viable. Tes kematangan paru paru janin perlu dilakukan secara periodic, observasi adanya infeksi dan mulainya persalinan, kemudian persalinan dapat dilakukan setelah paru janin matang. Bila janin telah viable ( > 36 minggu ) dan serviks sudah matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin 2 6 jam setelah periode laten, dan diberikan antibiotic profilaksis. Jika serviks belum matang, matangkan serviks dengan prostaglandin dan infuse. Pada kasus kasus tertentu bila induksi partus gagal, maka akan dilakukan tindakan operatif. Resiko infeksi pada KPD tinggi sekali, ini biasanya disebabkan oleh organism yang ada di vagina, seperti E.colli, streptokokus fastafis, Streptokokus B.hemoliccus, Proteus,

klebsietta,Pseudomonas, dan Stapilokokus. Namun, beruntunglah insiden infeksi ini masih rendah. Hal ini karena walaupun resiko infeksi selama pemeriksaan dan persalinan sangat tinggi namun cairan amninon memiliki fungsi bakteriostatik ( Thadepalli, Aplemin et al.,1997 ). Jika terdapat korioamnitis, diberi antibiotic dan akan lebih baik jika diberikan melalui intravena. Antibiotik yang paling efektif yaitu : gentamicine, cephalosporine, amphicilline.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KPD

A.

Pengkajian

1. Identitas ibU 2. Riwayat penyakit a. Riwayat kesehatan sekarang : ibu datang dengan pecahnya ketuban sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa komplikasi. b. Riwayat kesehatan dahulu. Adanya trauma sebelumny akibat efek pemeriksaan amnion. Sintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual. Kehamilan ganda, polihidramnion Infeksi vagina/serviks oleh kuman streptokokus

Selaput amnion yang lemah/tipis. Posisi fetus tidak normal Kelainan pada otot serviks atau genital seperti panjang serviks yang pendek Multiparitas dan peningkatan usia ibu serta defisiensi nutrisi.

c. Riwayat kesehatan keluarga : ada atau tidaknya keluhan ibu yang lain yang oernah mengalami hamil kembar atau turunan kembar. 3. Pemeriksaan fisik a. Kepala dan leher Mata perlu diperiksa di bagian sklera, konjungtiva Hidung ada/tidak adanya pembengkakan konka nasalis. Ada/tidaknya hipersekresi mukosa. Mulut, gigi karies/tidak, mukosa mulut kering, dan warna mukosa gigi Leher berupa pemeriksaan JVP, KGB, dan tiroid.

b. Dada Thoraks Inspeksi kesimetrisan dada, jenis pernapasan torakabdominal, dan tidak ada retraksi dinding dada. Frekuaensi pernapasan normal 16-24X/menit. Iktus kordis terlihat/tidak. Palpasi : payudara tidak ada pembengkakan. Aukultasi : terdengar BJ I dan II di IC kiri/kanan, bunyi napas normal vesikular. Abdomen Inspeksi : ada/tidaknya bekas operasi, striae, dan linea Palpasi : TFU, kontraksi ada/tidak, posisi janin, kandung kemih penuh/tidak Auskultasi : DJJ ada/tidak c. Genitalia

Inspeksi : kebersihan, ada/tidaknya tanda tanda REEDA (Red, edema, discharge, approximately); pengeluaran air ketuban (jumlah, warna, bau) ; lendir merah muda kecoklatan. Palpasi : pembukaan serviks (0-4) Ekstremitas : edema, varises ada/tidak.

4. Pemeriksaan diagnostik a. Hitung darah lengkap untuk menentukan adanya anemia, infeksi b. Golongan darah dan faktor Rh c. Rasio lesitin terhadap spingomielin (Rasio US) : menentukan maturitas janin d. Tes ferning dan kertas nitrazine : memastikan pecahnya ketuban e. Ultrasonografi : menentukan usia gestasi, ukuran janin, gerakan jantung janin, dan lokasi plasenta f. Pelvimetri : identifikasi posisi janin

B. 1.

Diagnosa Keperawatan Resiko tinggi infeksi maternal yang berhubungan dengan prosedur invasif, pemeriksaan vagina berulang, ruptur membran amniotik

2. Kerusakan pertukaran gas pada janin yang berhubungan dengan adanya penyakit 3. Resiko tinggi cedera pada janin yang berhubungan dengan melahirkan bayi premature /tidak mature. 4. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin. 5. Resiko tinggi penyebaran infeksi/sepsis yang berhubungan dengan adanya infeksi, prosedur invasif, peningkatan pemahaman lingkungan 6. Resiko tinggi keracunan karena toksik yang berhubungan dengan dosis/efek samping tokolitik 7. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan hipersensitivitas otot

8.

Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan penurunan masukan cairan

C.

Intervensi Keperawatan DX 1 Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur invasif,

pemeriksaan vagina berulang, atau ruptur membrane amniotik.

Tujuan : Infeksi maternal tidak terjadi

Kriteria hasil : Dalam waktu 3X24 jam ibu bebas dari tanda tanda infeksi (tidak demam, cairan amnion jernih, hampir tidak berwarna, dan tidak berbau)

Intervensi Lakukan pemeriksaan vagina awal. Pengulangan

Rasional pemeriksaan vagina

Ulangi bila pola kontraksi atau perilaku berperan dalam insiden infeksi saluran ibu menandakan kemajuan Gunakan teknik aseptik asendens. selama Mencegah pertumbuhan bakteri dan kontaminasi pada vagina resiko infeksi saluran

pemeriksaan vagina

Anjurkan perawatan perinium setelah Menurunkan eliminasi setiap 4 jam dan sesuai asendens indikasi

Pantau dan gambarkan karakter cairan Pada infeksi, cairan amnion menjadi amniotik lebih kental dan kuning pekat serta dapat terdeteksi adanya bau yang

kuat. Pantau suhu, nadi, pernapasan dan sel Dalam 4 jam setelah membrane ruptur, darah putih insiden korioamnionitis menigkat

secara progresif sesuai dengan waktu yang ditunjukkan melalui TTV Tekankan pentingnya mencuci tangan Mengurangi yang baik dan benar, Kolaborasi : mikroorganisme Meski tidak boleh sering dilakukan, perkembangan

evaluasi usus dapat Berikan cairan oral dan parenteral namun sesuai indikasi. Berikan enema meningkatkan kemajuan persalinan pembersih bila sesuai indikasi dan menurunkan resiko infeksi

Berikan

antibiotik

profilaktik

bila Antibiotik dapat melindungi perkembangan


korioamnionitis pada ibu beresiko

diindikasikan

Dx 2 Gangguan pertukaran gas pada janin yang berhubungan dengan adanya proses penyakit

Tujuan : Pertukaran gas pada janin kembali normal

Criteria hasil Dalam 1X24 jam klien menunjukkan DJJ dan variabilitas denyut per denyut dalam batas normal, bebas dari efek efek merugikan dan hipoksia selama persalinan.

Intervensi Pantau DJJ setiap 15 30 menit

rasional Takikardi atau bradikardi janin adalah indikasi dari kemungkinan penurunan yang mungkin perlu intervensi

Periksa DJJ dengan segera bila terjadi Mendeteksi pecah ketuban dan periksa 5 menit kolaps alveoli kemudian, observasi perineum ibu

distress

janin

karena

untuk mendeteksi terjadinya prolaps tali pusar. Perhatikan dan catat warna serta Pola presentasi vertex, hipoksia yang jumlah cairan amnion dan waktu lama mengakibatkan cairan amnion berwarna seperti mekonium karena rangsangan vagal yang

pecahnya ketuban

merelaksasikan sfingter anus janin Catat perubahan pantau DJJ aktivitas selama Mendeteksi beratnya hipoksia dan

kontraksi,

uterus kemungkinan penyebab janin rentan potensi cedera selama

secara manual atau elektrolit. Bicara terhadap pada ibu/pasangan dan

berikan persalinan karena menurunnya kadar oksigen. Dengan penurunan viabilitas mungkin

informasi tentang situasi tersebut. Kolaborasi :

Siapkan untuk melahirkan dengan cara memerlukan kelahiran seksio caesaria yang paling baik atau dengan untuk mencegah cedera janin dan intervensi perbaikan. bedah bila tidak terjadi kematian karena hipoksia.

D.

Implementasi Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan. Mencakup tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi.

Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk dari petugas kesehatan lainnya. Tindakan kolaborasi adalah tindakan tindakan keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya.

E.

Evaluasi Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai

Bab I PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini atau premature rupture of membrane ( PROM ) merupakan rupture membrane fetal sebelum onset persalinan. Sebagian besar kasus ini terjadi pada waktu mendekati kelahiran, tetapi saat ketuban pecah sebelum masa gestasi 37 minggu, maka disebut preterm PROM atau ketuban pecah dini preterm. Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga 10% , dimana sekitar 20% kasus terjadi sebelum memasuki masa gestasi 37 minggu. Sekitar 8 hingga 10% pasien ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine akibat interval antara ketuban pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari jadwal. Ketuban pecah dini merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas perinatal serta berhubungan dengan infeksi perinatal dan kompresi umbilical cord akibat oligohidramnion. Infeksi koriodesidual memiliki peranan penting dalam etiologi terjadinya ketuban pecah dini terutama pada usia gestasi awal. Pendekatan ketuban pecah dini pada kehamilan minggu ke 34 hari pertama hingga minggu ke 36 hari ke 6 hingga saat ini masih tetap mengundang banyak kontroversi. Beberapa studi

menunjukan bahwa pemanjangan masa gestasi minggu ke 34 hari pertama memberikan sedikit atau tidak memberikan reduksi morbiditas neonatal karena insiden morbiditas dan kematian bayi ini tidak berbeda bermakna, dengan mereka yang dilahirkan setelah usia gestasi 36 minggu 6 hari. Ketuban pecah dini preterm antara minggu ke 34 hingga 37 berhubungan erat dengan korioamnionitis dan morbiditas neonatal. Pelaksanaan persalinan aktif dan melalui operasi Caesar pada kasus ketuban pecah dini tidak menunjukan perbedaan bermakna. Ketuban pecah dini dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi pada neonatus meliputi respiratory distress syndrome, cord compression, oligohidramnion, enterokolitis nekrotikans, gangguan neurology, infeksi neonatal dan perdarahan interventrikular. Oleh sebab itu klinisi yang mengawasi pasien harus mampu menegakkan diagnosis ketuban pecah dini dan memberikan terapi yang akurat untuk memperbaiki luaran dan prognosis pasien ketuban pecah dini dan bayinya. BAB 2 PEMBAHASAN

1.DEFINISI Ketuban Pecah Dini ( KPD ) atau spontaneous / early /premature rupture of the membrane ( PROM ) adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi para kurang dari 5 cm. Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah pecah, maka dapat terjadi infeksi yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak. Untunglah karena adanya antibiotik spektrum luas , maka hal ini dapat ditekan. Sampai saat ini masih banyak pertentangan mengenai penatalaksanaan KPD yang bervariasi dari doing nothing sampai pada tindakan yang berlebihan. Insidens KPD terjadi kira-kira 6-10% dari semua kehamilan.

2. Anatomi dan struktur Membran Fetal Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Lapisan ini tidak mengandung pembuluh darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion. Lapisan paling dalam dan terdekat pada fetus ialah epithelium amniotik. Epitel amniotik ini mensekresikan kolagen tipe III dan IV dan glikoprotein non kolagen ( laminin , nidogen dan fibronectin ) dari membrane basalis, lapisan amnion disebelahnya. Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrane basalis ini membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta disekresikan oleh sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial ( tipe I dan III ) mendominasi dan membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas mekanikan amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial. Tidak ada interposisi dari materi yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotic sehingga amnion dapat mempertahankan tensile strength selama stadium akhir kehamilan normal. Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotic yang paling tebal terdiri dari sel mesenkimal dan makrofag diantara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk jaringan longgar dari

glikoprotein non kolagenosa. Lapisan intermediate ( spongy layer atau zona spongiosa ) terletak diantara amnion dan korion. Lapisan ini banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang memberikan sifat spongy pada gambaran histology. Lapisan ini juga mengandung nonfibrillar meshwork yang terdiri sebagian besar dari kolagen tipe III. Lapisan intermediate ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi. Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength yang lebih besar. Korion terdiri dari membrane epithelial tipikal dengan polaritas langsung menunu desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik diantara lapisan korionik dari membrane fetal ( bebas plasenta ) mengalami regresi. Dibawah lapisan sitotrofoblas ( dekat janin ) merupakan membrane basalis dan jaringan knektif korionik yang kaya akan serat kolagen. Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukan adanya titik lemah dimana membrane akan pecah, observasi harus dilakukan untuk menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi membrane yang memicu terjadinya ketuban pecah dini. Vintziuleos dalam hipotesisnya memandang bahwa cairan amnion mengandung materi bakteriostatik tertentu sebagai pelindung terhadap proses infeksi potensial dan penurunan volume cairan amnion dapat menghambat kemampuan pasien dalam menghadapi infeksi. Penelitian oleh borna et al menunjukan bahwa pasien dengan oligohidramnion ( AFI<5) memiliki risiko tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis pada neonatus. Sebagian besar bukti mengarah bahwa ketuban pecah dini berhubungan dengan proses biokimia meliputi rusaknya kolagen antarmatriks ekstraseluler amnion dan korion dan programmed death of cell pada membrane janin dan lapisan uteri maternal ( desidua ) sebagai respon terhadap berbagai rangsangan seperti peregangan membrane ( membrane stretching ) dan infeksi saluran reproduksi , yang menghasilkan mediator seperti prostaglandin, sitokin dan hormone protein yang mengatur aktivitas enzim degradasi matriks.

3. Faktor Risiko. Berbagai faktor risiko berhubungan dengan timbulnya ketuban pecah dini. Ras kulit hitam cenderung memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Pasien dengan status sosioekonomi rendah , perokok, riwayat penyakit menular seksual, riwayat persalinan preterm sebelumnya, perdarahan pervaginam atau distensi uteri ( misal polihidramnion dan gemelli ) memiliki risiko tinggi. Tindakan prosedural seperti amniosentesis juga dapat memicu ketuban pecah dini. Beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya ketuban pecah dini ialah : 1. Kehamilan multiple : kembar dua ( 50%) , kembar tiga ( 90 %). 2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2-4x 3. Tindakan segama : tidak berpengaruh kepada risiko, kecuali jika hygiene buruk , predisposisi terhadap infeksi. 4. perdarahan pervaginam : trimester pertama ( risiko 2x ) , trimester kedua/ketiga ( 20x ) 5. Bakteriuria : risiko 2x ( prevalensi 7 % ) 6. PH vagina di atas 4,5 : risiko 32% ( vs. 16%) 7. Servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% ( vs 7%)

8. Flora vagina abnormal : risiko 2-3x 9. Fibronectin > 50 mg/ml : risiko 83% ( vs 19% ) 10. Kadar CRH ( corticotropoin releasing hormone ) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis , dsb. Dapat menjadi stimulasi persalinan preterm. 4. Patofisiologi Ketuban pecah dini berhubungan dengan kelemahan menyeluruh membrane fetal akibat kontraksi uteri dan peregangan berulang. Membran yang mengalami rupture premature ini tampak memiliki defek fokal disbanding kelemahan menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya membrane ini disebut restricted zone of extreme altered morphology yang ditandai dengan adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta, fibroblast maupun spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan daerah breakpoint awal. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ilalah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi.

5. Manifestasi Klinis Setelah ketuban pecah dini pada kondisi term, sekitar 70% pasien akan memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm, periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia gestasional, misalnya pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode latensi berkisar hanya 4 hari. Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi. Peningkatan lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal bebas pada bayi premature menunjukan tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus diperkirakan terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus terhadap trauma radikal oksigen.

6. Diagnosis Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan dari anamnesis, permeriksaan fisis dan studi laboratorium. Pasien sering kali mengeluhkan adanya carian yang keluar mendadak akibat adanya kebocoran yang berkelanjutan. Klinisi harus menanyakan apakah pasien mengalami kontraksi , perdarahan pervaginam atau riwayat hubungan seksual atau ada tidaknya deman. Hal ini penting untuk verifikasi karena akan berhubungan dengan penatalaksanaan yang akan diberikan. Adanya carian yang keluar dari vagina atau kebocoran dari servikal terutama saat pasien batuk atau saat diberikan fundal pressure dapat membantu menegakan diagnosis ketuban pecah dini. Metode diagnostic dengan menggunakan nitrazine papper dan penentuan ferning memiliki tingkat sensitivitas mencapai 90%. PH vagina normal berkisar 4,5 dan 6 sedangkan ph cairan amnion lebih alkali dengan PH 7,2 hingga 7,3 . Nitrazine paper akan berubah menjadi biru bila

PH berada diatas 6 sehingga mengubah nitrazine paper menjadi biru dan memberikan hasil positif palsu. Vaginosis bakterial juga dapat mengakibatkan hal yang sama. 7. Penatalaksanaan. Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban pecah dini perlu mempertimbangkan morbiditas dan mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan dengan persalinan dan risiko infeksi terhadap ibu dan janin. 1. Medikasi Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca ketuban pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom distress pernafasan ( 20 35,4% ), hemoragi intraventrikular ( 7,5 15,9% ), enterokolitis nekrotikans ( 0,8 4,6% ). Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason ( celestone ) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari. National Institute of Health merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa gestasi 30 23 minggu, dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis. Antibiotik Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal dan memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi ampisilin 2 gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti pemberian amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu setelah penghentian pemberian antibiotik setelah 7 hari. Agen Tokolitik Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi namun tidak memperbaiki luaran neonatal. TIdak banyak data yang tersedia mengenai pemakaian agen tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil penelitian lebih jauh. 2. Penatalaksanaan berdasarkan masa gestasi Masa gestasi dibawah 24 minggu. Sebagian besar pasien akan mengalami persalinan dalam 1 minggu bila terjadi ketuban pecah dini dengan periode latensi sekitar 6 hari , dan sebagian besar yang lahir biasanya mengalami banyak masalah seperti penyakit paru kronik, gangguan neurology dan perkembangan, hidrosefalus dan cerebral palsy. Sekitar 50% janin dengan ketuban pecah dini pada minggu ke 19 akan mengalami sindrom Potter, 25% pada mereka yang lahir di minggu ke 22 dan 10% pada mereka yang lahir setelah maa gestasi 26 mingu. Pasien harus mendapat konseling mengenai manfaat dan risiko penatalaksanaan akan kemungkinan bayi tidak dapat bertahan secara normal. Masa gestasi 24 31 minggu

Persalinan sebelum masa gestasi 32 memicu morbiditas dan mortalitas neonatal berat. Bila tidak dijumpai infeksi intraamniotik maka kehamilan diupayakan dipertahankan hingga 34 minggu. Bila ada infeksi intraamniotik maka pasien akan melahirkan dalam waktu 1 minggu. Klinisi harus memberikan kortikosteroid dan antibiotik serta melakukan penilaian menyeluruh mengenai keadaan janin melalui monitoring fetal dan ultrasonografi. Pemberian kortikosteroid pada masa gestasi 24 -28 minggu tidak banyak bermanfaat. Masa gestasi 32 33 minggu Biasanya Mengalami masalah dengan maturitas paru-paru, induksi persalinan dan penanganan bayi premature harus segera direncanakan. Upaya mempertahankan kehamilan lebih lama setelah maturitas paru akan meningkatkan risiko amnionitis maternal, kompresi umbilical cord, rawat inap yang makin lama dan infeksi neonatal. Masa gestasi 34 36 minggu Biasanya klinisi menghindari upaya memperlama kehamilan. Sebuah studi menunjukan bahwa penatalaksanaan konservatif antara masa gestasi 34 hingga 36 minggu akan meningkatkan risiko korioamnititis. Walaupun kortikosteroid tidak diindikasikan untuk kehamilan lewat 34 minggu, pemberian antibiotik tetap dilakukan sebagai profilaksis infeksi streptococcus group B dan fasilitasi penanganan neonatus perematur harus disiapkan segera. Ketuban pecah dini preterm atau perterm PROM bukan merupakan kontraindikasi persalinan pervaginam.

8. Komplikasi Morbiditas ketuban pecah dini menjadi kurang serius bila terjadi pada kehamilan yang mendekati term dibandingkan kehamilan yang lebih awal. Pada kasus ketuban pecah dini biasanya 80-90% akan mengalami partus dalam kurun waktu 24 jam. Ada beberapa hal perlu dipertimbangkan pada ketuban pecah dini : - Ketuban pecah dini merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan prematuritas janin. - Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan dilakukan setelah 24 jam onset - Insiden prolaps tali pusat ( cord prolapse ) akan meningkat bila dijumpai adanya malpresentasi - Pengeluaran cairan ketuban untuk waktu yang akan lama akan menyebabkan dry labour atau persalinan kering - Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam janin, khususnya pada kasus oligohidramnion

DAFTAR 1.Smith Joseph.F., Premature Rupture of

PUSTAKA Membranes, 2001. of Membrane (PROM), 2002

http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html, 2.Bruce Elizabeth, Premature Rupture

http://www.compleatmother.com/prom.htm,

3.Yancey Michael.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or Wait?, medscape General Medicine 4.Anonim, Premature 1 Rupture (1), of 1999 Membrane,

http://www.medem.com/medlb/article_detaillb_for_printer.cfm?article_ID=zzzcoCHLUJC&sub_cat=200 5, 5.Anonim, Premature Rupture of 2002. Membrane, 2002

http://www.mcevoy.demon.co.uk/medicine/ObsGyn/Obstetric/labour/PROM.html,

6. Parry Samuel, Strauss Jerome.F, Premature Rupture of the Fetal Membrane dalam The New England Jurnal of medicine, Volume 338:663-670, March, 1998

7.Syaifuddin Abdul Bari, Ketuban Pecah Dini dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKD POGI bekjerjasama dengan Yayasan Buku Pustaka Suwarno Prawihardjo, Jakarta, 2002, hal : 218 220.

8.Hacker Neville.F., Moor J.George, Ketuban Pecah Dini dalam Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2, Hipokrates, Jakarta, 2001, hal : 304 306

9.Ketuban Pecah Dini dalamBuku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo Bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi POGI, Jakarta, 2002, hal : M-112 M-115.

10.Komite Medik RSUP DR.Sardjito, Ketuban Pecah Dini dalam Standar Pelayanan medis RSUP DR. Sardjito, Buku I, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999, hal : 32 33. 11.Phupong Vorapong, Prelabour Rupture of Memnranes in Journal of Pediatric, Obstetric and Gynaecology, Nov/Dec, 2003, Hal : 25 31

12.Manuaba Ida Bagus Gde, Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 225.

13.Mokhtar Ristam, Ketuban Pecah Dini dalam Sinopsis Obsteri, Obstetri Fisologi Obstetri Patologi I, EGC, 14.Anonim, , Jakarta, 1994, Premature hal Rupture : of 285 the 287. Membrane, 2003

15.Anonim, High-Risk PregnencyPremature Rupture of Membranes (PROM) / Preterm Prematurure Rupture of Membrane, 2001

http://www.musckid.com/health_library/hipregnant/prm.htm,

16.Anonim, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.womens-health.co.uk/prom.htm,

2002. 17.Anonim, Premature Rupture of the Membranes,

http://www.netnurse.com/pregnency/edudocs/c_conn0200.cfm, 2002.

askeb-Konsep Dasar Kehamilan Letak Sungsang


Posted on April 5, 2009 by ayurai 2.2 Konsep Dasar Kehamilan Letak Sungsang 2.2.1 Defenisi Kehamilan letak sungsang yaitu janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan

bokong bagian bawah kavum uteri (Prawiroharjo, Sarwono 1999). 2.2.2 Klasifikasi 2.2.2.1 Letak bokong murni (Fank Breech) Letak bokong dengan kedua tunkai terangkat keatas 2.2.2.2 Letak sungsang sempurna (Campliete Breech) Letak bokong dimana kaki ada disamping bokong (Letak bokong sempurna atau lipat kijang). 2.2.2.3 Letak sungsang sempurna (Incomplite Breech) Letak sungsang dimana selain bokong bagian yang terendah juga kaki atau lutut, terdiri dari : - Kedua kaki : letak kaki sempurna (24%) Satu kaki : letak kaki tidak sempurna - Kedua lutut : letak lutut sempurna (1%) Satu lutut : letak lutut tidak sempurna (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, Sinopsis Obsetri jilid 1 edisi 2, 1998) 2.2.3 Diagnosa

2.2.3.1 Anamnesa Kehamilan terasa penuh dibagian atas dan gerakan terasa lebih banyak dibagian bawah. 2.2.3.2 Pemeriksaan luar Dibagian bawah uterus tidak teraba kepala, balutemen negative, teraba kepala dibagian fundus uteri, denyut jantung janin ditemukan setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada umbilikus 2.2.3.3 Pemeriksaan dalam Setelah ketuban pecah teraba cakrum, kedua tuberalitas iskit, dan anus, bila teraba bagian kecil bedakan apakah kaki atau tangan (FKUI, Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 edisi 3, 1999) 2.2.3.4 Pemeriksaan foto rongen Bayangan kepala difundus (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, Sinopsis Obsetri jilid 1 edisi 2, 1998) 2.2.4 Etologi / Penyebab Letak Sungsang

2.2.4.1 Sudut Ibu a. Keadaan rahim - Rahim arkuatus - Setum pada rahim - Uterus Dupletis - Mioma bersama kehamilan b. Keadaan plasenta - Plasenta retak rendah - Plasenta previa

c. Keadaan jalan lahir - Kesempitan panggul - Difermitas tulang panggul - Terdapat tumor yang menghalangi jalan lahir dan perputaran keposisi kepala 2.2.4.2 Sudut janin Pada janin terdapat berbagai keadaan yang menyebabkan letak sungsang - Tali pusat pendek atau lilitan tali pusat - Hidrosefalus atau Anensefalus - Kehamilan kembar - Hidramneon atau Oligohidramneon - Prematuritas (Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba, 1998) 2.2.5 Mekanisme Persalinan Letak sungsang Fisiologis Bokong masuk PAP dapat melintang atau miring mengikuti jalan lahir dan melakukan putar paksi dalam sehingga trachcanter depan berada dibawah simpesis dengan trachcenter depan sebagai hipamoklion, akan lahir trachcenter belakang, dan selanjunya seluruh bokong lahir, sementara itu bahu memasuki jalan lahir dan mengikuti jalan lahir untuk melakukan putar paksi dalam sehingga bahu depan berada dibawah simpisis, dengan bahu depan sebagai hipomoklion akan lahir bahu belakang bersama dengan tangan belakang, diikuti kelahiran bahu depan dan tangan depan. Bersamaan dengan kelahiran bahu, kepala bayi memasuki jalan lahir dapat melintang atau miring, serta melakukan putar paksi dalam sehingga sub occiput berada dibawah simpisis, sub occiput menjadi hipomoklion, berturut-turut akan lahir dagu, mulut, hidnug, muka kepala dan seluruhnya. Persalinan kepala yang mempunyai terbatas sekitar 8 menit, setelah bokong lahir melampoui batas 8 menit dapat menimbulkan kesakitan atau kematian pada bayi. (Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba, DSOG, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB, 1998) 2.2.6 Prognosis 2.2.6.1 Bagi ibu Kemunkinan robekan pada perenium lebih besar, juga karena dilakukan tindakan, selain itu ketuban lebih cepat pecah dan partus lebih lama, jadi mudah terkena infeksi. 2.2.6.2 Bagi anak Proknosa tidak begitu baik, karena ada gangguan peredaran darah plasenta setelah bokong lahir dan juga setelah perut lahir, tali pusat terjepit antara kepala dan panggul, anak bisa menubrito aspiksio (Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba, DSOG, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB, 1998) 2.2.7 Penanganan / Terapi Sikap sewaktu hamil Kerena kita tahu bahwa prognosa bagi anak tidak begitu baik, maka usahakan merubah letak janin dengan versi luar. Tujuannya adalah untuk merubah letak menjadi letak kepala hal ini dilakukan pada primi dengan kehamilan 34 minggu, mulai dengan usia kehamilan 36 minggu dan tidak ada panggul sempit, gemili atau plasenta previa.

Teknik : - Lebih dahulu bokong dilepaskan dari PAP dan ibu berada dalam posisi Trendelm Burg - Tangan kiri letakkan dikepala dan tangan kanan pada bokong - Putar ke arah muka atau perut janin - Lalu putar tangan kiri diletakkan dibokong dan tangan kanan dikepala - Setelah berhasil pasang gurita, observasi TTV, DDJ serta keluhan 2.2.8 Sikap Bidan Dalam Mengahadapi Letak Sungsang Bidan yang menghadapi kehamilan dan persalinan letak sungsang sebaiknya : - Melakukan rujukan ke puskesmas, dokter keluarga atau dokter ahli untuk mendapatkan petunjuk kepastian dalam lahir - Bila ada kesempatan, melakukan rujukan kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan persalinan yang optimal - Bila terpaksa, melakukan pertolongan persalinan letak sungsang sebaiknya bersama dokter - Klien harus diberikan KIE dan motifasi serta melakukan perjanjian tertulis dalam bentuk Informetconsen (Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba, 1998)

1. Manuaba, Ida Bagus, Gde, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan da KB. Jakarta : EGC 2. Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetry. Jakarta : EGC 3. Prawiroharjo, Sarwono, 2000. Pelayanan Kebidanan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka 4. Sastro, Suleman. 1983. Obstetry Fisiologi. Bandung : UNPAD 5. Varney, Hursh Midwefery, Sel, Ed. Blok Well, Sucentifie Publication, Boston, London

KETUBAN PECAH DINI (KPD)


Posted by amriewibowo under Ilmu Kebidanan Leave a Comment A. Defenisi Ketuban Pecah Dini Ketuban Pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum proses persalinan ber1angsung (Waspodo, Djoko, 2006). Menurut Ida Bagus (2001) ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan. Sedangkan menurut Rustam Mochtar (1998) ketuban pecah dini (spontaneous/early/premature rupture of the membrane) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5.cm.

B. Etioiogi Menurut Vamey, Helen (2008) insider ketuban pecah dini lebih tinggi pada wanita dengan serviks inkompeten, polihidramnion, malpresentasi janin (letak sungsang dan lintang), kehamilan ganda, atau infeksi vagina/serviks (vaginosis bacterial, klamidia, gonore, streptokokus grub B). Hubungan yang signifikan juga telah ditemukan antara keletihan karena bekerja dan peningkatan risiko ketuban pecah dini sebelum cukup bulan diantara nulipara. Kemungkinan komplikasi akibat ketuban pecah dini antara lain persalinan dan pelahiran premature, infeksi intrauteri, dan kompresi tali pusat akibat prolaps tali pusat atau oligohidramnion. Serviks inkompeten Pada wanita dalam presentasi kecil dengan kehamilan yang jauh dari aterm, servik yang inkompeten dapat menipis dan berdilatasi bukan sebagai akibat dari peningkatan aktifitas uterus melainkan akibat dari kelemahan instrinsik uterus sehingga menyebabkan ketuban pecah. Keadaan ini ditandai oleh dilatasi servik tanpa rasa nyeri dalam trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan yang disertai prolapsus mebran amnion lewat servik dan penonjolan membrane tersebut kedalam vagina, peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi janin imatur sehingga kemungkinan janin akan meninggal. Tanpa tindakan yang efektif rangkaian peristiwa yang sama cenderung berulang dengan sendirinya dalam setiap kehamilan. Meskipun penyebabnya masih meragukan namun trauma sebelumnya pada servik, khususnya pada tindakan dilatasi, kauteterisasi, kuretasi (Maria, 2007). Pada kasus yang lain perkembangan servik yang abnormal termasuk penggunaan preparat diebstilbestrol in utero turot memainkan peranan. Dilatasi servik yang menjadi ciri khas keadaan ini jarang terlihat menonjol sebelum minggu ke 16 kehamilan karena hasil konsepsi pada umur kehamilan tersebut belum cukup besar untuk menimbulkan pendataran dan dilatasi servik, kecuali terjadi kontraksi uterus dan nyeri. Penanganannya dengan pelaksanaan penjahitan benang melingkar untuk menguatkan servik, namun harus ditunda sampai sesudah kehamilan berusia 14 minggu. Factor resiko pada ketuban pecah dini pada servik inkompeten adalah 25% (Maria, 2007). Polihidramnion Hidramnion atau polihidramnion adalah keadaan dimana banyaknya air ketuban melebihi 2000cc. Penambahan air ketuban ini bisa mendariak dalam beberapa hari disebut hidramnion akut, atau secara perlahan-lahan disebut hidramnion kronis. Insidennya berkisar antar 1:62 dan 1:754 persalinan, tetapi bentuk yang menyebabkan gangguan lebih jarang (1:1000 persalinan). Hidramnion yang disertai dengan kelainan konginital, terutama dari susunan saraf sentral dan traktus gastrointestinal, cukup tinggi. Di samping itu, sering ditemukan pada kehamilan ganda dan beberapa penyakit ibu seperti diabetes mellitus, preeklampsia. (Rachimharii,T, 2005) Sampai sekarang etiologi hidramnion belum jelas, tetapi diketahui bahwa hidramnion terjadi bila produksi air ketuban bertambah, bila pengaliran air ketuban terganggu atau kedua-duanya. Diriuga air ketuban dibentuk dari sel-sel amnion. Di samping itu ditambah oleh air seni janin dan cairan otak pada anensefalus. Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan diganti

dengan yang baru. Salah satu cara pengeluaran ialah ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh usus kemudian dialirkan ke plasenta untuk akhirnya masuk peredaran darah ibu. Ekskresi air ketuban akan terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti pada atresia esophagus atau tumor-tumor plasenta (Rachimharihi, Trijatmo, 2005). Hidramnion dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya (Maria, 2007). Malpresentasi janin Malpresentasi janin atau kelainan letak janin dapat membuat ketuban bagian yang terendah langsung menerima tekanan intrauteri yang dominant yaitu letak sungsang dan bokong. Persalinan pada letak sungsang merupakan kontroversi karena komplikasinya tidak dapat diriuga sebelumnya, terutama pada persalinan kepala bayi. Sebab terjadinya letak sungsang adalah terdapat plasenta previa, keadaan janin yang menyebabkan letak sungsang (makrosemia, hidrosefalus, anensefalus), keadaan air ketuban (oligohidramnion, hidramnion), keadaan kehamilan (kehamilan ganda, kehamilan lebih dari dua), keadaan uterus (uterus arkuatus), keadaan dinding abdomen, keadaan tali pusat (pendek, terdapat lilitan tali pusat pada leher). Kejadian letak lintang tidak terlalu banyak hanya sekitar 0,5% kehamilan. Penyebab letak lintang dari sudut maternal (panggul sempit, multipara, kehamilan ganda, hidramnion/oligohidramnion, tumor pada daerah pelvis) (Manuaba,dkk, 2007). Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan <32 minggu, jumlah air ketuban relative lebih banyak sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa, dan demikian janin dapat menempatkan diri dalam letak sungsang/letak lintang. Pada kehamilan trimester akhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air ketuban relative berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang terlipat lebih besar daripada kepala maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang lebih luas difundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang lebih kecil disegmen bawah uterus. Letak sungsang dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya (Maria, 2007). Kehamilan Ganda (gamelli) Kehamilan ganda adalah kehamilan dua janin atau lebih. Kehamilan kembar dapat memberikan resiko yang lebih tinggi baik bagi janin maupun ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan hamil yang intensif. Frekuensi kehamilan kembar mengikuti rumus dari Hellin, yaitu 1.89 untuk hamil kembar, triplet 1 :892 dan kuadruplet 1.893. Factor yang dapat meningkatkan kemungkinan hamil kembar adalah factor ras, keturunan, umur, dan paritas. Factor resiko ketuban pecah dini pada kembar dua 50% dan kembar tiga 90% (Manuaba,dkk. 2007). Hamil ganda dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya (Maria, 2007). Infeksi vagina/serviks Di Amerika Serikat 0,5% 7% wanita hamil didapatkan menderita gonorea. Meningkatnya kasus gonore dalam kehamilan setara dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dalam kehamilan, korioamnionitis, dan terjadinya sepsis pada neonatus. (Rachimharihi, Tdjatmo.2005).

Infeksi Clamidydia trachomatis merupakan penyebab akibat hubungan seksual yang kejadiannya semakin tinggi, kejadian infeksi ini pada serviks wanita hamil yaitu 2-37%. Beberapa penelitian menunjukkan berbagai masalah meningkatnya risiko kehamilan dan persalinan pada ibu dengan infeksi ini. Misalnya dapat menimbulkan abortus, kematian janin, persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah sebelum waktunya serta endometritis postabortus maupun postpartum (Rachimharihi, Tdjatmo.2005). Penyakit bacterial vagionosis (BV) dahulu dikenal dengan sebagai vaginitis nonspesifik atau vaginitis yang disebabkan oleh Haemophilus/ Gardnerella vaginalis. Dalam kehamilan, penelitian membuktikan bahwa BV merupakan salah sate factor pecahnya selaput ketuban pada kehamilan dan persalinan premature (Rachimharihi,2005). Streptokokus grup B (GBS) adalah bakteri gram positif betahemolitikus yang umumnya ditemukan dalam saluran cena. Diperkirakan 10 30% wanita hamil memiliki penyakit GBS pada vaginan dan rectum. GBS dapat menyebabkan korioamnionitis, endometritis, infeksi saluran kemih, dan infeksi luka, dan hal itu miliki kaitan dengan persalinan premature dan dengan pecah ketuban dini pada persalinan premature (Helen,Varney. 2008). C. Criteria Diagnosis Dasar-dasar diagnosis ketuban pecah dini Didiagnosis ketuban pecah dini didasarkan atas riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah mendariak atau sedikit pervaginam. Untuk menegakkan diagnosis dapat diambil pemeriksaan inspekulo. Inspekulo untuk pengambilan cairan pada vorniks posterior dilakukan pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi biru/sifat basa, fern tes cairan amnion, kemungkinan infeksi. Pemeriksaan USG untuk mencari aktivitas janin, pengukuran BB janin, detak jantung janin, kelainan congenital (Manuaba,dkk. 2007). Penilaian klinik Menurut Helen Varney (2008), data ini diperlukan untuk menegakkan diagnosis: Riwayat a) Jumlah cairan yang hilang, pecah ketuban awalnya menyebabkan semburan cairan yang besar diikuti keluarnya cairan yang terus menerus. b) Waktu terjadi ketuban pecah

c) Wama cairan: cairan anmion dapat jernih atau keruh, jika bercampur mekonium, cairan akan berwama kuning atau hijau. d) Bau cairan, cairan amnion memiliki ban apek yang khas, yang membedakannya dengan urin

e) Hubungan seksual terakhir: semen yang keluar dari vagina dapat disalah artikan sebagai cairan amnion. Pemeriksaan fisik: lakukan palpasi abdomen untuk menentukan volume cairan amnion. Pemeriksaan speculum stern a) b) c) d) Inspeksi keberadaan tanda-tanda cairan di genetalia eksternal Lihat servik untuk mengetahui aliran cairan dari orifisium Jika anda tidak melihat adanya cairan, minta ibu untuk mengejan (perasat Valvasa) Observasi cairan yang keluar.

Uji laboratorium a) Uji pakis positif: pemakisan (ferning), juga disebut percabangan halus (arborizatiaon), pada kaca objek mikroskop yang disebabkan keberadaan natrium klorida dan protein dalam cairan amnion. b) Uji kertas nitrazin positif: kertas berwarna murtard-emas yang sensitive terhadap pH ini akan berubah warna menjadi biru gelap jika kontak dengan bahan bersifat basa. c) Spesimen untuk kultur Streptokokus Grup B.

D. Diagnosa banding Membandingkan tanda dan gejala pada kasus ketuban pecah dini dengan tanda dan gejala-gejala pada kasus lain yang sering ditemukan: Tabel 1. Diagnosa banding Gejala dan tanda selalu ada Keluar cairan ketuban Gejala dan tanda kadangkadang ada -Ketuban pecah tiba-tiba -Cairan tanpa diintroitus -Tidak ada his dalam 1 jam -Riwayat keluarnya cairan Diagnosis kemungkinan Ketuban pecah dini

- Cairan vagina berbau

Amnionitis

- Demam/menggigil - Nyeri perut

-Uterus nyeri -Denyut jantung janin cepat -Perdarahan pervaginam Sedikit -Gatal -Keputihan -Nyeri perut -Perdarahan pervaginam sedikit -Nyeri perut -Gerakan janin berkurang -Perdarahan banyak -Pembukaan servik -Pendataran servik -Ada his

- Cairan vagina berbau - Tidak ada ketuban pecah riwayat

Infeksi Vaginitisf Servicitis

Cairan vagina berdarah

Perdarahan antepartum

Cairan berupa darah lender

Awal persalinan

E. Pemeriksaan Penunjang Menurut Maria (2007) untuk membantu dalam penegakan diagnosa ketuban pecah dini diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu Pemeriksaan leukosit darah Bila jumlah leukosit > 15.000/mm2 mungkin sudah terjadi infeksi Pemeriksaan ultraviolet Membantu dalam penentuan usia kehamilan, letak anak, berat janin, letak plasenta, serta jumlah air ketuban. Nilai bunyi jantung dengan cardiografi Bila ada infeksi urin, suhu tubuh ibu dan bunyi jantung janin akan meningkat.

F. Penyulit ketuban pecah dini Menurut Manuaba (2001) ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi dalam rahim. Di samping itu ketuban pecah dini yang disertai kelainan letak akan mempersulit pertolongan persalinan yang dilakukan ditempat dengan fasilitas yang belum memadai. G. Penatalaksanaan ketuban pecah dini Penatalaksanaan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia kehamilan, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan. Penanganan ketuban pecah dini menurut Sarwono (2006), diantaranya : A) Konserpatif 1. Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu maupun pada janin) dan harus di rawat dirumah sakit. 2. Berikan antibiotika (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisisn bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari. 3. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi. 4. Jika usia kehamilan 32-27 minggu, belum in partu, tidak ada infeksi, tes buss negatif bed deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin, terminasi pada kehamilan 37 minggu. 5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. 6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, bed antibiotik dan lakukan induksi. 7. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin). 8. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu kematangan pare janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali. B) Aktif a) Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50,xg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi. Dan persalinan diakhiri : 1. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea

2. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam

Sedangkan menurut Manuaba (2001) tentang penatalaksanaan KPD adalah : 1. Mempertahankan kehamilan sampai cukup bulan khususnya maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat 2. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemicu sepsis, maningitis janin, dan persalinan prematuritas 3. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin. 4. Pada umur kehamilan 24-32 minggu yang menyebabkan menunggu berat janin cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan 5. Menghadapi KPD, diperlukan penjelasan terhadap ibu dan keluarga sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan janinnya. 6. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah USG untuk mengukur distansia biparietal dan perlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan kematangan paru. 7. Waktu terminasi pada kehamilan aterm dapat dianjurkan selang waktu 6-24 jam bila tidak terjadi his spontan DAFTAR PUSTAKA 1. Maria. 2007. Ketuban Pecah Dini Berhubungan Erat Dengan Persalinan Preterm dan Infeksi Intrapartum. 2. Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri, Jilid 1, EGC : Jakarta 3. Manuaba, dkk. 2008. Pengantar Kuliah Obstetri. EGC : Jakarta 4. Varney, dkk. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 2. EGC: Jakarta 5. Rachimhadhi. T. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

You might also like