You are on page 1of 28

I.

TUJUAN Mengetahui jumlah khlor yang dibutuhkan untuk air baku dengan kualitas tertentu sehingga tercapai titik breakpoint chlorination (BPC)

II.

DASAR TEORI 1. Klorinasi Klorinasi adalah proses desinfeksi dengan menggunakan Klor pada pengolahan air bersih maupun air limbah. Proses klorinasi dimaksudkan untuk membunuh bakteri yang ada yang dapat membahayakan kesehatan kita. Dalam klorinasi dikenal istilah Chlorine Dosage, Chlorine Demand, Chlorine Residual, Ketersediaan residu klorin bebas, dan Residu Klorin terkobinasi. Chlorine dosage adalah jumlah klorin yang ditambahkan, biasanya dinyatakan dalam mg/L. Chlorine demand adalah jumlah klorine yang tidak tersedia sebagai desinfektan sebagai akibat reaksi dari berbagai senyawa. Chlorine residual adalah jumlah klorin sebagai desinfektan setelah waktu kontak tertentu. Ketersediaan residu klorin bebas adalah jumlah dari residu klorin yang tersedia di dalam air bersih dan air limbah. Sementara residu klorin terkombinasi adalah jumlah dari residual klorin yang telah terkombinasi dengan ammonia atau organik nitrogen lainnya seperti cloroamine dan masih memiliki kekuatan desinfeksi 2. Reaksi Kimia pada Klorinasi Klorin yang umum digunakan ada dalam bentuk klorin bebas atau dalam bentuk hypochlorite. Keduannya merupakan agen oksidasi potensial yang biasanya sebagian akan hilang dalam reaksi sehingga di perlukan perhitungan chlorine demand. 2.1.Reaksi dengan air Klorin beraksi dengan air membentuk asam hydrochloric Cl2 + H2O
H + Cl [HOCl ] [Cl 2 ]

hypochlorous dan asam

HOCl + H+ + Cl-

= 4 x 104

(at 25oC)

Pada pH 2 sampai 3 reaksi diatas didominasi oleh klorin bebas. Hal ini bisa menyebabkan terbentuknya trikloroamin (NCl3). Untuk meminimalisasi efek ini maka diperlukan air dengan kualitas yang bagus sebelum masuk ke tahap klorinasi. Sementara pada larutan encer dan pH diatas 4 reaksi diatas bergeser ke arah kanan dan hanya ada sedikit sekali Cl2 di dalam air. Asam

Hypochlorous adalah asam lemah dan hanya sedikit terdisosiasi pada pH dibawah 6. HOCl
H + OCl [HOCl ]

H+ + OCl-

= 2.7 x 108

( at 20oC)

Dibawah ini merupakan grafik hubungan antara pH dengan konsentrasi HOCl dan OCl-

2.2. Reaksi dengan Impurities dalam Air Klorin dan asam hypochlorous bereaksi dengan berbagai macam substrat, termasuk ammonia dan material humus. a. Reaksi dengan Amonia Amonia ada didalam air sebagai kesetimbangan antara ion amonium dan hidrogen. Amonia bereaksi dengan klorin atau asam hypochlorous membentuk monokloramin, dikloramin, dan trikloramin tergantung jumlah relatif masing msing komponen dan pH reaksi. NH3 + HOCl NH2Cl + HOCl NHCl2 + HOCl NH2Cl + H2O NHCl2 + H2O NCl3 + H2O (Monokloramin) (Dikloramin) (Trikloramin)

Monokloramin dan dicloramin memiliki kekuatan desinfeksi yang kuat sehingga menjadi pertimbangan dalam perhitungan residu klorin b. Reaksi Lainnya Klorin bereaksi dengan berbagai maca material. Sebagian besar bereaksi dengan reduktor. Hasil samping dari reaksi ini harus diperhatikan karena kadang kadang hasil samping reaksinya berbahaya untuk kesehatan kita. Sebagai contoh, klorin bereaksi dengan organik membentuk

trihalometane (THM) yang merupakan senyawa karsinogenik. Klorin bereaksi dengan H2S membentuk HCl dan S. Klorin juga bereaksi dengan Fe2+, Mn2+, dan NO2- . Klorin bereaksi dengan ion bromida membentuk HOBr dan ClBr- + HOCl HOBr + Cl-

HOBr juga merupakan desinfektan, tetapi bereaksi lebih cepat dibandingkan dengan klorin. Ketika air mengandung bromida, klorin akan menjadi lebih reaktif. HOBr juga bereaksi dengan organik. Klorin juga bereaksi dengan phenol membentuk mono-, di-,

triklorophenol yang merupakan penyebab rasa dan bau pada air. 3. Sifat Khlor dan Kloramin 3.1.Khlor Khlor merupakan unsur halogen dengan nomor atom 17. Khlor yang biasa digunakan dalam proses desinfeksi adalah klorin (Cl2), Kaporit (Ca(OCl)2), NaOCl, dan asam hipoklorit. Klorin merupkan gas yang reaktif yang bisa mengoksidasi hampir semua senyawa. Khlor adalah bahan desinfektan yang efektif untuk air yang jernih dan pH tidak asam. Saat ini penggunaan klorin paling banyak digunakan dibandingkan desinfektan lainnya karena harganya yang murah dan cukup efektif. Selain itu klorin akan menyisakan residu yang akan menjamin air tetap steril selama proses distribusi 3.2.Kloramin Khloramin adalah senyawa khlor hasil reaksi dengan amonia. Denyawa yang termasuk kloramin adalah mono-, di-, dan trikloramin. Pembentukan senyawa kloramin dari klorin dengan amonia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perbandingan mol dan pH. Apabila perbandingan mol antara klorin dengan amonia adalah 1 : 1 maka akan terbentuk mono-, dan dikloramin. Sementara, pada pH rendah pembentukan dikloramin lebih

dominan. Apabila rasio mol klorin terhadap amonia 1.5 atau lebih, maka akan terbentuk trikloramin, N2 dan NO2- . pH juga merupakan parameter penting, dalam hal ini pH berpengaruh pada rasio mol klorin terhadap amonia dan apakah akan terbentuk trikloramin, N2 atau NO24. Mekanisme atau Cara Kerja Khlor Senyawa klorin bekerja membunuh bakteri yang ada di dalam air. Klorin membunuh dengan merusak striktur sel bakteri. Kerusakan yang diakibatkan oleh klorin adalah 4.1.Perusakan Kemampuan Permeabilitas Sel Khlor bebas merusak membran dari sel bakteri, hal ini menyebabkan sel kehilangan permeabilitasnya dan merusak fungsi sel lainnya. Paparan Khlor menyebabkan kebocoran protein, RNA dan DNA. Sel mati merupakan hasil pelepasan TOC dan material yang menyerap sinar UV, pengurangan sintesis protein dan DNA. Perusakan kemampuan permeabilitas oleh khlor juga penyebab kerusakan spora bakteri 4.2. Perusakan Asam Nukleat dan Enzim Klorin juga bisa merusak asam nukleat dan enzim bakteri. Enzim merupakan katalis alami dari berbagai macam reaksi sel. Salah satu akibat pengurangan aktifitas katalis adalah penghambatan akumulasi hidrogen peroksida yang merupakan senyawa racu didalam tubuh bakteri. 5. Grafik Klorinasi dan Breakpoint Chlorination Grafik klorinasi merupakan grafik yang menggambarkan hubungan antara dosis klorin dengan residu klorin. Grafik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Seperti terlihat di grafik diatas pada zona I terjadi oksidasi klorin. Pada zona II terjadi pembentukan Kloramin. Klormain terbentuk sebagai hasil reaksi asam hypochlorous dan klorin bebas dengan amonia. Pada tahap ini juga terjadi pembentukan senyawa chloro-organik. Pada zona III kloroamin mulai terurai dan berkurang. Pada tahap ini juga terdapat BPC (breakpoint chlorination) atau titik retak klorinasi. Break Point Chlorination (titik retak klorinasi) adalah jumlah klor yang dibutuhkan sehingga :

semua zat yang dapat dioksidasi teroksidasi amoniak hilang sebagai gas N2 masih ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu untuk pembasmian kuman-kuman selama proses distribusi Pada zona IV terjadi pembentukan klorin bebas. Klorin bebas memiliki

kekuatan desinfeksi yang sangant kuat, tetapi keberadaan mereka hanya sesaat karena klorin sangat reaktif sehingga cepat sekali hilang keberadaannya didalam air. Karena alasan inilah free klorin harus dibiarkan bereaksi dulu agar membentuk mono-, dan dikloramin yang bertahan lebih lama didalam air

6. Macam Macam Desinfektan 6.1. Residu Klorin Residu Klorin ada desinfektan yang dibahas dalam laporan praktikum ini. Klorin merupakan desinfektan yang efektif pada air yang jernih, dan pH tidak alkalin. Saat ini penggunaan klorin paling banyak digunakan dibandingkan desinfektan lainnya karena harganya yang murah dan cukup efektif. Selain itu klorin akan menyisakan residu yang akan menjamin air tetap steril selama proses distribusi 6.2. Klorin dioksida Klorin dioksida merupakan agen pengoksidasi yang lebih kuat daripada klorin. Proses desinfeksi menggunakan klorin dioksida tidak terlalu bergantung dengan pH seperti pada penggunaan klorin. Hal ini menyebabkan residu klorin lebih tahan lama dalam air. Akan tetapi penggunaan klorin dioksida kurang efektif untuk desinfeksi agen virus sehingga penggunaannya terbatas. Klorin dioksida terutama digunakan sebagai kontrol rasa dan bau. Klorin dioksida tidak akan bereaksi dengan amonia sehingga penggunan klorin dioksida pada air yang mengandung amonia jauh lebih efektif dibandingkan dengan klorin. Kelemahan utama klorin dioksida adalah klorin dioksida tidak stabil dan harus dibuat ditempat dengan reaksi klorin dalam sodium klorida. Selain itu klorin dioksida juga harganya lebih mahal dibandingkan klorin 6.3.Ozone Ozone (O3) adalah gas yang kurang stabil dan hanya sedikit larut dalam air. Ozon adalah desinfektan yang efektif, ozon hampir membunuh semua bakteri dan mikroba yang ada didalam air, tetapi karena kondisinya yang kurang stabil sehingga ozon tidak akan meninggalkan residu didalam air seperti klorin sehingga harus ditambahkan klorin untuk membunuh mikroba selama proses distribusi. Kerugian lain dari penggunaan ozon adalah harganya yang jauh lebih mahal daripada klorin. 6.4.Sinar UV Ultraviolet merupakan suatu bagian dari spektrum elektromagnetik dan tidak membutuhkan medium untuk merambat. Ultraviolet mempunyai rentang

panjang gelombang antara 400-100 nm yang berada di antara spektrum sinar X dan cahaya tampak . Secara umum sumber ultraviolet dapat diperoleh secara alamiah dan buatan, dengan sinar matahari merupakan sumber utama ultraviolet di alam. Sumber ultraviolet buatan umumnya berasal dari lampu fluorescent khusus, seperti lampu merkuri tekanan rendah (low pressure) dan lampu merkuri tekanan sedang (medium pressure). Lampu merkuri medium pressure mampu menghasilkan output radiasi ultraviolet yang lebih besar daripada lampu merkuri low pressure. Radiasi ultraviolet merupakan suatu sumber energi yang mempunyai kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dinding sel mikroorganisme dan mengubah komposisi asam nukleatnya. Absorbsi ultraviolet oleh DNA ( atau RNA pada beberapa virus) dapat menyebabkan mikroorganisme tersebut tidak mampu melakukan replikasi akibat pembentukan ikatan rangkap dua pada molekul-molekul pirimidin (Snider et al, 1991). Sel yang tidak mampu melakukan replikasi akan kehilangan sifat patogenitasnya. Radiasi ultraviolet yang diabsorbsi oleh protein pada membran sel akan menyebabkan kerusakan membran sel dan kematian sel. Namun perlu diperhatikan bahwa beberapa mikroba khususnya bakteri memang mempunyai suatu system metabolik fungsional yang bervariasi dalam mekanisme untuk memperbaiki kerusakan asam nukleatnya . Adanya kemampuan mikroba untuk memperbaiki kerusakan selnya. Pengaruh Intensitas Sinar Ultraviolet dan Pengadukan akan dapat mempengaruhi efisiensi proses desinfeksi. Namun, mekanisme reaktifasi mikroorganisme tersebut dapat diatasi dengan penggunaan dosis UV yang sesuai. Tingkat inaktifasi mikroorganisme sangat tergantung pada dosis UV yang digunakan. Kinetika inaktifasi mikroorganisme pada desinfeksi menggunakan ultraviolet mengikuti Hukum Chick, pada persamaan berikut : N = N0 . e-k.I.t dengan : N : jumlah mikroorganisme setelah dipapari UV pada waktu pemaparan (t) N0 k : jumlah mikroorganisme awal (t = 0) : koef. tingkat inaktifasi mikroorganisme selama waktu tertentu (tergantung pada faktor kualitas air) I : intensitas ultraviolet

Bryan et al. (1992) memodifikasi persamaan tersebut menjadi persamaan tersebut sebagai berikut : ln N/N0 = -k . I . t Tanda negatif pada persamaan tersebut mengindikasikan adanya penurunan dari jumlah mikroorganisme setelah waktu tertentu (Bryan et al., 1992).

Berdasarkan pada persamaan Hukum Chick, maka jumlah mikroorganisme yang tersisa dapat dihitung sebagai fungsi dosis dan waktu pemaparan (White, 19925; USEPA, 1996). Disinfeksi menggunakan radiasi UV umumnya digunakan dalam aplikasi pengolahan air dan air limbah dalam menemukan peningkatan penggunaan dalam pengolahan air minum. Banyak mata air menggunakan peralatan disinfeksi UV untuk mensterilkan air pada mata air tersebut. Disinfeksi air dengan tenaga surya adalah proses menggunakan botol PET dan sinar matahari untuk melakukan proses mendisinfeksi air. Sebagai contoh, New York City telah menyetujui pembangunan galon AS sebanyak 2 miliar per hari (7.600.000 m3/d) untuk fasilitas air minum dengan proses desinfeksi ultraviolet. Dahulu, disinfeksi UV dianggap lebih efektif untuk bakteri dan virus dibandingkan patogen yang yang memiliki lapisan luar berbentuk kista yang lebih besar dan melindungi DNA mereka dari sinar UV. Namun, barubaru ini ditemukan bahwa radiasi ultraviolet efektif untuk mengobati Cryptosporidium mikroorganisme. Temuan ini membuat penggunaan radiasi UV menjadi metode yang layak untuk pengolahan air minum 6.5.Iodine Apabila air tidak keruh, iodine merupakan desinfektan yang efektif dan lebih stabil dibandingkan dengan klorin. Iodine banyak digunakan untuk desifektan volume kecil atau penggunaan pribadi. Tetapi untuk desinfektan skala besar iodine tidak menguntungkan secara ekonomi karena harganya yang lebih mahal dibandingkan dengan kaporit. Iodine hanya sedikit bereaksi dengan organik sehingga resiko pembentukan halometane menjadi minimal, selain itu iodine juga tidak bereaksi dengan amonia. Untuk desinfeksi per 1 liter air biasanya diperlukan 2 % larutan iodine dalam etanol dengan waktu kontak kurang dari 30 menit. Penggunaan iodine

melebihi 2 mg/L membuat akan menyebabkan air agak berasa dan berbau khas iodine. Penggunaan iodin diatas 4 mg/L dapat menimbulkan reaksi alergi pada beberapa individu. 7. Metode Penentuan Total Chlorine Residual 7.1. Metode Iodometri Metode ini berdasar pada kemampuan klorin dan residual klorin untuk mengoksidasi I- menjadi I2 . reaksi yang terjadi sebagai berikut: Cl2 + 2II2 + amilum I2 + 2Clblue colour (test kualitatif) (1) (2)

Pembentukan I2 yang ditandai dengan warna biru ketika diberi amilum dapat dijadikan bukti keberadaan residual klorin tetapi tidak dapat dijadikan indikasi jumlah residual klorin di dalam sampel. Untuk menentukan jumlah residual klorin yang ada diperlukan titrasi dengan larutan tiosulfat standar. Titrasi dilakukan sampai warna biru tepat hilang. Warna biru yang hilang menandakan semua iodin telah bereaksi. Apabila larutan terlalu pekat (Iodine > 1mg/L) maka titrasi dilakukan sebelum penambahan amilum dan apabila larutan sudah encer (Iodine <1 mg/L ) ditambahkan amilum untuk kemudian dititrasi lagi dengan larutan standar tiosulfat. Reaksi yang terjadi adalah I2 + 2Na2S2O3 I2 + 2S2O32Na2S4O6 + 2NaI S4O62- + 2I(3) (4)

Jumlah larutan tiosulfat yang digunakan dapat digunakan untuk mencari jumlah iodin dengan menggunakan perbandingan mol reaksi (3) dan (4). Jumlah iodin inilah yang digunakan untuk menentukan jumlah residual klorin menggunakan perbandingan mol reaksi (1) 7.2. Metode Orthotolidine Pada tahun 1909 Phelps mengajukan penggunaan orthotolidine sebagai indikator klorometrik untuk residual klorin. Hasil yang diperoleh dari uji ini kurang akurat dan diketahui bahwa orthotolidane merupakan senyawa toxic sehingga saat ini meode ini sudah dihilangkan dari Standar Methode

8. Faktor yang Mempengaruhi Klorinasi 8.1. Konsentrasi Desinfektan dan Waktu Kontak Inaktivasi mikrooorganisme patogen oleh senyawa desinfektan dalam hal ini adalah klorin/residual klorin bertambah sesuai dengan waktu kontak, dan idealnya mengikuti kinetika reaksi orde satu. Inaktivasi terhadap waktu mengikuti garis lurus apabila data diplot pada kertas log-log. Nt/No = e-kt Dimana No = Jumlah mikroorganisme pada waktu = 0 Nt = Jumlah mikroorganisme pada waktu = t K = decay constant atau konstanta pemusnahan (waktu-1) t = Waktu

Namun demikian data inaktivasi di lapangan menunjukan deviasi dari kinetik orde satu seperti grafik berikut:

Gambar 7.1 : Kurva inaktivasi mikroorganisme didalam proses desinfeksi

Kurva C pada grafik diatas menunjukan deviasi dari kinetika orde satu. Bagian ujung kurva merupakan akibat adanya subpopulasi dari populasi heterogen mikroorganisme yang resisten terhadap desinfektan. Kurva A menunjukan populasi mikroorganisme homogen yang sensitif terhadap desinfektan. Sedangkan kurva B menunjukan populasi mikroorganisme yang agak resisten terhadap desinfektan. Efektifitas desinfektan dapat digambarkan sebagai C.t. C adalah konsentrasi desinfektan dan t adalah waktu yang diperlukan untuk proses inaktivasi sejumlah presentasi tertentu dari populasi pada kondisi tertentu

(pH dan suhu). Hubungan antara populasi desinfektan dengan waktu kontak diberikan oleh hukum watson sebagai berikut: K = Cn t Dimana K = Konstanta mikroorganisme tertentu yang terpapar desinfektan pada kondisi tertentu C = Konsentrasi desinfektan (mg/L) t = waktu yang diperlukan untuk memusnahkan prosentase tertentu dari populasi (menit) n = koefisien pelarut Apabila t diplot terhadap C pada kertas logaritma ganda (log-log), n adalah slope atau kemiringan dari garis lurus. Nilai n menunjukan pentingnya konsentrasi desinfektan atau waktu kontak dalam proses inaktivasi mikroorganisme. Apabila n < 1 proses desinfeksi lebih dipengaruhi oleh waktu kontak dibandingkan dengan konsentrasi desinfektan. Apabila n > 1 konsentrasi desinfektan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi proses desinfeksi. Namun demikian nilai n umumnya mendekati 1. Penentuan nilai C.t dapat melibatkan temperatur dan pH dari medium suspensi. Sebagai contoh persamaan dikembangkan untuk mengetahui inaktivasi kista dari Giardia Lambia pada proses pengolahan dengan desinfektan khlor (Clark, 1989; Hubler, 1987) . = 0.9847 0.1758 2.7519 0.1467 Dimana: C = Konsentrasi khlor (C < 4,23 mg/L) t = waktu untuk inaktivasi 99.99 % kista pH = pH (antara 6 8) T = temperatur (antara 0.5 5 oC) Nilai C.t untuk mikroorganisme patogen dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel: Harga Ct untuk inaktivasi mikroba dengan desinfektan khlor (T = 5oC, pH = 6.0) Cara lain untuk menggambarkan efektifitas desinfektan tertentu adalah dengan mengetahui koefisien kematian (Lethality coefficient) dan persamaannya ditunjukan sebagai berikut (Moris, 1975) = 4,6 / Ct99 Dimana: 4,6 C t99 = natural log of 100 = konsentrasi sisa desinfektan (mg/L) = waktu kontak sampai inaktivasi 99 % mikroorganisme

8.2. Pengaruh pH Dalam hal desinfeksi dengan senyawa khlor, pH akan sangat mengontrol jumlah HOCl (asam hipoklorit) dan OCl- (ion hipoklorit) dalam larutan. HOCl 80 kali lebih efektif dibandingkan OCl- untuk E. Coli. Didalam proses desinfeksi dengan khlor, harga Ct meningkat sejalan dengan kenaikan pH. Sebaliknya inaktivasi bakteri, virus, dan kista protozoa umumnya lebih efektif pada pH tinggi. Pengaruh pH pada inaktivasi mikroba dengan kloramin tidak diketahui secara pasti karena adanya hasil yang bertentangan. 8.3.Temperatur Inaktivasi patogen dan parasit meningkat sejalan dengan meningkatnya temperatur. 8.4.Pengaruh Kimia dan Fisik pada Desinfeksi

Beberapa senyawa kimia yang dapat mempengaruhi proses desinfeksi antara lain adalah senyawa nitrogen anorganik maupun organik, besi, mangan, dan hidrogen sulfida. Senyawa organik terlarut juga menambah kebutuhan khlor dan keberadaanya menyebabkan penurunan efisiensi proses desinfeksi. Kekeruhan didalam air disebabkan adanya senyawa anorganik (misal lumpur, tanah liat, oksida besi) dan zat organik serta sel sel mikroba. Kekeruhan dapat menurunkan daya desinfeksi dari khlor karena partikel kekeruhan dapat menghalangi khlor berkontak dengan mikroba. Untuk itu sebelum proses desinfeksi air harus diolah dulu untuk menghilangkan kekeruhan. Gabungan TOC (Total Organic Carbon) dan kekeruhan akan meningkatkan kebutuhan khlor sehingga tidak ekonomis. 9. Baku Mutu Khlor Tidak ada baku mutu khlor yang digunakan. Hal ini disebabkan karena jumlah khlor atau desinfektan yang dipakai berdasarkan kebutuhan kita. Tetapi pada umumnya pengguanaan khlor untuk desinfektan harus memenuhi kriteria:

Semua zat yang dapat dioksidasi teroksidasi Amoniak hilang sebagai gas N2 masih ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu untuk pembasmian kuman-kuman selama proses distribusi

Tetapi, Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengeluarkan standard residual klorin yang harus tersisa didalam sistem distribusi untuk membunuh mikroba selama proses pendistribusian seperti tabel dibawah ini Saluran Distribusi At all points in a piped supply At standposts and wells In tanker trucks, at filling Residual klorin (mg/L) 0.5 1.0 2.0

10. Aplikasi Data Klorin dan Breakpoint Chlorination Penentuan kebutuhan deinfektan pada pengolahan air bersih dan air limbah merupakan pertimbangan penting dalam pendesainan. Hal ini karena data ini akan menjadi pertimbangan ukuran kapasitas unit desinfeksi, jumlah kebutuhan desinfektan, bentuk penampung, dan sebagainya Pada desain instalasi pengolahan, dosis desinfektan jumlahnya harus tepat. Tepat dalam hal ini harus menguntungkan secara ekonomi, dapat membunuh semua mikroba selama proses pengolahan dan distribusi serta tidak meninggalkan senyawa berbahaya. Dosis klorin yang optimum didapatkan dari percobaan iodometri ini. Karena setiap air memiliki kandungan yang berbeda maka diperlukan Quality control dalam pengolahan air bersih dan air limbah yang diukur setiap periode waktu tertentu.

III.

ALAT DAN BAHAN 1. Alat - Buret 25 mL - Pipet 5 mL, 1 mL - Kertas pH - Karet penghisap 2. Bahan - Asam asetat (glacial) yang pekat - Kalium iodida KI kristal (hablur) - Standar natrium tiosulfat Na2S2O3 - Indikator kanji - Air Hujan - Air Suling

IV.

PROSEDUR PERCOBAAN

Ambil sampel (air hujan)

Pindahkan ke botol winkler @100 ml (9 botol)

Tambahkan Kaporit 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5; 3.0; 3.5 ml pada botol 1-7

Diamkan 30 menit

Tambahkan KI @ 1 gram

@ 5 ml asam asetat pekat, dikocok, cek pH (pH 3-4)

Titrasi dengan Na2S2O3 0.01 N sampai warna kuning hampir hilang (botol 1-7)

tambahkan kanji 3 tetes (botol 1-7)

Titrasi sampai warna biru hilang (botol 1-7)

Membuat Blanko & penentuan BPC


Apabila warna biru keluar titrasi dengan larutan standar Na2S2O3, jika tidak keluar titrasi dengan iodine 0.0282 N sampai warna biru dan titrasi dengan Na2S2O3 standar sampai warna hilang

100 ml air keran

5 ml asam asetat pekat + 3 tetes indikator kanji

Evaluasi waktu kontak 5, 30 menit, dan 2 jam terhadap BPC

Ulangi langkah untuk botol 8 & 9 tetapi dengan waktu kontak 5 menit dan 2 jam

V.

DATA PENGAMATAN Waktu detensi 30 menit Botol 1 2 3 4 5 6 7 Titrasi Na2S2O3 Awal Vawal 36.3 36.9 38 39.4 40.4 42.9 Vakhir 36.5 37.6 38.6 40.1 41.5 44.8 Titrasi Na2S2O3 Akhir Vawal 36 36.5 37.6 38.6 40.1 41.5 44.8 Vakhir 36.3 36.9 38 39.4 40.4 42.9 46.3 Total Na2S2O3 (mL) 0.3 0.6 1.1 1.4 1 2.5 3.4

Titrasi Iodin Blanko Vawal 15.8 Total 0.5 Vakhir 16.3

Titrasi Tiosulfat Vawal 46.3 1.3 Vakhir 47.6

Titrasi Tiosulfat > titrasi Iodin maka blanko bernilai Positif Waktu detensi 5 menit Botol 8 Titrasi Na2S2O3 Awal Vawal 48 Vakhir 48.8 Titrasi Na2S2O3 Akhir Vawal 48.8 Vakhir 50 Total Na2S2O3 (mL) 2

Waktu detensi 2 jam Botol 9 Titrasi Na2S2O3 Awal Vawal 50 Vakhir 50.6 Titrasi Na2S2O3 Akhir Vawal 50.6 Vakhir 51.2 Total Na2S2O3 (mL) 1.2

VI.

PENGOLAHAN DATA Pengolahan data bteakpoint chlorination Botol 2 mg ClO2/L = =


35453 0.60.4 0.087 35453 1 100

= 6.17 mg/l Botol 3 mg ClO2/L = =


35453 1.10.4 0.087 35453 1 100

= 21.6 mg/l Botol 4 mg ClO2/L = =


35453 1.40.4 0.087 35453 1 100

= 30.48 mg/l Botol 5 mg ClO2/L = =


35453 10.4 0.087 35453 1 100

= 18.51 mg/l Botol 6 mg ClO2/L = =


35453 2.50.4 0.087 35453 1 100

= 64.77 mg/l Botol 7 mg ClO2/L = =


35453 3.40.4 0.087 35453 1 100

= 92.53 mg/l Data yang diperoleh kemudian di plot ke dalam gravik dosis Klorin vs Residual klorin

grafik residual klorin vs dosis klorin


100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 1 2 Dosis Klorin

Residual Klorin

Breakpoint Chlorination
3 4

Pengolahan data hubungan waktu kontak dengan klorinasi 5 Menit

mg ClO2/L

= =

35453 20.4 0.087 35453 1 100

= 49.35 mg/l
30 Menit

mg ClO2/L

= =

35453 1.10.4 0.087 35453 1 100

= 21.59 mg/l
2 jam

mg ClO2/L

= =

35453 1.20.4 0.087 35453 1 100

= 24.67 mg/l
Grafik hubungan waktu kontak terhadap titik BPC Grafik hubungan BPC vs waktu kontak
60 50 40 BPC

30
20 10 0 0 50 100 150

Waktu Kontak

VII.

ANALISIS 1. Analisis Percobaan Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah khlor yang dibutuhkan untuk air baku dengan kualitas tertentu sehingga tercapai titik breakpoint chlorination (BPC). Sebelum melakukan percobaan praktikan melakukan persiapan yaitu mengumpulkan sampel air hujan. Alasan penggunaan air hujan karena air hujan memiliki kualitas yang hampir sama dengan air olahan yang siap untuk diklorinasi dalam pengolahan air bersih. Air hujan yang dipakai oleh kelompok praktikan adalah air hujan dari talang di gedung K Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. sampel yang diambil sebanyak minimal 900 mL. Setelah melakukan persiapan, praktikan melakukan pengujian untuk mengetahui breakpoint chlorination (BPC). Pertama praktikan memasukan 100 mL sampel kedalam botol Winkler. Setelah itu praktikan menambahkan larutan kaporit kedalam masing masing sampel sebanyak 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0; 3,5 mL kemudian botol winkler ditutup dan sampel dihomogenkan dengan cara mengocoknya. Kaporit (Ca(OCl)2) ini akan segera larut dan terionisasi menurut reaksi Ca(OCl)2 HOCl Ca2+ + 2OClH+ + OClSelanjutnya OCl akan membentuk kesetimbangan dengan air menurut reaksi Pada 20oC reaksi ini memiliki konstanta kesetimbangan 2,7 x 10-8 Sampel kemudian didiamkan selama 30 menit. Pendiaman sampel 30 menit ini disebut waktu kontak. Penggunaan waktu 30 menit karena menyesuaikan waktu kontak yang ada di dalam sistem pengolahan air minum. Setelah itu, praktikan kemudian menentukan konsentrasi dari khlor aktif. Caranya, pertama tambahkan asam asetat pekat (glacial) sebanyak 5 ml ke dalam masing-masing sampel. Tujuan penambahan asam asetat pekat ini adalah agar kondisi sampel asam dengan pH 3-4 (pH diukur dengan kertas pH) . Hal ini karena reaksi oksidasi iodin oleh residual klorin optimum pada kondisi tersebut. optimum karena pada pH tersebut senyawa yang akan mengoksidasi klorin ada pada jumlah yang paling banyak. Kemudian tambahkan KI sebanyak 1 gram, dan homogenkan lagi sampel dengan cara mengocoknya. Akibat penambahan KI, larutan sampel berubah warna menjadi

kuning kecoklatan. Hal ini terjadi karena terjadi oksidasi ion iodida dari KI menjadi iodin (I2) menurut reaksi: OCl- + 2 KI + 2 HAs NH2Cl + 2 KI + 2 HAs Cl2 + 2II2 + 2ClI2 + 2 KAs + Cl- + 2 H2O I2 + KAs + KCl + NH 4As

Atau dapat disederhanakan dalam persamaan ion bersih menjadi

Iodin yang terbentuk akan semakin banyak dengan pertambahan jumlah kaporit. Hal ini ditunjukan dengan semakin kuning larutan pada botol sampel dengan jumlah kaporit lebih banyak. Iodin yang terbentuk ini akan semakin jelas dengan penambahan indikator amilum. Setelah ditambah amilum iodin akan berubah menjadi biru tua. I2 + kanji (strach) warna biru

Warna biru tua ini diakibatkan dari iodin yang terperangkap didalam rantai spiral polisakarida (Amilum adalah polisakarida yang merupakan strukrur polimer kompleks). Larutan yang encer kemudian dititrasi dengan larutan standard tiosulfat sampai warna biru tepat hilang. Penyebab warna biru hilang karena iodin (berwarna biru) tepat habis bereaksi dengan tiosulfat. Tetapi apabila larutan sampel pekat (kuning kecoklatan) sebelum diberi indikator amilum harus dititrasi dahulu dengan larutan standard tiosulfat untuk mengurangi kepekatan iodin (sampai warna kuning muda). Penurunan kepekatan ini karena iodin akan bereaksi dengan tiosulfat. Setelah itu larutan bisa ditambahkan indikator amilum. Larutan yang sudah diberi indikator amilum kemudian di titrasi lagi dengan larutan standard tiosulfat. mL titran merupakan akumulasi dari mL tiosulfat yang digunakan dalam satu kali titrasi yaitu pada sebelum penambahan amilum dan setelah penambahan amilum. Iodine yang berikatan lemah dengan amilum akan segera lepas ketika dititrasi karena ikatan tersebut didesak oleh tiosulfat. Reaksi kimia yang terjadi selama titrasi adalah reaksi redoks yang mengubah I2 menjadi I- menurut reaksi: I2 + 2Na2S2O3 Na2S4O6 + 2NaI

Atau dapat dituliskan dalam persamaan ion bersih sebagai berikut:

I2 + 2S2O32-

S4O62- + 2I-

Setelah didapatkan ml titran praktikan kemudian membuat larutan blanko dengan air keran. Syarat larutan blanko adalah tidak mengandung senyawa khlor didalamnya dan air keran dianggap tidak mengandung khlor karena air keran di FT UI berasal dari air tanah. Larutan blanko diperlakukan sama dengan larutan sampel. Hanya saja blanko tidak ditambahkan kaporit dan setelah ditambahkan amilum, larutan dititrasi dengan larutan iodin. Hal ini karena didalam larutan blanko tidak terdapat iodin sebagai hasil reaksi dengan kaporit. Tujuan penambahan iodin hanya dijadikan sebagai indikator yang ditandai dengan warna biru. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan standard tiosulfat sampai warna biru tepat hilang. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan rumus yang ada dan direpresentasikan dalam grafik dosis klorin vs khlor aktif. Setelah didapatkan grafik BPC maka praktikan menentukan dosis kaporit dimana terjadi BPC. Pada dosis tersebut diuji lagi dengan cara yang sama tetapi dengan waktu kontak yang berbeda. Hal ini digunakan untuk menguji pengaruh lamanya waktu kontak terhadap klorinasi. 2. Analisis Hasil Data yang diperoleh berupa ml titran, ml blanko, volume sampel, normalitas tiosulfat, dan faktor pengenceran diolah menggunakan rumus
35453

. Dari pengolahan diperoleh data mg ClO2/l yang

direpresentasikan didalam grafik sebagai berikut:

grafik residual klorin vs dosis klorin


100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 1 2 Dosis Klorin

Residual Klorin

Breakpoint Chlorination
3 4

Dari grafik diatas kita bisa menganalisanya sebagai berikut

grafik residual klorin vs dosis klorin


100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0

Zona I

Zona II

Zona III

Zona IV

Residual Klorin

Breakpoint Chlorination
1 2 Dosis Klorin 3 4

Pada zona 1 terjadi oksidasi klorin. Klorin yang memiliki biloks 0 dioksidasi menjadi hipoklorit yang memiliki biloks +1. Tahap ini tidak selalu ada karena khlor yang digunakan tidak selalu dalam kondisi sebagai klorin. Selanjutnya pada zona II merupakan terjadi pembentukan kloramin dan senyawa kloro-organik (bila sampel mengandung zat organik). Kloramin juga biasa disebut dengan combined chlorine residual. Kloramin yang mungkin terbentuk adalah mono-, di-, dan trikloramin. pembentukan ini tergantung ketersediaan khlor dan amonia sebagai penyusun utamanya. Kemungkinan reaksi pembentukan kloramin adalah sebagai berikut: NH3 + HOCl NH2Cl + HOCl NHCl2 + HOCl NH2Cl + H2O NHCl2 + H2O NCl3 + H2O (Monokloramin) (Dikloramin) (Trikloramin)

Mono-, dan dikloramin mempunyai kekuatan desinfeksi yang signifikan sehingga menjadi pertimbangan dalam perhitungan residual klorin. Apabila perbandingan mol antara klorin dengan amonia adalah 1 : 1 maka akan terbentuk mono-, dan dikloramin. Pembentukan ini juga bergantung pada pH sampel. Pada pH rendah pembentukan dikloramin lebih dominan. Sementara apabila rasio mol klorin terhadap amonia 1.5 atau lebih, maka akan terbentuk trikloramin, N2 dan NO2- . pH juga merupakan parameter penting, dalam hal ini pH berpengaruh pada rasio mol klorin terhadap amonia dan

apakah akan terbentuk trikloramin, N2 atau NO2-. Pada zona III terjadi penurunan residu klorin terkombinasi. Penurunan residu klorin dengan penambahan klorin ini disebabkan oleh dekomposisi kloramin menjadi gas nitrogen (N2). Penurunan ini suatu saat akan mencapai nilai minimum yang kemudian disebut dengan breakpoint chlorination (klorinasi titik retak). Pada titik ini jumlah residual klorin, amonia dan klorin terkombinasi ada pada jumlah paling minimum. BPC digunakan untuk memperoleh free chlorine residual yang memiliki kekuatan desinfeksi lebih baik apabila supplai air mengandung amonia. BPC juga digunakan sebagai metode untuk

menghilangkan amonia pada pengolahan air limbah. Pada zona IV, terlihat bahwa residu klorin jumlahnya semakin besar seiring dengan penambahan klorin. Hal ini karena senyawa senyawa yang mungkin bereaksi dengan klorin seperti amonia, besi dan mangan sudah tidak ada lagi, sehingga tidak akan mengganggu pembentukan residu klorin bebas (free chlorine residual). Pada pengolahan air bersih jumlah klorin (Chlorine Demand) menjadi parameter yang penting. Hal ini untuk memastikan air yang terdistribusikan tidak mengandung bahan atau mikroba yang berbahaya. Penentuan jumlah klorin untuk tiap air sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh kandungan air seperti jumlah amonia, besi, mangan dan lain-lain yang berbeda beda antara satu tempat dengan tempat lainnya.Penggunaan klorin sebagai desinfektan harus mampu membunuh seluruh mikroba yang ada dan masih menyisakan residu klorin bebas yang memiliki kekuatan desinfeksi selama proses distribusi untuk membunuh mikroba yang selama proses distribusi mungkin hadir. Residu yang masih tersisa untuk proses distribusi harus memenuhi syarat berikut ini: Saluran Distribusi At all points in a piped supply At standposts and wells In tanker trucks, at filling Residual klorin (mg/L) 0.5 1.0 2.0

Sementara pengujian selanjutnya setelah didapatkan BPC adalah pengujian waktu kontak terhadap konsentrasi residu klorin

Grafik hubungan BPC vs waktu kontak


60 50

40
BPC 30 20 10 0 0 50 100 150

Waktu Kontak

Grafik diatas adalah grafik dari BPC terhadap waktu kontak. Tujuan dari pengujian adalah ini untuk mengetahui hubungan waktu kontak terhadap BPC (Residu klorin). Dari grafik terlihat bahwa semakin lama waktu kontak BPC makin kecil (residu klorin makis sedikit). Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu kontak maka klorin akan semakin banyak bereaksi dengan senyawa-senyawa yang ada di dalam sampel. Senyawa yang sudah bereaksi sebagian tidak bisa lagi mengoksidasi Iodine sebagai indikator atau dasar perhitungan klorin aktif sehingga jumlahnya semakin menurun terhadap waktu. Dalam pengolahan air bersih waktu kontak menjadi pertimbangan yang sangat penting. Hal ini karena proses desinfeksi sebanding dengan Ct. C adalah konsentrasi desinfektan dan t adalah waktu kontak. Semakin lama waktu kontak maka jumlah mikroba yang terbunuh akan semakin banyak. Tetapi ada trade off yang membatasi lamanya waktu kontak. Penentuan lamanya waktu kontak ini nantinya berhubungan dengan desain dan kapasitas bak penampungan dan debit yang akan debit kebutuhan. Penentuan waktu kontak dipilih yang paling optimum secara ekonomi dan masih memenuhi standar yang ada. 3. Analisis Kesalahan Ada beberapa kesalahan didalam praktikum yang menyebabkan data yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur. Ketidaksesuaian tersebut antara

lain pada volume titran yang di gunakan pada titrasi sampel untuk pengujian waktu kontak terhadap klorinasi. Berikut kesalahan kesalahan yang mungkin terjadi yang menyebabkan data yang diperoleh meleset: KI yang digunakan untuk pengujian di letakan di kertas biasa. Hal ini menyebabkan sebagian KI menempel ke kertas dan tidak bisa hilang walaupun sudah dibilas dengan air sampel. Semakin lama KI di letakan di kertas semakin banyak KI yang menempel. Selain itu KI kemungkinan besar bereaksi dengan senyawa yang ada di lapisan kertas ataupun udara sekitar. Hal ini dibuktikan dengan muncul flak hitam pada permukaan kertas. Terjadi kesalahan atau kecerobohan praktikan. Kesalahan yang dimaksud adalah ternyata masih terdapat gelembung udara di buret yang digunakan dalam titrasi. Sementara hal ini baru disadari ketika proses titrasi untuk sampel terakhir. Sehingga akan memakan waktu lama apabila mengulang praktikum dari awal lagi. Selain itu keterbatasan larutan standar tiosulfat juga menjadi pertimbangan kenapa praktikum tidak diulangi dari awal lagi.

VIII. KESIMPULAN 1. Dari praktikum BPC ini didapatkan grafik hubungan dosis klorin terhadap residu klorin. Grafik ini yang akan digunakan sebagai acuan dosis klorin pada proses klorinasi apabila air sampel merupakan air yang akan didesinfeksi 2. Parameter yang paling berpengaruh dalam proses klorinasi adalah C (konsentrasi desinfektan) & t (waktu kontak). Kekuatan desinfeksi sebanding lurus dengan C dan t. 3. Semakin lama waktu kontak maka jumlah residu klorin semakin sedikit. Hal ini terlihat di grafik hubungan antara waktu kontak terhadap BPC 4. Titik BPC pada pengujian ini terjadi apabila kaporit yang digunakan adalah 25 ml/L

IX.

REFERENSI Sawyer, Mc. Carty. 1987. Chemistry For Environmental Engineering. New York: Mc. Graw Hill WHO seminar pack for drinking-water Quality. 2012 Snyder, C. R., Harris, C., Anderson, J. R., Holleran, S. A., Irving, L. M., Sigmon, S. T., ... Harney, P. (1991). The will and the ways: Development and validation of an individual differences measure of hope. Journal of Personality and Social Psychology, 60, 570585 Alaerts, G dan Sri Sumestika. 1984. Metode Penelitian Air. Surabaya : Usaha Nasional. Bryan, P.J., J.B. McClintock, K. Marion, S.A. Watts and T.S. Hopkins, 1992. Feeding deterrence and chemical defense in echinoderm body wall tissues from the Northern gulf of mexico. Amer Zool, 32: 100-100 USEPA, 1999, EPA Guidance Manual Alternative Disinfectant and Oxidants, pp. 8-2. Center for Environmental Research Information, Cincinati, OH. White, G.C., 1992, Handbook of Chlorination and Alternative Disinfectant, Van Nostrand Reinhold, New York, NY

X.

LAMPIRAN

You might also like