You are on page 1of 10

Anomali Cinta

Aku mengamati kedua sosok yang berdiri di depan

pintu kelas kami. Kedua sosok ini mungkin telah banyak

menginspirasiku tentang ajaibnya cinta. Bahkan aku bisa menyebut

kisah mereka sebagai sebuah anomali cinta. Aku amat yakin, bila

keduanya juga mempunyai pikiran yang sama. Mereka bersama –

sama menganut asas pengungkapan cinta. Bagi mereka, jika kau

ingin orang yang kau cintai itu bisa mengetahui isi hatimu, maka

ungkapkanlah isi hatimu itu. Dan aku merupakan saksi

pengungkapan hati yang mereka lakukan.

Tapi cinta tak hanya sebatas pengungkapan hati

saja, menurut sebagian orang. Tapi mungkin menurut gadis mungil

dan pria kerempeng yang pada saat ini bersama – sama berdiri

mematung di samping daun pintu itu, mereka memang harus

mengiyakan bahwa cinta mereka yang tampak oleh penglihatanku

hanya sebatas saling mengungkapkan saja.

Tak pernah sekalipun kulihat mereka berdua

berjalan bersama selayaknya beberapa pasangan muda – mudi lain


yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama – sama. Mereka

lebih sering menghabiskan waktu mereka dengan segala aktivitas

masing – masing dan bahkan jika mereka terlihat sedang

berkecampung dalam suatu kegiatan yang sama, mereka seolah

bukan siapa – siapa. Bahkan terkadang seperti orang yang tak

saling mengenal. Tak ada hal yang istimewa, mungkin, bagi

sebagian orang yang memperhatikan hubungan mereka berdua.

Sehingga tak salah, jika banyak sekali yang berpikiran bahwa

keduanya memang tak mempunyai hubungan yang spesial atau

hubungan keduanya sudah kandas begitu saja.

“Kalian itu kenapa nggak pernah jalan bareng sih?”

Bberapa waktu lalu aku memberanikan diri untuk bertanya kepada

gadis mungil yang merupakan temanku itu.

“Lho, emangnya kenapa?”

“Jadi sebenarnya kalian berdua itu pacaran nggak

sih?”

“Menurut kamu sendiri gimana?”

“Setahu aku kalian masih pacaran …” aku sengaja


menggantungkan kalimatku itu. Berharap semoga gadis mungil itu

bisa menyambungnya tapi dia hanya tersenyum simpul seperti

biasanya,” … tapi kalian nggak keliatan kayak orang pacaran deh.”

“Memangnya harus? Nggak diatur dalam undang –

undang kan? Jadi mengapa harus dipusingin. Lagian menurut aku,

ini unik kok.”

Unik. Itulah kata – kata yang paling kuingat keluar

dari mulut mungil temanku itu. Bagaimana mungkin dia berpikiran

hubungan yang sedang mereka jalani ini unik. Aku yakin, dia pasti

tak pernah membaca buku seni berpacaran sama sekali.

Di hari – hari berikutnya, aku telah mengecap kata

“unik” itu baik – baik di dalam memoriku sebagai sebuah kata

yang pantas menggambarkan hubungan keduanya. Aku mulai

menyelidiki, apakah kata “unik” itu benar – benar cocok untuk

menggambarkan hubungan mereka.

Lantas ternyata hidup memang tak selalu mulus

laksana sutera. Temanku tersandung di suatu Sabtu sore yang

cerah. Sebuah kabar yang tak mengenakkan hatinya datang serupa


drakula yang mengisap darah hewan – hewan liar. Aku bisa

melihat matanya yang berkaca – kaca, berusaha menahan tetesan

air bening dari matanya itu. Aku bisa memahami kalut yang ada di

dalam hatinya. Hingga aku pun maklum jika pada akhirnya dia

meneteskan air mata di sela – sela penuturan Lita di rumah Tri sore

itu.

“Udah, Ni. Udah …” hiburku padanya. Tapi

tangisnya tak kunjung reda. Ia menangis tanpa suara.

“Udah lah, Ni. Laki – laki itu bukan cuma Apri aja.

Masih banyak yang lainnya. Dia itu emang kebangetan.”

“Tapi sebenernya yang salah di sini siapa sih? Apri

atau Yeny?” Tanya yang lain menimbrungi ucapan Lita tadi.

“Yah … dua – duanya dong,” seru Adit yang

terkenal tak pernah manis dengan urusan cinta. Ia selalu

mengatakan apa pun yang ada di dalam hatinya, termasuk

kekesalannya dan tak pernah menyembunyikannya sedikit pun.

“Yang namanya kucing itu, kalau diumpanin ikan emang paling

mau. Kayak si Apri tuh, persis banget.”


Hening setelah itu. Lalu Nini berujar di tengah

isakan tangisnya itu. “Apa sih salah aku? Aku nggak pernah

ngelakuin hal itu ke dia.”

“Udah, Ni. Kalo aku jadi kamu, aku minta putus

aja!” tandas Adit dengan sinisnya. Teman – temanku yang lain

dengan serta – merta melarangnya, terutama Tri, si Pemilik rumah

yang kami singgahi saat itu.

“Menurut aku, jangan putus dulu dong. Tanya dulu

sama Apri baik – baik. Siapa tahu ternyata Apri emang nggak

salah.”

“Iya betul itu,” balasku. Meski aku memang heran

dengan pacaran Nini dan Apri, tapi aku sama sekali tak menyetujui

jika mereka harus mengakhiri hubungan mereka yang menurut

Nini unik itu. “Aku SMS Apri dulu ya. Mau nanya kebenarannya.”

Tak lama berselang setelah itu, Apri pun langsung

meneleponku. Kami semua berpandangan. Haruskah aku

mengangkat telepon itu? Aku menatap Nini dan Nini hanya

menggeleng sewaktu aku menawarkan kepadanya untuk berbicara


dengan Apri. Beberapa kali kejadian yang sama berulang sehingga

pada akhirnya Nini tak tega untuk tidak mengangkat telepon dari

pacarnya itu. Nini menekan tombol “yes” dan terdiam untuk

beberapa saat.

Suara Apri terdengar dari seberang sana. Meskipun

loudspeaker ponselku itu tidak diaktifkan Nini, tapi kami bisa

mendengar suara panik Apri. Sejauh ini aku tak bisa

menyimpulkan apa pun. Aku tak tega menuduh Apri bersalah

seperti halnya aku tak tega melihat Nini menangis.

***

Keesokannya, pasangan itu berbaikan. Nini dan

Apri memang tak tega melihat satu sama lainnya dirundung

kesedihan. Hari itu adalah hari pertama aku melihat Apri dan Nini,

pasangan yang aneh dan ajaib itu berjalan bersama, melangkah

bersaingan. Mereka berjalan di tengah keramaian pasar senggol.

Entah siapa yang merencanakan berjalan di pasar ini. Tapi aku

mengikuti mereka saja atas undangan Nini. Aku menjadi bagian

dari obrolan mereka. Mungkin sampai saat ini akulah yang


mendominasi obrolan mereka itu. Aku bagaikan seorang moderator

yang sekaligus merangkap sebagai narasumber. Tapi akhirnya,

kedua temanku ini bisa juga mengakrabkan diri. Berbicara pelan –

pelan sambil mengelilingi pasar senggol itu. Aku pun hanya

membuntuti keduanya yang berjalan dengan terpisah jarak

setengah meter dari belakang. Mungkin mereka sedang mencari

ketenangan di tengah pasar senggol ini.

Keduanya terdengar asyik berbincang. Hal ini

menunjukkan kepadaku bahwa mereka memang pantas bersama.

Sesekali keduanya tertawa, mengulum senyum, menunjuk –

nunjuk ke arah pedagang sayur yang ada di sekitar jalanan kecil

itu. Berdesak – desakkan dengan lalu – lalang orang yang mulai

memenuhi pasar senggol di hari Minggu itu.

“Kenapa sebagian besar pasar tradisional di

Indonesia selalu terlihat kumuh sih?” Tanya Nini. Aku mendengar

keduanya baik – baik. Sejauh ini mereka memperbincangkan

beragam topik permasalah, mulai dari masalah sains, cerita – cerita

fiksi ilmiah, politik, sosial, ekonomi, sampai ke masalah


lingkungan ini. Aku tergelitik dengan dialog yang mereka

mainkan. Anomali cinta kembali terjadi . Dari sekian banyak topik

itu, aku sama sekali tak mendengar keduanya memperbincangkan

masalah pribadi mereka. Apakah ini salah satu cara mereka untuk

mengenal pribadi masing – masing?

“Menteri lingkungan hidup kita mungkin kurang

berperan aktif dalam menata kondisi pasar – pasar ini.”

“Iya yah. Tapi menurut aku, pemerintah daerah

lebih bertanggung jawab terhadap masalah ini.”

“Nah untuk itu, perlu peran serta Menteri

lingkungan hidup yang mengeluarkan instruksi atau peraturan

menteri yang berisikan perintah untuk menata kota – kota yang

tersebar di pelosok nusantara dengan berwawasan lingkungan.”

“Wah, ide bagus tuh. Kenapa nggak kita saranin aja

ke Menteri lingkungan hidup.”

“Saranin aja. Syukur – syukur kalo beliau mau

mendengar. Tapi kalau pun nggak, tunggu aku jadi menteri

lingkungan hidup aja. Hal pertama yang aku lakuin adalah menata
Indonesia sesuai dengan wawasan lingkungan.”

Dialog itu pun terus berlanjut dengan argumen –

argumen yang lebih menarik. Hingga membuat aku tak merasa

jenuh berada di belakang mereka. Aku tergelitik dan sangat tertarik

mendengarnya.

Dan tak kusangka, ternyata hari itu adalah akhir dari

hubungan aneh nan ajaib keduanya. Hari yang aku perkirakan akan

menjadi sebuah permulaan hubungan yang semestinya ternyata

merupakan akhir dari hubungan mereka. Hubungan itu mereka

simpan seakan – akan menjadi suatu dokumen penting yang

menghiasai massa – massa SMA mereka.

***

Hari ini aku melihat keduanya sedang berdiri di

samping daun pintu seolah seperti sebuah patung yang

mengucapkan selamat datang kepada seluruh penghuni kelas. Tak

kulihat segurat dendam atau sakit hati dari wajah keduanya.

Mereka masih seperti yang dulu, tersenyum dengan yang lainnya

dan tak banyak berbicara. Persis seperti hubungan anen nan ajaib
yang mereka jalani berbulan – bulan sewaktu permulaan SMA.

Aku tak bisa memungkiri jika keduanya mungkin

masih memendam rasa satu sama lain. Tapi mereka tak ingin

mengungkapkannya demi alasan yang entah memang sudah

tersebar ke seantero kelas atau alasan lain yang tak diketahui

seorang pun kecuali keduanya. Mungkin inilah anomali cinta. Tak

selamanya cinta itu harus memiliki. Dan tak selamanya cinta itu

akan berbuah benci.

You might also like