You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal diantaranya disebabkan oleh alergi.1 Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik. Di negaranegara maju, 20-30% populasi mempunyai riwayat alergi, dan 50% individual tersebut mengidap konjungtivitis alergi. keratokonjungtivitis alergi.2,3 Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit yang bisa terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun dapat pula prognosis penyakit ini menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik.4 Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas secara umum tentang konjungtivitis alergi itu sendiri dan bagaimana penanganan yang baik untuk konjungtivitis tersebut sehingga tidak terjadi komplikasinya dan mendapatkan prognosis yang baik ke depannya. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari peradangan atau bentuk kronik yang berat seperti ringan seperti konjungtivitis alergi musiman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi konjungtivitis alergi Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa.5 Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan dengan kulit.5

2.2. Anatomi dan fisiologi konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea limbus.2 Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat digerakkan dari tarsus. bawahnya. peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan : Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karankula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel supercial, mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Stroma konjungtiva, dibagi menjadi :

Lapisan adenoid (superficial) Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa (profundus)
3

Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reksi papiler pada radang konjungitiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur dan fungsinya

mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas.2

2.3. Epidemiologi Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada dewasa muda.6

2.4. Etiologi Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :1 a. b. c. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.

2.5. Patofisiologi konjungtivitis alergi secara umum Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat masuknya benda asing ke dalam konjunctiva akan memicu suatu kompleks kejadian yang dinamakan respon radang atau inflamasi. Tanda-tanda terjadinya inflamasi pada umumnya adalah kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak) dan fungsiolesa. Masuknya benda asing ke dalam konjungtiva tersebut pertama kali akan di respon oleh tubuh dengan mengeluarkan air mata.

Air mata diproduksi oleh Apartus Lakrimalis, berfungsi melapisi permukaan konjungtiva dan kornea sebagai Film air mata. Fungsi air mata: 1. 2. 3. 4. 5. Menghaluskan permukaan air kornea Memberi nutrisi pada kornea Anti bakteri Perlindungan mekanik terhadap benda asing Lapisan Akuos (berada di tengah)

Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan menyebabkan vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran darah ke lokasi (vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a. palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan velocity aliran darah ke lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di endotel vaskuler), terjadi peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat pada endotel pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan marginasi dan ekstravasasi), pembuluh darah membawa darah membanjiri jaringan kapiler jaringan memerah (RUBOR) dan memanas (KALOR), peningkatan permeabilitas kapiler, masuknya cairan dan sel dari kapiler ke jaringan terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema), peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah dan peningkatan adhesi, dan migrasi leukosit (terutama fagosit) dari kapiler ke jaringan. Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi mediator-mediator kimiawi yakni: 1. 2. Histamin Dilepaskan oleh sel merangsang vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Lekotrin Dihasilkan dari membran sel meningkatkan kontraksi otot polos mendorong kemotaksis untuk netrofil. 3. Prostaglandin Dihasilkan dari membran sel meningkatkan vasodilatasi, permeabilitas vaskuler mendorong kemotaksis untuk neutrofil. 4. Platelet aggregating factors Menyebabkan agregasi platelet mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
5

5.

Kemokin Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi) beberapa macam kemokin: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon activation normal T cell expressed and secreted), MCP (monocyte chemoattractant protein).

6.

Sitokin Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen endogen yang memicu demam melalui hipotalamus, memicu produksi protein fase akut oleh hati, memicu peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang leukositosis beberapa macam sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6), TNF-a (tumor necrosis factor alpha).

7.

Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis). Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal. Oksigen dan nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk mikroorganisme.

Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor : 1. 2. limfoid 3. 4. 5. 6. Epitel konjungtiva terus menerus diganti Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata, sehingga perkembangbiakan mikroorganisme terhambat Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi sel-sel goblet kemudian akan digelontor oleh aliran air mata Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat anti mikrobial Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak kelenjar

Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai aktifasi sel mast pada permukaan mata. Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi
6

yang akan mempersiapkan sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik. Sel T yang berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE reseptor pada permukaan sel mast. Kemudian smemicu pelepasan sitokin, prostaglandin dan platelet activating factor. Sel mast menyebabkan peradangan dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika histamin dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan dengan reseptor H1 pada ujung saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga akan akan berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin, interleukin IL8 terlibat dalam memicu netrofil.Sitokin TH2 seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan IL-4, IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan sensitivitas.5

2.6. Manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang konjungtivitis alergi secara umum Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva, injeksi konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyaki alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.1,2

2.7. Klasifikasi konjungtivitis alergi Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi oleh IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi. Semua gejala pada konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap benda asing. Terdapat beberapa jenis konjungtivitis yakni konjungtivitis demam jerami, keratokonjungivitis atopik, konjungtivitis musiman, vernal konjungtivitis, Giant papilary konjungtivitis dan konjungtivitis flikten. Konjungtivitis dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya yakni konjungtivitis yang bersifat akut yakni konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis parennial sedangkan konjungtivitis kronis yakni keratokonjungtivitis vernal dan keratokonjungtivitis atopik.1
7

a. Konjungtivitis hay fever (konjungtivitis demam jerami/konjungtivitis simpleks)

Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal. Oleh karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat menyebabkan konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi. Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama. Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan bulu hewan. Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:
1) respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas

pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.


2) respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel plasma

dan mediator lain.


3) respon

konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan

meningkatnya pembentukan jaringan ikat.5

b. Konjungtivitis vernal Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang (recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga dikenal sebagai konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau. Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim, atau sepanjang tahun di negeri tropis (panas).1,2

Etiologi dan Predisposisi

Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat alergi.1,2,7 Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumputrumputan.1 Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut: Tipe I : Reaksi Anafilaksi Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Tipe II : reaksi sitotoksik Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini. Tipe III : reaksi imun kompleks Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks. Tipe IV : Reaksi tipe lambat Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis. Manifestasi Klinis
9

Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang, dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat beraktivitas normal.1,2,7 Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :

Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal superior.

Terdapat pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak (polygonal) dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler ditengahnya.1,2

Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral

Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat

membentuk jaringan hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.1,2

10

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk limbal Patofisiologi Pada bentuk palpebral, perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobbles tone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea. Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama, yaitu: perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma. Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Penggunaan jaringan yang dilapisi plastik yang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya dan elektron dapat memungkinkan beberapa observasi tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel sebagaimana juga pada substansi propria. Walaupun sebagian besar sel merupakan komponen normal dari substansi propia, namun tidak terdapat jaringan epitel konjungtiva normal.
11

Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernal telah digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum dikenali.2,5

Gambaran Histopatologik Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast.Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar. Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaanklinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 510 lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan mengalami keratinisasi.1,2,5 Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis). Horner-Trantas dots yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.

12

Gambar 4. Histologi Konjungtivitis Vernal Terlihat Banyak Sel Radang Terutama Eosinofil

Pemeriksaan Penunjang Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE. Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1 berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata sel per kubik milimeter tidak melampaui jumlah normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh darah. Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal dari dua pasien lainnya. Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat
13

korelasi yang signifikan antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara spesifik ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan yang menjadi butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis antibodi ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE. Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan menggunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mastosit dalam substantia propia daripada dengan pengamatan yang menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi. Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah permukaan lain pada level ini.5,7

c. Konjungtivitis atopi Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis atopi. Tanda dan gejalanya berupa sensasi terbakar, kotoran mata berlendir, merah dan fotofobia. Terdapat papil halus tetapi papil raksasa tidak ditemukan seperti pada konjungtivitis vernal. Kerokan konjungtiva menampakan eosinofil meski tidak sebanyak terlihat pada
14

keratokonjungtivitis vernal.1

d. Giant papilary konjungtivitis Giant papilary konjungtivitis dengan tanda dan gejala mirip dengan konjungtivitis vernal dapat timbul pada pasien yang menggunakan mata buatan dari plastik atau lensa kontak terutama jika memakainya melewati waktunya. Konjungtivitis Giant Papillarry diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva tarsalis superior. Konjungtivitis ini mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kaya basofil dan mungkin dimediasi oleh IgE. Keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter.1

e. Konjungtivitis flikten Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV)

terhadap bakteri atau antigen tertentu, seperti tuberkuloprotein pada penyakit tuberkolosis, infeksi bakteri (stafilokok, pneumokok, streptokok, dan Koch Weeks), virus (herpes simplek), toksin dari moluskum kontagiosum yang terdapat pada margo palpebra, jamur (kandida albikan), cacing (askaris, tripanosomiasis), limfogranuloma venereal, leismaniasis, infeksi parasit dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Konjungtivitis flikten biassanya dimulai dengan munculnya lesi kecil berdiameter 1-3 mm yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi zona hiperemis. Di limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah kornea.1,2

2.8. Penatalaksanaan Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Obat-obatan yang menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus konjungtivitis alergi untuk menurunkan respon imun tubuh dan meredakan gejala inflamasi. Obat obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:
15

Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya, edema, dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga membatasi migrasi makrofag dan neutrofil untuk daerah meradang serta memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya induksi asam arakidonat cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata akut alergi, steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya harus dibatasi karena potensi efek samping dengan biala lama digunakan. Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi: katarak subkapsular posterior dan peningkatan tekanan intraokular (TIO). Vasokonstriktor topikal / antihistamin. Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan memblokir histamin H1 receptors Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin dan dapat mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%, sebuah H1 selektif topikal antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala alergi lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%, efektif dalam mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%, suatu antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine dalam mengurangi chemosis, kelopak mata bengkak,dan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman pada pasien dewasa dan anak. Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi, meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi. Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel mast, sehingga membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin, neutrofil dan eosinofil faktor chemotactic, dan platelet-activating factor. Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh digunakan untuk mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik diberikan siklosporin A dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik yang berat. Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon alergi dengan edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan dengan hati-hati karena penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi pertama obat16

obatan. Pasien harus memperingatkan efek samping potensial. Antihistamin baru yang jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi, tetapi penggunaannya dapat mengakibatkan kekeringan okular meningkat permukaan.3,4,6 Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa : a. Terapi lokalis
-

Steroid topical penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.1,2,7

Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2% Antihistamin topical Acetyl cysteine 0,5% Siklosporin topical 1% Anti histamine oral untuk mengurangi gatal Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.
-

b. Terapi sistemik;

c. Terapi lain dan pencegahan

Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan,

karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator -mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.
-

Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk

sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.


-

Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan

alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.
-

Kompres dingin dapat meringankan gejala.


17

Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfung

si protektif karena membantu menghalau allergen.


-

Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering juga disebut sebagai climato-therapy.

2.9. Komplikasi Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi sekunder. Sedangkan, komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik dapat mengganggu penglihatan.8

2.10. Prognosis Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak ditangani dengan baik.2,6

BAB III PENUTUP

18

Konjungtiva merupakan membran yang tipis dan transparan yang melapisi bagian anterior dari bola mata (konjungtiva bulbi), serta melapisi bagian posterior dari palpebra (konjungtiva palpebrae). Oleh karena letaknya yang paling luar itulah sehingga konjungtiva sering terpapar terhadap banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu. Salah satu penyakit konjungtiva yang paling sering adalah konjungtivitis. Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Adapun, salah satu penyebab dari konjungtivitis adalah alergi. Konjungtivitis alergi itu sendiri juga dibagi dalam klasifikasi dan salah satunya termasuk konjungtivitis vernal. Penanganan yang diberikan berupa steroid dan antihistamin topikal serta yang sistemik. Biasanya konjungtivitis alergi dapat sembuh sendiri, namun bila terlalu berat perlu diberi pengobatan secara benar. Jika penanganan tidak baik, maka akan timbul suatu komplikasi. Oleh karena itu, perlu pencegahan sebelum terjadi konjungtivitis alergi berupa hindari dari penyebab alergen tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. h116-46.
19

2.
3.

Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika ; 2000. h. 5-6, 115 Scott, IU. Alergy Conjunctivitis. 2011. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall. 25 November 2012.

4. 5.

Greg M., Peter M. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis. Medicine Today. Volume 8, Number 11. November 2011. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive Ophtalmology. Ed. 4. New Delhi: New Age ; 2010. h. 51-88. M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. 2012. 2012. Diunduh dari dari 25 dari 25

6. Ventocillia

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. 25 November 2012.


7. Medicastore. Konjungtivitis Vernalis.

Diunduh

http://www.medicastore.com/penyakit/865/Keratokonjungtivitis_Vernalis.html. November 2012.


8. Konjungtivitis.

2010.

Diunduh

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31458/4/Chapter%20II.pdf. November 2012.

20

You might also like