You are on page 1of 39

1. Hemoglobinopati Hemoglobinopati adalah sekelompok kelainan herediter yang ditandai oleh gangguan pembentukan molekul hemoglobin.

Kelainan ini dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu : a. Hemoglobinopati struktural Di sini terjadi perubahan sturktur hemoglobin (kualitatif) karena substitusi satu asam amino atau lebih pada salah satu rantai peptida hemoglobin. Hemoglobinopati yang penting sebagian besar merupakan varian rantai beta. Pada hemoglobinopati struktural dapat ditemukan splenomegali namun tidak dapat ditemukan hepatomegali. Contoh hemoglobinopati struktural adalah penyakit HbC, HbE, HbS dll b. Thalassemia Thalassemia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal (kuantitatif). Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies. Eritrosit yang mengandung Heinz Bodies ini mengalami hemolisis intramedular sehingga terjadi eritropoesis inefektif, disertai pemendekan masa hidup eritrosit yang beredar. Sering diikuti kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk konfigurasi lain. Thalassemia a. Definisi Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara autosomal resesif yang secara umum terdapat penurunan kecepatan sintesis pada satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin. Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia dan thalassemia . Namun berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia mayor dan thalassemia intermedia. b. Klasifikasi Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia dan thalassemia . Namun berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia mayor dan thalassemia intermedia.

o Thalassemia Alfa (-thalassemia) Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa pada bayi yang baru lahir masih terdapat jumlah HbF(22) yang masih cukup tinggi. Pada usia 20 hari sesudah kelahiran kadar HbF akan menurun dan setelah 6 bulan kadarnya akan menjadi normal seperti orang dewasa. Selanjutnya pada masa tersebut akan terjadi konversi HbF menjadi HbA(22) dan HbA2 (22). Pada kasus thalassemia , akan terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan produksi rantai globin (memiliki 4 lokus genetik) menurun yang menyebabkan adanya kelebihan rantai globin pada orang dewasa dan kelebihan rantai pada newborn. Derajat thalassemia berhubungan dengan jumlah lokus yang termutasi (semakin banyak lokus yang termutasi, derajat thalassemia semakin tinggi)

Silent carrier thalassemia : Salah satu dari empat gen absent (/o). Tiga loki globin cukup memungkinkan produksi Hb normal. Secara hematologis sehat, kadang-kadang indeks RBC rendah. Tidak ada anemia dan hypochromia pada orang ini. Diagnosis tidak dapat ditentukan dengan elektroforesis. Etnis populasi African American. CBC (Complete blood count) salah satu orangtua menunjukkan hypochromia dan microcytosis.

thalassemia trait : Delesi pd 2 gen (/oo) atau (o/o). Dua loki globin memungkinkan erythropoiesis hampir normal, tetapi ada anemia hypochromic microcytic ringan dan indeks RBC rendah.

thalassemia intermedia (Hb H disease) : Delesi 3 gen globin (o/oo). 2 Hb yagn tidak stabil ada dlm drh : HbH (tetramer rantai ) & Hb Barts (tetramer rantai ). Kedua Hb yang tidak stabil ini memp afinitas yang thd O2 drpd Hb normal pengiriman O2 yg rendah ke jaringan. Ada anemia hypochromic microcytic dg sel-sel target dan Heinz bodies (precipited HbH) pd preparat apus drh tepi, juga splenomegali. Kelainan ini nampak pd masa anak-anak atau pd awal kehidupan dewasa ketika anemia dan splenomegali terlihat

thalassemia major/homozygous thalassemia Delesi sempurna 4 gen (oo/oo). Fetus tdk dpt hidup segera sesdh keluar dr uterus dan kehamilan mungkin tdk bertahan lama. Sebag besar bayi dmk mati pd saat lahir dg hydrops fetalis,dan bayi yg lahir hidup akan segera mati stlh lahir, kecuali transfusi darah intrauterine diberikan. Mereka edema dan memp sedikit Hb yg bersirkulasi, dan Hb yg ada semua tetramer rantai (Hb Barts).

o Thalassemia Beta (-thalassemia) Thalassemia terkadi karena mutasi pd gen HBB pd khromosom 11. Thalassemia ini diturunkan scr autosom resesif. Derajat penyakit tgt pd sifat dasar mutasi. Mutasi diklasifikasikan sbg (o) jika mereka mencegah pembtkan rantai , mereka dikatakan sbg (+) jika mereka memungkinkan formasi bbrp rantai terjadi. Terdapat rantai relatif berlebihan, ttp ini tdk membtk tetramer. Mereka berikatan dg membran sel drh merah, yg menyebabkan kerusakan membran, dan pd konsentrasi tinggi mereka membtk agregat toksik.

Silent carrier thalassemia : mutasi tidak ada gejala, kecuali kemungkinan indeks RBC rendah. Mutasi thalassemia sangat ringan (+ thalassemia),

thalassemia trait/minor : produksi rantai berkisar dari 0 tingkat defisiensi yang bervariasi. Anemia ringan, indeks RBC abnormal & Hb elektroforesis abnormal (HbA2 &/ HbF -). Hipochromia & microcytosis, target cells and faint basophilic stippling. Pada sebagian besar kasus asimtomatik, dan banyak penderita tidak menyadari kelainan ini. Deteksi biasanya dengan mengukur ukuran RBC (MCV : mean corpuscular volume) dan memperhatikan volume rata-rata yang agak daripada normal. Thalassemia intermedia (heterozygous) : suatu kondisi tengah antara bentuk major dan minor. Penderita dapat hidup normal, tetapi mungkin memerlukan transfusi sekalisekali, misal pada saat sakit atau hamil, tergantung pada derajad anemianya.

thalassemia associated with chain structural variants : sindrom thalassemia (HbE/ thalassemia). Secara klinik : seringan thalassemia intermedia thalassemia major.

Thalassemia major (Cooley anemia) : kedua allele -globin mutasi. Hypochromic & microcytosis berat, anisocytosis, RBC terfragmentasi, hypochromic macrocytes, polychromasia, RBC bernucleus & kadang leukosit immatur. Anemi tergantung transfusi, massive splenomegaly, bone deformities, retardasi pertban. Tanpa pengobatan mati dalam 5 tahun pertama sebab komplikasi anemia.

c. Patofisiologi Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran selsel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis.

d. Patogenesis o Thalassemia Alfa Pada thalassemia alfa terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan tidak terbentuknya rantai globin . Pada newborn yang masih memiliki Hb F (22), kekurangan rantai globin menyebabkan terdapat rantai globin yang tidak berpasangan. Rantai globin yang tidak berpasangan tersebut, kemudian akan membentuk tetramer sebagai Hb Barts. Sedangkan pada bayi > 6 bulan (dimana kadar HbF sama dengan orang dewasa) terdapat Hb A (22), kekurangan rantai globin menyebabkan rantai tidak berpasangan yang kemudian membentuk tetramer sebagai HbH. Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoiesis yang kurang efektif. Tetramer HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena HbH dan Hb Barts adalah homotetramer yang tidak mengalami perubahan allosentrik yang diperlukan untuk transpor oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bisa melepas oksigen pada tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Hb Barts sebanding

dengan beratnya hipoksia

o Thalassemia Beta Pada thalassemia beta terjadi mutasi pada kromosom 11 yang menyebabkan tidak terbentuknya rantai globin yang mengakibatkan kelebihan rantai globin pada HbA (22). Kelebihan rantai akan mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prokursor eritrosit yang hebat intramedular. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga pada thalassemia disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit dan memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Terjadinya eritropoesis yang berlangsusng tidak efektif mengakibatkan jumlah eritrosit normal yang dibutuhkan menjadi berkurang. Hal ini menimbulkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang (intramedular), dan bila masih belum mencukupi akan dibantu dengan eritropoesis ekstramedular pada hati dan limpa. Sebagian kecil precursor eritrosit memiliki kemampuan membuat rantai menghasilkan HbF extra uterine. Pada thalassemia sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai membentuk HbF. Kombinasi anemia pada thalassemia dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi , menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan parubahan tulang, peningkatan absorbsi besi, metabolisme yang tinggi dan gambaran klinis thalassemia mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa yang diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit dalam limpa, sehngga menimbulkan gambaran hiperplenisme.

e. Manifestasi Klinis Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemia. Gejala awal pucat (karena pecahnya sel darah merah) mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terlambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama bisanya menyebabkan pembesaran jantung.

Terdapat hepatomegali (pada kasus thalassemia berat) dan splenomegali yang dapat menyebabkan penderita mudah terserang infeksi. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoiesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawatan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, pembesaran ginjal dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme. Selain itu terdapa pula Osteoporosis Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantara, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).

2. Anemia Normositik Normokrom

Penyebab dan patofisiologi anemia normositik normokrom Anemia normositik normokrom dapat terjadi karena a. Hemolitik b. Pasca perdarahan akut c. anemia aplastik d. sindrom mielodisplasia e. alkoholism f. anemia pada penyakit hati kronik

Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah / destruksi darah yang berlebih sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras lagi dalam eritropoiesis. Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran darah tepi. Jika

retikulosit tidak ditemukan, maka dicurigai adanya anemia aplastik, anemia def besi dan b12 yang tidak diobati, terapi radiasi, masalah endokrin, kegagalan sumsum tulang, sindrom mielodisplasia, dan alkoholism.

a. Anemia Hemolitik Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh pemecahan eritrosit yang meningkat. Normal masa hidup sel eritrosit dalam sirkulasi darah berkisar diantara 100120 hari. Setelah kira-kira 120 hari eritrosit tersebut mengalami penghancuran oleh sistim RE, terutama di limpa. Apabila proses penghancuran tersebut berlangsung lebih cepat dari waktu yang tersebut diatas maka umur eritrosit memendek. Timbulnya anemia akibat faktor yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan sumsum tulang meningkatkan produksi eritrosit yang cukup sebagai kompensasi dari umur eritrosit yang memendek. Bila sumsum tulangnya normal, maka dia mampu untuk mengkompensasi berkurangnya umur eritrosit 4-6 kali dan mencegah terjadinya anemia sehingga terjadilah keadaan yang disebut penyakit hemolitik terkompensasi. Banyak hal yang dapat menyebabkan hemolitik, sebaiknya penyebab-penyebab hemolitik tersebut dibagi 2 kategori:

1. Kelainan intra korpuskular. Hampir selalu herediter, dimana eritrosit abnormal sejak pembentukannya dalam sumsum tulang. 2. Kelainan ekstra korpuskular. Hampir selalu didapat sesudah lahir, dimana eritrosit dibentuk normal oleh sumsum tulang tetapi rusak oleh sesuatu didalam sirkulasi.

Anemia hemolitik herediter biasanya disebabkan cacat intrinsik eritrosit. Darah normal yang ditransfusikan bertahan sama lama pada pasien ini seperti pada resipient sehat. Anemia hemolitik didapat biasanya merupakan perubahan ekstra korpuskular atau lingkungan, darah normal yang ditransfusikan akan mempunyai umur yang sama pendek seperti sel eritrosit pasien itu sendiri.

Klasifikasi

a) Anemia hemolitik herediter.

1. Cacat pada membran. 2. Cacat pada metabolisme. 3. Cacat pada hemoglobin.

b) Anemia hemolitik didapat 1. Gangguan proses immunologis - Anemia hemolitik autoimmun - Isoimun 2. Sindrom fragmentasi 3. Hipersplenisme 4. Skunder : - Penyakit ginjal - Penyakit hati

5. Paroxysimal Nocturnal Hemoglobin (PNH) 6. Lain-lain ; infeksi, zat kimia, toksin, obat-obatan.

Pada beberapa penelitian sering ditemukan masa hidup eritrosit memendek pada penderita sirosis hati. Mengapa terjadi penurunan umur eritrosit ini, alasanya belum diketahui dengan pasti. Pada sirosis hati dijumpai adanya perubahan yang khas pada lipid membran eritrosit, dimana rasio kolesterol dan fosfolipid membran eritrosit berubah dan sebagai akibatnya terbentuk kelainan morfologi eritrosit berupa makrosit tipis, target sel dan makrosit tebal. Bila kegagalan fungsi hati semakin berat, penimbunan kolesterol dalam membran eritrosit tanpa disertai penimbunan lesitin mengakibatkan terbentuknya spur sel (sel taji, akantosis). Dengan terbentuknya spur sel, umur eritrosit menjadi memendek, karena terjadi hemolisis dan menandakan penyakit hati menjadi berat dan mempunyai prognosa jelek. Disamping itu hemolisis juga diakibatkan oleh abnormalitas metabolisme eritrosit, dengan terbentuknya Heinzbodies dan adanya penurunan ATP pada hipofosfatemia, serta oleh adanya hipersplenisme yang menyebabkan umur eritrosit memendek.

Gejala Klinis Gambaran klinis suatu anemia tergantung kepada : a) Tingkat anemia (berat, sedang, dan ringan). b) Etiologi anemia. c) Kecepatan terjadinya anemia (akut atau kronis). d) Umur penderita. e) Kemampuan sistem kardiovaskular dan pulmonal untuk melakukan kompensasi akibat anemia.

Apabila terjadi anemia pada seorang penderita maka kemampuan hemoglobin sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru sampai keseluruh jaringan tubuh akan mengalami gangguan. Kapasitas pengangkut O2 akan menurun sampai batas tertentu kesetiap jaringan dan menimbulkan hipoksia jaringan. Akibat hipoksia, setiap jaringan akan menimbulkan reaksi berupa gejala dan tanda yang khas untuk masing- masing organ tubuh terutama organ vital seperti otak, jantung, paru-paru, vaskular, dan muskuloskeletal.

Pada ummunya, gejala dan tanda anemia adalah mudah lemah, terutama waktu bekerja, pucat pada selaput lendir mulut dan mata, gangguan kardiovaskular, jantung berdebardebar, nadi cepat atau sesak nafas. Adanya rasa nyeri pada dada (angina) bila disertai iskemia. Gejala dan tanda amemia hemolitik secara umum pasien kelihatan pucat, ikterus serta splenomegali.

Pemeriksaan laboratorium Hasil laboratorium dibagi menjadi 3 kelompok : a) Gambaran peningkatan penghancuran eritrosit : 1. Bilirubin serum meningkat, terutama inderek. 2. Urobilinogen urin meningkat.

3. Sterkobilinogen feses meningkat. 4. Haptoglobin serum tidak ada karena kompleks hemoglobin-hemoglobin ditarik oleh RE sel.

b) Gambaran peningkatan produksi eritrosit : 1. Retikulositosis. 2. Hiperplasia eritrosit sumsum tulang.

c) Eritrosit rusak : 1. Fragilitas Osmotik, otohemolitis dan sebagainya. 2. Umur eritrosit memendek. Terbaik diperlihatkan oleh penandaan (labelling) 51Cr dengan pemeriksaan tempat -tempat destruksi. 3. Morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit. Penatalaksanaan Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksik imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon) kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-obatan sitostatik seperti klorambusil dan siklofosmid. Mengingat insiden yang besar pada autoimun anemia hemolitik, maka jenis anemia ini akan dibahas secara khusus seperti di bawah ini.

Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA) Kadang-kadang sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun). Jika suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun. Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.: Antibodi tipe hangat (warm type) yang aktif pada suhu 37C (85%)

Antibodi tipe dingin (cold type) yang aktif pada suhu 4C (15%).

a. Anemia Hemolitik Antibodi Hangat. Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa. Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena , selanjutnya per-oral (ditelan). Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi. Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).

Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun. Bank darah mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap antibodi, dan transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi antibodi. b. Anemia Hemolitik Antibodi Dingin. Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.

Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala. Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan. Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat. Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh. Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik.

Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal Definisi Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang disebabkan serangan mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan. Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah. Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap (hemoglobinuria). Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja dan pada jenis kelamin apa saja. Penyebabnya masih belum diketahui. Penyakit ini bisa menyebabkan kram perut atau nyeri punggung yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari perut dan tungkai. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini. Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya prednison). Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan antikoagulan (obat yang mengurangi kecenderungan darah untuk membeku, misalnya warfarin). Transplantasi

sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita yang menunjukkan anemia yang sangat berat. Etiologi Sejumlah faktor dapat meningkatkan penghancuran sel darah merah: - Pembesaran limpa (splenomegali) - Sumbatan dalam pembuluh darah - Antibodi bisa terikat pada sel darah merah dan menyebabkan sistem kekebalan menghancurkannya dalam suatu reaksi autoimun - Kadang sel darah merah hancur karena adanya kelainan dalam sel itu sendiri (misalnya kelainan bentuk dan permukaan, kelainan fungsi atau kelainan kandungan hemoglobin) - Penyakit tertentu (misalnya lupus eritematosus sistemik dan kanker tertentu, terutama limfoma) - Obat-obatan (misalnya metildopa, dapson dan golongan sulfa).

Gejala Klinis Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia yang lainnya. Kadang-kadang hemolisis terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai dengan: - demam - menggigil - nyeri punggung dan nyeri lambung - perasaan melayang - penurunan tekanan darah yang berarti.

Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap bisa terjadi karena bagian dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah. Limpa membesar karena menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur, kadang menyebabkan nyeri perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah

b. Anemia Pasca Perdarahan Definisi Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh perdarahan. Etiologi Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia. Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah berkurang. Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul dengan segera karena kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada: - Kecelakaan - Pembedahan - Persalinan - Pecahnya pembuluh darah.

Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau berulangulang), yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat. Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan tersembunyi. Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa menyebabkan ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan menstruasi yang sangat banyak.

Gejala Klinis

Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2 masalah: - Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh darah berkurang - Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen berkurang. Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan: - pingsan - pusing - haus - berkeringat - denyut nadi yang lemah dan cepat - pernafasan yang cepat.

Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal. Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali. Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001): a) Pengaruh yang timbul segera Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia vaskuler yang fisiologis berupa kontraksi orteiola, pengurangan cairan darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang vital (otak dan jantung). Gejala yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah yang hilang dan apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200 ml pada orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang lama.

b) Pengaruh lambat Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan ekstraseluler dan intravaskuler yaitu agar isi iontravaskuler dan tekanan osmotik dapat dipertahankan tetapi akibatnya terjadi hemodilati. Gejala yang ditemukan adalah leukositosis (15.000-20.000/mm3) nilai hemoglobin, eritrosit dan hematokrit merendah akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif, kadang-kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan hemodelasi dapat menimbulkan kelainan cerebral dan infark miokard karena hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal akan ditemukan oliguria atau anuria sebagai akibat berkurangnya aliran ke ginjal.

Penatalaksanaan Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia yang berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang selama perdarahan. Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat besi, biasanya dalam bentuk tablet.

c. Anemia Aplastik Definisi Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sum-sum tulang. Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan iatrogenic marrow aplasia, hiposelularitas sum-sum setelah chemotherapy sitotoksik intensif. Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fancani genetic dan dyskeratosis congenital, dan sering berkaitan dengan anomaly fisik khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada umur yang lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang terlihat normal. Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah yang rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif atau pemberian obat yang salah

dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan seperti ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan menyebabkan anemia, leucopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi tertentu.

Anemia aplastik sangat berat Anemia aplastik bukan berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan - Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5109/l trombosit <20109 /l retikulosit < 20109 /l Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2109/l Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 1,5109/l trombosit < 100109/l hemoglobin <10 g/dl

Etiologi Asal anemia aplastik telah dihubungkan dengan beberapa kejadian klinis terkait (Table 2); namun, hubungan ini seringkali tidak tepat dan mungkin bukan etiologi. Walaupun kebanyakan kasus anemia aplastik bersifat idiopatik, adanya riwayat medis memisahkan kasus idiopatik dari kasus dengan dugaan etiologi seperti paparan obat.

Patofisiologi Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa kolam sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.

Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan. Kerusakan akibat Obat. Kerusakan ekstrinsik pada sum-sum terjadi setelah trauma radiasi dan kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan. Jalur metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate); komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan makromolekul seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi idiosinkronasi obat. Table 3: Beberapa Obat dan Zat Kimia yang Berkaitan dengan Anemia Aplastik 1 Agen yang secara rutin menyebabkan depresi sum-sum sebagai toksisitas utama pada dosis biasa atau paparan yang normal. 2 Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker : alkylating agents, antimetabolites, antimitotics, beberapa antibiotic 3 Agen yang biasanya namun tidak mutlak menyebabkan aplasia sum-sum: Benzene 4 Agen yang terkait dengan anemia aplasia namun dengan kemungkinan yang relative rendah Chloramphenicol Insektisida Antiprotozoa: quinacrine dan chloroquine, mepacrine

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (termasuk phenylbutazone, indomethacin, ibuprofen, sulindac, aspirin) Anticonvulsants (hydantoins, carbamazapine, phenacemide, felbamate) Heavy metals (gold, arsenic, bismuth, mercury) Sulfonamides: beberapa antibiotics, obat antithyroid (methimazole, methylthiouracil, propylthiouracil), obat antidiabetes (tolbutamide, chlorpropamide), carbonic anhydrase Antihistamines (cimetidine, chlorpheniramine) D-Penicillamine Estrogens (kehamilan) 4 Agen yang keterkaitan dengan anemia aplastik belum jelas: tetracycline, methicillin, mebendazole,

Antibiotik lainnya (streptomycin, trimethoprim/sulfamethoxazole, flucytosine)

Sedatives dan tranquilizers (chlorpromazine, prochlorperazine, piperacetazine, chlordiazepoxide, meprobamate, methyprylon) Allopurinol, Lithium, Methyldopa, Quinidine, Guanidine, Potassium perchlorate Thiocyanate, Carbimazole

Autoimun Penyembuhan pada fungsi sum-sum pada beberapa pasien yang dipersiapkan untuk transplantasi sum-sum dengan antilymphocyte globulin (ALG) menjelaskan bahwa anemia aplastik kemungkinan dimediasi imun. Seperti dengan hipotesis ini adalah seringnya kegagalan transplantasi sum-sum dari kembar syngeneic, kemoterapi sitotoksik tidak dilakukan, keadaan ini menyangkal absennya sel bakal sebagai penyebab dan keberadaan dari faktor resipien yang menciptakan kegagalan sum-sum. Data laboratorium mendukung peranan penting sistem imun pada anemia aplastik. Sel darah dan sel sumsum tulang pada pasien dapat menekan pertumbuhan sel bakal normal dan diambilnya sel T yang diamati pada sum-sum tulang pasien anemia aplastik dapat memperbaiki pembentukan koloni in vitro. Peningkatan jumlah sel T sitotoksik yang aktif ditemukan pada pasien anemia aplastik dan biasanya menurun dengan terapi immunosupressif; penukuran sitokin menunjukkan respn imun TH1 (interferon dan tumor necrosis factor). Interferon dan TNF memicu ekspresi Fas pada sel CD34, menyebabkan apoptosis.;

lokalisasi dari sel T yang teraktivasi pada sum-sum tulang dan produksi lokal pada faktor pelarut kemungkinan penting dalam kerusakan sel bakal. Kejadian sistem imun dini pada anemia aplastik belum dipahami dengan baik. Analisis ekspresi reseptor sel T menunjukkan oligoklonal dan respon sel T sitotoksik akibat antigen. Banyak antigen exogen berbeda sepertinya mampu untuk menginisiasi respon imun patologis, namun paling tidak beberapa sel T kemungkinan dapat membedakan selfantigen. Jarangnya anemia aplastik walaupun seringnya paparan zat pemicu (obat-obatan dan virus hepatitis) menandakan bahwa respon imun yang ditentukan secara genetic dapat mengkonversi respon fisiologis normal menjadi suatu proses autoimun abnormal yang berkelanjutan, termasuk polymorphisme pada histokompabilitas antigen, gen sitokin, dang en yang mengatur polarisasi sel T dan fungsi efektor.

Manifestasi klinik Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.

Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan: (1) Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit) (2) Epistaksis (perdarahan hidung) (3) Perdarahan saluran cerna (4) Perdarahan saluran kemih (5) Perdarahan susunan saraf pusat.

Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian dan infeksi dan atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.

Anamnesis Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang berkembang dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia, perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat berbahaya pada intracranial dan menyebabkan perdarahan retina. Gejala anemia juga sering terjadi termasuk mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis, dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya mesti diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada keluarga dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan sum-sum.

Pemeriksaan Fisik Peteki dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat ditemukan. Pemeriksaan pelvis dan rectal tidak dianjurkan namun jika dikerjakan, harus dengan hati-hati dan menghindari trauma; karena pemeriksaan ini biasanya menyebabkan perdarahan dari servikal atau darah pada tinja. Kulit dan mukosa yang pucat sering terjadi kecuali pada kasus yang sangat akut atau yang telah menjalani transfusi. Infeksi pada pemeriksaan pertama jarang terjadi namun dapat timbul jika pasien telah menjadi simptomatik setelah beberapa minggu. Limfadenopati dan splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia aplastik. Bintik Caf au lait dan postur tubuh yang pendek merupakan tanda anemia Fanconi; jari-jari yang aneh dan leukoplakia menandakan dyskeratosis congenital.

Pemeriksaan Laboratorium Darah Apusan menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang dan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature menandakan leukemia atau MDS; sel darah merah yang bernukleus menandakan adanya

fibrosis sum-sum atau invasi tumor; platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan perifer atau MDS. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.

Sum Sum Tulang Sum-sum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan biopsi specimen lemak terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari specimen aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome; biopsy (dimana sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan selularitas dan kebanyakan menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel hematopoetik menempati <25% style="> sum-sum yang kosong, sedangkan hot-spot hematopoiesis dapat pula terlihat pada kasus yang berat. Jika specimen pungsi krista iliaka tidak adekuat, sel dapat pula diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual seharusnya mempunyai morfologi yang normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik ringan; megakariosit selalu sangat berkurang dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi infeksi dari kegagalan sum-sum.

Radiologi Gambaran radiology yang sering ditemukan pada penderita anemia aplastik yaitu dengan abnormalitas skelet, yang paling sering hipoplasia atau tidak adanya ibu jari dan anomaly pergelangan tangan sisi radial. - 50 % mengalami hipoplasia - 25 % mengalami osteoporosis - 25 % mengalami anomaly ginjal, ginjal atopik atau aplastik dan horse shoe kidney.

Diagnosis

Diagnosis anemia aplastik biasanya dilakukan dengan cepat, berdasar dari kombinasi pansitopenia dengan sum-sum tulang kosong dan berlemak. Anemia aplastik merupakan penyakit dewasa muda dan sebaiknya menjadi diagnosis utama pada seorang remaja atau dewasa yang mengalami pansitopenia. Jika yang terjadi adalah pansitopenia sekunder, diagnosis utama biasanya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis : pembesaran limpa seperti pada sirosis alkoholik, riwayat metastasis kanker, atau sistemik lupus eritematosus, atau tuberculosis miliar pada gambaran radiologi. Masalah diagnosis dapat timbul dengan gambaran penyakit yang atipikal dan merata. Dimana pansitopenia sangat umum terjadi, beberapa pasien dengan hiposelularitas pada sum-sum memiliki penurunan hanya pada satu atau dua dari tiga jenis sel darah, seringkali memperlihatkan perkembangan menjadi anemia aplastik yang jelas. Sum-sum tulang pada anemia aplastik sulit dibedakan secara morfologis dengan aspirat pada penyakit didapat. Diagnosis dapat dipengaruhi oleh riwayat keluarga, hitung jenis darah yang abnormal, atau keberadaan dari anomali fisik yang terkait. Anemia aplasia lebih sulit dibedakan dari variasi hiposeluler dari MDS : MDS ditandai dengan penemuan abnormalitas morfologis, terutama megakariosit dan sel bakal myeloid, dan abnormalitas sitogenik tipikal.

Pencegahan anemia aplastik dan terapi yang di lakukan Prinsip pengobatan yang dilakukan yaitu : - Hilangkan penyebab - Hindari trauma, terutama pada selaput lender dan kulit - Hindari infeksi. - Stimulasi sumsum tulang (Hemopoiesis) dimana hormone androgen mengalami testosterone dan oksimetolon - Melakukan transfuse darah seminimal mungkin, jika Hb 8 9 gr / dl - Mengganti stem cell yang rusak dengan cara mentransplantasi sumsum tulang

Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada

pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik. Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia S[HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus yang dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG) yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok.

Penatalaksanaan Anemia Aplastik Anemia aplastik dapat disembuhkan dengan penggantian sel hematopoietik yang hilang (dan sistem imun) dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan dengan penekanan sistem imun untuk mempercepat penyembuhan fungsi sum-sum tulang residual. Faktor pertumbuhan hematopoietik memiliki keterbatasan manfaat dan glukokortikoid tidaklah bermanfaat. Paparan obat atau zat kimia yang dicurigai sebaiknya dihentikan dan dihindari; namun, penyembuhan spontan dari penurunan sel darah yang berat jarang terjadi, dan periode menunggu sebelum memulai penanganan tidak dianjurkan kecuali hitung jenis darah hanya sedikit menurun. Tindakan lain, yaitu diberikan :

- Kortikosteroid dengan trombositopenia berat - Splenoktomi dengan kasus resisten - Immunosupresif dengan kausa immunologic.

Prognosis Sifat alami dari perkembangan anemia aplastik adalah penurunan kesehatan dan kematian. Persiapan sel darah merah dan kemudian transfusi sel darah putih serta antibiotic platelet terkadang berguna, namun hanya segelintir pasien memperlihatkan penyembuhan spontan. Penentu utama prognosis adalah hitung darah, Prognosis bertambah buruk jika ditemukan ciri-ciri sebagai berikut:

- Netrofil < 0,5 x 10 / L - Platelet < 20 x 10 / L - Retikulosit < 40 x 10 / L ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN Anemia Hemolitik adalah Kelainan dapatan dimana terbentuk Autoantibodi IgG , yang akan mengikat membran eritrosit. Antibodi ini biasanya langsung melawan komponen dasar sistem Rh yang terdapat pada semua eritrosit manusia. Ketika antibodi IgG melingkupi eritrosit, bagian Fc antibodi dikenali oleh makrofag lien, dan bagian yang lain dikenali oleh sistem retikuloendotelial. Interaksi antara makrofag lien dan eritrosit yang terlingkupi antibodi menyebabkan rusaknya membran eritrosit dan pembentukan sferosit karena penurunan rasio permukaan dengan volume eritrosit Sel-sel sferosit ini mengalami penurunan kelenturan dan akan terjebak dalam pulpa merah lien , karena tidak mampu melewati fenetrasi yang berdiameter kecil. Jika pada eritrosit terdapat IgG dalam jumlah yang banyak, mungkin komplemen dapat menahannya. Lisis sel langsung jarang terjadi, namun adanya C3b pada permukaan menyebabkan sel kupffer dalam hepar ikut berperan dalam proses hemolitik karena pada sel Kupffer terdapat reseptor C3b. Kurang lebih separuh kasus anemia hemolitik autoimun untuk bersifat idiopatik. Kelainan ini juga bisatampak sehubungan denagan Systemic Lupus Eritematosus ( SLE ) leukemia limfositik kronis atau limfoma. Hal ini harus dibedakan dengan Anemia hemolitik akibat terinduksi obat. Metildopa sering menstimulasi produksi autoantibodi dengan spesifitas sama dengan anemia hemolitik autoimun idiopatik. Obat-obatan yang lain ( penisilin, Kuinidin ) melingkupi membran eritrosit, dan antibodi langsung melawan komplek membran-obat.

Tes antiglobulin Coomb menjadi dasar diagnosis kelainan hemolitik imun ini. Reagen coomb adalah antibodi IgM kelinci yang dikuatkan melawan IgG manusia atau komplemen manusia. Tes coomb direk dilakukan dengan cara mencampur eritrosit pasien dengan reagen coomb dan dicari adanya aglutinasi, yang menunjukkan antibodi pada permukaan eritrosit. Tes coomb indirek dilakukan dengan mencampur serum pasien dengan panel eritrosit O setelah inkubasi, ditambahkan reageen Coomb. Adanya aglutinasi menunjukkan adanya antibodi bebas dalam serum pasien. Karena tes Coomb tradisional menggunakan Aglutinasi yang terlihat sebagai hasil akhir, tes ini tidak terlalu sensitif dan tidak dapat

mendeteksi anemia hemolitik imun jika pada eritrosit hanya terdapat IgG dalam jumlah yang kecil. Tes yang lebih sensitif ( mikro coomb ) sekarang telah tersedia.

Gambaran Klinis : Anemia Hemolitik autoimun sering menimbulkan anemia dengan onset cepat dan dapat mengancam jiwa. Pasien mengeluhkan mudah lelah dan mungkin bersama angina atau gagal jantung kongestif. pada pemeriksaan biasanya didapatkan splenomegali dan ikterus. Jika pasien memiliki kelainan lain seperti SLE atau leukemia limfositik kronik, dijumpai juga gambaran penyaki-penyakit tersebut.

Hasil Laboratorium Derajat Anemia bervariasi, tapi mungkin berat, dengan hematokrit kurang dari 10 % biasanya didapatkan retikulositosis dan tampak sferosit pada apusan darah tepi. Pada kasus hemolisis berat sum-sum tulang yang tertekan mungkin melepaskan eritrosit yang berinti. seperti halnya kelainan hemolitik lain, bilirubin indirek meningkat. Kurang lebih 10 % pasien anemia hemolitik autoimun mempunyai koinsiden trombositopenia imun Syndrom Evans ). Tes Coomb direk memberikan hasil positif sedangkan tes coomb indirek mungkin positif atau mungkin tidak. Tes coomb indirek positif menunjukkan adanya autoantibodi dalam jumlah besar yang memiliki ikatan tersaturasi dalam eritrosit, dan sebagai akibatnya tampak dalam serum. pasien dengan anemia hemolitik Sferositik dapatan yang mungkin merupakan varian autoimun dan tes Coomb-nya negatif, harus diperiksa dengan tes mikro-coomb ( dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pada 10 % kasus ) karena serum pasien biasanya mengandung autoantibodi, sulit untuk mendapatkan donor yang cocok . ketersediaan donor perlu diseleksi dengan metode laboratorium khusus.

Teapi Terapi awal yang digunakan ialah Prednison, 1-2 mg/kgbb/hari dalam dosis yang terbagi. sebagian besar darah transfusi dapat bertahan sebaik eritrosit pasien itu sendiri. Meski begitu karena sulitnya melakukan Cross-match, mungkin darah yang diberikan ternyata tidak cocok, sehingga pasien perlu dimonitor selama

transfusi. keputusan transfusi harus dibuat dengan konsultasi hematologis.Jika Prednison tidak efektif atau jika penyakit kambuh saat penurunan ( tapering ) dosis, harus dilakukan splenektomi. Pasien anemia hemolitik autoimun yang terhadap resisten prednison dan tidak dapat dilakukan Splenektomi, bisa diterapi dengan agen imunosupresif, seperti siklofosfamid, azatiopirin atau siklosporin. Danazol dengan dosis 600-800 Mg/ hari mungkin efektif, meski tidak seefektif jika digunakan untuk trombositopenia imun. Imunoglobulin dosis tinggi yaitu 500 Mg/kg/ hari selama 4 - 5 hari. yang diberikan intravena sangat efektif dalam mengontrol hemolisis. Namun hal itu hanya berlangsung singkat ( 1- 3 minggu ) dan obat ini sangat mahal. terapi dengan Igiv hanya diberika jika prednison merupakan kontraindikasi. Prognosis jangka panjang pasien cukup baik, tindakan splenektomi sering berhasil mengontrol kelainan ini.3.

3. Anemia Megaloblastik Pengertian Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang terganggu. Sel sel yang dipengaruhi terutama sel sel awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel yang terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA terhadap DNA. Sel sel pendahulu eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang (ineffective erythropoiesis). Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (kobalamin) dan atau asam folat. Klasifikasi Anemia Megaloblastik Defisiensi Kobalamin Asupan tidak cukup : vegetarian Malabsorbsi Defisiensi Asam Folat Asupan yang tidak cukup : sering pada alkoholik Keperluan meningkat : kehamilan, keganasan, anemia hemolitik kronik Malabsorbsi : sprue tropikal dan atopikal, obat Metabolisme yang terganggu

Sebab sebab lain

Obat obatan yang mengganggu metabolisme DNA Gangguan metabolik Idiopatik Penegakan diagnosis Defisiensi Kobalamin - lemah - nyeri kepala ringan - vertigo - palpitasi - tinitus - keluhan gagal jantung kongestif - pucat - ikterus (ringan) - Gangguan neurologik (mati rasa biasanya ekstrimitas bawah-, gangguan sfingter, mudah lupa, mudah marah, dll) Anemia Pernisiosa - Kondisi kelainan yang diwariskan -- keadaan histologik lambung tidak mengeluarkan faktor intrinstik sehingga vitamin B12 tidak bisa dimetabolisme sempurna - manifestasi sama dengan defisiensi vit. B12 - atrofi lambung Defisiensi Asam Folat - Manifestasi sama - Tidak ada gangguan neurologis - Diare, choilitis, glositis Mekanisme Defisiensi asam folat/kobalamin --- gangguan sintesis DNA sel terutama sel sel hemopoiesis --- keterlambatan pematangan inti sel dan pembelahan sel --- turunan meiloid terganggu --- RBC besar, neutrofil hipersegemen, trombosit rendah RBC besar --- Rentan destruksi fagosit. Apoptosis di sumsum tulang tnpa menghasilkan RBC (hematopoiesis inefektif) --- Anemia (Keluhan2 anemia) Hematopoiesis inefektif --- aliran darah ke jaringan perifer membawa hanya sedikit oksigen --- Kekurangan oksigen --- pucat Kekurangan oksigen di otak ---pusing, vertigo Kekurangan oksigen sluruh tubuh --- metabolisme anaerob dari glukosa --- penumpukan asam laktat di otot ---capek, lemah Def Vit.B12 --- Akumulasi S-adenosil hemosistein dan berkurangnya kadar S-adenosil metionil dalam jaringan saraf --- gangguan metilasi meilin dan substansi lain --gangguan neurologis

Tata laksana - Obati penyakit dasar ( cth: bakteri di intestinum --- antibiotik) - Hentikan penyebab malabsorbsi (cth: alkohol, obat obatan) Terapi e.c: Penggantian kobalamin 1000 ug i.m tiap minggu sampai 8 minggu Lanjutkan suntikan i.m kobalamin 100 ug tiap bulan dari sisa hidup Atau, terapi oral kristalin B12 2 mg/hari (kepatuhan kurang) Transfusi dilakukan jika : Anemia berat disertai gangguan membahayakan kardiovaskular Darah diberikan PRC sedikit demi sedikit (dapat gagal jantung karena kelebihan cairan) - Folat 1 mg/hari oral - Malabsorbsi : folat 5 mg/hari oral Penegakan diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik - Keluhan keluhan anemia (lemah, cepat capek, lesu, pucat, ikterik, dll) - Pada defisiensi kobalamin : gangguan neurologis - Riwayat : alkoholik, obat obatan, malabsorbsi Pemeriksaan Laboratoris - Makrositosis (MCV > 100) - Indeks retikulosit rendah - Leukosit dan trombosit bisa menurun - Anisositosis, poikilositosis, makroovalositosis (sel darah merah dengan hemoglobin penuh) - Bintik basofilik - Sel darah merah berinti - Hipersegmen neutrofil - Sumsum tulang hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid - Serum Kobalamin (normal : 300-900) menurun - Serum Asam folat (normal : 6-20) menurun - Tes Schiling - Kadar serum metilmalanat dan homosistein meningkat DD Aplastik anemia Anemia Defisiensi Besi Penyakit Prognosis Baik Hanya saja gangguan neurologissulit untuk sembuh sempurna

Komplikasi Gangguan neurologis Gangguan kardiovaskular (gagal jantung kongestif)

Anemia megaloblastik Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia makrositik normokrom.

Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik (Beck, 1983). Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.

Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik

Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata. Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar juga diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi dari duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml). Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. penderita kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon spontan bila di berikan diet seimbang.

5. Polisitemia Vera Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan volume darah total, biasanya disertai lekositosis, trombositosis dan splenomegali. Polisitemia Vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur 40-60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1. Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ menyebabkan iskemia / infark seperti di otak, mata, telingga, jantung, paru, dan

ekstremitas. Penatalaksanaan Polisitemia Vera tidak terapi tunggal. Tujuan utama terapi adalah mencegah terjadinya trombosis. PRINSIP PENGOBATAN: 1. Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan mengendalikan eritropoisis dengan plebotomi. 2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik / polisitemia yang belum terkendali. 3. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda. 4. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan : Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, terutama jika disertai gejala trombosis. Leukositosis progresif. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia . Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti prunitus, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

MEDIA PENGOBATAN 1.Plebotomi Plebotomi merupakan pengobatan yang adekuat bagi pasien polisitemia selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi plebotomi : Polisitemia vera fase polisitemia. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% . Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung beratnya gejala yang ditimbulkan. Pada Polisitemia Vera tujuan plebotomi adalah mempertahankan hematokrit < 45%, untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Manfaat plebotomi disamping menurunkan sel darah merah juga menurunkan viskositas darah kembali normal sehingga resiko timbulnya trombosis berkurang. Terapi plebotomi sendiri tidak dapat diberikan pada semua pasien, karena pasien tua tidak dapat mentolerir plebotomi karena status kardiopulmoner. Dengan plebotomi saja angka harapan hidup lebih dari 12 tahun, tapi dengan terapi plebotomi saja akan meningkatkan terjadinya trombosis dalam 3 tahun pertama terapi, karena buruknya komplikasi plebotomi, peningkatan splenomegali, lekosit dan trombosit sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan terapi sitoreduksi. Walaupun dengan terapi sitoreduksi ini akan meningkatkan kejadian leukemia akut, sehingga disarankan terapi dengan Hidroksiurea plus plebotomi untuk menurunkan kejadian trombosis dan leukemia akut. Plebotomi disarankan pada semua pasien untuk mempertahankan hematokrit < 45 %. Untuk pasien yang rendah resiko trombosis, umur dibawah 60 tahun, tidak ada riwayat trombosis, tidak disarankan penambahan terapi. Sedangkan pasien dengan resiko tinggi

trombosis atau sering plebotomi pilihannya adalah agen mielosupresi. Pasien tua dapat diterapi dengan Busulfan atau Pipobroman sedangkan Hidroksiurea dipertimbangkan sebagai erapi pilihan pada usia muda.

Prosedur Plebotomi Pada permulaan, plebotomi 500 cc darah 1-3 hari sampai hematokrit < 55 %, kemudian dilanjutkan plebotomi 250-500 ml/minggu, hematokrit dipertahankan < 45 %. Pada pasien yang berumur > 55 tahun atau penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, plebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena status hipovolemik. Penyakit yang terkontrol memerlukan plebotomi 1-2 kali 500ml setiap 3-4 bulan. Bila plebotomi diperlukan lebih dari 1 kali dalam 3 bulan, sebaiknya dipilih terapi lain. Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 mL darah, defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan plebotomi berulang, defisiensi besi ini diterapi dengan pemberian preparat besi. 2. Kemoterapi Tujuan pengobatan kemoterapi adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan menggunakan Hidrokiurea salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Indikasi penggunaan kemoterapi : 1. Hanya untuk Polisitemia rubra primer . 2. Plebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 3 kali sebulan. 3. Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis. 4. Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin 5. Splenomegali simtomatik / mengancam ruptur limpa. A. Hidroksiurea Dengan dosis 500-2000 mg/m/hari atau diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mg/kg BB/kali, jika telah tercapai target dapat dianjurkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan. B. Klorambusil Leukeran 2 mg/tablet dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/BB/hari selama 3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap minggu. C. Busulfan

Mileran 2 mg/tablet, dosis 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m/hari, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan. Terapi sitoreduksi efektif mencegah trombosis tapi dapat meningkatkan tranformasi hematologi, jadi sebenarnya ada 2 tujuan terapi yaitu meminimalkan komplikasi trombosis dan mencegah progresi menjadi mielofibrosis atau leukemia akut. D.Interferon Interferon juga efektif dibandingkan dengan terapi lain, untuk menghindari komplikasi hematologi yang berhubungan dengan plebotomi yang agresif atau terapi Hidroksiurea dan dapat memperlambat perkembangan mielofibrosis jika digunakan lebih awal dan mempunyai kontrol yang baik dari proliferasi megakariosit dan menurunkan trombosit, serta mencegah trombosis. Dimulai dengan dosis 1 juta unit tiga kali seminggu. Suatu penelitian pada 11 orang pasien Polisitemia Vera yang diterapi dengan interferon saja sel darah dapat normal setelah 6-12 bulan. Suatu penelitian pada 279 pasien yang menggunakan inteferon dapat menurunkan hematokrit <45 % pada 50 % tanpa plebotomi, 77 % dapat menurunkan splenomegali. Interferon sering digunakan untuk pasien muda karena tidak berkembang menjadi leukemogenik atau teratogenik dan terapi pilihan untuk ibu hamil tapi harganya mahal dan diberikan secara parenteral serta mempunyai efek samping sehingga sering pasien menghentikan pengobatan. E.Posfor Radioktif Posfor radioaktif ditangkap lebih banyak oleh sel yang membelah cepat dari pada sel normal. Sebelum pemberian terapi dilakukan plebotomi sampai hematokrit normal. Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosioekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. Pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Pada penelitian 2005 diturunkan target hematokrit < 45%, dibanding plebotomi plus aspirin ( 900 mg / hari ) dan dipiridamol 225 mg/hari dibanding dengan plebotomi plus tapi penelitian diakhiri cepat ( 1,2 tahun) karena tingginya insiden pendarahan gastrointestinal dan juga tidak adanya penurunan kejadian trombosit. Penggunaan aspirin dosis tinggi tidak akan memperbaiki trombosis tapi malahan akan meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal.

PEMBEDAHAN PADA PASIEN POLISITEMIA VERA A. Pembedahan Darurat Pembedahan pada pasien Polisitemia Vera sebaiknya ditunda atau dihindari. Dalam keadaan darurat, dilakukan plebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya, bukan cairan isotonis / garam fisiologis, suatu prosedur yang merupakan tindakan penyelamatan hidup. Splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus dihindari karena dalam perjalanan penyakitnya jika

terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang diharapkan sebagai pengganti. B. Pembedahan Berencana Pembedahaan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkendali. Lebih dari 75% pasien dengan Polisitemia vera tidak terkendali atau belum diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan. Diperkirakan sepertiga dari pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jika eritrositosis sudah dikendalikan sebelum pembedahan. Pengobatan Suportif 1. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-300 mg/hari. Gout arthritis dapat terjadi pada 10 % pasien Polisitemia vera. Pada serangan akut terapinya sama dengan gout primer dengan kolkisin dan penilbutazon. 2. Pruritus Pruritus ini disebabkan proliferasi sel mast dan basofil atau pelepasan prostaglandin dan serotonin. Terapi dapat diberikan antihistamin jika pruritus memburuk dengan terapi plebotomi, interferon dapat mengontrol pruritus 3. Gastritis / ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2. 4. Eritromelalgia, jarang terjadi (3%) 5. Trombositosis dan disfungsi trombosit. Penggunaan aspirin dosis tinggi tidak akan memperbaiki trombosis tapi malahan akan meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal. ETIOPATOGENESIS POLISITEMIA VERA Pada etiopatogenesis Polisitemia vera, JAK2 merupakan golongan tirosin kinase yang berfungsi sebagai perantara reseptor membran dengan molekul signal intraselulur. Dalam keadaan normal proses eritropoisis dimulai dengan ikatan eritropoitin (EPO) dengan reseptornya (EPO-R), kemudian terjadi fosforilasi pada protein JAK, yang selanjutnya mengaktivasi molekul STAT ( Signal Tranducers and Activator of Transcription), molekul STAT masuk kedalam inti sel dan terjadi proses transkripsi. Pada Polisitemia vera terjadi mutasi yang terletak pada posisi 617 (V617F) sehingga menyebabkan kesalahan pengkodean quanin-timin menjadi valin-fenilalanin sehingga proses eritropoisis tidak memerlukan eritropoitin. sehingga pada pasien Polisitemia Vera serum eritropoetinnya rendah yaitu < 4mU/mL, serum eritropoitin normal adalah 4-26 mU/mL. Hal ini jelas membedakan dari Polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara fisiologis (sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat), atau eritopoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik yang mensekresi eritropoetin. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit dapat disebabkan karena

penurunan volume plasma tanpa peningkatan sel darah merah disebut polisitemia relatif, misalnya pada dehidrasi berat, luka bakar dan reaksi alergi. Mekanisme yang diduga menyebabkan peningkatan proliferasi sel induk hematopoitik adalah Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk hematopoitik yang bersifat Neoplastik. Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang mempengaruhi proliferasi sel induk hematopoitik normal Peningkatan sensitivitas sel induk hematopoitik terhadap eritropoitin, Interleukin 1,3, GMCSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), Stem cell factor.

MANIFESTASI KLINIS POLISITEMIA VERA Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa: 1. Hiperviskositas Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan : Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit. Penurunan laju transport oksigen Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark) seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas. 2. Penurunan shear rate Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan walaupun jumlah trombosit > 450.000/mm 3. Perdarahan Terjadi pada 10 - 30 % kasus Polisitemia Vera, manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis dan perdarahan gastrointestinal. Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm). Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia Vera tidak ada korelasi trombositosis dengan trombosis. 4. Basofilia

Lima puluh persen kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat meningkatnya basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin. 5. Splenomegali Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia vera. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular. 6. Hepatomegali Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera. Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular. 7. Gout. Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah sekuentrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat darah akan meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia . 8. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin B12. Hal ini dijumpai pada 30% kasus Polisitemis Vera karena penggunaan untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12 (Unsaturated B12 Binding Capacity) dijumpai meningkat > 75% kasus. 9. Muka kemerah-merahan (Plethora ) Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir, konjungtiva hiperemis sebagai akibat peningkatan massa eritrosit. 10. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa, vertigo, tinitus, perasaan panas. 11. Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis, ekimosis, perdarahan gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena peningkatan viskositas darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah arteri. Pasien Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan waktu operasi atau trauma. Tanda dan gejala terbagi dalam 3 fase: 1. Gejala awal (early symptoms ) Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala, telinga berdenging, mudah lelah, gangguan daya ingat, susah bernafas, hipertensi,

gangguan penglihatan, rasa panas pada tangan / kaki, pruritus, perdarahan hidung, lambung, sakit tulang. 2. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan /trombosis, peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus peptikum. 3. Fase Splenomegali (Spent phase ) Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi meningkat, hati dan limpa membesar.

You might also like