Professional Documents
Culture Documents
PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER PERIODE 88 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2009
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tinjauan Tentang Abses 1.1.1 Definisi Abses Abses atau furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila furunkelnya lebih dari satu maka disebut furunkolosis. Suatu furunkel, biasanya dikenal sebagai suatu bisul atau boil, ditandai suatu massa material bernanah timbul dari folikel rambut dan meluas pada jaringan subkutan (Pendland,S.L et al., 2005). 1.1.2 Etiologi Abses Abses sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Pendland,S.L et al., 2005). 1.1.3 Manifestasi klinik Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga tampak sebagai nodus kemerahan dan sangat nyeri. Pada bagian tengah lesi terdapat bintik kekuningan yang merupakan jaringan nekrotik, dan disebut mata bisul (core). Apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes militus, furunkel menjadi sering kambuh. Predileksi penyakit ini biasanya pada daerah yang berambut misalnya pada wajah, punggung, kepala, ketiak, bokong dan ekstrimitas, dan terutama pada daerah yang banyak bergesekan. 1.1.4 Terapi Furunkel yang besar (multiple) umumnya diterapi dengan penicillinaseresistant penicillin (dicloxacillin 250 mg per oral tiap 6 jam selama 710 hari). Jika pasien alergi penisilin maka alternatif lain adalah clindamycin (150300 mg per oral tiap 6 jam). Tindakan insisi diindikasikan untuk lesi yang besar dan fluctuant yang tidak drain spontaneously (Pendland S. L. et al., 2005).
1.2
Tinjauan Diabetes Mellitus 1.2.1 Definisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan kumpulan gangguan metabolik yang terkarakterisasi dengan hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dapat dihasilkan dari kurangnya sekresi insulin, kurangnya sensitivitas insulin, atau keduanya (Triplitt et. al., 2005). Klasifikasi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus, dibedakan menjadi 2 yaitu (Triplitt et. al., 2005) : a. Diabetes Mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) DM tipe 1 disebabkan adanya kerusakan pada sel beta pankreas yang dimediasi oleh imun sehingga kekurangan insulin bersifat absolut. b. Diabetes Mellitus tipe 2 (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus) DM tipe 2 biasanya terkarakterisasi oleh penurunan resistensi insulin dan kekurangan insulin bersifat relatif. c. Penyebab lain dari DM (1-2% dari kasus DM) sangat jarang termasuk gangguan dari sistem endokrin (misal akromegali, Cushings syndrome), DM gestasional, penyakit eksokrin (pankreatitis), dan karena pengaruh obat seperti glukokortikoid, pentamidin, niasin. Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus Gejala DM antara lain banyak kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), penurunan berat badan tanpa sebab walaupun banyak makan (polifagia), kadar gula darah tinggi/hiperglikemia, glikosuria, ketosis, asidosis, bahkan koma (Ganong, 2005). 1.2.5 Terapi Diabetes Mellitus Terapi DM meliputi mengatur pola makan dan olah raga, oral antidiabetik (OAD) dan insulin. Adapun terapi diabetes mellitus tipe II yaitu diberikan oral antidiabetik (OAD) yang dapat merangsang sensitifitas insulin. Yang termasuk dalam OAD antara lain:
a. Sulfonilurea Sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin oleh pankreas. Golongan sulfonilurea antara lain Tolbutamide (Orinase), Glipizide (Glucotrol), Glimepiride (Amaryl) b. Short acting insulin secretagogues (Meglitinides) Meglitinides memiliki cara kerja yang sama dengan sulfonilurea yaitu merangsang sekresi insulin oleh pancreas. c. Biguanide Golongan biguanide dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan sensitifitas insulin yang dihasilkan oleh hati dan jaringan. d. Thiazolidinediones (Glitazone) Golongan obat ini akan mengaktifkan PPAR yang merupakan faktor penting dalam transkripsi pada sel lemak dan metabolisme asam lemak. e. -Glucosidase Inhibitor Golongan ini akan memecah sukrosa ataupun karbohidrat kompleks di usus. Adapun penggunaan insulin pada diabetes mellitus tipe II, yaitu keadaan yang diikuti dengan infeksi (Triplitt et. al., 2005).
: benjolan di punggung sejak 3 bln, lemas sejak 1 minggu yang lalu : Abses punggung, diabetes mellitus (DM) tipe 2 :-
Dosis -
Indikasi -
Tanggal 26/ 2
112/ 84 92 24 37,3
27/ 2
130/ 90 90 20 37,2 456
28/ 2
120/ 60 90 20 36,8 456
1/3
120/ 60 90 20 36,2 456
2/3
110/ 80 80 16 37,2 456
3/3
110/ 80 80 16 37,2 456
4/3
110/ 80 80 16 37 456
6/3
110/ 80 92 16 37 456
7/3
110/ 80 92 16 36,3 456
8/3
110/80 88 16 37 456
Respiratory rate (RR) pasien pada awal masuk rumah sakit (MRS) menunjukkan adanya infeksi karena bakteri pada abses punggung pasien, yang didukung oleh peningkatan leukosit dan suhu tubuh pasien.
456
456
Tanggal 10/ 3
120/ 80 90 18 36 456
11/ 3
120/ 70 92 20 36 456
12/ 3
120/ 70 88 24 37,8 456
13/ 3
120/ 70 80 20 36 456
14/3
120/7 0 88 18 36 456
15/3
130/90 88 22
16/3
130/90 88 22
17/ 3
130/ 70 88 22
18/3
130/90 88 22 36,4
456
456
456
456
461000 507000 291000 303000 316000 305000 259000 509 84 303 110 217 220 26 16 112 376 201 277 287 84 92 219 2,64 2,13 2,72 2,25 2,18 2,55 2,64 2,69 2,59 28,3 30,1 0,74 0,67 Hasil pus tgl 4/3 144 18 Bakteri : gram (-), basil 63 106
12/3
Cl LED SGOT SGPT pH urin SG/BJ Glukosa urin Sedimen Urin : - Epitel - Eri - Leu Kristal urin Bakteri
92 16 16 10 12 11 13
104
2005). Ceftriaxon merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga untuk infeksi bakteri gram (+) dan (-), dimana dapat menembus blood brain barier (Lacy, et all, 2008). Gentamisin digunakan untuk infeksi bakteri gram (-) (Martin et. al., 2006). Aktifitas tersebut sesuai dengan hasil kultur pus. Meropenem bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri (Tatro et al., 2003). Meropenem diberikan karena kondisi pasien yang lebih jelek, ditunjukkan adanya peningkatan WBC. Pemberian meropenem sesuai dengan hasil kultur pus tanggal 4 Maret 2009.
7/3 12/3
Gentamisin
iv
80 mg
2x1 2x1
13/3
Meropenem
iv
1g
Obat Mulai 28/2 6/3 10/3 12/3 Actrapid 26/2 6/3 10/3 12/3 Insulatard 3/3 10/3 12/3 17/3 Albumin Albumin Albumin Albumin sc iv iv iv iv 10 U 25 % 25 % 25 % 5% 100 mL 100 mL 100 mL 100 mL 4/3 11/3 14/3 Mengatasi hipoalbumin Insulatard Insulatard Insulatard sc sc sc sc 4U 10 U 14 U 18 U 0-0-1 0-0-1 0-0-1 0-0-1 6/3 10/3 12/3 14/3 Mengontrol kadar gula darah pasien Jenis Obat Actrapid Actrapid Actrapid Rute sc sc sc Dosis 4U 6U 8U Frek 3x1 3x1 3x1 3x1 Berhenti 6/3 10/3 12/3 Indikasi Obat Mengontrol kadar gula darah pasien
Komentar dan Alasan Actrapid merupakan insulin short acting yang onsetnya cepat sehingga dapat terkontrol gula darah setelah makan dengan baik (Triplitt et. al., 2005). Dosis yang diberikan disesuaikan dengan gula darah pasien. Actrapid diberikan karena nilai GD2PP pasien lebih dari normal. Insulatard merupakan insulin intermediate-acting yang memiliki masa kerja panjang sehingga dapat mengontrol gula darah basal pasien dengan baik (Triplitt et. al., 2005). Besarnya dosis yang diberikan disesuaikan dengan gula darah pasien Insulatard diberikan karena nilai GDP pasien lebih dari normal. Pada pasien terjadi penurunan albumin akibat kondisi pasien, oleh karena itu diberikan tranfusi albumin. Albumin 25 % diberikan jika nilainya < 2,5 mg/dl. Albumin 5 % diberikan jika nilainya 2,5-3 mg/dl.
Gula darah
Albumin
Rute iv
Dosis
Frek
Indikasi Obat Analgetika operasi Untuk keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi pasien
NS NS NS NS : RD 5 % D5% NS : D 5 % PRC
iv iv iv iv iv iv iv
menghilangkan nyeri pada tindakan insisi luka pasien. NS merupakan cairan isotonis yang mengandung elektrolit natrium dan klorida untuk mengatur keseimbangan cairan tubuh (Martin et. al., 2006). NS dengan RD 5 %, NS dengan D 5% yang diberikan merupakan cairan hiperosmolar untuk hemodilusi, dimana mengandung glukosa sebagai sumber kalori. (Martin et. al., 2006). Hb pasien saat MRS sudah mengalami penurunan tetapi Hb pasien < 8 g/dl pada tanggal 6/3 sehingga diberikan tranfusi PRC.
2 labu/hari
Meningkatkan Hb pasien
Hb
BAB III PEMBAHASAN Pasien Tn. Sgt masuk rumah sakit pada 26 Februari 2009 dengan keluhan benjolan di punggung sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit, lemas sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien didiagnosa oleh Dokter menderita abses punggung dan diabetes mellitus (DM) tipe 2. Pada saat masuk rumah sakit, pasien menjalani pemeriksaan klinik dan laboratorium yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan denyut nadi, respiratory rate (RR), suhu tubuh, leukosit, gula darah dan penurunan elektrolit darah, albumin, serta hemoglobin. Peningkatan suhu tubuh dan leukosit menunjukkan adanya infeksi bakteri yang berasal dari abses punggung pasien, terapi yang digunakan adalah antibiotik cefotaxim. Cefotaxim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai mekanisme aksi menghambat sintesis dinding sel bakteri (Tatro, 2003). Cefotaxim dipilih karena mempunyai cakupan bakteri yang luas (Chambers, 2007). Oleh karena abses punggung yang dialami oleh pasien disertai adanya bisul yang sudah meluas sampai jaringan subkutan yang memungkinkan adanya bakteri anaerob untuk tumbuh maka diperlukan metronidazol. Metronidazol digunakan untuk infeksi bakteri anaerob yang mempunyai membunuh bakteri dengan cara merusak sintesis DNA bakteri (Tatro, 2003). Penggunaan cefotaxim dihentikan setelah lima hari kemudian diganti dengan ceftriaxon yang mempunyai waktu paro yang lebih panjang sehingga frekuensi penggunaannnya lebih sedikit yaitu sehari dua kali (Lacy et. al., 2008). Berdasarkan hasil kultur pus tanggal 4 Maret 2009, penggunaan metronidazol dihentikan dan diganti dengan gentamisin yang menunjukkan sensitifitas terhadap hasil kultur bakteri yaitu bakteri gram negatif. Gentamisin membunuh bakteri dengan menghambat sintesis protein bakteri gram negatif yang sesuai hasil kultur (Lacy et. al., 2008). Setelah pengunaan ceftriaxon selama 7 hari maka dihentikan sehingga hanya menggunakan gentamisin saja. Oleh karena kondisi abses punggung pasien yang disertai oleh diabetes mellitus dan cakupan bakteri gentamisin tidak mampu untuk bakteri yang ada maka leukosit pasien meningkat
menjadi 40.400 /uL pada tanggal 12 Maret 2009. Oleh karena itu gentamisin diganti dengan meropenem yang mempunyai spektrum luas, yaitu menghambat enzim -laktamase pada bakteri gram positif dan negatif serta anaerob (Chambers, 2007). Setelah pemberian meropenem selama lima hari, kondisi leukosit pasien sudah kembali normal. Kemudian meropenem dikombinasi dengan clindamycin yang merupakan terapi yang direkomendasikan untuk abses, dimana mekanisme kerja clindamycin yaitu menghambat sintesis protein bakteri gram positif dan negatif serta anaerob (Chambers, 2007). Pasien juga didiagnosa DM tipe 2 yang ditunjukkan dengan peningkatan gula darah puasa (GDP) dan gula darah dua jam setelah makan (GD2PP). Pada pasien DM dengan adanya infeksi, infeksi akan meningkatkan katabolisme tubuh sehingga dibutuhkan energi yang besar oleh karena itu perlu adanya insulin untuk memasukkan glukosa darah ke dalam sel sebagai sumber energi. Peningkatan GDP diterapi dengan menggunakan insulatard yang merupakan Intermediateacting Insulin. Insulatard memiliki mula kerja sekitar 2-4 jam, kadar puncak 4-12 jam, durasi kerja 8-18 jam sehingga ditujukan untuk mengontrol gula darah basal pasien (Triplitt et. al., 2006). Sedangkan peningkatan GD2PP diterapi dengan menggunakan actrapid yang merupakan Regular Insulin / Short Acting Insulin. Actrapid memiliki mula kerja sekitar 30 menit dan durasi kerja 3-6 jam dengan durasi maksimum 6-8 jam, sehingga digunakan untuk mengontrol gula darah dua jam setelah makan (Triplitt et. al., 2006). Injeksi actrapid sebaiknya 30 menit sebelum makan untuk mencapai kontrol gula darah 2 jam setelah makan (GD2PP) secara optimal dan mencegah hipoglikemia setelah makan (Triplitt et. al., 2006). Pemberian actrapid dan insulatard pada pasien dapat mengontrol gula darah pasien dengan baik. Dosis actrapid dan insulatard yang diberikan disesuaikan dengan gula darah pasien. Abses punggung pasien menyebabkan timbulnya keluhan nyeri sehingga pada awal masuk rumah sakit diberikan ketorolac dan metamizol selama masuk rumah sakit. Ketorolac dan metamizol merupakan analgesik untuk menghilangkan nyeri luka abses punggung pasien. Ranitidin merupakan pengeblok reseptor histamin 2 di lambung yang besifar reversibel sehingga mengurangi produksi asam lambung pasien (Tatro, 2003). Adanya infeksi kulit dapat menyebabkan
penurunan kadar albumin pasien sehingga diperlukan tranfusi albumin, dimana albumin ini akan menjaga tekanan onkotik plasma (Tatro, 2003). Tranfusi albumin 25% diberikan jika nilai albumin serum pasien < 2,5 mg/dl, sedangkan jika nilainya 2,5-3 mg/dl maka diberikan albumin 5 % (plasmanat). Selama rawat inap, pasien mengalami penurunan haemoglobin (Hb) yang cukup signifikan, yaitu < 8 g/dl, sehingga perlu adanya tranfusi packed red cell (PRC). Adapun terapi cairan yang diberikan yaitu untuk hemodilusi dan mengontrol kadar elektrolit pasien. Pada saat dilakukan tindakan insisi luka abses, diberikan petidin yang merupakan analgesik opioid untuk menghilangkan nyeri saat insisi. Monitoring yang perlu dillakukan antara lain memantau leukosit, suhu tubuh pasien, gula darah pasien, keluhan nyeri luka yang dialami pasien, albumin, hemoglobin serta elektrolit tubuh pasien. Asuhan kefarmasian yang perlu diperhatikan adalah efek samping yang potensial terjadi yaitu efek hipoglikemi pada penggunaan insulin. Hasil GDP pasien pada tanggal 12 dan 13 Maret 2009 menunjukkan adanya hipoglikemi tetapi kondisi pasien tidak menunjukkan tandatanda adanya hipoglikemi, yang didukung adanya pemeriksaan gula darah sesaat (GDS) pasien yang masih dalam rentang normal. Studi kasus di rawat inap penyakit dalam ini dilakukan sampai tanggal 19 Maret 2009, dimana perkembangan pasien selama dirawat semakin membaik.
DAFTAR PUSTAKA
Ganong, W.F., 2005. Review of Medical Physiology, 22th ed. California: McGraw Hill Companies. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2008. Drug Information Handbook, Ed. 17th, Canada : Lexi-comp Inc. Martin, John., Jordan, Bryony., MacFarlane, Colin R., Ryan, Rachel S.M., Wagle, Shama M.S., 2006, British National Formulary, 52th Ed., London : BMJ Group and RPS Publishing Group. Pendland S. L. et al., 2005, Skin and Soft Tissue Infections, in : Joseph Dipiro T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells and L. Michael Posey (Eds), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th Ed. USA: The Mc Graw Hill Company, Inc. Tatro, David S., Borgsdorf, Larry R., Catalano, Joseph T., Lahl, Jennifer C., Lopez, Julio R., Frederick, Kristina., Metzger, Stephanie G., Pase, Marylin Nelsen., 2003, A to Z Drug Facts and Comparisons, USA: The Mc Graw Hill Company, Inc. Triplit, Curtis L., Reasner, Charles A., Isley, William L., 2005, Diabetes Mellitus, in : Joseph Dipiro T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells and L. Michael Posey (Eds), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th Ed. USA: The Mc Graw Hill Company, Inc.