You are on page 1of 14

AKSI OBAT PADA RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK Asetilkolin Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang dibentuk dari asetil koenzim

A (acetyl-CoA) dan kolin dengan bantuan cholyne acetyltransferase

Ach disimpan di dalam vesikel. saat terdapat rangsang berupa potensial aksi, akan terdapat kenaikan kadar Ca2+ yg akan mengaktifkan protein kinase yg memfosforilasi sinapsin. akibatnya, maka vesikel yg dekat dengan membran akan berdifusi dengan membran presinaptik dan melepaskan Ach. Ach akan berdifusi ke reseptornya. Reseptor Ach pada syaraf parasimpatik adalah reseptor asetilkolin muskarinik. kemudian asetilkolin juga dapat diinaktivasi oleh enzim asetilkolinesterase (liat gambar) menjadi asetat dan kolin. kolin akan masuk kembali ke dalam sel syaraf untuk menjadi bahan baku

pembuatan Ach berikutnya. Pada posting bagian anatomi dan fisiologi sistem syaraf otonom telah disinggung bahwa sistem syaraf otonom dibagi menjadi 2 yaitu 1) sistem syaraf simpatik dan 2) sistem syaraf parasimpatik. Pada syaraf simpatik mempunyai sel syaraf preganglion lebih pendek daripada sel syaraf postganglionnya. Selain itu pada sistem syaraf simpatik ini neurotransmitter yang dilepaskan adalah nor-epinefrin atau nor-adrenalin yang akan bereaksi dengan reseptor adrenergik, maka sistem syaraf sipatik ini disebut juga dengan sistem syaraf adrenergik. Pada sistem syaraf parasimpatik memiliki sel syaraf preganglion lebih panjang daripada sel syaraf postganglionnya. Pada sistem syaraf ini neurotransmitter yang dilepaskan oleh ujung sel syaraf adalah asetilkolin yang akan bereaksi dengan reseptor asetilkolin muskarinik ataupun pada reseptor asetilkolin nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat pada semua ganglia syaraf otonom (celah antara sel syaraf preganglion dan postganglion), pada neuromuscular junction (celah antara sel syaraf somatik dan sel otot skeletal), dan pada sel kromafin medula adrenal. Sedangkan reseptor muskarinik terdapat pada sel organ efektor syaraf kolinergik, misalnya sel parietal lambung, jantung, saluran pencernaan, dll. Penggolongan obat-obatan syaraf otonom ini dibedakan berdasarkan berdasarkan apakah suatu obat tersebut memacu atau bahkan menghambat syaraf tersebut. Obat yang memacu disebut dengan Agonis, sedangkan yang menghambat dinamakan Antagonis. Istilah-istilah ini dapat diulas lebih pada pembahasan obat-obatan nanti. ??? Berdasarkan hal diatas tadi maka obat-obatan sistem syaraf otonom dibedakan menjadi beberapa bagian berikut: 1. Agonis Kolinergik, 2. Antagonis Kolinergik, 3. Agonis Adrenergik, dan 4. Antagonis Adrenergik Dalam tulisan ini hanya dibahas tentang syaraf Kolinergik, yaitu Agonis Kolinergik dan Antagonis Kolinergik. Dan untuk Syaraf Adrenergik Insyaallah dalam tulisan yang lain... ^^ Agonis Kolinergik Istilah agonis kolinergik berarti obat-obat tersebut dapat berikatan dengan reseptor dan dapat menimbulkan efek. Obat-obatan disini berarti aksinya menyerupai neurotransmitter utama yaitu asetilkolin. Istilah agonis kolinegik ini juga dapat disebut dengan kolinomimetik atau parasimpatomimetik. Target aksi obat-obatan ini ada 2 yaitu 1) Agonis Kolinergik langsung dan 2) Inhibitor Kolinesterase. 1) Agonis Kolinergik langsung Obat ini bereaksi secara langsung dengan reseptor asetilkolin. Telah disebut sebelumnya bahwa reseptor asetilkolin ada 2 yaitu asetilkolin nikotinik dan asetilkolin muskarinik. Oleh sebab itu obat-obatan pada agonis kolinergik langsung ini bereaksi pada 2 tempat yaitu sebagai 1) Agonis Muskarinik dan 2) Agonis Nikotinik. 1.1) Agonis Muskarinik Obat golongan ini dibedakan menjadi 2 yaitu obat golongan ester dan alkaloid (menyerupai basa). >>Obat golongan ester Pada obat golongan ester ini merupakan senyawa ester dari neurotransmitter asetilkolin, oleh karena itu obat golongan ini strukturnya mirip dengan asetilkolin. Oleh karena itu obat golongan ini juga dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ester ini adalah Metakolin, betanekol, dan Karbakol. Metakolin dan Betanekol mempunyai spesifitas hanya pada reseptor muskarinik. Jika karbakol mempunyai spesifitas pada kedua reseptor (muskarinik dan nikotinik). >> Obat golongan alkaloid

Pada obat golongan ini strukturnya tidak mirip dengan asetilkolin, maka obat golongan ini tidak dapat dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ini adalah Pilokarpin. Obat ini hanya mempunyai spesifitas pada reseptor asetilkolin muskarinik. Pada dasarnya obat-obat agonis kolinergik ini didasarkan pada tipe reseptornya. Yaitu : # Reseptor M1 : Bekerja pada sistem syaraf pusat, sistem syaraf perifer, dan sel parietal lambung. # Reseptor M2 : Bekerja pada organ jantung. # Reseptor M3 : Berefek eksitatori, otot polos sistem pencernaan, mata, pembuluh darah, dan kalenjar eksokrin Berdasarkan tersebut maka efek samping obat-obatan yang bekerja pada agonis kolinergik ini mengikuti pada resetornya, contonya pada reseptor tipe M3 maka efek samping yang ditimbulkan bisa saja peningkatan kontraksi saluran pencernaan. 1.2) Agonis Nikotinik Sesuai dengan namanya maka obat ini bekerja pada reseptor asetilkolin nikotinik. Obat ini dapat mempengaruhi pada siste syaraf somatik atau neuromuscular junction. Contoh senyawanya adalah nikotin, lobelin, epibatidin, dll. Nikotin dal lobelin didapatkan dari isolasi dari tanaman tembakau dan senyawa ini dapat digunakan untuk orang yang kecanduan merokok. 2) Inhibitor Kolinesterase pada bagian sistem syaraf otonom terdapat suatu enzim yang sangat penting yaitu Asetilkolin asetil hidrolase (AchE) atau biasa disebut dengan asetilkolinesterase. Enzim ini ditemukan pada celah syaraf kolinergik, neuromuscular junction, dan darah. Enzim ini sangat penting karena berfungsi untuk memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Obat dalam hal ini bereaksi dengan menghambat enzim kolinesterase pada celah sinaptik. Sedangkan obat-obatannya beraksi dengan 2 tipe, yaitu sebagai Inhibitor reversibel dan sebagai Inhibitor Ireversibel. 2.1) Inhibitor Reversibel Obat ini dapat berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif enzim AChE dan dapat terbalikkan / reversibel. Obat pada golongan ini bersifat larut air. Contoh obat-obatan yang bersifat inhibitor reversibel ini adalah Edroponium. Obat ini bereaksi dengan cepat yang diberikan secara intravena untuk diagnosa penyakit Myastenia gravis. Pada penderita Myastenia gravis jika diberikan Edroponium maka akan meningkatkan kekuatan otot skeletal. 2.2) Inhibitor Irreversibel Obat ini berinteraksi dengan sisi sktif enzim AchE dan bersifat tak terbalikkan dan biasanya senyawa golongan ini bersifat larut dalam lipid sehingga dapat menembus barrier darah otak. Obat ini bereaksi dengan memfosforilasi enzim AchE sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim tersebut. Senyawa yang bersifat sebagai Inhibitor Irreversibel ini contohnya yaitu Malation, golongan insektisida dan golongan pestisida (organophosphat). Jika suatu inhibitor irreversibel ini bereaksi terhadap enzim asetilkolinesterase maka enzim ini tidak aktif sehingga tidak dapat memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin dan mengakibatkan penumpukan. Obat yang dapat digunakan adalah Pralidoksim. Obat ini bereaksi dengan menarik kuat Inhibitor Irreversibel dari sisi aktif enzim agar enzim tersebut aktif kembali. Tetapi penggunakaan pralidoksim pada pasien keracunan organophosphat harus dilakukan pada waktu yang cepat, karena dalam waktu beberapa jam setelah keracunan organofospat, enzim terfosforilasi atau kehilangan gugus alkil atau alkoksi sehingga menyebabkan atbil dan lebih resisten terhadap pralidoksim.

Antagonis Kolinergik Aktifitas obat antagonis berarti melawan, yaitu melawan dari aksi neurotransmitter : asetilkolin. Secara definitif berarti obat yang menghambat atau mengurangi aktifitas dari asetilkolin atau

persyarafan kolinergik. Istilah lain dari antagonis kolinergik ini yaitu Kolinolitik. Obat golongan ini aksinya yaitu mengeblok kanal ion, sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor muskarinik, dan sebagai inhibittor pada reseptor nikotinik dan muskarinik. Disini akan lebih dijelaskan pada obatobatan yang bereaksi sebagai antagonis pada reseptor muskarinik. Obat yang bereaksi sebagai antagonis muskarinik mempunyai aktivitas dalam menghambat secara kompetitif pada reseptor asetilkolin muskarinik. Secara struktural, obat-obat ini bersifat seperti asetilkolin, yaitu mempunyai struktur seperti asetilkolin tetapi bagian gugus asetil pada asetilkolin diganti dengan gugus aromatik. Obat ini pada dasarnya yaitu berikatan dengan reseptor tetapi tidak menimbulkan efek, jadi mempunyai harga =0 meskipun mempunyai afinitas terhadap reseptor. Contoh senyawa alami yang bereaksi dengan hal ini adalah Atropin dan Hyosin. Atropin bersifat larut dalam lipid sehingga mudah untuk diabsorpsi dan dapat menembut barrier darah otak. Atropin ini dapat digunakan pada kasus keracunan organophospat. Yaitu berinteraksi dengan mengeblok kelebihan asetilkolin pada reseptor muskarinik, tetapi tidak pada reseptor nikotinik. Selain itu atropin dapat digunakan untuk penderita asma yaitu dengan relaksasi bronkus. Hyosin atau dinamakan juga dengan Scopolamin dapat digunakan pada pengobatan Motion Sickness.

RESEPTOR TERGANDENG PROTEIN G ALFA BETA

cAMP ( cyclic AMP ) merupakan salah satu second messanger yang terlibat dalam transduksi sinyal melalui reseptor tergandeng protein G. Reseptor terkait protein G disebut juga reseptor metabotropik dimana dalam kinerjanya reseptor ini akan bergandengan dengan suatu protein yang disebut protein G untuk menghasilkan respon seluler. Protein G itu sendiri adalah suatu protein yang terdiri dari 3 rantai polipeptida yang berbeda yang disebut sub unit alfa, beta dan gamma. Rantai beta dan gamma membentuk kompleks betagamma yang kuat sehingga membuat protein G tadi tertambat pada permukaan sitoplasmik membran plasma. Adapun jalur transduksi sinyal pada GPCR ( G Protein Coupled Receptor ) ada dua, yaitu jalur adenilat siklase dan jalur fosfolipase. Jalur transduksi sinyal ini dibedakan berdasarkan jenis protein G yang terlibat. Jalur transduksi sinyal akan melalui jalur adenilat siklase apabila protein G yang terlibat adalah protein Gs ( stimulatory G protein ) yang bekerja mengaktifkan adenilat siklase ataupun Gi ( inhibitori G protein ) yang bekerja menghambat adenilat siklase. Sedangkan jalur foffolipase akan aktif jika yang terlibat adalah Gq yang bekerja mengaktifkan jalur fosfolipase( Ikawati, 2006 ) Pada animasi di atas, rangkaian peristiwa yang terjadi adalah aktivasi reseptor GPCR melalui jalur adenilat siklase yang nantinya akan menghasilkan second messanger cAMP. Ketika ada suatu ligan yang menempel pada reseptor yang tergandeng dengan protein G sebagai contoh ephineprin , maka akan terjadi perubahan konformasi reseptor yang menyebebkan protein G yang terdapat di dalam membran sel akan teraktifasi. Dimana dalam aktifasi protein G ini dan subunit alfa akan mengalami pertukaran senyawa yang diikat dari GDP menjadi GTP oleh bantuan enzim Guanine Nucleotide Exchange factors ( GEF ) yang pada animasi ini tidak dijelaskan. Protein G dalam bentuk aktif ini kemudian akan mengaktifkan adenilat siklase dimana adenilat siklase ini akan menghasilkan cAMP dari ATP yang ada di dalam sel. Selanjutnya, cAMP akan mengaktifkan PKA yang akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein target, sebagai contoh di sini adalah protein alfa kinase sehingga nantinya akan menimbulkan aktivitas atau respon seluler tertentu( ikawati, 2006 ) GPCR pada reseptor2 ini sama seperti pada GPCR yg lain. pengertian umum ini dulu mbak, Istilah kolinergik adalah istilah yg luas. istilah ini dapat sebagai substasi yg memproduksi asetilkolin, sebagai sinapsnya, atau sebagai reseptornya. Kalau istilah kolinergik ini anda maksudkan adalah reseptor, maka terdapat 2 jenis reseptor, yaitu asetilkolin nikotinik (nicotinic acetylcholine receptors /nAChR) dan asetilkolin muskarinik (muscarinic acetylcholine receptors /mAChR). Krn konteksnya trit ini adalah jantung, maka dipastikan pembahasan lbh reseptor asetilkolin muskarinik. Reseptor asetilkolin muskarinik ini terdiri atas 5 macam subtipe, yaitu M1, M2, M3, M4, dan M5. Subtipe M1, M3, M5 tergandeng protein Gq, sedangkan reseptor M2 dan M4 tergandeng protein Gi dan kanal ion K. Respon yg timbul dari aktivasi reseptor ini oleh asetilkolin dapat berbeda2 tergantung subtipe reseptor dan lokasinya. Sebagai contoh adalah reseptor M2 yg terdapat di sel miokard. Jika asetilkolin berikatan dengan reseptor ini, subunit Gi alfa, akan menghambat adenilat siklase sedangkan subunit Gi beta dan gamma akan beraksi langsung membuka kanal ion K pada membran sel otot, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran dan menghambat pembukaan kanal ion Ca. Berkurang konsentrasi Ca intrasel menyebabkan frekunsi kontraksi otot jantung berkurang. (lihat: Rang et al, 1999, Pharmacology, 4th ed, Churchill Livingstone)

RESEPTOR TERGANDENG PROTEIN G Pada tahun 1969, Martin Rodlell, et al., menyampaikan hasil penelitiannya bahwa satu seri hormon, yang semuanya mengaktifkan adenilat siklase, ternyata beraksi dengan cara berikatan dengan suatu reseptor spesifik yang tergandeng dengan adenilat siklase intraseluler dalam suatu sistem transduksi. Interaksi antara reseptor spesifik tersebut dengan protein target diperantarai oleh suatu protein ketiga yang kemudian dikarakterisir sebagai heterotrimeric guanine nucleotide binding protein atau disebut G-protein. Reseptor spesifik tadi kemudian disebut G-Protein-Coupled Reseptor (GPCR) atau disebut juga reseptor tergandeng protein G. Reseptor tergandeng protein G, disebut juga reseptor metabotropik, merupakan famili terbesar dari reseptor membran sel. Reseptor ini menjadi mediator dari respons seluler berbagai molekul, seperti hormon, neurotransmitter, dan mediator lokal. Reseptor tergandeng protein G merupakan satu rantai polipeptida tunggal, yang keluar masuk menembus membran sel sampai tujuh kali sehingga dikatakan memiliki tujuh transmembran. Dari bentuknya, reseptor tergandeng protein G merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang melewati membran sebanyak tujuh kali. Reseptor ini terutama mengaktivasi rangkaian peristiwa yang mengubah konsentrasi satu atau lebih suatu molekul signaling intraseluler atau yang disebut second messenger untuk menimbulkan respons seluler. Beberapa second messenger yang terlibat dalam transduksi signal melalui reseptor ini adalah siklik AMP (cAMP), protein kinase A (PKA), Diasil gliserol (DAG), Inositol trifosfat

(IP3), protein kinase C (PKC), dan kalsium (Ca++). Protein G sendiri adalah suatu protein yang terdiri dari 3 rantai polipeptida yang berbeda, yang disebut subunit a, b dan g. Rantai b dan g membentuk kompleks bg yang kuat, yang membuat protein G tadi tertambat pada permukaan sitoplasmik membran plasma. Jalur transduksi signal pada GPCR ada dua, yaitu jalur adenilat siklase dan jalur fosfolipase. Suatu aktivasi GPCR akan melalui jalur adenilat siklase atau fosfolipase, tergantung pada macam protein G yang terlibat. Berdasarkan aksinya, protein G ada tiga jenis, yaitu : 1. Gs (stimulatory G protein), yang bekerja mengaktifkan enzim adenilat siklase. 2. Gi (inhibitory G protein), yang bekerja menghambat enzim adenilat siklase, dan 3. Gq, yang bekerja mengaktifkan fosfolipase pada jalur fosfolipase.

A. Aktivasi GPCR Melalui Jalur Adenilat Siklase


Rangkaian peristiwa molekuler yang terjadi pada aktivasi reseptor GPCR melalui jalur adenilat siklase adalah sebagai berikut : 1. Pada bentuk inaktif, protein G berada sebagai suatu trimer dengan GDP yang terikat pada subunit a. Pada kondisi ini semua subunit berada dalam satu kompleks. 2. Jika suatu ligan atau neurotransmitter atau hormon berikatan dengan GPCR, maka dimulailah proses signaling yang diawali dengan perubahan konformasi reseptor yang melibatkan daerah sitoplasmik reseptor, yang menyebabkan daerah sitoplasmik reseptor menjadi aktif terhadap protein G. Selanjutnya, subunit Ga akan melepaskan GDP dan akan mengikat GTP (terjadi pertukaran GDP-GTP). 3. Penggantian GDP menjadi GTP menyebabkan perubahan konformasi pada subunit Ga. Subunit Ga yang terikat dengan GTP tersebut kemudian terdisosiasi dari subunit bg menjadi subunit yang aktif, yang akan mengaktifkan adenilat siklase (AC) memproduksi cAMP. 4. Selanjutnya cAMP akan mengaktifkan PKA (cAMP-dependent Protein Kinase) yang akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein targetnya dan menimbulkan aktivitas. Aktivasi adenilat siklase harus segera dihentikan agar tidak terjadi produksi cAMP yang berlebihan. Untuk itu, GTP harus dihidrolisis menjadi GDP sehingga subunit a kembali ke konformasi semula yang tidak aktif. Selain itu cAMP juga bisa didegradasi dengan bantuan enzim difosfoesterase.

Proses menghentikan proses signaling ini bisa dijelaskan sebagai berikut : 1. Ga menghidrolisis GTP menjadi GDP + Pi. Dengan terikat pada GDP, maka Ga akan kembali berikatan dengan kompleks, bg, sehingga aktivasi adenilat siklase terhenti. 2. Selain itu, cAMP akan dihidrolisis menjadi AMP oleh enzim fosfodiesterase. Perubahan GTP menjadi GDP dan sebaliknya dikatalisis oleh enzim yang disebut GAPs (GTPase Activating Proteins) dan GEFs (Guanine Nucleotide Exchange Factors). Jika ada senyawa yang dapat mengubah konformasi subunit a sehingga tidak dapat menghidrolisis GTP, maka akan terjadi perpanjangan aktivitas adenilat siklase dan memperlama peningkatan kadar cAMP, yang dapat menimbulkan respons yang tidak diinginkan. Hal ini seperti yang terjadi pada pasien kolera yang disebabkan oleh bakteri. Toksin kolera mengubah subunit a menjadi tidak mampu menghidrolisis GTP. Akibatnya subunit a tetap dalam bentuk aktifnya, memicu adenilat siklase membentuk cAMP. Peningkatan kadar cAMP yang diperlama menyebabkan efluks besar-besaran ion Na+ dan air ke dalam usus, yang bertanggung jawab terhadap gejala diare yang parah pada pasien kolera.

Hal yang serupa terjadi pada pasien batuk rejan. Pertussis toxin (kuman penyebab batuk rejan) dapat mengikat protein Ga, sehingga menyebabkan Ga tidak bisa mengubah GDP menjadi GTP. Akibatnya jalur penghambatan adenilat siklase disekat, dan efeknya adalah pemicuan perpanjangan pemicuan adenilat siklase, yang bertanggung jawab terhadap refleks batuk yang terus menerus. Siklik AMP (cAMP) bekerja mengaktivasi Protein Kinase A (PKA) atau A-kinase , yang selanjutnya akan memfosforilasi banyak jenis protein dan mengaktifkannya. Disebut protein kinase A karena aktivasinya diregulasi oleh adanya cAMP. PKA berperan dalam regulasi enzim metabolisme, misalnya metabolisme glukosa, dengan menstimulasi peruraian glikogen dan menghambat sintesis glikogen sehingga meningkatkan/memaksimalkan ketersediaan glukosa dalam sel. Efek cAMP tidak boleh terlalu lama, karenanya sel harus mampu mendefosforilasi protein yang telah terfosforilasi oleh A-kinase. Caranya adalah dengan mendefosforilasi serine dan threonine yang terfosforilasi. Proses ini dikatalisis oleh serine/threonine phosphoprotein phosphatase. Ada empat kelompok protein phosphatase: I, IIA, IIB, dan IIC. a. Protein phosphatase-I: berespons terhadap cAMP. b. Protein phosphatase-IIA: tidak spesifik, mendefosforilasi protein-protein yang difosforilasi oleh A-kinase, berperan dalam regulasi cell cycle. c. Protein phospatase-IIB: disebut calcineurin teraktivasi oleh Ca++, mdan terdapat dalam jumlah besar di otak. d. Protein phosphatase-IIC: tidak begitu berperan.

B. Aktivasi GPCR Melalui Jalur Fosfolipase


Reseptor tergandeng protein G akan teraktivasi melalui jalur fosfolipase jika tergandeng dengan protein Gq. Peristiwa molekuler yang mengawali aktivasi melalui jalur ini sampai terbentuknya subunit a yang aktif adalah sama dengan pada jalur adenilat siklase, tetapi pada jalur ini, subunit a yang aktif akan mengaktivasi enzim fosfolipase C. Enzim fosfolipase C selanjutnya bekerja menguraikan fosfatidil inositol bisfosfat (PIP2), suatu senyawa fosfolipid di membrane sel, menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG). Keduanya berperan dalam transduksi signal sebagai second messenger . Selanjutnya, IP3 akan berikatan dengan reseptor spesifik pada retikulum endoplasmik (RE) yang terkait dengan kanal Ca++ memicu pelepasan Ca++ dari RE ke sitosol sehingga meningkatkan kadar Ca++ intraseluler. Dari aktivasi reseptor melalui jalur fosfolipase, diperoleh beberapa second messenger , yaitu DAG, IP3 dan Ca++. DAG memiliki dua peran dalam signaling, yaitu dapat diurai lebih lanjut menghasilkan asam arakidonat, dan bersama-sama dengan calcium mengaktivasi protein kinase C (C-kinase atau PKC). PKC sendiri disebut demikian karena aktivitasnya tergantung pada calcium. PKC bekerja dengan cara memfosforilasi bagian serine dan threonin pada banyak jenis protein target, tergantung pada tipe selnya. Aktivitas PKC juga dapat meningkatkan transkripsi gen tertentu. Sedangkan Ca++ sangat penting untuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter, dan eksositosis.

PENGHENTIAN AMP SIKLIK Mesenjer kedua ini yang membawa sinyal yang diinisiasi epinefrin dari membrane plasma sel hati atau otot ke bagian dalam sel, dimana sinyal itu menyebabkan pemecahan glikogen. Pengikatan epinefrin pada membrane plasma sel hati akan meningkatkan senyawa adenosine monofosfat siklik, yang disingkat AMP siklik atau cAMP. cAMP ini diaktifkan oleh adenilat siklase yang mengkatalisa perombakan ATP. cAMP atau aliran ion tadi dapat membuat perubahan pada perilaku sel, dan mereka disebut messenger sekunder atau mediator intraseluler yang mana akan merangsang metabolisme sel lewat aktivitas protein kinase.

MEKANISME RESEPTOR ASETILKOLIN MUSKARINIK Reseptor muskarinik asetilkolin adalah bagian dari superfamili GPCR. Ada lima subtipe reseptor muskarinik yaitu M1-M5. Reseptor ini merupakan target untuk beberapa penyakit yaitu Alzheimers Disesase (AD) dan skizoprenia. Penyakit Alzheimer yaitu penyakit degeneratif progresif otak yang menyebabkan gangguan berpikir dan mengingat yang serius. Ada dua binding domain pada reseptor yaitu ortosterik (primer) dan alosterik (skunder). Binding domain ortosterik memiliki homologi yang tinggi pada tiap subtipenya, hal ini membuat sulit untuk mendapatkan agonis atau antagonis yang dapat mengikat pada sutipe tertentu. Namun pada binding site alosterik, antar subtipe tidak setinggi pada ortosterik homologinya sehingga memungkinkan celah menarik untuk pengembangan obat yang secara selektif pada subtipe tertentu. Salah satu obat yang menarik adalah xanomelin. Penelitian sebelumnya ditemukan bahwa obat ini secara unik berikatan pada reseptor muskarinik, pengikatannya adalah reversible pada situs ortosterik dan wash resistant pada situs alosterik. Lebih lanjut, xanomelin dinyatakan selektif agonis pada M1/M4. Pengikatan wash-resistant xanomeline mampu memodulasi sifat fungsional reseptor. Konsekuensi efek jangka panjang wash-resistant ikatan xanomeline tergantung pada aktivasi reseptor melalui situs pengikatan ortosterik. Tampaknya efek ini adalah hasil dari internalisasi reseptor dan modulasi alosterik dari reseptor.

MEKANISME KERJA NSAID NSAIDs bekerja dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase (COXs). Penghambatan terhadap enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) diperkirakan memediasi efek antipiretik (penurunan suhu tubuh saat demam), analgesik (pengurangan rasa nyeri), dan antiinflamasi (anti-peradangan). Sedangkan penghambatan enzim COX-1 menyebabkan gangguan pada pencernaan. Oleh karena itu NSAIDs yang ideal adalah NSAIDs yang hanya menghambat enzim COX-2 tanpa mengganggu enzim COX-1. Penggunaan klinis NSAIDs digunakan terutama untuk mengurangi nyeri dan demam yang menyertai peradangan. Seperti nyeri pada infeksi gigi-gusi, Nyeri pada penyakit rematik dan nyeri serta peradangan akibat trauma fisik. Contoh-contoh NSAIDs 1. Derivat Asam Propionat Ibuprofen Naproxen 2. Derivat Asam Asetat Indomethacin 3. Derivat Asam Enolat Piroxicam Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah non steroid digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika. Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa pesan pada proses inflamasi (radang). Ada 3 jenis obat golongan NSAID: 1. COX-1 selective inhibitor. Yaitu obat golongan NSAID yang cenderung menghambat aktivitas COX-1, contohnya asam mefenamat. Pernah denger asam mefenamat kan? itu lho yang biasanya digunakan untuk menghilangkan nyeri di persendian karena terkilir. 2. COX-2 selective inhibitor. Golongan obat NSAID yang punya kecenderungan menghambat aktivitas COX-2, contohnya celecoxib, kalo di apotik biasanya namanya celebrex. 3. Non-selective COX inhibitor. Obat NSAID golongan ini menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2, contohnya aspirin dan parasetamol.

http://hatanta.files.wordpress.com/2010/11/nsaid.jpg?w=576&h=239

Kerusakan lambung akibat NSAID NSAID merupakan obat yang paling banyak diresepkan di seluruh dunia. Obat-obat NSAID yang non-selektif dan tradisional dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa lambung. NSAID dapat menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan akibat inhibisi pada prostaglandin, berhubungan dengan inhibisi proses fosforilasi oksidatif di mitokondria, inhibisi pada enzim fosforilase, dan /atau aktivasi dari proses apoptosis.2 Peranan penting dari leukotrien pada kerusakan lambung akibat NSAID juga telah dikemukakan. Dengan penurunan metabolisme dari asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase pada pengguna NSAID, metabolisme asam arakidonat beralih pada jalur alternatif lain yaitu jalur lipooksigenase, dan akan berakibat terjadinya peningkatan produksi leukotrien. Prostaglandin disintesis dari asam lemak esensial, dan konsentrasi tertingginya terdapat di mukosa saluran cerna. Pembentukan prostaglandin yang berkelanjutan oleh mukosa lambung dan usus memperlihatkan suatu proses fisiologik yang dibutuhkan untuk mempertahankan integritas selular dari mukosa saluran cerna. Hampir semua mekanisme pertahanan mukosa lambung dirangsang dan/atau difasilitasi oleh adanya prostaglandin. Prostaglandin dapat menghambat sekresi asam, merangsang sekresi mukus, bikarbonat, dan sekresi fosfolipid, meningkatkan aliran darah mukosa, dan mempercepat pembentukan epitel dan penyembuhan mukosa lambung. Sebagai kesimpulan, kerusakan mukosa lambung akibat NSAID adalah terjadi akibat inhibisi pada pembentukan prostaglandin dan induksi dari hipermotilitas lambung, yang diikuti dengan gangguan mikrovaskuler dan aktivasi neutrofil. Hipermotilitas lambung dan gangguan mikrovaskuler dikaitkan dengan defisiensi prostaglandin yang disebabkan oleh karena inhibisi enzim siklooksigenase-1 akibat penggunaan NSAID. Terdapat dua golongan obat analgetik yang umum digunakan yaitu Acetaminophen (Paracetamol) dan NSAID atau Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs . Obat NSAID dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu aspirin dan non-aspirin. Yang termasuk ke dalam golongan NSAID non-aspirin antara lain ibuprofen dan naproxen. Beberapa jenis dari obat NSAID ini dapat diperoleh dengan menggunakan resep dokter. Selain untuk migren, obat NSAID juga digunakan untuk mengobati radang sendi, radang tendon dan lain lain. Acetaminophen atau paracetamol bekerja di pusat nyeri otak untuk mengurangi rasa nyeri dan demam. Acetaminophen mempunyai efek samping yang sangat minim terutama pada lambung bila dibandingkan dengan obat NSAID. Meskipun demikian, bila digunakan secara serampangan dan

melebihi dosis yang dianjurkan, acetaminophen dapat menyebabkan kerusakan hati yang lumayan berat. Pada pasien yang suka minum alkohol, acetaminophen dapat menyebabkan kerusakan hati walau diberikan pada dosis yang rendah. Kesimpulannya, selalulah membaca aturan pakai obat yang tertera di label obat untuk mencegah keracunan atau kelebihan dosis. Obat NSAID mengurangi nyeri dengan cara mengobati reaksi inflamasi yang menyebabkan terjadinya nyeri. Obat ini disebut non steroid karena memang berbeda dari obat steroid walaupun sama sama mempunyai efek mencegah terjadinya reaksi inflamasi. Obat obat yang termasuk ke dalam golongan steroid (kortikosteroid) tidak dipergunakan karena mempunyai efek samping yang kurang bagus bila digunakan dalam jangka waktu yang lama. Efek samping ini tidak ditemukan pada obat NSAID.

METABOLISME ACETAMINOFEN PASIEN ALKOHOLIK nteraksi antara parasetamol dengan alkohol di dalam hepar merupakan interaksi yang sangat kompleks sebab pemberian alkohol akut dan kronis menimbulkan efek yang berlawanan.

Pada percobaan dengan binatang yang diberikan etanol kronis menimbulkan induksi terhadap microsomal enzyme pada hepar. Enzim yang diinduksi oleh etanol adalah CYP2E1 yang merupakan enzim yang penting dalam proses metabolisme oksidatif dari parasetamol. Enzim CYP2E1 akan memecah parasetamol menjadi metabolit toksik yaitu N-acetyl-pbenzoquinoneimine. Pada peminum alkohol kronis terjadi induksi oleh alkohol tersebut terhadap enzim CYP2E1 bisa mencapai 2 kali lipat. Alkohol/etanol walaupun menginduksi enzim CYP2E1, ternyata juga dapat menghambat kerja dari enzim CYP2E1. Penghambatan ini terjadi karena enzim CYP2E1 lebih banyak berikatan dengan ethanol daripada parasetamol sehingga pembentukan metabolit toksik (NABQI) dari parasetamol berkurang. Ini berarti pemberian etanol dan parasetamol secara bersamaan akan menguntungkan sebab alkohol dapat melindungi hepar dari parasetamol . Perlindungan etanol terhadap hepar akibat parasetamol akan hilang setelah 6 jam pemberian etanol. Pada binatang percobaan efek hepatotoksik dari parasetamol akan meningkat 16-18 jam setelah etanol dihentikan. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa efek hepatotoksik dari parasetamol pada peminum alkohol kronis akan meningkat pada keadaan puasa. Pada keadaan puasa atau kurang gizi kemampuan konjugasi dari metabolit toksik parasetamol akan menurun. Efek hepatotoksik dari parasetamol juga akan meningkat akibat menurunnya sintesis glutation. Pemberian alkohol juga akan meningkatkan pembentukan radikal bebas dalam hepar. Radikal bebas akan memerlukan glutation, sebab pada setiap sel diperlukan glutation sebagai antioksidan penting. Akibatnya efek hepatotoksik parasetamol akan meningkat.

METABOLISME ACETAMINOFEN PASIEN HEPATITIS Overdosis parasetamol dan mekanisme toksisitasnya Overdosis parasetamol dapat terjadi pada penggunaan akut maupun penggunaan berulang. Overdosis parasetamol akut dapat terjadi jika seseorang mengkonsumsi parasetamol dalam dosis besar dalam waktu 8 jam atau kurang. Kejadian toksik pada hati (hepatotoksisitas) akan terjadi pada penggunaan 7,5-10 gram dalam waktu 8 jam atau kurang. Kematian bisa terjadi (mencapai 3-4% kasus) jika parasetamol digunakan sampai 15 gram. Pada dosis terapi (500-2 gram), 5-15% obat ini umunya dikonversi oleh enzim sitokrom P450 di hati menjadi metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). Proses ini disebut aktivasi metabolik, dan NAPQI berperan sebagai radikal bebas yang memiliki lama hidup yang sangat singkat. Meskipun metabolisme parasetamol melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi metabolik ini terdapat pada ginjal dan penting secara toksikologi. Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi secara cepat oleh enzim glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara kovalen radikal bebas NAPQI, menghasilkan konjugat sistein. Sebagiannya lagi akan diasetilasi menjadi konjugat asam merkapturat, yang kemudian keduanya dapat diekskresikan melalui urin. Pada paparan parasetamol overdosis, jumlah dan kecepatan pembentukan NAPQI melebih kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation yang diperlukan. NAPQI kemudian menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis (kematian sel) hati, dan bisa juga menyebabkan kegagalan ginjal (walaupun lebih jarang kejadiannya). Suatu studi populasi terhadap metabolisme parasetamol menunjukkan bahwa proporsi populasi yang mengalami aktivasi metabolik bervariasi dari 2-20% pada subyek ras kaukasian (orang kulit putih). Orang-orang yang mengalami kanker hati dan hepatitis kronis B nampaknya memiliki kapasitas aktivasi metabolik parasetamol yang relatif tinggi (abnormal tinggi). Orang-orang yang demikian diduga memiliki ambang toksisitas parasetamol yang lebih rendah dan mungkin juga lebih rentan terhadap karsinogen dari lingkungan. Bagaimana pengatasannya? Saat ini, pengatasan overdosis parasetamol yang cukup terbukti ampuh adalah dengan penggunaan N-acetylcystein, baik oral atau secara intravena. Antidot (antiracun) ini mencegah kerusakan hepar akibat keracunan parasetamol dengan cara menggantikan glutation dan dengan ketersediaannya sebagai prekursor. Rekomendasi regimen dosis untuk N-asetilcysteine secara per-oral adalah dengan loading dose sebesar 140 mg/kg, diikuti dengan 70 mg/kg BB setiap 4 jam untuk 17 kali dosis, dengan total durasi terapi adalah 72 jam.

You might also like