You are on page 1of 9

PENDAHULUAN Seorang anak AY, berusia 20 tahun yang kebetulan adalah tetangga teman kami, memiliki keadaan yang

tidak sama seperti anak seusianya. Anak tersebut lahir dari seorang ibu yang berinisial S yang sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga, sementara ayahnya adalah seorang buruh bangunan di Jogja. Anak AY tersebut merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Mereka tinggal sederhana di Dusun Sengon, Prambanan. Menurut cerita yang diutarakan oleh sang ibu, anak AY lahir dalam keadaan normal tanpa kelainan fisik. Namun, sang ibu mulai menaruh curiga ketika anak AY tersebut dipakaikan topi bayi. Tepatnya setelah usia sang anak menginjak satu bulan. Sering kali sang ibu harus membeli topi dengan ukuran yang lebih besar karena topi yang lama sudah tidak lagi dapat digunakan. Ibunya merasakan adanya kejanggalan pada kepala anak AY yang semakin lama semakin membesar. Sampai akhirnya ketika sang anak berumur 4 bulan, ibu S membawa anaknya ke Puskesmas dan kemudian petugas medis disana merujuk anak AY untuk diperiksakan ke RS. Sardjito. Sesampainya di RS. Sardjito, anak AY dilakukan pemeriksaan CT-scan dan tidak lama berselang dari waktu pemeriksaan kemudian dokter disana memutuskan untuk melakukan tindakan operasi pada kepala anak AY. Ketika ditanyakan kepada sang ibu mengenai tindakan apa yang telah dilakukan di RS. Sardjito, beliau hanya mengatakan bahwa operasi tersebut adalah operasi untuk menangani hidrosepalus. Tujuh belas hari pasien harus menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut setelah pasien dilakukan operasi tersebut. Pasien dipasangi semacam shunt panjang untuk seumur hidupnya yang berjalan dari kepala sampai dengan perut yang nanti alirannya dialirkan ke bawah yang menurut sang ibu akan ikut keluar cairan dari shunt tersebut lewat saluran kencing. Setelah dilakukan tindakan operasi, anak AY mengalami proses tumbuh kembang yang tidak sama dengan teman sebayanya. Anak AY hanya mampu berbaring tanpa bisa membalikkan badannya. Selama 16 tahun anak AY tidak mengalami keluhan apapun, kecuali batuk ringan. Pada suatu malam anak AY mengalami demam yang sangat tinggi, tidak lama kemudian anak mengalami kejang selama kurang lebih sepuluh menit. Orang tuanya kemudian membawa anak AY ke puskesmas terdekat. Anak AY kembali dirujuk oleh petugas medis
1

disana dan diminta untuk anak AY segera diperiksakan ke RS. Geyoso. Kejang hanya muncul satu kali dan hanya pada saat itu saja. Tidak terjadi kejadian kejang berulang. Selama masa kehamilan ibu S rutin memeriksakan ke bidan setempat. Diakui oleh sang ibu bahwa selama masa kehamilan, tidak ada sesuatu yang aneh dengan kondisinya maupun kondisi janinnya. Ketika anak AY sudah lahir pun, perhatian akan imunisasinya juga tidak terlewat satu kali pun. Anak AY mendapatkan imunisasi secara lengkap sesuai umur. Untuk kebiasaan dan lingkungan, anak AY tinggal di rumah sederhana yang masih dengan lantai semen yang sudah tidak baik kondisinya sehingga menimbulkan banyak sekali debu. Untuk ventilasi kami rasa kurang karena disana masih terasa pengap dan pencahayannya dari sinar matahari tidak dapat mencapai ruangan, sekalipun itu ruang tamu yang berada di paling depan dari rumah. Sehari-hari anak AY hanya dibiarkan berbaring di ruang tv dengan hanya beralaskan karpet dan ditemani dengan sebuah radio kecil. Tanpa perhatian khusus, terkadang ada saja ayam yang keluar masuk dalam rumah. Untuk pola makan sendiri anak AY masih mendapatkan asupan yang cukup baik dengan disuapin oleh ibunya. Begitu juga untuk mandinya, anak AY mandi dua kali dalam sehari. Karena anak AY tidak mampu berkomunikasi dan hanya mampu berbaring, anak AY terkadang buang air kecil di alas tidurnya yang hanya berupa tikar. Dan untuk membersihkannya, sang ibu hanya menyeka pada bagian urogenital si anak. Pada saat pertemuan ibu S mengijinkan kami untuk melakukan pemeriksaan. Beberapa pemerikssaan yang kami lakukan meliputi pemeriksaa vital sign, pemeriksaan fisik generalisata dan pemeriksaan neurologis. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan hasil tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 111 kali per menit, respirasi 17 kali per menit, dan suhunya normal. Pada pemeriksaan generalisata kami juga melakukan pemeriksaan lingkar kepala, didapatkan hasil 59cm, pada pemeriksaan mata tidak didapatkan kelainan berupa sklera ikterik, konjunctiva anemis dan papil edema. Dari beberapa pemeriksaan neurologis yang kami lakukan didapatkan hasil positif reflex fisiologis trisep, patologi babinski. Kami memilih kasus ini sebagai bahan refleksi pada penugasan PPK kami kali ini, karena selain memang diharuskan untuk memilih kasus yang berbeda tiap kelompok kecil di satu tutorial, kami juga ingin mempelajari mengenai penyakit ini yang memang sampai saat ini
2

masih sangat jarang untuk ditemui. Di masyarakat, penyakit ini masih seringkali menjadi hal yang membingungkan untuk sebagian orang karena memang penampakan yang ditimbulkan oleh penyakit ini sangatlah kompleks. Dari mulai kepala yang membesar sampai dengan akhirnya mempengaruhi aktivitas sensorik maupun motorik dari pasien sehingga hampir seluruhnya dari mereka tidak dapat melakukan aktifitas yang seharusnya dapat dilakukan oleh individu lain seusianya. Oiya satu lagi bahwa penyakit ini tidak dibahas dalam diskusi tutorial sehingga kami lebih merasa penasaran akan penyakit ini. Lebih khususnya, untuk saya sendiri, cukup besar rasa penasaran saya untuk dapat mengetahui sebenarnya bagaimana patofisiologi terjadinya keadaan hidrosefalus dan kemungkinan dampak apa saja yang dapat ditimbulkan dari keadaan ini. Juga saya ingin lebih dalam untuk memahami dan mencoba mengetahui apa yang mungkin terjadi pada anak AY yakni kejang yang dialami pasien dengan didahului demam tinggi dengan keadaan pasien sekarang yang menampakan keadaan ekstremitas yang spastik.

PEMBAHASAN Demi memuaskan rasa penasaran saya terhadap pertanyaan yang saya miliki, saya pun akhirnya memutuskan untuk mencari referensi untuk mendapatkan jawaban yang sesuai. Tidak banyak jurnal terbaru yang bisa saya dapatkan untuk sebagai salah satu dari referensi yang dapat saya gunakan. Karena memang jarang sekali untuk terjadi kelainan seperti ini. Bahkan, dari salah satu referensi yang saya gunakan bahwa untuk angka kejadian pada kasus hidrosefalus ini adalah hanya 0,2-4% per 1.000 angka kelahiran. Hidrosefalus merupakan suatu keadaan yang bersifat patologis dimana terjadi kelainan pada sirkulasi dari cairan serebrospinal (LCS) pada suatu individu. Menurut Price & Wilson (2005), cairan serebrospinal merupakan cairan yang mengandung oksigen, protein, glukosa dan sedikit leukosit yang memiliki banyak peranan dalam melindungi otak. Salah satunya adalah sebagai bantalan otak dan sebagai barrier pertahanan otak dari marabahaya. Jika kita ingin membicarakan suatu kondisi patologi, ada baiknya jika kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaiamana perjalanan secara fisiologi dari keadaan yang patologis tersebut. Berikut ini merupakan ringkasan mengenai fisiologi produksi dan aliran LCS menurut salah satu literatur yang saya gunakan. Menurut Price & Wilson (2005), cairan LCS dihasilkan oleh plexus choroideus yang terdapat di tiap-tiap ventrikel di otak. Produksi LCS harus selalu diimbangi dengan resorpsinya. Bermula dari plexus choroideus yang berada pada kedua ventrikel lateralis, kemudian LCS dialirkan melalui foramen Monroe agar dapat sampai ke ventrikel tertius. Setelah bergabung dengan sedikit LCS yang juga dialirkan dari plexus choroideus di ventrikel tertius, LCS yang sejak awal sudah diproduksi akan dibawa melintasi Aquaductus Sylvii kemudian akan berlanjut berjalan melintasi ruang subarachnoid dan medulla spinalis. Menurut Baehr & Frotscher (2010), normalnya, volume LCS yang dapat diproduksi mencapai 500 ml tiap 24 jam dan bersirkulasi dapat mencapai 150 ml. produksi LCS akan membuat suatu tekanan yang dinamakan dengan tekanan LCS. Tekanan LCS merupakan fungsi kecepatan produksi LCS dan resistensi absorpsinya. Jika dilakukan penghitungan tekanan LCS pada orang normal dalam keadaan sepinasi akan didapatkan hasil berkisar di angka 120 mmH2O (Baehr & Frotscher, 2010).
4

Terjadinya gangguan pada salah satu komponen yang terlibat dalam proses fisiologi dapat menimbulkan suatu kondisi patologi yang mampu memicu untuk terjadinya perluasan gangguan pada proses fisiologi suatu individu. Seperti pada kasus hidrosefalus, dapat memunculkan manifestasi yang tidak biasa pada pasien dikarenakan adanya peningkatan intrakranial sehingga akan terjadi penekanan penekanan terhadap bagian kepala, terutama di otak. Seperti yang telah diutarakan oleh ibu S pada anamnesis, anaknya mengalami pembesaran pada ukuran kepala yang terus menerus membesar. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan terhadap tulang kepala sehingga sutura yang belum menutup sempurna saat itu akan teregang dan akan membuat perbesaran kepala. Selain itu, seperti manifestasi lain yang ditemukan pada anak AY yang mengalami gangguan dalam hal bicara, merespons bicara lawan bicaranya, dan yang lebih nyata adalah pada perkembangan motoriknya. Mengulang sedikit tentang anak AY yang kini telah berusia 20 tahun dan selama hidupnya anak AY pernah menjalani operasi terhadap keadaan hidrosefalus yang dialaminya. Menurut data anamnesis yang berhasil kami dapatkan bahwa diketahui anak AY menjalani proses operasi ketika dirinya berusia 4 bulan dan tidak lama setelah dirujuk ke salah satu rumah sakit besar di Jogja, anak AY akhirnya menjalani operasi yang mengharuskan ditanamkannya semacam shunt panjang dari kepala untuk mengalirkan cairan yang berlebihan tersebut. Tidak ada penyakit berarti yang diutarakan oleh sang ibu, yang dialami oleh anaknya selama sekian tahun setelah operasi sampai akhirnya terjadilah demam tinggi yang diikuti oleh kejang. Sakit yang kadang muncul selama rentang sampai dengan kejang pada anak AY adalah hanya berupa batuk pilek. Kejang merupakan suatu keadaan yang ditandainya oleh karena terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan secara berulang dan terjadi hipersinkronisasi pada system saraf pusat. Dari salah satu literatur yang saya gunakan, disana tertulis mengenai pembagiaan penyebab-penyebab tersering kejang berdasarkan usia. Untuk usia remaja (12-18 tahun), salah satu yang menjadi penyebab tersering kejang adalah infeksi (Harrison, 2010). Dari pemahaman saya selama ini dan meringkas dari berbagai literature yang pernah saya baca bahwasanya ketika terjadi infeksi dengan masuknya suatu patogen ke dalam tubuh
5

kita, tubuh kita akan meresponnya dengan mengeluarkan berbagai zat pirogen untuk melawan agen asing tersebut yang nantinya akan menyebabkan terjadinya demam. Dengan melihat pernyataan ini dan menghubungkannya dengan riwayat kejang pada anak AY, saya menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu proses infeksi yang terjadi pada anak tersebut. Namun, yang menjadi pernyataan saya lebih lanjut adalah kira-kira darimana infeksi tersebut berasal? Pertanyaan ini muncul kemudian setelah saya sekilas membaca sebuah literatur yang menjelaskan mengenai terapi yang bisa digunakan untuk pasien hidrosefalus. Disebutkan oleh De Jong (2004), bahwa pintasan yang dibuat untuk digunakan sebagai salah satu terapi untuk hidrosefalus adalah menggunakan bahan yang terbuat dari silicon khusus yang dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan reaksi peradangan dan oleh karena itu dapat dipasang di dalam tubuh selamanya. Apakah mungkin tidak terjadi proses infeksi, sementara kejang terjadi setelah didahului dengan demam sebelumnya? Jika iya, apakah proses infeksi yang terjadi pada anak AY berasal dari patogen yang berasal dari pemasangan shunt intrapritoneal setelah operasi? Ataukah ada patogen lain yang memungkinkan terjadinya kejang pada anak AY ini? Menurut Guyton & Hall (2007), demam dapat disebabkan karena adanya kelainan di dalam otak (lesi otak) itu sendiri seperti tumor otak, ataupun oleh karena adanya bahan toksik yang dikeluarkan oleh patogen yang kemudian dapat mempengaruhi pusat pengaturan suhu tubuh. Seperti yang telah dijabarkan diatas, bahwa menurut De Jong (2004), bahwa bahan yang digunakan sebagai pintasan untuk hidrosefalus adalah silikon khusus yang dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan reaksi peradangan. Sehingga jika dilihat dari pernyataan ini bahwa tidak mungkin proses infeksi terjadi akibat pemasangan shunt tersebut. Pada salah satu literature disebutkan bahwa memang komplikasi paling sering terjadi pada pemasangan shunt untuk kasus hidrosefalus ini adalah kontaminasi dari S. Epidermidis, namun hal ini akan Nampak pada pasien yang memunculkan manifestasi demam tinggi setelah dua bulan pemasangan shunt. Namun pada anak AY, demam tinggi baru muncul pada usia 16 tahun. Rentang waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan komplikasi akibat pemasangan

shunt. Saya tidak berhasil menemukan berbagai literatur jurnal terbaru yang menjelaskan tentang angka kejadian terjadinya komplikasi akibat pemasangan shunt. Lalu, patogen apa kira-kira yang mampu menyebabkan demam tinggi seperti pada anak AY tersebut? Apakah mungkin ada hubungannya dengan riwayat batuk pilek yang sering dialami pasien selama ini? Lalu saya mencari literatur yang membahas kemungkinan dapat terjadinya kejang sebagai kelanjutan dari infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA). Dari jurnal yang saya gunakan sebagai bahan literatur, disana dijelaskan bahwa salah satu factor resiko terjadinya komplikasi neurologis seperti kejang adalah bisa dari infeksi oleh virus Influenza. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwasanya penyebab ISPA paling sering adalah H. influenza. Terlebih lagi jika pengobatan akan gangguan ISPA tersebut tidak di obati secara baik dan sempurna sehingga dapat menyebabkan resistensi patogen terhadap obat. Bila ditinjau dari segi lungkungan pun memungkinkan untuk anak A mengalami infeksi oleh patogen karena juga anak A sehari-hari hanya mampu berbaring di alas tikar di atas lanta rumahnya yang masih banyak sekali debu.

KESIMPULAN Alhamdulillahirabbilalamin.. pada akhirnya telah selesai juga laporan penugasan saya untuk refleksi kasus PPK pada blok ini. Saya mendapatkan pengalaman yang banyak, tidak hanya karena akhinya selesai juga laporan ini tapi juga proses yang saya lalui untuk bisa seperti sekarang ini. Saya bisa lebih berkaca kepada diri saya sendiri mengenai apa-apa saja yang telah saya miliki sampai saat ini, nikmat yang terlihat maupun yang hanya bisa dirasakan. Topik kasus yang saya angkat untuk PPK kali ini adalah mengenai seorang anak yang kini telah berusia 20 tahun yang mengalami kondisi hidrosefalus. Hidrosefalus merupakan suatu keadaan yang sampai saat ini masih menjadi semacam problem yang membingungkan di masyarakat luas. Hal ini dikarenakan oleh karena akibat yang ditimbulkannya yakni perubahan kepala yang lama kelamaan menjadi besar dan penampakan fisik lain yang tidak seperti individu lainnya. Dengan kita mengetahui bagaimana perjalanan penyakit tersebut, aspek apa saja yang berpeeran dan mungkin mengalami gangguan, insyaallah kita, khususnya saya dapat memberikan pengertian dan edukasi kepada mereka yang memiliki keluarga, teman maupun tetangga yang mengalami hal seperti ini. Pengalaman yang tidak terlupakan karena untuk pertama kalinya saya dapat berhubungan langsung dengan keluarga pasien dan bahkan pasien sendiri meskipun dia hanya dapat tersenyum ketika saya dan teman-teman kelompok saya datang berkunjung kesana.

DAFTAR PUSTAKA Baehr, M., Frotscher, M., 2005. Duus Topical Diagnosis In Neurology : Anatomy, Physiology, Signs, Symptoms (4th Ed.). Suwono, W.J. 2010 (Alih Bahasa) EGC, Jakarta. Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007. Textbook of Medical Physiology ( 2007 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta. Harrison, R.T., 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine ( MacGraw-Hill Companies. Kwong, K.L., Lam, S.Y., Que, T.L., Wong, S.N., 2006. Influenza A and Febrile Seizures In Childhood, Journal Of Pediatrics, 35:6, 395-399. Price, A.S.,Wilson, M.L., 2005. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes ( Ed.). Brahm, U. Pendit et al. 2005 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta. ed). New York: the ed.). Irawati, et al.

Newland, J.G., Laurich, V.M., Rosenquist, A.W., Heydon, K., Licht, J.D., Keren, R., Zaoutis, T.E., Watson, B., Hodinka, R.L., Coffin, S.E., 2007. Neurologic Complication in Children Hospitalized with Influenza : Characteristics, Incidence and Risk Factors, J Pediatr 2007;150;306-10.

You might also like