You are on page 1of 7

Mola hidatidosa Yang dimaksud dengan mola hidatidosa ialah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di mana

tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vilh korialis mengalami perubahan hidropik. Dalam hal demikian disebut Mola Hidatidosa atau Complete mole, sedangkan

Gambar. Mola hidatidosa

Bila disertai janin atau bagian dari jamn disebut Mola parsialis atau Partial mole. Menurut Vassilakos, Complete mole dan Partial mole merupakan kesatuan yang berbeda, antara keduanya ada perbedaan klinik, histopatologik,

sitogenetik maupun prognostik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembungputih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai satu atau dua sentimeter. Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah: edema stroma villi, tidak

ada pembuluh darah pada villi dan proliferasi sel-sel trofoblas, sedangkan gambaran sitogenetiknya pada umumnya berupa xx 46. Mola parsialis Secara makroskopik tampak gelembung mola yang disertai janin atau bagian dari janin. Umumnya janin mati pada bulan pertama tetapi ada juga yang hidup sampai cukup besar atau bahkan aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat villi yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di tempat lain masih tampak villi yang normal. Umumnya mola parsialis mempunyai kariotipe triploid. Pada perkembangan selanjutnya jenis mola ini jarang menjadi ganas. Bila ada mola yang disertai janin kejadiannya ada dua kemungkinan. Pertama kehamilan kembar, di mana satu janin tumbuh normal dan hasil konsepsi yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Kedua, hamil tunggal yang berupa mola parsialis.

Gejala-gejala Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasa, yaitu enek, muntah, pusing dan Iain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasuskasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal mi perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole. Peradarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ke tujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak

sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini maka umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia. Seperti juga pada kehamilan biasa mola hidatidosa bisa disertai dengan preeklampsia (eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada mola terjadinya lebih muda daripada kehamilan biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini banyak

dipermasalahkan ialah tirotoksikosa. Ternyata insidensinya iebih tinggi dari dugaan semula. Menurut Curry insidensinya 1%, tetapi Martaadisoebrata, menemukan angka Iebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya tirotoksikosa pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya. Oleh karena kasus mola hidatidosa dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka Martaadisoebrata menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosa secara aktif seperti kita selalu mencari tanda-tanda preeklampsia pada tiap kehamilan biasa. Mola yang disertai tirotoksikosa mempunyai prognosis yang Iebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru-paru tanpa memberikan gejala apa-apa. Tetapi pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian. Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Umumnya kista ini segera menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus di mana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein Iebih kurang 10.2%, tetapi bila menggunakan ultrasonografi angkanya meningkat sampai 50%. Kasus mala dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali Iebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista. Diagnosis

Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada wanita dengan amenorea, perdarahan per vaginam, uterus yang Iebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti, seperti balotemen dan detik jantung anak. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dalam darah atau urin, baik secara bioasay, immunoassay maupun radioimmunoassay. Peninggian HCG, terutama setelah hari ke 100, sangat sugestif. Bila belum jelas, dapat dilakukan pemeriksaan foto abdomen, biopsi transplasental, pemeriksaan dengan sonde uterus yang diputar seperti dianjurkan oleh Wiknjosastro atau yang Iebih mutakhir dengan menggunakan ultrasonografi, di mana kasus mola menunjukkan gambaran yang khas, yaitu berupa badai salju {snow flake pattern). Diagnosis yang paling tepat bila kita telah melihat gelembung molanya. Tetapi bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Yang baik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum gelembung keluar. Terapi Terapi mola hidatidosa terdiri 4 tahap yaitu: 1) perbaikan keadaan umum; 2) pengeluaran jaringan mola; 3) terapi profilaksis dengan sitostatika; 4) pemeriksaan tindak Ian jut (follow up). 1. Perbaikan keadaan umum Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosa. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa sedang tirotoksikosa diobati sesuai dengan protokol bagian Penyakit Dalam, antara lain dengan inderal. 2. Pengeluaran jaringan mola

Ada dua cara yaitu: a) vakum kuretase dan b) histerektomi. a. Vakum kuretase. Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiuasan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga kemungkinan perdarahan yang banyak.

b. Histerektomi. Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tandatanda keganasan berupa mola invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerotomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan. 3. Terapi profilaksis dengan sitostatika Terapi profilaksis diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi akan terjadinya keganasan misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexate atau actinomycin D. Ada beberapa ahli yang tidak menyetujui terapi profilaksis ini dengan alasan bahwa jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan

keganasan dengan metastasis, serta mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. 4. Pemeriksaan tindak lanjut Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola hidatidosa. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, diafragma atau pil anti hamil. Mengenai pemberian pil anti hamil ini ada dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak mengatakan bahwa pil kombinasi, di samping dapat menghindarkan kehamilan juga dapat menahan LH dari hipofisis sehingga tidak teriadi reaksi silang dengan HCG. Pihak lain menentangnya justru karena estrogen dapat mengaktifkan sel-sel trofoblas. Bagshawe beranggapan bila pil anti hamil diberikan sebelum kadar HCG jadi normal dan kemudian wanita itu mendapat koriokarsinoma, maka biasanya resisten terhadap sitostatika. Kapan penderita mola dapat dianggap sehat kembali? Sampai sekarang belum ada kesepakatan. Curry menyatakan sehat bila HCG dua kali sberturut-turut normal. Ada pula yang mengatakan bila sudah melahirkan anak yang normal. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, jkadar Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan radiologik. Cara yang paling peka untuk menentukan adanya keganasan dini ialah dengan pemeriksaan HCG yang menetap untuk beberapa lama, apalagi kalau meninggi. Hal ini menunjukkan masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ialah dengan radioimmunoassay terhadap HCG B sub unit. Di negara berkembang pemeriksaan tindak lanjut ini sukar dilakukan oleh karena jarang yang mau datang untuk kontrol. Di samping itu pemeriksaan HCG dengan RIA mahal. Dengan demikian diagnosis dini keganasan sukar ditegakkan. Prognosis Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi, eklampsia, payah jantung atau tirotoksikosa. Di negara maju, kematian karena mola hampir tidak

ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian besar dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanna yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Persentase keganasan yang dilapor-kan oleh berbagai klinik sangat sangat berbeda-beda, berkisar antara 5,56%. Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Ada wanita yang pernah menderita mola hidatidosa, kemudian pada kehamilan berikutnya mendapat mola lagi. Kejadian mola berulang ini agak jarang. Martaadisoebrata, di Rumah SakitHasan Sadikin, Bandung hanya menemukan 4 dari 323 kasus atau 1.23%. Angka ini tidak banyak berbeda dengan di kepustakaan. Ada yang mengatakan bahwa mola berulang mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi koriokarsinoma, tetapi pengalaman di Bandung tidak menunjukkan hal demikian. Untuk menentukan kapan kembalinya fungsi reproduksi setelah mola hidatidosa, sebetulnya agak sukar, karena umumnya mereka diharuskan memakai kontrasepsi. Walaupun demikian banyak yang tidak mematuhi, karena ternyata di Rumah Sakit Hasan Sadikin, 41,5% telah hamil lagi dalam jangka waktu satu tahun. Bila tidak diharuskan memakai kontrasepsi tentu lebih banyak lagi. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan reproduksi pasca mola, tidak banyak berbeda dari kehamilan lainnya. Anak-anak yang dilahirkan setelah mola hidatidosa ternyata umumnya normal.

You might also like