You are on page 1of 12

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RSUP DR.

HASAN SADIKIN Sari Pustaka Divisi : Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Pembimbing : Prof. Dr. Abdurachman Sukardi, dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Sjarif Hidajat Effendi, dr., Sp.A(K) dr. Aris Primadi, Sp.A(K) dr. Tetty Yuniati, Sp.A(K), M.Kes. dr. Fiva Aprilia Kadi, Sp.A, M.Kes. Oleh : Yarni Andika Anggraini Hari/tanggal : / Mei 2012 ANEMIA DAN OSTEOPENIA PADA NEONATUS

PENDAHULUAN Masa neonatus adalah masa dalam kehidupan dimana perubahan fisiologis terjadi dengan cepat. Darah sangat dipengaruhi oleh perubahan pada lingkungan intrauterine ke lingkungan ekstrauterin. Selama periode ini neonatus mengalami keadaan hipoksia relatif in utero. Menghadapi perubahan tersebut, terjadi perubahan beberapa sistem organ.2 Insidensi terjadinya anemia pada bayi prematur 30%. Antara 60-100% bayi prematur mendapatkan transfusi darah sebelum usia 3 minggu.8 Perkembangan tulang pada janin memerlukan kalori, protein, dan mineral yang tinggi. Mineral seperti Calsium (Ca) dan Phosfor (P), didapatkan janin dari ibu. Saat usia kehamilan trimester kedua, konsentrasi serum Ca dan F janin lebih tinggi sekitar 20 % dibandingkan konsentrasi serum Ca dan F pada ibu. Insidensi terjadinya osteopenia pada bayi prematur sekitar 30%, terjadi 6-12 minggu setelah lahir.7 Pada makalah ini akan dibahas mengenai anemia dan osteopenia.7,8 DEFINISI Anemia Anemia pada neonatus dengan umur kehamilan>34 minggu ditandai dengan kadar Hb vena sentral < 13 g/dl atau kadar Hb kapiler < 14.5 g/dl. 3 Hemoglobin meningkat dengan bertambahnya usia gestasi. Pada neonatus cukup bulan, kadar hemoglobin darah umbilikal adalah 16,8 g/dl (14-20 g/dl). Kadar hemoglobin pada bayi berat lahir sangat rendah, yaitu 1-2 g/dl dibawah kadar bayi cukup bulan. Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin dibawah batas normal tersebut.,7 Fisiologi Semua bayi akan mengalami penurunan kadar hemoglobin ( Hb ) setelah lahir, karena neonatus mengalami transisi dari kondisi hipoksia relatif dalam kandungan menjadi hiperoksia pada saat lahir. Oksigenisasi jaringan yang lebih baik ini akan menghentikan produksi eritropoetin (EPO) dan proses eritropoesis.
1

Saat lahir kadar Hb bayi berat lahir cukup bulan normal berkisar antara 14-20 g/dL, dengan rerata 17 g/dL. Setelah 1 minggu lahir, terjadi penurunan kadar Hb yang mencapai titik terendah (10-11 g/dL) pada usia 6-10 minggu dan berlangsung hingga usia 1 tahun. Keadaan ini yang disebut anemia fisiologis. Penurunan hemoglobin fisiologis pada neonatus cukup bulan terlihat pada minggu ke 8-12 (kadar hemoglobin 11 g/dl) dan pada minggu ke 6 pada neonatus kurang bulan (7-10 g/dl).,7 Patofisiologi Anemia Anemia dapat terjadi pada saat lahir atau dalam minggu pertama setelah lahir. Secara umum dapat dibagi menjadi 3 yaitu2 : 1. Anemia karena perdarahan 2. Anemia karena proses hemolitik 3. Anemia karena kegagalan produksi eritrosit Anemia karena perdarahan Perdarahan dapat terjadi prenatal, pada saat persalinan dan beberapa hari setelah lahir. Perdarahan dapat terjadi oleh karena perdarahan yang tersembunyi sebelum persalinan, trauma persalinan, perdarahan internal dan kehilangan darah akibat pengambilan sample darah untuk pemeriksaan. Perdarahan dapat terjadi secara akut atau kronik. Anemia yang terjadi karena perdarahan kronik umumnya lebih dapat ditoleransi, hal ini karena bayi akan melakukan kompensasi bertahap terhadap terjadinya perdarahan kronis tersebut. Perdarahan kronik dapat didiagnosis dengan menemukan tanda-tanda kompensasi dan pucat, dapat juga menunjukkan gejala gagal jantung. Anemia yang terjadi umumnya disertai retikulositosis, hipokrom dan normositosis. Perdarahan sebelum Persalinan Perdarahan ini dapat disebabkan oleh karena kelainan dari plasenta maupun tali pusat, perdarahan fetus masuk ke dalam sirkulasi maternal atau perdarahan pada satu fetus masuk ke fetus yang lain pada kehamilan gemeli. Terjadi perdarahan karena didapatkan abrupsio plasenta, plasenta previa. Kelainan pada tali pusat atau pembuluh darah plasenta terjadi pada 10% pada kehamilan kembar.5 Perdarahan fetomaternal dapat terjadi akut atau kronik. Hal ini terjadi pada 8% dari seluruh kehamilan. Sel darah fetal dapat ditemukan di dalam sirkulasi maternal sekitar 50% dari seluruh kehamilan. Perdarahan feto-maternal spontan lebih banyak ditemukan setelah tindakan amniosintesis atau tindakan versi sefalik eksterna. Perdarahan ini hanya ditemukan pada kelahiran kembar monozigot dengan plasenta monokorial. Diperkirakan 13-33% dari seluruh kehamilan kembar dengan plasenta monokorial terdapat transfusi feto fetal. Pertukaran darah ini dapat menyebabkan anemia pada donor dan polisitemia pada resipien. Bila terjadi transfusi yang bermakna maka perbedaan kadar Hb>5 g/dl. Berbeda dengan kembar dizigot, perbedaan Hb maksimal sebsar 3.3 g/dl. Bayi yang anemis
2

dapat menderita gagal jantung kongestif, sedang bayi yang pletorik bermanifestasi sebagai sindrom hiperviskositas, DIC dan hiperbilirubin. Perdarahan Setelah persalinan Perdarahan ini dapat tidak terdeteksi sampai terjadi syok. Anemia yang terjadi pada bayi 24-72 jam tanpa ikterus umumnya disebabkan oleh perdarahan internal. Telah diketahui persalinan dengan trauma dapat menyebabkan perdarahan subdural atau subarahnoid, sefalhematom yang besar yang dapat menyebabkan anemia. Perdarahan ini sering menyertai persalinan yang sulit atau persalinan dengan ekstrasi vakum. Perdarahan subgaleal termasuk di dalamnya yaitu perdarahan masuk ke area subaponeurotik dari tulang kepala dan dapat menyebar ke seluruh rongga kepala oleh karena tidak adanya perlekatan dengan periosteum. Kepala bayi lahir tampak bengkak dan biru, pembengkakan meluas dari orbota sampai leher. Meskipun 50% disebabkan oleh karena ekstraksi vakum, namun sekitar 25% dapat terjadi pada persalinan normal dan 9% terjadi pada persalinan dengan operasi seksio sesaria. Perdarahan di bawah periosteum cenderung terbatas pada 1 area namun menyebabkan sefal hematom dan perdarahan aponeurotik yang menyebabkan anemia yang berat. Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 50% bayi dengan berat badan lahir < 1500 gram dan perdarahan yang terjadi luas maka akan meninggalkan gejala sisa dikemudian hari. Bayi dapat asimptomatis atau dengan gejala seperti ubun-ubun besar menonjol, apnea, kejang dan hipotermi. Perdarahan ini dapat menyebabkan anemia pada bayi saat lahir atau kadar Hb tiba-tiba turun dalam 24 jam pertama. Penyebab obstetri akan kehilangan darah diantaranya malformasi plasenta dan tali pusat seperti abrupsi plasenta, plasenta previa, insisi plasenta pada sectio caesaria, ruptur anomali pembuluh darah (vasa previa, insersi velamentosa tali pusat), hematom tali pusat yang disebabkan varises atau aneurisma, ruptur tali pusat. Kehilangan darah occult dapat kronik atau akut, terjadi pada 8% dari seluruh kehamilan. Beberapa keadaan dapat menjadi predisposisi pada tipe perdarahan ini seperti malformasi plasenta (chorioangioma atau choriocarcinoma), prosedur obstetrik (traumatik amniosentesis, versi eksternal sefalik, versi internal sefalik, persalinan breech), perdarahan fetomaternal spontan. Perdarahan pada periode neonatus dapat disebabkan oleh perdarahan intrakranial, sefalhematom masif, perdarahan retroperitoneal, ruptur hepar atau lien, perdarahan ginjal atau adrenal, perdarahan gastrointestinal, ataupun perdarahan umbilikal. Selain itu perdarahan juga dapat terjadi karena penyebab iatrogenik. Hemolisis Hemolisis ditandai dengan penurunan hematokrit, peningakatan hitung retikulosit, dan peningkatan kadar bilirubin. Penyebab hemolisis imun diantaranya inkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO, inkompatibilitas golongan darah minor, atau penyakit ibu (contoh: lupus).

Gangguan sel darah merah herediter mencakup defek membran sel darah merah, defek metabolik atau hemoglobinopati. Hemolisis yang didapat mencakup infeksi, koagulasi intravaskular disseminata, defisiensi vitamin E, dan anemia hemolitik mikroangiopati. Proses hemolitik didefinisikan sebagai proses patologik yang menyebabkan pemendekan umur eritrosit (< 120 hari). Hemollitik yang terjadi pada masa neonatal umumnya bermanifestasi sebagai peningkatan hitung retikulosit secara persisten tanpa atau dengan penurunan kadar Hb dan tanpa riwayat perdarahan, atau penurunan kadar Hb yang cepat tanpa peningkatan hitung retikulosit, dan tanpa adanya perdarahan. Gangguan produksi sel darah merah Gangguan produksi sel darah merah ditandai dengan penurunan hematokrit, hitung retikulosit menurun, dan kadar bilirubin normal. Contoh keadaan yang menyebabkan gangguan produksi sel darah merah diantaranya adalah sindrom Diamon-Blackfan, leukemia kongenital, infeksi, osteoporosis, penekanan produksi sel darah merah yang diinduksi obat, anemia fisiologis atau anemia prematuritas. Anemia Diamond-Blackfan (pure red cell anemia) adalah suatu sindrom yang ditandai dengan adanya kegagalan eritropoiesis sedang produksi leukosit dan trombosit normal. Anemia dapat ditemukan pada saat bayi lahir ( 25%), kadar Hb berkisar 9.4 g/dl dan disertai retikulositopenia. Sindrom ini terjadi paa bayi berat badan lahir rendah ( 10%) dan disertai anomaly congenital pada 30% pasien.Kelainan yang menyertai tersering adalah short stature, selain itu dapat ditemukan juga kelainan seperti mikrosefali, palatoschisis, kelainan pada mata, web neck, dan kelainan ibu jari. Anemia pada bayi prematur Bayi yang telah mendapat transfusi pada periode neonatus memiliki kadar Hb nadir dibawah normal karena persentase hemoglobin A lebih tinggi. Selama periode eritropoesis aktif, penyimpanan zat besi digunakan cepat. Sistem retikuloendotelial memiliki zat besi yang mencukupi selama 15-20 minggu pada neonatus cukup bulan. Setelah melewati periode tersebut, simpanan zat besi digunakan dengan cepat, setelah melewati periode ini, kadar hemoglobin cepat digunakan. Sistem retikuloendotelial memiliki cadangan zat besi selama 15-20 minggu pada neonatus cukup bulan. Setelah periode tersebut, kadar hemoglobin menurun bila tidak ada suplai zat besi. Massa sel darah merah dan cadangan zat besi menurun karena berat badan yang rendah, meskipun konsentrasi hemoglobin pada neonatus cukup bulan dan kurang bulan sama. Pada neonatus kurang bulan, hemoglobin nadir dicapai lebih cepat dibanding neonatus cukup bulan karena masa hidup sel darah merah menurun bila dibandingkan dengan neonatus cukup bulan, adanya percepatan pertumbuhan yang relatif cepat pada bayi prematur. Hemoglobin nadir pada bayi prematur lebih rendah bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena eritropoetin diproduksi oleh neonatus cukup bulan pada kadar hemoglobin 10-11 g/dl namun diproduksi oleh

neonatus kurang bulan pada kadar hemoglobin 7-9 g/dl. Hal ini menggambarkan kebutuhan oksigen yang lebih rendah pada neonatus cukup bulan.,7 Pada bayi prematur kadar Hb saat lahir sedikit lebih rendah dibanding bayi cukup bulan. Anemia terjadi lebih cepat dan lebih progresif, mencapai kadar Hb yang lebih rendah (7-8 g/dL) pada usia 4 8 minggu dan berlangsung lebih lama. Kadar Hb yang lebih rendah disebabkan pembentukan sel darah merah pada bayi prematur terjadi pada kadar O2 yang lebih rendah dibandingkan bayi cukup bulan. Anemia pada bayi prematur (ABP) dianggap non fisiologis karena disertai gejala klinis.,7 Angka kejadian ABP berbanding terbalik dengan masa gestasi dan berat lahir. Makin imatur bayi, kemungkinan terjadinya ABP makin besar. ABP bukan merupakan masalah pada bayi dengan masa gestasi lebih dari 32 minggu, sedangkan pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu sampai 50% di antaranya akan memberikan gejala klinis. Pada ABP, kadar Hb terendah biasanya terjadi pada saat bayi berusia 4-10 minggu, yaitu Hb 8-10 g/dL jika dilahirkan dengan berat lahir 1200-1400 g, atau Hb 6-9 g/dL jika dilahirkan dengan berat lahir di bawah 1200 g. Beberapa mekanisme yang berperan dalam terjadinya ABP adalah produksi sel darah merah yang tidak adekuat untuk pertumbuhan bayi kurang bulan, usia sel darah merah yang lebih pendek, kehilangan darah, dan adanya defisiensi vitamin E, B12, dan asam folat. Etiologi anemia Kelainan eritrosit didapat Imun - Hemolisis alo-imun (inkompatibilitas golongan darah ABO dan Rhesus) - Penyakit imunologis ibu (SLE) Drug-induced (penisillin) Non-Imun - Infeksi kongenital (Sitomegalovirus, Toksoplasma, Sifilis) - Sepsis bakterial - Koagulasi Intravaskular Disseminata (KID) - Aktivasi sel T (enterokolitis nekrotikans, sepsis) Kelainan eritrosit bawaan Defek membran (sferositosis, eliptositosis) Defisiensi enzim (glukosa-6-fosfat dehidrogenase, piruvat kinase) Hemoglobinopati (thalassemia alfa, thalassemia gammabeta) Instabilitas hemoglobin Hemolisis aloimun Hemolisis aloimun merupakan penyebab tersering hemolisis pada neonatus. Pada keadaan ini terjadi respons imunologis antara antigen eritrosit janin dengan antibodi ibu. Antigen eritrosit janin yang sering menyebabkan hemolisis aloimun ialah antigen AB dan Rhesus.
5

Inkompatibilitas ABO merupakan penyebab tersering hemolisis imun padaneonatus. Dua per tiga kasus hemolitik pada neonatus disebabkan inkompatibilitasABO. Hemolisis terjadi pada janin Rh(+) dengan ibu Rh(-). Individu dengan Rh(-) paling banyak didapatkan pada ras Kaukasian/kulit putih (15%), kulit hitam (5%), dan sedikit sekali ras Asia (<1%). Karena itu insidens paling banyak pada populasi Kaukasian, dan jarang sekali terjadi pada ras non-Kaukasian. Inkompatibilitas Rh terjadi pada 1 dari 200 kehamilan, dengan kematian pada kehamilan pertama setelah sensitisasi sebanyak 20% nya dan 40% pada kehamilan berikutnya. Kelainan herediter membran eritrosit Yang termasuk dalam kelainan ini adalah : sferositosis herediter, eliptositosis herediter dan xerositosis herediter, dan semua kelainan ini dapat bermanifestasi pada periode neonatal. Selain didapatkannya adanya anemia hiperbilirubinemia, juga ditemukan anemia hemolitik.2 Defek enzim eritrosit Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenese (G6PD) termasuk dalam kelainan ini. Enzim ini penting dalam proses metaboloisme sel darah merah, yaitu mengatur langkah pertama dari serangkaian reaksi jalur pentosa yang berfungsi menghasilkan sumber energi bagi eritrosit untuk melaksanakan metabolismenya. Diagnosis Anemia Anamnesis : Riwayat perdarahan vagina dari ibu pada trisemester ketiga Riwayat ibu minum obat-obatan selama kehamilan (aspirin, fenitoin) Riwayat kehamilan dan kelahiran sebelumnya dimana bayi mengalami kelainan pendarahan Riwayat ibu menglami infeksi selama kehamilan Riwayat kelahiran: cara kelahiran, kesulitan saat melahirkan, trauma kelahiran, manipulasi saat melahirkan, dilakukan amniosintesis Pemeriksaan fisik: Perdarahan akut: syok, sianosis, perfusi jelek dan asidosis Perdarahan kronis: didapatkan tanda-tanda kompensasi dan pucat, dapat juga menunjukkan gejala gagal jantung. Hemolisis: pucat, ikterus dan hepatosplenomegali Laboratorium : Darah tepi lengkap Hitung retikulosit Hapusan darah tepi Coombs test dan kadar bilirubin Tes Apt digunakan untuk mengenyampingkan darah maternal.
6

Pendekatan diagnosis anemia pada neonatus mencakup anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Gambar . Pendekatan diagnosis anemia pada neonatus4 Tatalaksana Anemia Penatalaksanaan anemia dengan tranfusi darah tergantung pada beratnya gejala, kadar hemoglobin, dan adanya komorbiditas (displasia bronkopulmonal, penyakit jantung bawaan sianosis, sindrom distres nafas). Pertimbangan akan transfusi darah juga harus didasari pertimbangan akan risiko transfusi darah seperti reaksi transfusi, kelebihan cairan, meningkatnya risiko retinopati prematuritas, enterokolitis nekrotikans, dan infeksi yang berhubungan dengan transfusi. Transfusi diberikan bila didapatkan distress pernafasan atau kelainan jantung bawaan sampai hadar Ht di atas 40%. Bayi yang sehat atau asimptomatik, kondisi anemia ringan akan terkoreksi sendiri dengan pemberian zat besi yang adekuat.
7

Acuan transfusi pada bayi prematur adalah sebagai berikut3,5: Bayi yang asimptomatik dengan hematokrit < 21% dan retikulosit <100.000 Bayi dengan hematokrit <31% dan hood O2 < 36% atau tekanan jalan nafas rerata < 6 cmH2O dengan CPAP atau IMV atau > 9 episode apne dan bradikardi per 12 jam atau 2/24 jam memerlukan ventilasi bag dan mask pada terapi metilxantin adekuat atau denyut nadi > 180 kali/menit atau pernafasan > 80 kali per menit selama 24 jam atau pertambahan berat badan < 10 ghari selama 4 hari dengan kalori 100kkal/kg/hari atau prosedur operasi. Bayi dengan hematokrit <35% dan membutuhkan O2 > 35% atau tekanan jalan nafas rerata 6-8 cmH2O dengan CPAP atau IMV. Recombinant human erytropoetin (r-HUEPO) telah digunakan untuk mencegah atau mengobati anemia kronis yang berhubungan dengan prematuritas, displasia bronkopulmonal, dan anemia hiporegeneratif eritroblastosis fetalis. Anemia prematuritas berkaitan dengan abnormalitas kadar endogen yang rendah namun dengan sel progenitor eritrosit yang responsif akan r-HUEPO.4,8 OSTEOPENIA Osteopenia adalah suatu keadaan densitas tulang yang rendah. Osteopenia merupakan suatu faktor risiko penting terhadap kejadian fraktur tulang. Perkembangan tulang pada janin memerlukan kalori, protein, dan mineral yang tinggi. Mineral seperti Calsium (Ca) dan Phosfor (P), didapatkan janin dari ibu. Saat usia kehamilan trimester kedua, konsentrasi serum Ca dan F janin lebih tinggi sekitar 20 % dibandingkan konsentrasi serum Ca dan F pada ibu.9,10 Patofisiologi Mineralisasi tulang berlangsung terutama pada saat kehamilan trimester ketiga. Apabila peningkatan kebutuhan mineral janin tidak tercukupi, maka proses mineralisasi tulang janin menjadi tidak adekuat. Ibu meningkatkan asupan asupan Ca selama kehamilan dengan cara meningkatkan penyerapan Ca melalui intestinal, dan meningkatkan mobilisasi mineral tulang. Vitamin D ditransfer melalui plasenta dalam bentuk 25-hydroxyvitamin D, dan kemudian dikonversi menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D di ginjal janin.9,10 Meskipun peranan pasti 1,25dihydroxyvitamin D pada janin tidak begitu jelas, namun defisiensi vitamin D kronis pada ibu terbukti mempengaruhi perkembangan tulang janin.9,10 Ca serum terdistribusi pada: 1) 40 % merupakan Ca yang terikat protein, dimana albumin adalah protein pengikat primer, 2) 10 % merupakan kompleks amnion, seperti sitras, Pfosfat, bikarbonat, dan sulfat, dan 3) 50 % merupakan bentuk yang tidak terionisasi.9,10 Phosfor terbagi menjadi bentuk anorganik dan organik. Sekitar 80 % Phosfor pada bayi cukup bulan terakumulasi selama kehamilan trimester akhir, 85 % diantaranya ditemukan pada tulang.9 Homeostasis Ca serum dipertahankan oleh interaksi hormon paratyroid (PTH), calcitonin (CT), dan vitamin D, dan beraksi pada saluran gastrointestinal, ginjal dan tulang. Ginjal berperan penting memelihara homeostasis Ca. Perpindahan Ca dari saluran gastrointestinal dan tulang
8

menentukan konsentrasi ca serum, tetapi ginjal memerankan fungsi homeostasis. Konsentrasi phosfat anorganik diregulasi oleh ginjal, melalui reabsorpsi tubulus.11 Faktor Risiko Faktor risiko osteopenia neonatal adalah: 1. Prematuritas 2. Penggunaan obat-obatan kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan diuretik dalam waktu yang lama 3. Infeksi Prematuritas merupakan faktor risiko penting osteopenia neonatal. Sebanyak 30 % bayi berat lahir < 1000 g dilaporkan menderita osteopenia. 9-11 Transport Ca dan P melalui plasenta terutama terjadi setelah janin berusia 24 minggu, sehingga bayi kurang bulan memiliki cadangan mineral tulang yang tidak adekuat untuk pertumbuhan tulang yang cepat pada periode post natal. Bayi kurang bulan juga memiliki kecenderungan untuk mengalami osteopenia karena faktor mekanis. Perkembangan tulang dipengaruhi beban mekanis pada tulang. Sebagaimana ditunjukkan pada suatu penelitian in vitro, aktivitas osteoblastik meningkat dengan adanya beban mekanis. Lebih jauh lagi terbukti bahwa kurangnya stimulasi mekanis meningkatkan resorpsi tulang, mengurangi massa tulang, dan meningkatkan kehilangan Ca melalui urin. Kurangnya stimulasi mekanis pada janin kurang bulan meningkatkan risiko osteopenia pada janin tersebut. Faktor mekanis juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan tulang yang tidak adekuat pada bayi yang menderita hipotonus.10 Hubungan antara menurunnya densitas mineral tulang dengan berkurangnya gerakan pada bayi juga ditunjukkan pada suatu penelitian yang menggunakan ultrasound kuantitatif pada subyek yang mengalami kelainan serebral.11 Bayi dengan aktifitas fisik yang kurang, seperti pada bayi kurang bulan, mempunyai risiko untuk menderita osteopenia.11,12 Penggunaan obat-obatan pada bayi sakit meningkatkan risiko osteopenia pada bayi baru lahir. Misalnya penggunaan metilsantin dan diuretik jangka panjang, dapat meningkatkan kehilangan mineral yang diperlukan untuk perkembangan tulang, melalui urin. Penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi juga mempengaruhi perkembangan tulang.9-12 Suatu penelitian in vitro menunjukan terjadinya inhibisi fungsi osteoblast dan sintesis DNA pada penggunaan steroid sistemik dosis tinggi.11,12 Suatu uji klinis menunjukkan adanya reduksi alkali fosfatase dan kalsium tulang yang reversible setelah penggunaan dexamethason sistemik.10,11 Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan displasia bronkopulmonal yang mendapatkan berbagai macam obat-obatan, berisiko tinggi menderita osteopenia. Restriksi cairan dan peningkatan kebutuhan energi, menjadikan asupan energi dan mineral untuk perkembangan tulang juga berkurang.11,12 Osteopenia neonatal juga berhubungan dengan infeksi. Pada bayi yang menderita penyakit infeksi terjadi peningkatan katabolisme tubuh, yang pada akhirnya dapat menyebabkan konsentrasi Ca dan P dalam serum berkurang.13

Pemeriksaan dan Tatalaksana


9

Osteopenia neonatal dapat menimbulkan berbagai komplikasi, diantaranya yang sering ditemukan adalah ricketsia dan fraktur patologis. Bayi dengan faktor risiko tinggi untuk menderita osteopenia, seperti BBLSR, atau yang mendapatkan pengobatan jangka panjang, seperti diuretik dan kortikosteroid, harus dimonitor berkala. Terdapat beberapa perasat yang dapat digunakan untuk memonitor dan mengukur kandungan mineral tulang dan densitas mineral tulang. 9,11,13 Foto polos radiologi tulang terkadang dapat menampilkan bukti terjadinya osteopenia, seperti gambaran fraktur dan penipisan korteks tulang karena hipomineralisasi. Namun bukti-bukti tersebut merupakan tanda penurunan kandungan mineral stadium lanjut. Pemeriksaan yang sering digunakan untuk menilai densitas mineral tulang adalah dualenergy X-ray absorptiometry (DXA). Alat ini dapat mendeteksi jaringan lemak, jaringan nonlemak, dan kandungan mineral tulang. Penggunaan DXA pada anak dan neonatus masih terbatas. Suatu penelitian oleh Rigo dan kawan-kawan11,12 menunjukkan DXA dapat digunakan untuk mengukur kandungan mineral tulang pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Masalah utama penggunaan DXA untuk mengukur densitas mineral tulang pada pasien non-dewasa adalah luas permukaan tubuh anak dan bayi yang kecil. 11 Pemeriksaan lainnya yang dapat digunakan adalah ultrasound kuantitatif. Pemeriksaan ini dapat menilai struktur dan densitas tulang, namun tidak dapat menilai ketebalan korteks tulang. Pemeriksaan ini merupakan suatu alat diagnosis yang selain praktis, tidak mahal, juga dapat digunakan untuk menilai osteopenia pada bayi kurang bulan.11,14 Penanda biokimiawi Ca, P, alkali fosfatase dan Calsium tulang digunakan untuk mendeteksi osteopenia pada bayi kurang bulan.9-11,13 Konsentrasi alkali fosfatase total merupakan penanda metabolisme sel-sel tulang. Konsentrasi alkali fosfatase meningkat dengan peningkatan aktifitas seluler tulang. Konsentrasi alkali fosfatase > 750 UI/ L, menunjukkan adanya osteopenia neonatal berat, dan mendukung gambaran klinis osteopenia pada bayi kurang bulan. Penanda aktifitas osteoblastik lainnya adalah Calsium tulang, suatu protein non kolagen pada matriks tulang. Konsentrasi Calsium tulang di sirkulasi meningkat saat terjadi peningkatan aktivitas selsel tulang.11,12 Monitor konsentrasi Ca dan P penting dikerjakan pada bayi-bayi risiko tinggi menderita osteopenia, seperti BBLSR. Konsentrasi Ca dipertahankan antara 2,05-2,75 mmol/L dan konsentrasi P antara 1,87-2,91 mmol/L, untuk mencegah terjadinya osteopenia. Penggunaan sediaan P organik dapat digunakan untuk meningkatkan asupan P parenteral. Suplementasi vitamin D rutin diberikan pada BBLER untuk meningkatkan penyerapan Ca dan F melalui saluran gastrointestinal. Namun peningkatan dosis vitamin D > 400 UI/ hari tidak memperbaiki penyerapan Ca dan P. Dosis > 800 UI/ hari dapat meningkatkan risiko hipervitaminosis D dan komplikasi lainnya. Fraktur patologis mudah terjadi pada bayi osteopenia, sehingga diperlukan monitor yang ketat. Solubilitas Ca dan P di dalam cairan nutrisi parenteral yang rendah menyebabkan asupan mineral tersebut juga rendah, dan meningkatkan risiko osteopenia pada bayi yang tidak memperoleh asupan nutrisi enteral dalam jangka lama. Pada BBLSR atau bayi yang sakit yang mendapat restriksi cairan, masalahnya lebih buruk lagi. Sediaan nutrisi parenteral yang ada saat ini tidak mencukupi kebutuhan metabolisme bayi-bayi tersebut.13,15
10

Suatu uji klinis acak terkendali menunjukkan bahwa dengan meningkatkan asupan Ca sebesar 0,68-1,25 mmol/kg/hari dan P sebesar 0,61-1,20 mmol/kg/hari, akan meningkatkan konsentrasi P plasma, menurunkan aktifitas alkali fosfatase, dan mengurangi terjadinya ricketsia.13 Penelitian lainnya mengemukakan hasil bahwa sediaan nutrisi parenteral yang mengandung Ca sebesar 1,45-1,9 mmol/kg/hari dan P sebesar 1,23-1,74 mmol/kg/hari, akan menyediakan kebutuhan Ca sebesar 88-94 % dan P sebesar 83-97 %.12-14 Asupan Ca dan P secara parenteral dipengaruhi tidak hanya oleh konsentrasi masing-masing mineral tersebut, tapi juga konsentrasi relatif satu dengan lainnya. Beberapa penelitian dilakukan untuk menentukan rasio Ca dan P yang optimal pada cairan nutrisi parenteral. Suatu penelitian menyebutkan apabila rasio Ca dan P dibawah 1:1 dapat menyebabkan keadaan hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Karena konsentrasi Ca dan P yang terdapat di dalam suatu produk cairan nutrisi parenteral kurang optimal, maka pemberian infus Ca dan P secara terpisah dapat diberikan.10,13 Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) sering menderita intoleransi asupan oral dan memiliki kebutuhan energi dan mineral yang relatif lebih tinggi, sehingga asupan Ca dan P secara enteral seringkali harus dibatasi. Asupan mineral yang tidak adekuat akan meningkatkan alkali fosfatase dan 1,25 dihydroxvitamin D di sirkulasi, dan menunjukkan gambaran radiologis ricketsia, serta menurunkan kandungan mineral tulang.11-13,15 Penyerapan P melalui saluran gastrointestinal akan sangat baik dengan adanya Ca, dengan laju penyerapan sebesar > 90 %, baik pada ASI maupun susu formula. Beberapa penelitian menunjukkan laju retensi Ca dan P yang mendekati kondisi intrauteri dapat tercapai dengan pemberian susu formula yang mengandung tinggi mineral atau ASI fortifikasi, yang mengandung Ca sebesar 3,7-5,8 mmol/kg/hari dan P sebesar 2,5-4,1 mmol/kg/hari, dengan rasio Ca berbanding P sebesar 1,8:1 dan 2:1. Suatu uji klinis acak terkendali yang meneliti penggunaan suplementasi P oral menunjukkan bahwa dosis 50 mg/hari cukup untuk mencegah BBLSR menderita ricketsia.14,15 Rangsang mekanis pada tulang yang sedang berkembang mempunyai peranan penting bagi perkembangan tulang tersebut. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa stimulasi otot-otot dan tulang pada bayi berhubungan dengan peningkatan berat badan, pemanjangan tulang-tulang panjang, kandungan mineral tulang dan massa jaringan non lemak.12 Penelitian lainnya menunjukkan stimulasi otot-otot dan tulang dapat meningkatkan densitas mineral tulang, sebagaimana dibuktikan melalui ultrasound kuantitatif. 15,16

DAFTAR PUSTAKA
11

1. 2. 3. 4. 5.

Alarcon Pd, Werner E. Neonatal hematology. Edisi ke- 1. UK: Cambridge University Press; 2005. Bizzaro MJ, Colson E, Ehrenkranz RA. Differential diagnosis and management of anemia in newborn. Pediatr Clin N Am. 2004;51:1087-107. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. Edisi ke- 6. USA: McGraw-Hill; 2009. hlm. 403-11. Stoll BJ. Blood disorder. In: Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton, Penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke- 18. USA: Elsevier; 2007 hlm. 766-75. Christou HA, Shannon K, Rowitch DH. Anemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, Penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke- 6. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2008. hlm. 436-43.

6. 7. 8. 9.

Luban NL. Management of anemia in newborn. Elsevier. 2008;84:493-8. Ohls KR. Core concept: The biology of hemoglobin. NeoReviews. 2011;12;e29 Mainie P. Is there a role for erythropoetin in neonatal medicine?. Early human development 2008;84;525-32 Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. Edisi ke- 6. USA: McGraw-Hill; 2009. hlm. 613-7.

10. Abrams SA.Osteopenia (Metabolic Bone Disease). Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, Penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke- 6. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2008. hlm. 555-8 11. Johnson K, McKechnie E. Osteopenia of prematurity: a national survey and review of practice. Acta Paediatrica. 2008;88:407-13. 12. Lam HS, So KW, Ng PC. Osteopenia in neonates: A Review. HK J Paedtr. 2007;12:118-24. 13. Aly H, Moustofa MF, Massaro AN, Amer HA, Patel. Physical activity combined with massage improves bone mineralization in premature infants: a randomized trial. Journal of Perinatology. 2004;24:305-9 14. Cross BK, Vasquez E. Osteopenia of prematurity prevention and treatment. The Internet Journal of Advanced Nursing Practice. 2000;4:1-5 15. Mitchell SM. Rogers SP, Hicks PD, Hawthorne KM, Parker BR, Abrams SA. High frequencies of elevated alkaline phospatase activity and rickets exist in extremely low birth weight infants despite current nutritional support. BMC Paediatrics.2009;47:1-7 16. Harris SS, D'Ercole J. Neonatal Hyperparatyroidism: the natural course in the absance of surgical intervention. Paediatrics.1989;83;53-8

12

You might also like