You are on page 1of 27

Hv`UGAS REFERAT BLOK DMS DERMATITIS KONTAK ALERGI

Kelompok 4 Tutor : dr. Susiana Candrawati, SpKO

Anggota Kelompok :

Imelda Widyasari Situmorang Fiska Praktika Widyawibowo Yefta Previasari Zahra P M Haris Yoga I Dzurratun Naseha Daniel Pramandana Lumunon Aulia Tri Puspitasari Widodo Elena Wandantyas Kania Kanistia Ika Suhartati

G1A011002 G1A011010 G1A011066 G1A011068 G1A011069 G1A011076 G1A011081 G1A011085 G1A011100 G1A011114 G1A008009

JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012

HALAMAN PENGESAHAN

TUGAS REFERAT BLOK DMS DERMATITIS KONTAK ALERGI Oleh : Kelompok 5 Imelda Widyasari Situmorang Fiska Praktika Widyawibowo Yefta Previasari Zahra P M Haris Yoga I Dzurratun Naseha Daniel Pramandana Lumunon Aulia Tri Puspitasari Widodo Elena Wandantyas Kania Kanistia Ika Suhartati G1A011002 G1A011010 G1A011066 G1A011068 G1A011069 G1A011076 G1A011081 G1A011085 G1A011100 G1A011114 G1A008009

Disusun untuk memenuhi persyaratan blok Dermato Musculo Sceletal Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

diterima dan disahkan, Purwokerto, 26 November 2012 Pembimbing,

dr. Susiana Candrawati, SpKO NIP 1979082220005012002

ii
2

DAFTAR ISI

Judul .....................................................................................................................i Halaman Pengesahan ..........................................................................................ii Daftar Isi..............................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1 A. Latar Belakang ........................................................................................1 B. Tujuan .....................................................................................................2 BAB II ISI ...........................................................................................................4 A. Definisi ....................................................................................................4 B. Etiologi dan Predisposisi .........................................................................4 C. Patofisiologi ...........................................................................5

D. Penegakan Diagnosis .............................................................................9 1. Anamnesa ..........................................................................................9 2. Pemeriksaan Fisik .............................................................................10 3. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................14 4. Gold Standard Diagnosis .................................................................19 E. Penatalaksanaan ......................................................................................20 F. Prognosis .................................................................................................21 G. Komplikasi ..............................................................................................21 BAB III KESIMPULAN .....................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................24

iii
3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011). Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk, 2011). Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat (Sularsito, dkk, 2011). Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dari

pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada anakanak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain (Sumantri, dkk, 2005). Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito, dkk, 2011). Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan untuk menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita) dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu penting untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA. B. Tujuan 1. Mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi 2. Mengetahui etiologi dan predisposisi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi 3. Mengetahui patofisiologi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

4. Mengetahui penegakan diagnosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi 5. Mengetahui penatalaksanaan pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi 6. Mengetahui prognosis pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi 7. Mengetahui komplikasi pada penyakit Dermatitis Kontak Alergi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004). B. Etiologi dan Predisposisi 1. Etiologi Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005). Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),

mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003). 2. Predisposisi Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya antara lain: a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011): 1) Potesi sensitisasi allergen 2) Dosis per unit area 3) Luas daerah yang terkena 4) Lama pajanan 5) Oklusi

6) Suhu dan kelembaban lingkungan 7) Vehikulum 8) pH b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011): 1) Keadaan kulit pada lokasi kontak Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum. 2) Status imunologik Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari. 3) Genetik Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen, 2009). 4) Status higinie dan gizi Seluruh faktor faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun

apabila satus higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah. Selain hal hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006). C. Patofisiologi Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan

membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005). Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien, IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005). Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).

Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan Alergen secara Berulang

Alergen kecil dan larut dalam lemak disebut hapten

Menembus lapisan corneum

Sel langerhans keluarkan sitokin

IL-1, ICAM-1, LFA-3,B7, MHC I dan II

Difagosit oleh sel Langerhans dengan pinositosis

Sitokin akan memproliferasi sel T dan menjadi lebih banyak dan memiliki sel T memori

Hapten + HLA-DR Sitokin akan keluar dari getah bening Membentuk antigen Beredar ke seluruh tubuh Dikenalkan ke limfosit T melalui CD4 Individu tersensitisasi Fase Sensitisasi (I) 2-3 minggu

10

Fase Elitisasi (II) 24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi lebih kompleks

Respons klinis DKA Proliferasi dan ekspansi sel T di kulit Faktor kemotaktik, PGE2

dan OGD2, dan leukotrien B4 (LTB4) dan eiksanoid


IFN keratinosit LFA -1, IL-1, TNF- menarik neutrofil, monosit ke dermis

Eikosanoid (dari sel mast dan keratinosit

Molekul larut (komplemen dan klinin) ke epidermis dan dermis

Dilatasi vaskuler dan peningkatan permeabilitas vaskuler

11

D. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesa Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010). Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010). Demografi dan riwayat pekerjaan Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan, paparan berulang dari alergen yang didapat saat kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya. Riwayat penyakit dalam keluarga Riwayat penyakit sebelumnya Riwayat dermatitis yang spesifik Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obatobat yang digunakan, tindakan bedah Onset, lokasi, pengobatan Faktor genetik, predisposisi

12

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010). Lokasi Tangan Kemungkinan Penyebab Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya memasak makanan (getah sayuran, pestisida) dan mencuci pakaian menggunakan deterjen. Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada di pakaian. Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata). Bibir Kelopak mata Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan. Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep mata. Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai

kacamata, obat topikal, gagang telepon. Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat warna pakaian. Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.

13

Genitalia

Antiseptik,

obat

topikal,

nilon,

kondom,

pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi. Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,

sepatu/sandal. Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut : a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

14

c.

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil, zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.

15

Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah yang terkenaalergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat eritema

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta

16

3. Pemeriksaan Penunjang a. Uji Tempel Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010). Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn

17

chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel (Sularsito, 2010): 1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk. 2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak. 3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

18

4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai. 5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus. Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010): 1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+) 2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++) 3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++) 4 = meragukan : hanya makula eritematosa 5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR) 6 = reaksi negatif (-) 7 = excited skin 8 = tidak dites (NT=non tested)

19

T.R.U.E. Test (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test. A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%. B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi (Sularsito, 2010). Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010). b. Pemeriksaan Histopalogi Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).: 1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch. 2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu diikutsertakan.

20

3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder. 4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu. 5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu. 6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis. 7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati. 8) Lalu dikirim ke laboratorium 9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah HematoksilinEosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa. 10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan 11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010). 1) Epidermis (Sularsito, 2010): a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum. b) Hiperplastik, akantosis yang luas. c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.

21

d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal. 2) Dermis (Sularsito, 2010): a) Limfosit perivesikuler b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito, 2010). 4. Gold Standard Diagnosis Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau

22

walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010). E. Penatalaksanaan 1. Non medikamentosa a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009) b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak alergi c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005) d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi 2. Medikamentosa a. Simptomatis Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak anak untuk menghilangkan rasa gatal b. Sistemik 1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali 2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari 3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis

3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari c. Topikal 1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari 3. Pencegahan

23

Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk, 2005). : a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak alergi b. Menghindari substansi allergen c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada sabun bilas dengan air e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko terhadap paparan alergen F. Prognosis Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh

faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

G. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan

24

kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

25

BAB III KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. 2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit. 3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas. 4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif. 5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta

nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

26

DAFTAR PUSTAKA Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update. Tersedia dalam :

http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/cont act%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. pada tanggal 22 November 2012 Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: FK UI Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta : EGC Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta : EGC. Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta : FKUI Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FKUI. Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of Copenhagen . Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 Diakses

diakses pada tanggal 11 November 2012.

27

You might also like