You are on page 1of 33

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebra

2.1.1 Kolumna Vertebralis

Kolumna vertebralis merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi menopang cranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding thorax. Di dalam rongganya terletak medulla spinalis, radix nervi spinales, dan lapisan penutup meningen, yang dilindungi oleh kolumna vertebralis (Snell, 2006: 881-882). Pada kolumna vertebra terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang tulang terpisah, dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang (Pearce, Evelyn C. 2008). Kolumna ini terdiri dari dari vertebra vertebra yang dipisahkan diskus fibrokartilago intervertebral. Ada 7 tulang vertebra cervical, 12 vertebra thorax, 5 vertebra lumbal, dan 5 tulang vertebra sacrum, dan tiga sampai lima tulang koksigeal yang menyatu menjadi tulang koksiks (Sloane, 2003: 101).

Vertebra lumbal merupakan vertebra terpanjang dan terkuat. Prosesus spinosanya pendek dan tebal, serta menonjol hampir searah garis horisontal (Sloane, 2003: 103). Prosesus tranversusnya panjang dan langsing. Ruas kelima membentuk sendi dengan sacrum pada sendi lumbo-sakral (Pearce, Evelyn C. 2008). 2.1.2 Diskus Invertebralis

Diskus

invertebralis

menyusun

seperempat

dari

panjang kolumna

vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat banyak terjadinya gerakan kolumna vertebralis. Struktur ini dapat dianggap sebagai discus semielastis, yang terletak di antara corpus vertebrae yang berdekatan dan bersifat kaku. Ciri fisiknya memungkinkannya berfungsi sebagai peredam benturan bila beban pada kolumna vertebralis mendadak bertambah, seperti bila seseorang melompat dari tempat yang tinggi. Kelenturannya memungkinkan vertebra yang kaku dapat bergerak satu dengan yang lain. Sayangnya daya pegas ini berangsurangsur menghilang dengan bertambahnya usia. Setiap discus terdiri atas bagian pinngir, anulus fibrosus, dan bagian tengah yaitu nucleus pulposus (Snell, 2006: 888).

2.1.3 Persendian

1)

Sendi antara Korpus Vertebra Permukaan atas dan bawah korpus vertebra yang berdekatan dilapisi oleh tulang rawan hialin tipis. Di antara lempeng tersebut terdapat diskus invertebralis yang tersusun oleh jaringan fibrikartilago. Ligamen

longitudinal anterior dan posterior berjalan menurun menyusuri permukaan anterior dan posterior kolumna vertebralis dari kranium sampai sakrum. 2) Sendi antara Arkus Vertebra Terdiri dari dua sendi sinovial, prosesus artikularis superior dan inferior vertebra yang berdekatan. Fasies artikularis tertutup oleh tulang rawan hialin dan sendi dikelilingi oleh ligamentum kapsularis (Judha, 2012: 120121). 2.1.4 Ligamen

1)

Ligamen anterior longitudinal Ligamen ini lebar dan melekat dengan kuat pada pinggir depan, samping corpus vertebra, dan pada diskus invertebralis.

2)

Ligamen posterior longitudinal Ligamen ini lemah dan sempit dan melekat pada pinggir posterior diskus.

3)

Ligamen supraspinal Ligamen ini berjalan di antara ujung-ujung processus spinosus yang berdekatan

4)

Ligamen interspinal Ligamen ini menghubungkan processus spinosus yang berdekatan.

5)

Ligamen intertransversaria Ligamen ini berjalan di antara processus transversus yang berdekatan.

6)

Ligamen flavum Ligamen ini menghubungkan lamina dari vertebra yang berdekatan (Snell, 2006: 888).

2.1.5 Otot

(Cleland, 2011 : 140) Otot Rektus Abdominis Origo Simfisis pubis dan pubis Fasia torakolumbal, anterior krista iliaka, dan lateral inguinal ligamen Kosta aspek eksterna 5-12 Aspek internal dari kartilago kosta 7-12, fasia torako-lumbal, krista iliaka, lateral inguinal ligamen Sakrum, ilium, prosesus transverse T1T3, prosesus artikular C4-C7 Insersio Fungsi Kartilago kostal Fleksi tulang 5-7 dan prosesus belakang xipoid Linea alba, kartilago kostal ke 6 Anterior krista iliaka, linea alba, dan tuberkel pubis Fleksi dan rotasi tulang belakang

Internal Obliques

Eksternal Obliques

Fleksi dan rotasi tulang belakang

Transversus Abdominis

Linea alba, pubis

Kontraksi abdomen dan kompresi isi abdomen

Multifidus

Prosesus spinosus vertebra sekmen 2-4

Stabilisasi vertebra

10

intertransversarius

Prosesus transvers servikal dan lumbal Prosesus transvers vertebra

Prosesus transvers vertebra Prosesus spinosus vertebra sekmen 1-2

Stabilisasi bilateral kolumna vertebra Stabilisasi vertebra dan rotasi

Rotator

(Cleland, 2011: 142-143) 2.1.6 Persarafan Saraf Saraf Subkostal Saraf Iliohypogastric Ilioinguinal Genitofemoral Lateral Kutaneus Cabang iliakus Saraf femoral Level Segmental T12 T12, L1 L1 L1, L2 L2, L3 Motor External oblique Internal oblique, transvers abdominis Internal oblique, transvers abdominis Tidak ada Tidak ada Iliakus Iliakus, sartorius, quadrisep femoris, genu artikularis pektineus Adduktor magnus, adductor brevis, adduktor longus,gracilis,obturator ekternus Fleksor lutut dan kaki

L2, L3, L4

Saraf obturator Sciatic (Cleland, 2011: 147)

L2, L3, L4 L4, L5, S1, S2, S3

11

2.1.7 Vaskularisasi 2.1.8 Biomekanik 1) Fleksi Fleksi adalah gerakan ke depan, dan ke belakang. Keduanya dapat dilakukan dengan leluasa pada daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas pada thoracal. Gerakan fleksi dilakukan oleh m. rectus abdominis, dan m. psoas (Snell, 2006: 892). Pada saat fleksi, nucleus pulposus bergerak ke arah posterior sehingga terjadi ketegangan pada sisi posterior dari annulus fibrosus. Foramen intervertebral melebar sehingga terjadi peningkatan ketegangan pada ligamen posterior longitudinal, ligamen flavum, ligamen interspinosus dan supraspinosus, dan spinal cord. (Neumann, 2010: 357). 2) Ektensi Ekstensi adalah gerakan ke depan, dan ke belakang. Keduanya dapat dilakukan dengan leluasa pada daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas pada thoracal. Gerakan ekstensi dilakukan oleh m. postvertebralis (Snell, 2006: 892).pada saat ekstensi, nucleus pulposus bergerak ke arah anterior sehingga terjadi ketegangan pada sisi anterior dari annulus fibrosus. Foramen intervertebral menyempit sehingga mengakibatkan peningkatan ketegangan pada ligamen anterior longitudinal (Neumann, 2010: 357) 3) Lateral Fleksi Lateral fleksi adalah gerakan melengkungnya tubuh ke satu sisi. Gerakan ini mudah dilakukan di daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas di daerah thoracal. Gerakan lateral fleksi dilakukan oleh m. postvertebralis, m. quadratus lumborum, dan otot-otot serong dinding anterolateral abdomen.

12

Nucleus pulposus menjauh dari arah gerakan, atau dinyatankan timbul cekungan pada sisi lawan gerakan (Neumann, 2010: 357). 4) Rotasi Rotasi adalah gerakan memutar columna vertebralis. Gerakan ini sangat terbatas di daerah lumbal. Gerakan rotasi dilakukan oleh otot otot rotator dan otot-otot serong dinding anterolateral abdomen (Snell, 2006: 892). Sebagian besar rotasi yang sebenarnya disertai dengan kompresi tulang rawan kontralateral pada sendi apophyseal. Rotasi aksial juga

mengakibatkan ketegangan yang diciptakan oleh regangan anulus fibrosus. Secara teori, rotasi aksial derajat 3 pada intervertebralis lumbal akan merusak permukaan sendi facet dan robekan serat kolagen pada annulus fibrosus. Gerakan fisiologis yang normal tetap aman tetapi pada batas ini berpotensi merusak (Neumann, 2010: 356). 2.2 Deskripsi Kasus

2.2.1 Pengertian Spondilosis lumbal adalah suatu kondisi degeneratif tulang belakang yang juga disebut sebagai osteoarthritis tulang belakang. Orang orang diatas usia 40 tahun berada pada risiko tertinggi terjadi spondilosis lumbal, dengan gejala

seperti nyeri dan kekakuan punggung pagi hari (Ahmed, 2010). 2.2.2 Etiologi Penyebab dari spondilosis lumbal, adalah : 1) Pengaruh usia

13

Studi besar tentang osteoporosis telah lama mengakui proses penuaan menjadi faktor risiko terkuat untuk degenerasi tulang, khususnya tulang belakang. 2) Dampak kegiatan dan pekerjaan Studi retrospektif menyebutkan Indeks Massa Tubuh (IMT), insiden trauma kembali, beban harian tulang belakang (memutar, mengangkat,

membungkuk, dan postur tidak netral yang berkelanjutan), dan getaran seluruh tubuh (seperti mengemudi kendaraan) menjadi faktor yang meningkatkan baik kemungkinan dan keparahan spondilosis. Peran hereditas faktor genetik kemungkinan mempengaruhi pembentukan osteofit dan degenerasi diskus (Kimberley M, 2009). 3) Penyebab lain Spondylosis juga dapat terjadi bila ada riwayat dari postur yang salah, imobilisasi berkepanjangan setelah cedera, trauma berat dan berulang, atau perubahan degenerative diskus. Pada tahap awal perubahan degenerative diskus adalah hipermobilitas atau ketidakstabilan, dalam tiga sendi kompleks. Seiring berjalannya waktu, stres diubah dari mekanik menyebabkan pembentukan osteofit dan lipping di sepanjang margin sendi dan tulang belakang tubuh (Kisner, 2007: 414). 2.2.3 Patologi Tingginya insiden perubahan degeneratif yang simultan pada diskus intervertebralis, vertebra, dan mekanisme sendi yang progresif dan dinamis, serta dengan perubahan sekunder dapat terjadi penyempitan pada ruang diskus.

Terdapat tiga tahap yang terjadi selama beberapa dekade menurut Kirkaldy Willis

14

dan Bernard. Tahap I (tahap disfungsi) menggambarkan efek awal microtrauma berulang dengan perkembangan robekan melingkar yang yang mengakibatkan nyeri, annulus innervated, dan endplate dengan pemisahan yang mungkin membahayakan pasokan gizi. Terjadi robekan juga pada jaringan ujung saraf dan pembuluh darah, meningkatkan persarafan, dan kapasitas diskus untuk transmisi sinyal rasa sakit. Tahap II (tahap ketidakstabilan) ditandai oleh hilangnya integritas mekanik, dengan perubahan resorbsi diskus progresif, gangguan internal, dan tambahan robekan annular, dikombinasikan dengan degeneratif facet yang dapat menyebabkan subluksasi dan ketidakstabilan. Selama tahap III (tahap stabilisasi) penyempitan ruang diskus dan fibrosis terjadi bersamaan dengan menjembatani pembentukan osteofit dan transdical (Kimberley M, 2009). 2.2.4 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala pada spondilosis lumbal, antara lain : nyeri yang datang dan pergi, kekakuan punggung bawah pada pagi hari setelah bangun tidur, nyeri menurun setelah beristirahat atau setelah melakukan aktivitas, nyeri tekan dan rasa tebal pada punggung bawah, sciatica (ringan sampai sakit kaki yang intens), kelemahan, rasa tebal, atau kesemutan pada punggung bawah, tungkai, atau kaki, kesulitan berjalan, dan gangguan buang air besar dan buang air kecil (ini jarang terjadi, tetapi dapat terjadi jika tulang belakang mengalami penekanan) (Walker, 2011). 2.2.5 Diagnosa Banding 1) Hernia nucleus pulposus (HNP) HNP umumnya dihubungkan dengan trauma mendadak atau menahun sehingga annulus fibrosus terutama bagian posterolateral robek secara

15

sirkumferensial dan radial disertai robekan bagian lateral ligamen longitudinalis posterior. Gejala utama nyeri pinggang bawah, nyeri radikular, spasme, parestesia (Tjokorda, 2009: 162-163). 2) Stenosis kanal Stenosis kanal atau stenosis spinal sering disebut sebagai klaudikasio neurogenik. Stenosis kanal banyak ditemui pada orang usia lanjut akibat diameter kanalis spinalis menyempit, umumnya akibat degenerasi sekitar diskus dan sendi faset selain perkapuran dan penebalan ligamen flavum. Gejala berupa rasa panas pada bokong dan kedua tungkai, kelemahan tungkai, gangguan sensibilitas, paresis, gangguan refleks bilateral

(Tjokorda, 2009: 164: 165). 3) Spondilolistesis Spondilolistesis merupakan pergeseran korpus yang biasanya diakibatkan fraktur isthmus bilateral. Gejala berupa nyeri radikular, gangguan motorik, sensibilitas, dan vegetatif (Tjokorda, 2009: 165: 166). 2.2.6 Prognosis NPB dapat berulang dengan keadaan lebih berat dan lama. Bila NPB berhubungan dengan pekerjaan serangan ulang terjadi pada 60 % pasien dalam satu tahun. Semakin lama kemungkinan kambuh akan berkurang (Tjokorda, 2009). 2.3 Penatalaksanaan Fisioterapi Penatalaksanaan fisioterapi pada klien dengan spondilosis lumbal

membahas tentang pengkajian fisioterapi, pemeriksaan fisik, diagnosis fisioterapi, tujuan fisioterapi, dan intervensi fisioterapi.

16

2.3.1

Pengkajian Fisioterapi

2.3.1.1 Anamnesis 1) Anamnesis Umum Pada anamnesa umum yang perlu ditanyakan adalah penjelasan nama, usia, peranan, dan menentukan tugas tugas (Willms, 2005). 2) Anamnesis Khusus Anamnesis berkaitan dengan keadaan atau penyakit klien. Data data yang diperoleh dalam anamnesis khusus, yaitu : 1. Keluhan utama Keluhan utama adalah keluhan yang menyebabkan penderita tersebut datang berobat (Bahrudin, 2011: 14). Keluhan utama yang dirasakan pada klien dengan spondilosis lumbal adalah nyeri dan spasme otot paravertebra (Badali, 2010) 2. Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita tentang masalah yang saat ini dihadapi (Wilms, 2005). Pada riwayat penyakit sekarang yang perlu ditanyakan pada klien meliputi lokasi sakit, waktu terjadinya dan kronologinya, sifat sakit (kualitas), derajat sakit (kuantitas), faktor yang memperberat sakit, faktor yang memperingan sakit, keluhan lain yang menyertai (Bahrudin, 2011: 15). Pada spondilosis biasanya nyeri yang datang dan pergi, kekakuan punggung bawah pada pagi hari setelah bangun tidur dan nyeri menurun setelah beristirahat atau setelah melakukan aktivitas (Walker, 2011). 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit dahulu merupakan pencarian penyakit yang relevan dengan keadaan sekarang, seperti penyakit kronik terdahulu yang sama seperti

17

penyakit sekarang, riwayat rawat inap, riwayat pengobatan, riwayat pembedahan. Juga perlu ditanyakan kesehatan pada umumnya sebelum menderita penyakit sekarang (Bahrudin, 2011: 15). Pada spondilosis riwayat dari postur yang salah, imobilisasi berkepanjangan setelah cedera, trauma berat dan berulang (Kisner, 2007: 414). 4. Riwayat Keluarga Pada riwayat keluarga perlu ditanyakan apakah ada penyakit yang menurun dalam keluarga atau riwayat penyakit menular (Bahrudin, 2011: 15). Pada Spondilosis lumbal perlu di tanyakan faktor genetik yang kemungkinan dapat mempengaruhi pembentukan osteofit dan degenerasi diskus (Kimberley M, 2009). 5. Riwayat Sosial Riwayat sosial yaitu masalah sosial yang berkaitan misalnya keluarga, kawan kawan, hobi, kebiasaankebiasaan pribadi, kehidupan spiritual, agama (Bahrudin, 2011: 15). Kegiatan sehari-hari dan pekerjaan yang melibatkan gerakan memutar, mengangkat, membungkuk, dan kesalahan postur yang terus menerus, dan getaran seluruh tubuh (seperti mengemudi kendaraan) menjadi faktor yang memungkinkan peningkatan keparahan spondilosis (Kimberley M, 2009). 2.3.2 Pemeriksaan Fisik

2.3.2.1 Tanda Tanda Vital Tanda tanda vital adalah nadi, pernapasan, suhu, dan tekanan darah. Semuanya harus diukur dalam setiap pemeriksaan yang lengkap dan dalam banyak pertemuan singkat (Willms, 2003). 2.3.2.2 Inspeksi

18

1)

Inspeksi Statis Nampak dari sisi samping lengkungan (kurva) servikal, torakal, dan lumbal. Dari belakang kolumna vertebra yang tegak dan kesejajaran kedua bahu, krista iliaka, dan lipatan gluteus (Bickley, 2009: 512

2)

Inspeksi Dinamis Nampak saat berjalan pasien dengan nyeri punggung bawah memiliki pola jalan gluteus maximus gait, trendelenburg gait, dan short leg gait (Petty, 2006: 285).

2.3.2.3 Palpasi Pada palpasi yang dilakukan adalah untuk mencari adanya spasme otot, skoliosis, nyeri tekan, dan deformitas yang lain (Tjokorda, 2009: 71). Pada spondilosis klien biasanya merasakan nyeri tekan, rasa tebal, atau kesemutan pada punggung bawah (Walker, 2011). 2.3.2.4 Pemeriksaan Gerak 1) Gerak Aktif Pada pemeriksaan gerak aktif informasi yang perlu dicari adalah kualitas gerakan, rentang gerakan (ROM), perilaku nyeri pada berbagai gerakan (Petty, 2006: 290). Gerakan aktif dilakukan dengan pasien berdiri. Pemeriksa mencari rentang gerak (ROM) dan kesediaan pasien untuk melakukan gerakan. Saat pasien melakukan gerakan aktif, pemeriksa mencari pembatasan gerak dan penyebabnya, seperti nyeri, kejang, kekakuan. Pada pasien dengan nyeri punggung, umumnya gerakan terjadi adalah kombinasi dengan pinggul disertai dengan fleksi lutut, dan kadang kadang dukungan dengan tangan (Magee, 2006: 484: 486).

19

2)

Gerak Pasif Gerak pasif untuk mengidentifikasi hypomobility segmental dan

hipermobilitas. Dapat dilakukan dengan pasien berbaring di sisi dengan pinggul dan lutut tertekuk atau berdiri (Petty, 2006: 294). Pada tulang belakang lumbal, gerakan pasif sangat sulit dilakukan karena berat badan. Gerak pasif digunakan untuk memeriksa endfeel pada saat gerakan tulang belakang (Magee, 2006: 492). 3) Gerak Isometrik Pada gerak isometrik yang perlu dicari adalah mengamati kualitas kontraksi otot untuk menahan posisi (hal ini dapat dilakukan dengan mata pasien ditutup) (Petty, 2006: 295). Pada lumbal, gerakan isometrik dilakukan pada posisi netral. Kontraksi harus dilawan sehingga tidak terjadi gerakan (Magee, 2006: 492). 2.3.2.5 Pemeriksaan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas 1. Oswestry Low Back pain Questionaire Oswestry low back pain questionaire didesai untuk membantu fisioterapis mendapatkan informasi tentang bagaimana nyeri punggung bawah yang diderita pasien dapat berdampak pada kemampuan fungsional pasien sehari hari. Prosedur : 1. Pasien diberi 10 sesi, masing masing berisi 6 pernyataan. 2. Pasien diminta untuk membaca setiap pernyataan yang ada dalam 10 sesi tersebut dan memilih / menandai pernyataan yang paling sesuai dengan keadaannya. 3. Pasien hanya boleh memilih satu pernyataan di tiap sesi.

20

4. Setiap sesi memiliki nilai dari 0 hingga 5, tergantung pernyataan yang dipilih pasien. 5. Pernyataan pertama dalam tiap sesi bernilai 0, yang kedua bernilai 1, dan seterusnya. 6. Semua sesi yang telah dijawab kemudian dinilai dan dijumlahkan, kemudian dihitung dengan rumus : DS = JN : 50 x 100% Keterangan : JN : Jumlah Nilai DS : Disability Score (Nilai ketidakmampuan) Intepretasi Disability Score adalah sebagai berikut : 1. Minimal Disability (0-20%) Dapat melakukan sebagian besar aktivitas keseharian, beberapa pasien mengalami kesulitan duduk, hal ini penting jika pekerjaannya adalah jenis pekerjaan dalam posisi tertentu terus menerus. 2. Moderate Disability (20-40%) Merasakan nyeri lebih berat dan mengalami masalah dalam duduk, mengangkat dan berdiri, perjalanan dan kegiatan sosial dirasa lebih sulit dan mungkin meliburkan diri dari pekerjaannya, perawatan diri, aktivitas seksual dan tidur tidak terlalu terganggu. 3. Severe Disability (40-60%) Masalah utama adalah nyeri, perjalanan, perawatan diri, aktivitas seksual dan tidur terganggu. 4. Crippled (60-80%)

21

Nyeri mengganggu segala aspek kehidupan pasien, intervensi positif dibutuhkan. 5. 80-100% Sangat parah. (Trisnowiyanto, 2012: 52-54) 2.3.2.6 Pemeriksaan Spesifik 1) Lingkup Gerak Sendi (LGS) Lumbal Lingkup gerak sendi (LGS) adalah luas lingkup gerakan sendi yang mampu dicapai / dilakukan oleh sendi. Pengukuran lingkup gerak sendi yang sering digunakan adalah goniometri, tapi untuk sendi tertentu menggunakan pita ukur (misalnya pada vertebra) (Trisnowiyanto, 2012: 34). Pita pengukur merupakan instrumen yang paling murah untuk mengukur gerakan pada tulang belakang, dan mungkin yang paling mudah untuk digunakan. Tes ini dilakukan dengan pasien berdiri dan kaki dibuka selebar bahu, kemudian diberi tanda pada spina iliaka posterior superior (SIPS) atau processus spinous S2, kemudian naik 10 cm tepatnya pada L5. Tetapi menurut Macrae and Wright metode tersebut dimodifikasi dengan memberi tanda yang ketiga yang ditempatkan 5 cm dibawah SIPS dan 10 cm di atas SIPS. Kemudian klien diminta untuk membungkuk sejauh mungkin sampai adanya keterbatasan dan diukur jarak antara tanda di atas dan di bawah, kemudian hasilnya diselisihkan antara hasil akhir dan hasil awal saat posisi netral. Selain menggunakan pita ukur, goniometer juga dapat untuk mengukur tulang belakang, tetapi tidak dapat digunakan untuk gerakan rotasi. (Reese, 2002: 169-170, 172). Pengukuran pada tulang belakang belakang meliputi fleksi, ekstensi, lateral fleksi, dan rotasi. Berikut prosedur pengukurannya:

22

(1)

Fleksi Lumbal 1. Persiapan alat : Pita ukur dan goniometer 2. Persiapan klien : Pita ukur : klien berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu. Goniometer : klien berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu dan tangan diletakkan menyilang di dada. 3. Pelaksanaan : Pita ukur : instruksikan kepada klien untuk membungkuk sejauh mungkin, sambil mempertahankan agar lutut tetap ekstensi. Kemudian klien kembali ke posisi semula. Goniometer : axis goniometer diletakkan pada garis midaxillaris costae paaling akhir. Instruksikan pada klien untuk membungkuk sejauh mungkin dengan tetap mempertahankan lutut ekstensi, kemudian kembali seperti posis semula. 4. Dokumentasi : Pita ukur : hasil akhir di selisih dengan hasil awal atau saat klien posisi netral. Goniometer : catat hasil ROM klien (Reese, 2002: 174, 178)

(2) Ekstensi lumbal 1. Persiapan alat : Pita ukur dan goniometer. 2. Persiapan klien :

23

Pita ukur : berdiri dengan kaki terbuka selebar bahu dan kedua tangan diletakkan di pinggul. Dapat juga dilakukan dengan posisi tengkurap dan kedua tangan diletakkan menekuk di samping tubuh. Goniometer : berdiri dengan kedua kaki terbuka selebar bahu dan kedua tangan diletakkan menyilang di dada. 3. Pelaksanaan : Pita ukur : instruksikan kepada pasien menengadah ke belakang sejauh mungkin sambil mempertahankan lutut tetap ekstensi, kemudian kembali ke posisi semula. Bila dengan posisi tengkurap, instruksikan kepada klien untuk mengankat tubuhnya ke atas sampai kedua lengan lurus. Goniometer : axis diletakkan pada garis midaxillaris pada costae paling akhir. Intruksikan pada klien untuk mendorong tubuhnya ke belakang sambil tetap mempertahankan lutut ekstensi dan kedua tangan tetap menyilang di depan dada, kemudian kembali ke posisi semula. 4. Dokumentasi : Pita ukur : hasil akhir di selisih hasil awal atau saat posisi netral. Goniometer : catat ROM klien (Reese, 2002: 184-189). (3) Lateral fleksi 1. Persiapan alat : Pita ukur dan goniometer 2. Persiapan klien : Berdiri dengan kaki terbuka selebar bahu.

24

3. Pelaksanaan : Pita ukur : instruksikan pada klien untuk lateral fleksi sejauh mungkin, ukur jarak dari jari tengah klien sampai ke lantai yang jaraknya 10 cm dari tepi kaki. Kemudian klien kembali ke posisi semula. Goniometer : Axis diletakkan pada prossesus spinosus vertebra S1. Instruksikan klien untuk gerak lateral fleksi sejauh mungkin sambil mempertahankan agar lutut tetap ekstensi dan tulang punggung tidak membungkuk ke depan atau ke belakang saat bergerak. Kemudian klien kembali ke posisi semula. 4. Dokumentasi : Pita ukur : hasilnya diselisish antara hasil akhir dan hasil awal atau saat klien posisi netral. Goniometer : Catat hasil ROM klien (194-197). (4) Rotasi 1. Persiapan alat : Pita ukur 2. Persiapan klien : Duduk tegak dengan kedua tangan disilangkan di dada. 3. Pelaksanaan : Instruksikan pada klien untuk memutar tubuhnya ke kanan atau kiri sejauh mungkin sambil mempertahankan agar tidak terjadi gerak lateral fleksi saat melakukan gerakan, kemudian klien kembali ke posisi semula.

25

4. Dokumentasi : Hasil akhir di selisih dengan hasil awal atau saat posisi netral (Reese, 2002: 202). Nilai mormal LGS lumbal LGS S : 35 0 35 F : 30 0 - 30 R : 45 0 45 Trisnowiyanto, 2012: 38 2) Nyeri 1. Visual Analogues Scales (VAS) VAS berupa sebuah garis lurus dengan panjang 10 cm / 100 mm. Dalam pelaksanaan pengukuran nyeri, pasien diminta untuk memberi tanda pada garis sesuai yang dirasakan pasien. Penentuan nilai VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara titik / ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien. Nilai range VAS adalah 0 s.d. 100. Posisi Pasien Berdiri Berdiri Duduk

0 Tidak Nyeri

100 Nyeri Hebat

Pengukuran dengan VAS dapat dilakukan untuk menilai nyeri diam, nyeri tekan, maupun nyeri gerak, pengukuran dilaksanakan sesuai tujuan penilaian. Sebagai contoh untuk mengukur nyeri gerak, pasien diminta mengisi VAS saat melakukan gerakan tertentu (Trisnowiyanto, 2012: 44). 1) Verbal Descriptive Scale (VDS)

26

VDS adalah cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian, yaitu: 1. 1 = tidak nyeri 2. 2 = nyeri sangat ringan 3. 3 = nyeri ringan 4. 4 = nyeri tidak begitu berat 5. 5 = nyeri cukup berat 6. 6 = nyeri berat 7. 7 = nyeri tak tertahankan (Parjoto, 2006: 20). 2.3.2.7 Pemeriksaan Saraf 1) Tes Laseigue Tes ini dilakukan dengan posisi telentang, dengan hip adduksi dan endorotasi, lutut ekstensi. Tungkai diangkat secara pasif (35-75) (Trisnowiyanto, 2012: 76). Hasil dikatakan positif bila timbul rasa nyeri sepanjang perjalanan saraf iskhiadikus dan kemungkinan penekanan akar saraf. Sebaliknya bila tes ini negatif kemungkinan penekanan akar saraf kecil (Tjokorda, 2009: 71-72). 2) Tes Bragard Tes ini dilakukan dengan posisi telentang, dengan hip adduksi dan endorotasi, lutut ekstensi. Tungkai diangkat secara pasif (25-65) disertai dorsi fleksi ankle. Hasil positif bila terdapat nyeri, nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan saraf yang sifatnya central

(Trisnowiyanto, 2012: 76). 3) Tes Neri

27

Tes ini dilakukan dengan posisi telentang, dengan hip adduksi dan endorotasi, lutut ekstensi. Tungkai diangkat secara pasif (25-65) disertai dorsi fleksi ankle dan mengangkat kepala (fleksi leher). Hasil positif bila terdapat nyeri, nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan saraf yang sifatnya central (Trisnowiyanto, 2012: 76). 4) Tes Patrick Tes ini dilakukan dengan posisi telentang. Diberikan tekanan pada lutut yang difleksikan. Hasil positif bila terdapat nyeri pada daerah panggul (Trisnowiyanto, 2012: 78). 5) Tes Kontra Patrick Tes ini dilakukan dengan posisi terlentang, fleksi dan endorotasi tungkai yang sakit serta gerakan adduksi dan diberikan tekanan secara pasif pada knee. Hasil positif bila nyeri di daerah garis sendi sacroiliac (Trisnowiyanto, 2012: 78). 2.3.2.8 Pemeriksaan Dermatom dan Miotom 1) Pemeriksaan Dermatom Sistem sensorik mempunyai fungsi sebagai proteksi. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika tidak tahu adanya bahaya yang mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat, mendengar, mencium, dan merasakan rasa nyeri, rasa raba, rasa panas dingin dan sebagainya. Semua fungsi yang kita sebutkan tadi adalah merupakan fungsi sensorik. Pemeriksaan sensoris mempunyai tujuan, yaitu menetapkan adanya gangguan sensoris, mengetahui modalitasnya, menetapkan polanya,

28

menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensoris. Berikut adalah prosedur Pemeriksaan, yang meliputi: (1) Persiapan Alat Jarum pentul (2) Persiapan Klien Klien harus dalam keadaan sadar, kooperatif dengan kecerdasan yang cukup. Pemeriksaan dilakukan secara santai dan klien harus memejamkan mata, dan dijelaskan respon apa yang diharapkan dari klien. (3) Pelaksanaan Pemeriksa memberikan dua tusukan pada tempat yang berbeda pada saat yang sama dengan mata tertutup. Berikan tusukan pada daerah punggung, lengan atas, dan paha (70-75mm). Pemeriksaan positif bila klien merasakan rasa yang berbeda beda di setiap lokasi yang di tusuk. Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan sentuhan pada kedua sisi tubuh yang berpasangan (simetris), hasil positif bila klien merasakan kehilangan untuk merasakan rangsangan pada satu sisi tubuhnya. (Bahrudin, 2011; 181-183: 188-189). 2) Pemeriksaan Miotom Akar Saraf L1-L2 Pemeriksaan Fleksi Hip Otot Psoas, iliakus, sartorius, grasilis, pektineus, adduktor longus, adduktor brevis Quadriceps, adduktor longus, magnus, dan brevis Tibialis anterior, quadriceps, tensor fasia latae, adduktor magnus,

L3 L4

Ekstensi lutut Dorsifleksi pergelangan kaki

29

L5

Ekstensi kaki

S1

Plantar fleksi pergelangan kaki, eversi pergelangan kaki, ekstensi hip, fleksi lutut Fleksi lutut

S2

S3

obturator eksternus, tibialis posterior Ekstensor hallucis longus, ekstensor digitorum longus, gluteus medius dan minimus, obturator internus, semimembranosus, semitendinosus, peroneus tertius, popliteus Gastrocnemius, soleus, gluteus maksimus, obturator internus, piriformis, biceps femoris, semitendinosus, popliteus, peroneus longus dan brevis, ekstensor digitorum brevis Biceps femoris, piriformis, soleus, gastrocnemius, fleksor digitorum longus, fleksor hallucis longus, otot intrinsik kaki. Otot instrinsik kaki (kecuali abduktor hallucis), fleksor hallucis brevis, flexor digitorum brevis.

Table : ....

Pemeriksaan miotom adalah pemeriksaan kekuatan otot untuk mengetahui adanya kelemahan saraf. Pada tes ini pemeriksa menerapkan tkontraksi melawan tahanan. Kontraksi tersebut harus dipertahankan selama lima detik untuk menunjukkan adanya kelemahan. Jika memungkinkan, pemeriksa harus menguji pada bagian yang berbeda secara bersamaan untuk memberikan perbandingan. Perbandingan bilateral yang simultan tidak mungkin terjadi untuk gerakan pada pinggul dan sendi lutut karena berat badan dan stres pada punggung bawah sehingga pemeriksaan hanya dilakukan pada satu bagian saja. Berikut prosedur pemeriksaan : 1. Miotom S1 (1) Perisapan klien

30

Klien berbaring tengkurap. Tes ini dilakukan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukan gerakan plantar fleksi dan eversi pergelangan kaki. (2) Pelaksanaan Klien diminta untuk fleksi lutut 90, kemudian pemeriksa mengangkat sedikit paha klien dari meja periksa. Tangan pemeriksa yang satunya diletakkan pada bagian posterior paha klien, sementara tangan tyang lain memastikan bahwa paha pasien tidak menempel dimeja periksa. minta pasien untuk

menggerakkan pahanya ke arah bawah dengan melawan tahanan dari pemeriksa. Pertahankan selama 5 detik. 2. Miotom L2 1) Persiapan klien Klien berbaring terlentang pada meja periksa 2) Pelaksanaan Tes ini dilakukan dengan meregangkan pinggul klien 30-40. Kemudian pemeriksamemberikan tahanan ke ekstensi proksimal lutut sambil memastikan bahwa tumit kaki klien tidak menempel pada meja. Gerakan ditahan selama 5 detik. Lakukan pada sisi yang lain untuk melihat perbandingan. Untuk mencegah tekanan berlebihan pada tulang belakang lumbal, pemeriksa harus memastikan bahwa klien tidak meningkatkan lordosis lumbal saat melakukan tes. 3. Miotom L3

31

1)

Persiapan klien Klien berbaring terlentang pada meja periksa.

2)

Pelaksanaan Pemerika memfleksikan lutut klien 25-35 dan kemudian memberikan tahanan di midshaft tibia dan pastikan tumit tidak menyentuh meja perika. Gerakan ditahan selama 5 detik. Sisi yang lain juga dilakukan pemeriksaan untuk melihat

perbandingan. 4. Miotom L4 1) Persiapan klien Klien berbaring terlentang pada meja periksa. 2) Pelaksanaan Klien diminta untuk memposisikan kakinya 90 (posisi

plantigrade). Pemeriksa memberikan tahanan pada dorsum kaki. Gerakan ditahan selama 5 detik. Lakukan pada sisi yang lain untuk melihat perbandingan. 5. Miotom L5 1) Persiapan klien Klien duduk dimeja periksa. 2) Pelaksanaan Klien diminta untuk memegang kedua jempol kaki dalam posisi netral. Tahan selama 5 detik. 6. Miotom S1-S2 1) Persiapan klien

32

Klien berbaring tengkurap dengan fleksi lutut 90 . 2) Pelaksanaan Pemeriksa memberikan tahanan tepat di atas pergelangan kaki. Tahan selama 5 detik. Ada kemungkinan untuk menguji fleksi lutut pada saat yang sama, tapi sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memberikan tekanan yang besar pada tulang belakang (Magee, 2006: 501-502, 504). 2.3.3 1) Diagnosis Fisioterapi Impairment Nyeri, spasme otot paravertebra, keterbatasan gerak, dan penurunan kekuatan otot (Badali, 2010) 2) Functional Limitation Keterbatsan fungsinya, yaitu gangguan saat bangun dari keadaan duduk, saat membungkuk, saat duduk atau berdiri lama, dan berjalan (Badali, 2010). 3) Disability Mengakibatkan penderita tidak dapat melakukan tugas sehari hari dengan baik (Badali, 2010). 2.3.4 Tujuan Fisioterapi Tujuan fisioterapi dirumuskan sesuai dengan permasalahan pada klien. Tujuan tersebut antara lain adalah untuk mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot-otot vertebra lumbal, rileksasi otot, dan melancarkan sirkulasi darah (Badali, 2010). 2.3.5 Intervensi Fisioterapi

2.4.5.1 Terapi Modalitas

33

1)

TENS Tens merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit (Parjoto, 2006: 28). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa stimulasi listrik dapat memodulasi nyeri. Melzack dan Wall pertama kali mengajukan bahwa rangsangan electrical dapat mengurangi sensasi rasa nyeri dengan mengganggu transmisi pada tingkat sumsum tulang belakang. Pendekatan untuk kontrol nyeri ini dikenal sebagai teori gerbang kontrol. Rangsangan berbahaya yang dikirimkan dari sepanjang selubung saraf A-delta dan serabut saraf C. Berdasarkan aktivasi gerbang kontrol, atau nonnociceptor saraf A-beta dapat menghambat transmisi atau rangsangan berbahaya dari sumsum tulang belakang ke otak. Stimulasi listrik, bila diterapkan dengan parameter yang tepat, selektif dapat mengaktifkan serabut saraf A-beta. Karena persepsi nyeri ditentukan oleh aktivitas dari A-delta dan C dibandingkan dengan A-beta, ketika serabut saraf A-beta diproduksi oleh stimulasi listrik maka persepsi nyeri berkurang. Saraf A-beta dapat diaktifkan oleh kedua pulsa, yaitu arus listrik durasi pendek dan panjang. Namun pulsa durasi pendek yang berlangsung antara 50 dan 80 mikrodetik dan dengan amplitudo saat ini menghasilkan sensasi yang nyaman tanpa mengaktifkan saraf motorik. Frekuensi pulsa dari 100 150 pps umumnya merupakan yang paling nyaman untuk aplikasi ini. Aplikasi stimulasi listrik dikenal sebagai konvensional TENS atau Transcutaneus Elctrical Nerve Stimulation. Efek utama dari TENS adalah modulasi nyeri dan harus diterapkan ketika pasien merasakan nyeri. Konvensional TENS juga dapat diterapkan pada

34

siklus nyeri-spasme-nyeri sehingga mengakibatkan pengurangan nyeri setelah stimulasi ini berhenti. Rasa nyeri berkurang oleh stimulasi listrik, dan ini secara tidak langsung mengurang kejang otot, mengurangi nyeri lebih lanjut kecuali kejang otot yang berulang. Stimulasi listrik dapat mengontrol nyeri dengan merangsang produksi dan pelepasan endorfin dan enkepalin. Zat ini dikenal sebagai opioid endogen, yang bertindak dengan cara yang mirip dengan morfin yang dikenal untuk memodulasi persepsi nyeri. Opioid endogen memodulasi nyeri dengan cara mengikat reseptor opiat di otak dan daerah lain dan bertindak sebagai neurotransmiter dan neuromodulator (Cameroon, 2009: 216 218). Berikut prosedur penggunaan TENS : 1. Persiapan alat Unit TENS, gel, tissue 2. Persiapan klien Klien diposisikan nyaman dan sopan, kemudian anggota badan yang akan diterapi dibebaskan dari pakaian dan dibersihkan terlebih dahulu. Terapi memberikan penjelasan tentang tujuan pemberian modalitas TENS. 3. Pelaksanaan 1. Posisi elektrode : Elektrode ditempatkan di samping daerah nyeri (kanan dan kiri tulang punggung). Selain itu pemasangan elektrode juga bisa dilakukan dengan meletakkan pada satu sisi tulang punggung yang sakit, elektrode negatif dipasang di daerah nyeri (Prajoto, 2006: 55)

35

2. Ukuran elektrode Disesuaikan dengan luasnya daerah yang akan diberikan terapi 3. Frekuensi dan intensitas Frekuensi tinggi dan intensitas rendah pola continue. Dengan durasi 100 200 mikrodetik dan frekuensi 10 200 pps. 4. Lama terapi Dalam 24 jam bila memungkinkan dan masih terdapat nyeri (Cameron, 2009: 217). 5. Indikasi Trauma muskuloskeletal akut maupun kronik, nyeri kepala, nyeri pasca operasi, nyeri pasca melahirkan, nyeri miofasial dan visceral, nyeri psikogenik, dan sindrom kompresi neurovaskuler (Parjoto, 2006: 33) 6. Kontraindikasi Pemakaian alat pacu jantung atau aritmia yang tidak stabil, penempatan elektroda di atas sinus karotis, daerah dimana terdapat vena atau arteri trombosis, dan kehamilan (Cameron, 2009: 226). 2) 3) 4) Interferential Current Ultrasound Short Wave Diatermy

2.4.5.2 Exercise Therapy 1) Flexion Exercise Dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot otot punggung bawah, mengulur otot punggung bawah, menurunkan penekanan pada

36

struktur tulang belakang, menstabilkan masalah pada punggung bawah, memperbaiki postur, dan memperbaiki mobilitas (Borenstein, 2011). (1) Fase Relaksasi Akut 1. Posisi istirahat, posisi awal tidur terlentang dengan tungkai di fleksikan dengan bantal berada di bawah lutut. Posisi dipertahankan selama 15 menit. 2. Posisi istirahat, sama seperti gerakan pertama tetapi tanpa menggunakan bantal d bawah lutut. Posisi dipertahankan selama 15 menit. 3. Posisi tidur terlentang dengan kedua tungkai di fleksikan kemudian rotasikan punggung ke arah berlawanan. (2) Fase Stretching 1. Posisi tidur terlentang dengan kedua tungkai di fleksikan dan dibawa ke arah dada. Pertahankan posisi dalam 3 hitungan kemudian diikuti relaks 6 kali hitungan. 2. Posisi tidur terlentang dengan salah satu tungkai difleksikan dan dibawa ke arah dada. Posisi dipertahankan 3 hitungan dan diikuti dengan relaks 6 kali hitungan. Lakukan pada tungkai lainnya dengan pengulangan 10 kali. (3) Fase Stretching dan Strengthening 1. Hamstring stretch. Posis tidur terlentang dengan salah satu tungkai di fleksikan dan dibawa ke arah dada. Pertahankan posisi selama 3 hitungan dan diikuti rileksasi selama 6 hitungan.

37

2. Hamstring stretch. Posisi sama seperti yang pertama tetapi tungkai lurus saat di angkat. Dipertahankan 3 hitungan dengan diikuti rileksasi selama 6 hitungan 3. Partial sit up. Posisi terlentang dengan kedua tungkai di fleksikan kedua tangan diletakkan menyilang pada dada dan kepala diangkat sampai dagu menyentuh dada. Posisi dipertahankan dalam 3 hitungan dan diikuti rileksasi selama 6 hitungan. 4. Pelvic tilt. Posisi bediri tegak bersandar pada dinding. Kemudian perlahan tubuh diturunkan sampai lutut menekuk, kemudian kembali tegak kembali. (Borenstein, 2011).

You might also like