You are on page 1of 3

An-Nisa

Nyai Hj Sholihah Munawwaroh Wahid Hasyim; Keteguhan Perempuan Aktifis Pesantren Nama dan prestasi besar tidak diraih dengan tiba-tiba. Ada khidmat, dedikasi tanpa henti dengan selaksa rona yang mengiringi. Keteguhan dan pantang menyerah serta pengabdian tulus menjadi prasyarat tak terpisahkan. Ibu Hj Nyai Sholihah Munawwaroh binti KH Bisri Sansuri adalah keponakan KH Abdul Wahab Hasbullah. Ibunda Sholihah yakni Nyai Hj Nur Chadijah adalah adik kandung KH Abdul Wahab Hasbullah. Pernikahan Kiai Bisri dan Nur Chadijah dikaruniai sepuluh anak, namun yang hidup hingga dewasa hanya empat, salah satunya adalah Munawwaroh (Sholihah A. Wahid Hasyim). Salah satu keberanian kontroversial yang tampaknya kemudian menurun dari KH Bisri Sansuri adalah ketika mendirikan pesantren putri dibawah pengawasan langsung Ibu Nyai Hj Khadijah. Konon di Denanyar inilah cikal bakal pesantren putri di Jawa Timur, yang sebelumnya belum lazim didirikan. Bukan Perempuan Biasa Munawaroh lahir di Jombang 11 oktober 1922. Neng Waroh (panggilan kecilnya) dididik dalam lingkungan keagamaan yang ketat, namun keberaniannya telah terlihat sejak kecil. Kenakalan masa kecilnya berakhir ketika dinikahkan dengan Abdurrachim, putera KH Cholil dari Singosari pada usia 14 tahun. Pernikahan pertamanya ini hanya berumur satu bulan karena sang suami meninggal. Dua tahun kemudian, 10 Syawal 1356 H./1938 M ia dinikahkan lagi dengan Abdul Wahid Hasyim, putera sulung KH Hasyim Asy'ari dan diboyong ke Tebu Ireng. Sejak itulah kehidupan Munawaroh menapak babak baru, dan lebih dikenal sebagai Ibu Sholihah, nyonya Wahid Hasyim. Dalam situasi perang, aktifitas Sholihah membantu mendirikan dapur umum di dekat Pabrik Gula Cukir. Ia juga menyelamatkan dokumen rahasia ketika suaminya dikejar Belanda, termasuk menyamar menjadi babu. Sejak Januari 1950, ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah RI, Sholihah meninggalkan Jombang karena mengikuti suaminya yang dipercaya sebagai Menteri Agama. Namun kesempatan dan keutuhan sebagai keluarga tidak berlangsung lama. Karena tiga tahun kemudian, Abdul Wahid Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di daerah Bandung, sementara ia baru berumur tiga puluh tahun. Hidup di Jakarta dengan status sebagai janda enam orang anak yang masih kecil tentu berat. Banyak tawaran mengajaknya kembali ke Jombang. Namun pesan suaminya yang menginginkan agar anak-anaknya dapat dididik menjadi orang andalan demi memperjuangkan bangsa, Sholihah mengacuhkan semua. Termasuk tawaran dari orang tuanya, KH Bisri Sansuri. Ia meneguhkan diri menempati rumah di Jalan Amir Hamzah 8 Matraman Jakarta Pusat. Agar bisa bertahan, Nyai Sholihah mengajukan berdagang beras kepada Walikota Jakarta yang kala itu dijabat Syamsurijal. Ia mengembangkan pangsa pasarnya dengan mendapatkan hak memasok kebutuhan ke Departemen Sosial dan Departemen Agama. Ia juga membuka usaha jual beli mobil bekas serta menjadi subrevelansir bahan bangunan proyek Pelabuhan Tanjung Priok. Ia mendatangkan pasir dan bambu untuk dijual kepada PT

Sitra dari Perancis. Dengan kerja keras, putera-puterinya ada yang ITB, Pesantren Tegal Rejo, Al-Azhar, Mesir dan lain-lain. Nyai Sholihah melanjutkan perjuangan dengan membesarkan NU Jakarta dan terpilih sebagai anggota DPRD mewakili NU hingga berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan. Sejak saat itu, berbagai aktifitas dilakoni, menjadi anggota Pimpinan Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU sejak 1959 sampai meninggal. Ketika NU menjadi partai, Nyai Sholihah masih tetap aktif dalam kegiatan Muslimat NU. Saat NU berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, ia menjadi anggota legislatif (1978-1987). Sempat juga aktif dalam kegiatan Yayasan Dana Bantuan, sejak 1958 sampai akhir hayatnya. Terlibat aktif dalam mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta mendirikan Panti Harapan Remaja, Jakarta Timur (1976). Dalam bidang kegiatan keagamaan, Ibu Sholihah mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1978), Pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majlis Taklim Masjid Jami Matraman. Salah satu sifat paling menonjol dalam diri Nyai Sholihah adalah rasa sosial dan dermawan sehingga dipercaya membina badan sosial Muslimat. Bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah Syahroni, badan ini mendirikan Rumah Bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik KB dan memberikan bea siswa kepada putera-puteri NU terlantar, serta mengunjungi panti sosial. Nyai Sholihah juga aktif di perkumpulan "Bunga Kemboja", sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan penguburan. Orang yang diajak bergabung antara lain Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu Anie Walandaoe (golongan Kristen) dan Mr Hamid Algadri (dianggap sebagai wakil golongan sosialis). Karena prestasinya, sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta (1957), Anggota DPR-GR/MPRS (1960) anggota DPR/MPR (1971-1987). Meski sebagai janda mendiang menteri agama, ia tidak menunjukkan keangkuhan. Tetap berbaur bersama masyarakat tanpa ingin dihormati. Ia tidur seadanya di tempat yang telah disediakan panitia, bukan di hotel. Ia tidak hanya mau berkecimpung di organisasi level nasional atau pusat, melainkan juga tetap bersedia membimbing organisasi di tingkat terendah seperti PKK di kelurahan dan RT/RW tempat tinggalnya. Untuk kebutuhan harian, ia lebih memilih belanja di Pasar Cukini. Bukan di super market atau toko terkenal lainnya. Bersama dengan teman-temannya, mendirikan Yayasan al-Islah di Kebayoran Baru untuk mengelola yatim piatu dan anak-anak tidak mampu lainnya. Ia juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Sosial RI (1958). Bendahara BKS-Wamil (Badan Kerjasama Wanita Militer)/Front Nasional Pembebasan Irian Barat (1958), anggota Palang Merah Indonesia (1950), Anggota Pimpinan Yayasan Dana Bantuan Departemen Sosial RI. Anggota pimpinan Kowani wakil dari Muslimat NU (1960). Salah satu bukti perhatiannya kepada semangat agama di tingkat lokal adalah didirikannya Masjid al-Munawwaroh, nama kecilnya di Ciganjur. Penduduk setempat banyak sekali menerima wejangan dari Ibu Sholihah. Sosok Nyai atau Ibu Sholihah ingin mendobrak stigma negatif mengenai pandangan bahwa perempuan pesantren adalah pribadi yang apatis dan hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) saja. Termasuk di dunia politik. Setidaknya, ia ingin menyampaikan bahwa perempuan pesantren tidak kalah bersaing dengan perempuan kota bahkan dengan laki-laki

sekalipun. Menurut KH Abdurrahman Wahid, hal paling berkesan dari ibundanya adalah kegigihannya dalam bersilaturrahim. Termasuk ketika harus keliling Jawa meminta tanda tangan para kiai untuk pernyataan ketidakterlibatan adik iparnya, Yusuf Hasyim, dalam gerakan DI/TII. Saat itu Pak Ud sedang dalam tahanan Polisi Militer. Ibu Sholihah al-Munawwarah (nama yang dikenal di Ciganjur sekarang) wafat 9 Juli 1994 di RSCM dan dikebumikan di pemakaman keluarga, Komplek Pesantren Tebu Ireng Jombang. Allahumma yarham. (s@if)

You might also like