You are on page 1of 14

1. Dalam hubungan ini kiranya perlu diketengahkan mengenai fungsi kriminologi terhadap hukum pidana. Menurut Prof.

Sudarto, SH. Bahwa fungsi kriminologi terhadap hukum pidana adalah : 1. Meninjau secara kritis hukum pidana yang berlaku; 2. Rekomendasi guna perbaikan-perbaikan (J. Pinatel). Selanjutnya dikatakan bahwa sistem pidana adalah bagian yang penting dari KUHP. Kriminolgi memberi dasar yang esensiil yang tidak dapat ditinggalkan untuk keseluruhan struktur sistem pidana. Hasil-hasil atau penemuan-penemuan dalam kriminologi diperoleh dengan penelitian. Penemuan-penemuan ini sangat bermanfaat untuk politik kriminal pada umumnya dan politik hukum pidana pada khususnya, ialah dapat dijadika pertimbangan misalnya untuk kriminalisasi, dekriminalisasi, perubahan undang-undang. Adapun mengenai peranan kriminologi untuk poilitik hukum pidana,. Prof. Soedarto mengemukakan bahwa kriminologi bukan ilmu yang melaksanakan kebijaksanaan, akan tetapi hasilnya dapat digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan. Yang melaksanakan adalah unsur-unsur pelaksanaan politik kriminal. Dalam melaksanakan politik, orang mengadakan penilaian dan melakaukan pemilihan dari sekian alternatif yang dihadapi. Menjalankan politik kriminal atau khususnya menjalankan politik hukum pidana juga mengadfakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan kemanfaatan. Menurut beliau, kriminologi dapat menyediakan bahan-bahan informasi untuk itu dan policy maker yang bijak tidak boleh mengabaikannya. Mengabaikan hasil penelitian dari kriminologi membawa resiko terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional, bahkan mungkin undang-undang yang disfungsional. Sebagai bidang pengetahuan ilmiah yang relatif muda, kriminologi di beberapa negara telah menunjukkan peranan yang berarti untuk kepentingan masyarakat. Terhadap kriminalisasi, Hermann Mannheim memberikan pandangannya bahwa terhadapt pelbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana karena tiga alasan : 1. Bahwa efisiensi dalam menjalankan undang-undang pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas, sehingga harus diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama dalam masyarakat; 2. Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang

bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakkannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya; 3. Perlu diingat juga apakah tingkah laku tersebut merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan objek hukum pidana, artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi dari individu. Kriminologi, khususnya bidang sosiologi hukum pidana yang mengarahkan studinya pada proses pembuatan dan bekerjanya undang- undang, dapat memberikan sumbangannya yang besar dalam bidang system peradilan pidana yang berupa penelitian tentang penegakan hukum, akan dapat digunakan untuk memperbaiki bekerjanya aparat penegak hukum seperti untuk memberikan perhatian terhadap hak-hak terdakwa maupun korban kejahatan, disamping untuk perundang-undangannya sendiri. Ilmu hukum pidana merupakan ilmu atau pengetahuan yang secara khusus mempelajari salah satu bagian tertentu dari ilmu hukum pada umumnya, yaitu hukum pidana. Objek hukum pidana adalah peraturan- peraturan hukum pidana positif, yaitu hukum pidana yang berlaku pada suatu waktu tertentu di suatu negara tertentu. Jadi objek hukum pidana di Indonesia adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Tugas utama hukum pidana adalah mempelajari dan menjelaskan asas-asas yang menjadi dasar dari peraturan-peraturan hukum pidana positif; mempelajari dan menjelaskan hubungan antara asas yang satu dengan yang lainnya; setelah dipahami hubungan itu maka ditempatkan dalam suatu sistematika agar dapat dipahami apa yang dimaksud dengan hukum positif itu. Dalam tugas yang disebut paling akhir ini juga merupakan cara hukum pidana melaksanakan tugasnya. Hukum pidana adalah aturan- aturan mengenai perbuatanperbuatan yang dilarang dan diharuskan oleh undang-undang, sedangkan kriminologi adalah membahas gejala-gejala tingkah laku manusia yang melanggar aturan, baik aturan hukum (pidana), sosial, agama dan lain sebagainya. Keduanya dapat bertemu dalam kejahatan yaitu tingkah laku atau perbuatan yang diancam dengan pidana. Perbedaaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya, yaitu hukum pidana objek utamanya adalah menunjuk pada apa yang dapat dipidana menurut norma-norma hukum yang berlaku, sedangkan perhatian kriminologi tertuju kepada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada hal-hal yang mempengaruhi perbuatan tersebut. Dalam hubungan dengan kaitan antara

kriminologi dan hukum pidana di atas, perlu diketengahkan pendapat H. Bianchi yang berusaha mengungkapkan kriminologi sebagai metascience daripada hukum pidana yakni suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas di mana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat di dalam hukum pidana. Jelaslah bahwa metascience di atas, bukan hanya pelengkap terhadap hukum pidana bahkan merupakan disiplin yang utama daripadanya. 2. Teori-teori kriminologi ini dapat digunakan untuk menganalisis permasalahanpermasalahan yang terkait dengan kajahatan atau penyebab kejahatan. Teori-teori tersebut antara lain: 1) Teori Asosiasi Deferensial, intinya yaitu pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab. Tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, dan yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan yang mendukung perbuatan jahat. 2) Teori Anomi Pencetus teori ini yaitu Durkheim mendefinisikan sebagai keadaan tanpa norma di dalam masyarakat. Keadaan tanpa norma tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Kata anomie telah sering digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama. 3) Teori konflik adalah teori yang mempertanyakan hubungan antara kekuasaan dalam pembuatan undang-undang pidana dengan kejahatan, terutama sebagai akibat tersebarnya dan banyaknya pola dari perbuatan konflik serta fenomena masyarakat yang bersifat plural. Teori konflik menganggap bahwa orang-orang memiliki perbedaan tingkatan kekuasaan dalam mempengaruhi pembuatan dan bekerjanya undang-undang. Mereka yang memiliki tingkat kekuasaan yang lebih besar, memiliki kesempatan yang lebih besar dalam menunjuk perbuatan-perbuatan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Menurut teori konflik, suatu masyarakat lebih tepat bercirikan konflik daripada konsensus. 4) Teori Subkultur Teori Subkultur ini di bagi menjadi dua yaitu:

a)

teori delinquent subculture, yaitu teori yang dikemukakan oleh A.K. Cohen yang

dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perilaku delinkuen lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah dan mereka lebih banyak membentuk gang. Tingkah laku gang subkultur bersifat tidak berfaedah, dengki dan jahat. Terdapat alasan yang rasional bagi delinkuen subkultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan) mencari kesenangan dengan menimbulkan kegelisahan pada orang lain. Mereka juga mencoba untuk meremehkan nilainilai kelas menengah. b) Teori differential opportunity, yaitu teori yang dikemukakan oleh R.A. Cloward pada tahun 1959. Menurut Cloward tidak hanya terdapat cara-cara yang sah dalam mencapai tujuan budaya tetapi terdapat pula kesempatan-kesempatan yang tidak sah.Ada tiga bentuk subkultur delinkuen, yaitu a. criminal sub culture, b. conflict sub culture, c. retreatis sub cukture. Ketiga bentuk sub kultur dilinkuen tersebut tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan dalam gaya hidup diantara anggotanya, tetapi juga karena adanya masalahmasalah yang berbeda bagi kepentingan kontrol sosial dan pencegahannya. Dalam teorinya Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa timbulnya kenakalan remaja lebih ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kelas yang dapat menimbulkan hambatan-hambatan bagi anggotanya, misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi anggotanya untuk mencapai aspirasinya. 5) Teori Label Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori label menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan 6) Teori Control Social Teori kontrol sosial merupakan suatu teori yang berusaha menjawab mengapa orang melakukan kejahatan. Teori kontrol ini mempertanyakan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat terhadap hukum?. Teori kontrol sosial memandang setiap manusia merupakan makhluk yang memiliki moral yang murni. Oleh karena itu setiap orang memiliki kebebasan memilih berbuat sesuatu. Apakah ia akan berbuat menaati aturan yang berlaku ataukah melanggar aturan-aturan yang

berlaku. Tindakan yang dipilih itu didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang telah dibentuk. Kebijakan kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam aturan perundang-undangan. Pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana. Dalam rangka menanggulangi kejahatan diperlukakan berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan berupa pidana. Karena, pidana masih dianggap relevan untuk menanggulangi kejahatan, meski masih banyak reaksi lain yang berupa non-pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pidana sebagai sarana pengendalian kejahatan diperlukan adanya konsepsi politik dalam hukum pidana yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Konsepsi politik hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, disamping melalui pembuatan produk hukum berupa pembuatan undang-undang hukum pidana tidak lepas juga dengan usaha menuju kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan sosial (social policy). Hal ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal atau hukum pidana ialah masalah penentuan : 1. 2. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Penganalisaan terhadap dua masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral diatas yang sering disebut sebagai masalah kriminalisasi, harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut : 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan pancasila. Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana

untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak di kehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil ataupun spiritual atau warga masyarakat. 3. 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperthitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Kriminalisasi haruslah diwujudkan dalam bentuk peraturan tertulis seperti perundang-undangan. Aturan perundang-undangan tersebut harus tunduk pada asas-asas hukum dalam aturan perundang-undangan dimana suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Peraturan undangundang pidana atau yang mengandung pidana juga harus menggunakan asas legalitas. Asas legalitas mengandung makna bahwa ketentuan dapat dipidananya suatu perbuatan harus terjadi melalui undang-undang dalam arti formil. Tidak diperbolehkan menciptakan sanksi pidana selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam arti formil. Syarat untuk menindak suatu perbuatan yang melanggar hukum harus dengan adanya ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela atau kejahatan dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Hal ini disebut legalitas dari negara dalam hukum pidana. Konsep bahwa tindak pidana adalah melanggar kepentingan negara sebagai representasi dari kepentingan publik pada umumnya yang menjadikan dasar pemberian kewenangan negara untuk menentukan, membuat peraturan, dan menghukum seseorang yang melanggar peraturan yang telah dibuat oleh negara. 3. Penegakan Hukum tindak pidana korupsi menjadi hal yang fundamental saat ini, tidak hanya menjadi sebuah National Policy bagi penegakan hukum di Indonesia, berbagai aturan Hukum yang mengatur masalah tindak pidana korupsi di Indonesia pun telah mengkualifikasi tindak pidana korupsi ini sebagai extra ordinary crime. Pasca reformasi 1998 misi penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme

menjadi jualan yang sangat laris dikalangan partai politik dalam menjaring konsumen politiknya. diperiode ini isu korupsi bahkan telah menggeser isu komunisme sebagai musuh utama bangsa. agenda pemberantasan korupsi selalu menjadi prioritas penyelenggaraan negara setiap kali akan menjalankan periode pemerintahannya, Kondisi sedemikian masih terus menjadi tren dan berlangsung hingga dengan saat ini dan mungkin pula dimasa-masa yang akan datang. Berbicara mengenai konstelasi penegakan hukum tindak pidana korupsi tentunya semua akan kembali dalam suatu sistem yang kemudian kita sebut sebagai Criminal Justice System atau sistem peradilan Pidana di Indonesia. Suatu sistem yang dimulai dengan peristiwa hukum tindak pidana untuk kemudian melalui proses sidik yang menghasilkan suatu berita acara pemeriksaan (BAP) yang akhirnya menjadi suatu produk tuntutan ataupun dakwaan yang kemudian diperiksa dalam sebuah persidangan di Pengadilan sehingga menjadi suatu vonis atau putusan yang berkekuatan tetap untuk dijalankan dalam bentuk pemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana tersebut. Pada hakekatnya perangkat penegak hukum terutama Hukum Pidana dalam Criminal Justice System atau sistem peradilan pidana di Indonesia adalah Kepolisian dan Kejaksaan, kedua institusi yang merupakan state main organs penegakan hukum di Indonesia ini telah jelas diatur dalam suatu bentuk perundang-undangan yang kemudian kita kenal sabagai salah satu mahakarya agung anak bangsa, yaitu Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kemudian setelah era Reformasi bergulir muncul pulalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang juga merupakan lembaga penegak hukum ad hoc yang bersifat state auxiliary organ. KPK ini muncul secara kebutuhan adalah karena fungsi kekuasaan Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan State Main Organs secara Intitusi dianggap tidak cukup efektif atau lamban atau bahkan sering lalai dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Menelaah lebih dalam mengenai Pencegahan maupun Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia maka mau tidak mau kita akan membahas lebih jauh bagaimana peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini seakan ditakdirkan menjadi ujung tombak dari penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, banyak permasalahan yang menyorot peran, fungsi, kewenangan maupun kekuasaan dari KPK ini, pro dan kontra muncul dengan

kehadiran Institusi ini, ada yang menyebut KPK lembaga superbody, ada yang menyebut KPK merupakan institusi Anak-Tuhan karena hanya merasa dirinya sendiri yang paling bersih dan tanpa supervisi selayaknya institusi-institusi penegak hukum lainnya, terlepas dari semua itu KPK telah hadir dan telah diatur kewenangan serta segala tindakan nya dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini hadir untuk memenuhi cita-cita mulia bangsa Indonesia yang terkandung dalam dasar filosofis pembentukan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang kemudian di revisi dan diubah kedalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni menciptakan Clean Government dan Good Governance, dengan kata lain hanya dengan terjadinya pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baiklah maka KPK ini akan memparipurnakan masa tugas nya. KPK dalam menjalankan tugasnya di berikan kewenangan yang eksepsional, kewenangan yang luar biasa itu diatur dalam Pasal 6 butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dijelaskan KPK dapat bertindak mulai dari: 1. Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi; 2. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 3. Melakukan tindakan pencegahan korupsi; 4. Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Artinya dalam menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam penuntutan. Sehingga KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi korupsi. Dalam mencapai cita-cita mewujudkan Clean Government dan Good Governance KPK dihadapkan pada suatu tugas strategis yaitu untuk merevitalisasikan perangkat perundangundangan, mereorganisasi aparatur penegak hukum, menyiapkan sarana dan prasarana pendukung untuk pemberantasan korupsi, serta bagaimana menciptakan suatu budaya hukum dalam masyarakat yang anti terhadap korupsi. Ini semua lah yang menjadi pokok bahasan dalam mereview bagaimana konstelasi penegakan tindak pidana korupsi sampai hari ini. Revitalisasi Perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi

Salah satu contoh upaya dari proses revitalisasi terhadap aturan perundang-undangan adalah lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 yang merupakan hasil Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) Menjadi Undang-Undang di Indonesia. Ratifikasi ini dilakukan untuk memaksimalkan kinerja KPK dalam pemberantasan Korupsi, mengingat tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah yang terlokalisir di Indonesia saja, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian negara sehingga penting adanya kerja sama Intemasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan koruptor ke luar negeri. Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus, Akan tetapi peraturan perundang-undangan khusus yang dimaksud belum dianggap maksimal, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003) dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 ini memiliki arti yang sangat strategis buat proses penegakan hukum tindak pidana, khususnya korupsi di Indonesia, karena kerja sama Internasional ini meliputi hal untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri (Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 tahun 2006). hal yang sangat dibutuhkan Indonesia dalam menyiasati kreativitas para koruptor yang semakin hari semakin te-rupgrade pula modus operandi nya. Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam merevitalisasi peraturan-peraturan perundangan yang terkait dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah bagaimana mengharmonisasikan begitu banyak perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi itu sendiri, salah satu hal yang membuat carut marutnya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini tidak lepas dari keadaan perundang-undangan korupsi itu sendiri. Dimana ada begitu banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah korupsi berada dalam keadaan yang menyebar, tidak lengkap dan saling bertentangan satu sama lain. Adapun peraturan-peraturan perundang-undangan yang membahas tentang korupsi

diantaranya: 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. 2. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Pemerintah Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) Menjadi Undang-Undang. Ini belum lagi ditambahkan dengan peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan yang sangat erat dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi itu sendiri, diantaranya: 1. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 4. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 5. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 6. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Pembendaharaan Negara. 7. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. 8. Undang-Undang No. 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Melihat begitu banyak Peraturan Perundang-undangan yang saling berketerkaitan satu sama lain, dan belum lagi bila itu di gabungkan dengan peraturan-peraturan pelaksana nya masingmasing, maka akan begitu banyak pengertian-pengertian dari korupsi, suap atau apa itu yang masuk dalam lingkup suatu kegiatan korupsi, tentunya disetiap perundang-undangkan dan peraturan-peraturan memiliki parameter parameter nya sendiri yang tentu pula memiliki pengertian-pengertian yang berbeda pula diantara satu sama lain nya dalam kaitannya tentang tindak pidana korupsi ini.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan jelas merupakan suatu agenda penting lain dalam proses penegakan Tindak pidana korupsi di Indonesia. Isu untuk menyatukan segala macam peraturan dan perundang-undangan tentang korupsi menjadi terintegrasi dalam satu Peraturan juga telah lama digaungkan oleh para ahli-ahli, akademisi, maupun praktisi-praktisi hukum didalam maupun di luar negeri, Hal mana menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi KPK untuk mengkoordinasikan dan menfasilitasi proses harmonisasi ataupun pengintegrasian peraturan-peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini. Reorganisasi Aparat Penegak Hukum Hukum sebagai muatan norma dan nilai yang terkandung dalam masyarakat, memiliki sifat janji-janji yang perlu diwujudkan. Yang mewujudkan ini adalah aparat penegak hukum. Dalam hal pemberantasan korupsi, aparat penegak hukum dihadapkan pada dirinya sendiri, karena lingkungan korup juga melanda institusi penegak hukum itu sendiri, Fakta dilapangan saat ini terkait potret aparat penegak hukum di Indonesia adalah maraknya praktek Mafia Hukum. Praktek-praktek mafia hukum paling sering menggerogoti sendisendi Criminal Justice System atau sistem peradilan Pidana di Indonesia, ini dimulai sejak proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemutusan, eksekusi dan pemasyarakatan. Halhal utama yang menyebabkan praktek-praktek ini terjadi antara lain: 1. Lemahnya pengawasan dan tingkat disiplin aparat penegak hukum 2. Kelemahan manajemen sumber daya manusia. Kelemahan ini terkait dengan sistem rekrutmen yang masih penuh dengan aroma KKN 3. Kelemahan dalam praktek penanganan perkara, sistem penanganan perkara itu membuka peluang terjadinya praktik mafia hukum karena tidak ada check and balance. 4. Minimnya gaji, tunjangan dan anggaran operasional institusi-institusi penegak hukum. 5. Kelemahan peraturan perlindungan saksi dan korban, dalam UU perlindungan saksi dan korban, kecil sekali perlindungan terhadap saksi pengungkap kasus, akhirnya mereka enggan dan takut untuk mengungkapkan apa yang diketahui. Hal yang miris lain yang kita temui dilapangan penegakan hukum tindak pidana korupsi, adanya perebutan kewenangan antara Jaksa dan polisi yang muaranya mengarah kepada perebutan lahan rezeki diantara sesama apartur penegak hukum. Dan terkait dengan reorganisasi dalam tubuh KPK sebagai penegak hukum ad hoc, KPK juga memiliki salah satu tugas pokok yang tak kalah penting, yaitu bagaimana memberdayakan

sumber daya manusia yang mereka terima dari dua instansi penegak hukum lainnya, yakni dari polisi yang lebih kepada tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan dan juga dari kejaksaan yang diarahkan kepada tugas-tugas penuntutan. Mensinergikan dua aparat dari dua institusi ini memang terlihat mudah dalam pengaplikasiannya, namun dalam implementasinya KPK masih sering misorganisasi dalam hal operasionalnya, ini membuat terkadang penungkapan kasus-kasus korupsi berjalan menjadi lebih lamban daripada waktu yang ingin disasar. Sarana dan Prasarana Pemberantasan Korupsi Berbicara mengenai Sarana dan Prasarana dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, tentu kita akan membahas masalah lembaga peradilan sebagai Instrumen utama dari sistem penegakan hukum tindak pidana korupsi. Masih banyaknya kelemahan yang sangat fundamental yang masih terjadi dalam kelembagaan peradilan tindak pidana korupsi baik itu didalam melakukan tugas, fungsi, wewenang maupun tanggung jawabnya. Kalau kita perhatikan masalah kelembagaan yang berhubungan dengan penindakan tindak pidana korupsi. Saat ini seperti dilaksanakan dengan dua cara yang berbeda, ada jalur umum adapula jalur Khusus, artinya dalam penindakan tindak pidana korupsi kelembagaan peradilan yang digunakan ada yang menggunakan jalur peradilan umum dalam hal ini Pengadilan Negeri, dan ada pula jalur khusus yaitu menggunakan Pengadilan Tindak Pidana Tipikor. Dimana dalam peradilan umum pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, sedangkan dalam Pengadilan Tindak Pidana Tipikor baik penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh KPK Perbandingan yang mencolok antara dua jalur peradilan yang bersifat umum dan bersifat khusus adalah kewenangan, fasilitas, pendanaan maupun kinerja masing-masing jalur peradilan ini, karena hasil dalam bentuk putusan atau vonis pun berbeda-beda diantara keduanya. Contohnya, di pengadilan khusus tindak pidana korupsi sangat jarang atau bahkan tidak pernah lolosnya perkara korupsi yang mereka sidangkan, artinya hampir mustahil ada putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan bila tindak pidana korupsi disidangkan di pengadilan jalur khusus atau yang lebih kita kenal dengan pengadilan tindak pidana korupsi. Berbanding terbalik dengan vonis-vonis yang di ketuk dipengadilan-pengadilan negeri yang berlabel jalur umum, begitu banyak vonis bebas dan lepas dari segala tuntutan yang diputuskan atas perkara-perkara tindak pidana korupsi disana.

Hal diatas menunjukan adanya perbedaan perlakuan antara dua jalur peradilan tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga kesan kasus tebang pilih menjadi kentara bila mengkaji hasilhasil dua putusan di dua jalur peradilan ini. Hal ini membuat para koruptor seakan menjadi korban dari suatu sistem peradilan yang tidak adil. Pada gilirannya hal ini justru membuat para koruptor yang sementara ini divonis bersalah, menjadi seperti korban dari suatu sistem yang tidak berlaku secara adil. Terlebih bila praktisi mulai menilai bahwa hakim-hakim pengadilan umum yang mengadili tindak pidana korupsi terlalu Konservatif, yang hanya berpandangan positifisme dan legalistik sehingga terkensan hanya menjadi corong peraturan perundang-undangan saja. adapun hakim-hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi dinilai terlalu responsif dan proaktif yang tidak jarang melabrak asas-asas hukum yang menjadi fundamen utama hukum pidana Indonesia dan bahkan asas-asas hukum yang telah berlaku secara universal Budaya Hukum Masyarakat yang anti Korup Beberapa minggu yang lalu, baru saja dikeluarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) secara Global oleh Transparency International, dimana dengan rentang indeks angka 0-10 yang semakin kecil angka indeks menunjukan potensi korup di negara tersebut besar pula, Indonesia ada diperingkat 100 dari 183 negara yang disurveydengan nilai IPK 3.0, ini tentu bukan nilai yang baik kendati ada kenaikan 0.2 dari IPK 2.8 tahun lalu, karena Indonesia sendiri menargetkan angka 5.0 sampai pada tahun 2014 nanti, untuk nilai IPK ini kita masih kalah jauh dari Singapore (9.2), Brunei (5.2) juga dari malaysia (4.3) dan Thailand (3.4). Pesan yang kita tangkap dari peluncuran peringkat Indeks Persepsi Korupsi diatas adalah, Pertama tentunya belum ada lonjakan yang signifikan dari tahun lalu terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, Negara kita masih masuk dalam kategori negara korup, Kedua tentunya masih diperlukan kerja ektra keras untuk meningkatkan kembali angka Indeks Persepsi Korupsi itu di tahun-tahun yang akan datang, sehingga target yang dicanangkan untuk IPK 5.0 tahun 2014 dapat terwujud. Untuk mengatrol angka Indeks Persepsi Korupsi ini, diperlukan suatu upaya komperhensif dari pemerintah dalam hal perbaikan atau restorasi yang menyeluruh terhadap institusi-institusi penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian dan lembaga peradilan, Pemerintah juga dituntut harus dapat tegas dan tanggap dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan Politisi, Mafia Hukum, dan Pejabat-pejabat publik di Indonesia.

KPK dalam kewenangan yang telah diatur memiliki tugas untuk melakukan pencegahan terhadap korupsi, dimana kewenangan KPK melakukan koordinasi pemberantasan korupsi meliputi bukan hanya aspek represif (penyelidikan penyidikan, dan penuntutan) tetapi juga aspek preventif (pencegahan). Pencegahan terjadinya suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, dengan demikian tampak KPK juga memiliki tugas untuk menanamkan kepada masyarakat budaya untuk anti terhadap korupsi. pencegahan melalui implementasi prinsip-prinsip clean government dan good governance. Dapat dilakukan KPK melalui upaya-upaya penyuluhan hukum kepada masyarakat terkait dengan tindak pidana korupsi, menyuarakan atau mengkampanyekan gerakan anti korupsi, dan juga menanamkan nilai-nilai budaya anti korupsi melalu jalur pendidikan formal disekolah-sekolah dengan masuk menjadi sebagai suatu mata pelajaran khusus, sehingga pengetahuan maupun budaya anti korupsin tersebut telah tertanam sejak dini di masyarakat. Penanaman pengetahuan serta budaya anti korupsi sejak dini dalam masyarakat akan menekan atau meminimalisir orang-orang yang menjadikan para koruptor sebagai tokoh idolanya, yang membuat ia justru mempelajari bagaimana korupsi yang sukses tentunya untuk kesuksesannya secara ekonomi, Gejala seperti ini sudah mulai tampak dalam masyarakat, kita dapat melihat bagaimana seorang koruptor didukung oleh begitu banyak massa nya ketika hendak disidangkan, bahkan mereka membentuk garda berani mati untuk membela sang koruptor tersebut, ironi-ironi seperti inilah yang harus dikikis dalam budaya hukum masyarakat Indonesia.

You might also like