You are on page 1of 6

Absurd, Absurd, Absurd, dan Absurd titik

Oleh: Rosihan Fahmi

.....bagi seorang yang absurd berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya


dengan penuh rasa tanggungjawab dan cinta.

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara manusia yang absurd(1) dengan
manusia yang menyadari absurditasnya(2). Seorang Don Yuan, seniman atau
petualang adalah manusia-manusia yang absurd. Mereka bertindak menurut
prinsip-prinsip absurditas kehidupannya. Manusia yang menyadari akan
absurditasnya atau absurditas kehidupan ini dapat menyerah dan menjadi putus
asa, tetapi dapat juga menjadi “pemberontak”. Dan pilihan yang kedualah yang
menjadi pilihan Albert Camus. Bagi Camus menjadi pemberontak jauh lebih baik
ketimbang menjadi seekor kerbau yang dicocok hidungnya, ia hanya menerima dan
mengikuti ke mana sesuatu di luar diri membawanya pergi. Memang pekerjaan sia-
sia. Namun, dalam kesia-sian itulah nantinya kebermaknaan lahir. Jadi Camus
meskipun tidak mengajarkan moral, tetapi ia tetap peduli pada permasalahan
moral.

Seorang Absurd atau mengalami perasaan absurd berarti ia melihat dan mengalami
kondisi zamannya yang dianggap “absurd”(3). Dalam mitos Sisifus misalnya, yang
dijadikan oleh Camus sebagai sosok yang absurd. Ketika para dewa menghukum
Sisifus untuk terus menerus berusaha, menggelindingkan dan mendorong batu
raksasa menuju ke puncak gunung, berulang-ulang tanpa henti. Berdasar pada
mitos Sisipus, Camus melihat hal semacam itu termasuk dalam keadaan yang
absurd.

Hanya ada satu moral yang bisa diakui oleh manusia absurd, yaitu moral yang tak
terpisahkan dari Tuhan: moral untuk diri sendiri. Tapi justru ia hidup diluar garis
Tuhan. Absurditas hanya memberi kesamaan nilai kepada akibat-akibat dari
tindakannya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang tidak mengakui
transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri.

Camus yang mempunyai pandangan bahwa tidak perlunya suatu masa depan.
Bukan karena gagasan masa depan itu sesuatu yang jelek, tetapi karena masa
depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tidak pernah bisa dipahami,
Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh yang absurd
tidak bisa berbuat selain menggeluti absurditas yang dihadapinya saat ini-disini dan
sekarang. Masa depan hanyalah suatu probabilitas.

Moralitas absurd dibangun atas dasar gagasan bahwa suatu tindakan memiliki
konsekuensi yang mensahkan atau menghapuskannya. Semua ini hanya bisa
dilakukan dengan penuh kesungguhan. Artinya bagi seorang yang absurd berarti ia
mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan
cinta.

Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dengan


memandang bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia itu hanya bersifat
sementara. Yang absurd adalah konfrontasi antara keadaan tak rasional dan hasrat
yang menggebu -nafsu.

Ketika Jaspers mengungkapkan bahwa tidak mungkin melihat dunia sebagai suatu
keutuhan. Ia berkata, “keterbatasan ini membawa saya kepada diri saya sendiri, ke
tempat di mana saya tak lagi mundur ke balik sudut pandang obyektif yang hanya
saya kemukakan, di mana saya sendiri maupun kehadiran orang lain tak dapat
menjadi sekadar obyek bagi saya”. Menurut anggapan Camus, ditengah-tengah
kondisi manusia yang semerawut ini, tak ada arti untuk hidup.

Hidup tak mempunyai makna yang mutlak. Dalam dendam irrasional manusia
memimpikan untuk persatuan, untuk kemutlakan, untuk keterbatasan perintah dan
arti untuk “bukan saya” dari dunia. Tidak seperti keberadaan dalam kesunyian, di
dunia yang berbeda. Bagi manusia absurd, segala utopi -termasuk utopi Marxis-
ditolak, sebab dengan demikian keadilanpun akan ditunda dan kekerasan diterima
begitu saja. Satu-satunya cara yang rasional adalah dengan melakukan
pemberontakan. Demikian gagasan pemberontakan Camus, yang bisa ditemukan
dalam Le mythe de Sisype dan dalam novelnya La peste.

Di antara kerinduan sebuah arti dan keabadian dan kondisi aktual dunia dimana
jurang tak akan pernah bisa dipenuhi. Konfrontasi irrasional, antara hati manusia
dan dunia yang berbeda membawa faham absurditas. Karena absurditas bukan
hanya berada dalam diri manusia atau dunia, tapi di dalam kehadiran mereka
bersama.

Manusia harus menyadari adanya perasaan absurd yang bisa terjadi kapan saja.
Orang yang absurd harus menuntut hidup sendiri dengan apa yang diketahui dan
membawa dalam ketidakadaan yang tidak yakin. Artinya bahwa, segala sesuatu
yang manusia ketahuai adalah keberadaan manusia itu sendiri.

Apakah ini berarti sebuah sikap pesimistis yang beranggapan bahwa hidup ini sia-
sia? Dapatkah bunuh diri menjadi legitimasi yang logis sebagai jalan keluar dari
ketidakberartian hidup? “Tidak”. “Tidak” jawab Camus. Walaupun absurditas
menghapus semua kesempatan dari kebebasan abadi itu artinya menambahkan
kebebasan bagi manusia dalam bertindak. Bunuh diri berarti pengakuan si pelaku
bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tidak mengerti
kehidupan.

Meskipun dunia ini absurd, kita dapat menemukan nilai dalam hidup ini. Nilai yang
berada dalam kebebasan kita, keinginan dan pemberontakan. Seperti yang
digambarkan oleh Camus pada sosok Don Yuan. Sosok yang dikenal dari Don Yuan
adalah seorang yang suka mengoleksi perempuan-perempuan cantik. Pindah dari
perempuan satu keperempuan yang lain. Bagi Camus, Don Yuan tidak bermaksud
“mengoleksi” wanita. Ia menguras habis jumlah itu sendiri, dan bersama mereka
melahap seluruh kesempatan hidup. Karena mengoleksi berarti mampu menghayati
masa lalu. Namun ia menolak penyesalan, yakni bentuk lain dari harapan. Karena
Don Yuan adalah sosok manusia absurd yang tidak memisahkan diri dari waktu.
Tetapi yang paling penting di sini adalah “penciptaan”. Karena Don Yuan telah
menemukan suatu cara baru untuk meng-“ada” yang setidak-tidaknya
membebaskannya, dan juga orang-orang yang mendekatinya.

Dalam mitos Sisifus, manusia absurd berarti menentang dirinya untuk sesuatu hal
yang dianggapnya masuk akal, dimana di dunia ini manusia harus mencari dan
memikul kebenaran yang digariskan tuhan; dia percaya bahwa kebenaran
ditemukan oleh keinginan intensitas subjektif ; dia mementingkan bahwa individu
selalu bebas dan diliputi pilihan; dia mengenalkan bahwa manusia ada di dunia dan
diceritakan secara alamiah oleh dunia; dia mengetahui segalanya dengan arti
kematian, hal itu dihindarkan dan menentukan. Keabsurdan adalah pemberontakan
terhadap hari esok dan seperti datang ke terminal pada saat penampakkan.

Manusia absurd sadar akan kesedihannya; itu adalah cemoohannya kepada tuhan,
kebencian akan kematian, dan keinginan untuk hidup yang memenangkan dalam
akhir penggulingan batu ke puncak gunung selamanya, dan dia tidak memohon
harapan atau ketidakyakinan terhadap tuhan. Dia adalah asal keabsurdan, tak ada
kematian dalam akhir perjuangannya. Pengalaman absurditas merupakan
pembuktian keunikan manusia dan dasar martabat dan kebebasannya.

Dalam Islam ada sebuah tema yang masih menyimpan banyak kontroversia untuk
persoalan kematian, yaitu mati syahid. Mati syahid, berarti mati dalam keadaan
memegang teguh aqidah Islam. Mati syahid, yang sebenarnya dipahami sebagai
kematian yang menghampiri seseorang yang dalam keadaan sebelumnya ia telah
mengikrarkan dua kalimat syahadat (La ilaha illallah dan Muhammad adalah Rasul
Allah) dan tidak pernah berbuat riddah. Mati syahid atau mati dalam keadaan
‘disaksikan’, bisa pula dimaknai seabagai mati yang di dalamnya memuat
pengakuan dari diri, masyarakat, dan Tuhan.

Term mati syahid selama ini identik dengan jihad dalam makna perang secara fisik,
sebagai ekspresi terhadap luapan keyakinan seorang muslim terhadap ideologi
yang diyakininya untuk menegakkan keadilan. Pemaknaan mati syahid seperti ini,
mengakibatkan penyempitan dari makna yang sebenarnya. Dampak dari
penyempitan pemaknaan tersebut mengakibatkan term mati syahid hanya berlaku
bagi setiap muslim yang mati di medan laga.

Pemaknaan terhadap mati syahid yang hanya melulu diidentikan dengan term jihad
dalam berperang, hal tersebut akan berindikasi pada, bahwa ajaran Islam lebih
mengutamakan kematian yang hanya harus dihadapi secara fisik untuk
mendapatkan kehidupan baru. Jika demikian, lalu bagaimana dengan seorang
muslim yang masih hidup, yang kemudian mati dalam keadaan selain perang
secara fisik? Belajar, mengajar misalnya, bukankah hal yang demikian itu
merupakan bagian dari jihad-dalam makna yang luas?

Seorang muslim yang mati dalam keadaan jihad non fisik, seperti orang yang mati
dalam keadaan belajar atau mengajar, bisa dikategorikan mati syahid, karena
melihat dari substansi dari makna mati syahid itu sendiri, yang bukan melulu bagi
orang yang berperang. Kemudian, mengapa orang yang mati dalam keadaan
berperang mendapatkan julukan mati syahid dengan secara tegas banyak disebut-
sebut dalam nash Al-Qur’an? Dalam kasus ini terlihat ada semacam kepentingan
politis Islam dalam menyebarkan ajarannya. Bagaimana mungkin seorang manusia
yang dalam keadaan nalar sadar, kemudian melakukan tindakan yang bodoh seperti
itu.

Meskipun ada hal yang lain, yang menyebabkan kenapa ada sekelompok manusia
yang rela melakukan tindakan tersebut. Yakni adanya harapan untuk mendapatkan
sesuatu yang lebih baik, dari apa yang sudah ada saat ini-ganjaran masuk syurga.

Bagi nalar absurd, sebuah harapan -syurga, hanyalah utopi belaka, yang tidak
mempunyai landasan pemikiran filosofis. Karena hal yang demikian itu terbentuk
oleh ikatan emosional yang berasal dari luar diri. Bagi seorang absurd, ikatan
emosional itu harus bermula dari dalam diri. Dengan demikian pemaknaan terhadap
term jihad menjadi sangat luas, tidak hanya terhadap jihad yang ada diluar diri
tetapi juga termasuk jihad dalam diri. Manusia absurd tidak hanya melakukan
penolakan terhadap apa-apa yang ada di luar diri tetapi melakukkan penolakan juga
terhadap apa-apa yang ada di dalam diri, yang sudah mengarah pada kemapanan.
Inilah pemberontakan yang sebenar-benar pemberontakan. Pemberontakan yang
membutuhkan keberanian , kehendak, dan kecerdasan.Tiga hal inilah yang menjadi
dasar bagi moral absurd dalam menjadikan hidup sebagi sesuatu yang bernilai
-hidup mulia.

Hidup mulia dalam konsep Islam adalah hidup dalam keadaan mu’min sekaligus
muslim, dengan mengerjakan amal shaleh. Dengan kata lain, ia menjungjung tinggi
nilai-nilai kehidupan untuk mendapatkan kehidupan yang baru. Hidup mulia dalam
ajaran Islam, berarti melaksanakan ajaran-ajaran Allah, yang berdasar pada Al-
Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain hidup mulia berarti meng-iman-i sekaligus
meng-amin-i apa-apa yang telah di-syari’at-kan-Nya. Untuk mencapai hidup mulia
manusia harus menjaga dua jenis hubungan yang sepintas berbeda arah, yaitu
hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan manusia
dengan manusia (hablum minannaas).

Manakala salah satu dari kedua hubungan tersebut terbengkalai baik disengaja
maupun tidak, dengan demikian keseimbangan menjadi ternoda. Kedua hal
tersebut sama pentingnya., namum yang terpenting adalah hubungan sesama
manusia. Mengapa demikian? Hal ini serupa dengan apa yang ditampilkan dalam
cerita The Patriot, di mana muncul satu pertanyaaan yang menarik, mengapa
manusia dengan begitu mudah mengorbankan manusia lain hanya demi mencapai
sesuatu yang menjadi keinginannya? Senangkah manusia dengan yang
dilakukannya? Manusia menjadi Homo Homini Lupus, pemangsa bagi yang lainnya,
yang siap memangsa siapa saja demi sesuatu yang masih kabur.

Islam pun sebenarnya mengajarkan hal ini. Tapi entah kenapa kemudian Islam
seolah menjadi Godzila yang dengan ganasnya membumihanguskan manusia lain
hanya demi Tuhan. Tuhan di satu sisi dianggap maha kuasa, namun di sisi lain
dianggap seperti sesuatu yang idiot yang harus selalu dijaga setiap saat. Akankah
kekuasaan Tuhan hilang, manakala tidak ada lagi manusia yang membelanya, yang
mencintainya? Kalau jawabannyanya ‘ya’, cepat-cepatlah bunuh Tuhan yang seperti
itu. Sebab ia akan menghalangi manusia mencapai hidup mulia. Kalaupun ‘tidak’,
pikirkanlah manusia lain. Dari kehadiran manusia lain itulah manusia secara
individu terbantu untuk mempertegas eksisitensi dirinya. Dan ini menjadi awal,
dalam Islam, untuk menemukan Tuhan. Manusia harus sesegera mungkin
menyadari apa yang dimaksud dengan pemberontakan, untuk kemudian
mengadakan pemberontakan secara terus menerus tanpa henti. Pemberontakan
menyadarkan diri dari pada kenyataan, pada realitas untuk mendukungnya dalam
perjuangan terus menerus untuk kebenaran.

Pemberontakan yang bukan dimaknai penghancuran atau destruksi. Akan tetapi


pemberontakan yang selalu dimaknai dekonstruksi, menghancurkan untuk
kemudian membangun. Nietzsche berpesan, “musuh-musuhku adalah mereka yang
ingin merusak tanpa menciptakan diri mereka sendiri”. Satu hal yang harus diingat,
bahwa bangunan yang baru itu pada detik berikutnya harus segera di dekonstruksi.
Melelahkan tentunya. Lebih lelah lagi menunggu detik-detik kematian tanpa
melakukan apapun atau hanya dengan berdiam diri, tak ubahnya anak kecil yang
diam dari tangisan setelah diberikan permen atau coklat manis. Membuat kematian
yang absurd menjadi lebih tidak bermakna. Kematian menjadi sesuatu yang dinanti-
nantikan, ditunggu-tunggu oleh manusia-manusia yang berani. Berani untuk hidup,
berani menghadapi ke-absurd-an, berkehendak untuk menguasai segala hal
termasuk dirinya, dan sangat cerdas dalam menyiasati hidup. Manusia berani yang
hanya bisa tersenyum manis menatap kematian menjemputnya. Suatu
kebahagiaan. Kematian absurd yang bermakna.

Dunia bukan hanya untuk didiami, melainkan untuk dihadapi dan diatasi, bukan
dihilangkan. Menapaki anak tangga satu persatu tanpa pernah merasa letih dan
lelah akan mengantarkan manusia pada hidup mulia. Tapi jangan kemudian
menjadikannya harapan. Karena dengan melahirkan harapan, manusia sedang
menggali kuburan berikutnya. Biarkan semua mengalir apa adanya. Ikuti dan lawan.
Hanyut tapi tidak tenggelam. Hal seperti inilah yang diinginkan oleh Camus, agar
manusia tetap setia pada dunia. Walaupun Camus, sebenarnya menolak hal-hal
yang bersifat adikodrati, tetapi dia mengajarkan bagaimana cara hidup di dunia
yang absurd.(by. Rosihan Fahmi. Tulisan ini merupakan review dari karya skripsinya
yang berjudul “Analisis Absurditas Albert Camus Terhadap Mati Syahid Dalam
Islam”.)
Sekadar Catatan

1. Kata absurd yang diambil dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Latin
berarti absurdus. Kata latin ini terbentuk dari ab (tidak) dan surdus (dengar).
Arti harfiah “tidak enak didengar”, “tuli”, “tidak berperasaan”. Kata absurd
juga sering diartikan antara lain, “tidak masuk akal”, “tidak sesuai dengan
akal”, atau “tidak logis”. nonsense sering diartikan dengan absurd. Lihat,
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm. 9-10.
2. Absurditas merupakan pandangan filosofis yang ditawaran oleh
eksistensialisme ateis. Absurditas dalam pengertian ini berarti sama dengan
kemustahilan untuk mencari jawaban pada yang transenden. Camus amat
mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan “Allah sudah mati”,
supaya manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban
yang transenden mengenai persoalan-persoalan manusia dan dunia ini
merupakan tindakan orang malas yang hanya mau mencari sesuatu tanpa
kesungguhan. Absurditas juga bisa ditafsirkan sebagai kegiatan menciptakan
nilai-nilai.
3. "absurd" di sini bermakna terjadinya kekeosan atau kemapanan, yang
mengakibatkan keadilan manusia sudah tidak di indahkan lagi, sehingga
diperlukan sebuah pemberontakan.

You might also like