You are on page 1of 16

MAKALAH FARMASI FISIK DIFUSI DAN DISOLUSI

Disusun oleh : Kelompok : I (Satu) Anggota : 1. Nelli Karina (I21111034) 2. Novadyanti (I21111035) 3. Yuli Evi Yanti (I21111038) 4. Rizka Annur Putri (I21111039) 5. Wiwin Anditasari (I21111041)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah dengan judul Difusi dan Disolusi. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Farmasi Fisik. Melalui makalah yang berjudul Difusi dan Disolusi ini yang diharapkan dapat menunjang nilai penulis di dalam mata kuliah Farfis. Selain itu, dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi pembaca mengenai difusi dan disolusi obat serta aplikasi yang nyata dalam dunia farmasi. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Liza Pratiwi , S. Farm., Apt. selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh pihak yang terlibat di dalam penulisan makalah Difusi dan Disolusi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Pontianak, 22 November 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang sediaan obat supaya mampu menrancang terobosan baru dalam menciptakan suati produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya. Sebagai seorang farmasis kita harus selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi. Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling kami soroti disini yaitu mengenai disolusi dan difusi suatu zat. Dimana ini meerupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh manusia. Laju disolusi atau kecepatan melarut obatobat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih

banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi. Melihat pentingnya tentang disolusi dan difusi dalam suatu sediaan maka dibuatah makalah ini sebagai suatu manfaat dan pengetahuan bagi para farmasis. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu : Memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Fisik Mengetahi dan memahami disolusi dan difusi dalam dunia farmasi

1. 2.

1.3 Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4. 5. Apa yang dimaksud dengan difusi dan disolusi? Apa saja faktor yang dapat mempengaruhidifusi dan disolusi? Bagaimana metode penentuan kecepatan disolusi? Bagaiman perhitungan dalam menentukan kecepatan disolusi? Bagaimana mekanisme difusi?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Disolusi
2.1.1 Definisi Disolusi

Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas Efektifitas dari suatu tablet dalam melepas obat untuk proses absorbsi bergantung pada laju disintegerasi, disagregasi dari granul-granul, tetapi yang terpenting yaitu proses laju disolusi dari obat padat tersebut. Kecepatan disolusi suatu ukuran partikel yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut setiap satuan waktu. Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahapan yang mengontrol laju absopsi obat-pbat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik. Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengertahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium asam atau basa (lambung dan usus halus) Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat larut dalam media disolusi. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum

menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut :

dM DS ( Cs C ) = dt h
dM.dt-1 D S Cs C H : kecepatan disolusi : : : : : koefisien difusi luas permukaan zat kelarutan zat padat konsentrasi zat dalam larutan pada waktu tebal lapisan difusi

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi

dM DSCs = dt h

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disolusi


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi disolusi yaitu : 1. Suhu Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut : D=

kT 6 r

Keterangan : D r : : koefisien difusi jari-jari molekul

k T 2. Viskositas

: : :

konstanta Boltzman viskosita pelarut suhu

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi. 3. pH Pelarut pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah. Untuk asam lemah :

dc Ka = K .C.Cs 1 + dt H+

( )

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah

dc H+ = K .C.Cs 1 + ( Ka ) dt
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat. 4. Pengadukan Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang. 5. Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat. 6. Polimorfisme Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar. 7. Sifat Permukaan Zat Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi Obat secara in vitro Berikut dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruh laju obat secara in vitro yaitu : 1. Sifat fisika kimia obat. Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal. 2. Faktor alat dan kondisi lingkungan. Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi

kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat. 3. Faktor formulasi. Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi. 2.1.4 Metode Penentuan Kecepatan Disolusi 1. Metode Suspensi Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai. 2. Metode Permukaan Konstan Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi. Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP. Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut.

Gambar 1. Alat disolusi

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain: 1. Tahap Pra Formulasi Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut. 2. Tahap Formulasi Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan yang terbaik. 3. Tahap Produksi Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan obat yang diproduksi. Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Kecepatan

obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting step. 2.1.5 Teori Disolusi Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah : Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model) Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film. Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model) Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant). Model Dankwert (Dankwert Model) Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi.

Gambar 2. Tahap- tahap disintegrasi deagregasi dan disolusi ketika obat meningggalkan suati tablet atau matrik granular

2.2 Difusi 2.2.1 Definisi Difusi Difusi merupakan peristiwa mengalirnya atau berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah, sedangkan osmosis adalah perpindahan air melalui membran permeabel selektif dari bagian yang lebih encer ke bagian yang lebih pekat. Contoh peristiwa difusi yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar dan contoh peristiwa osmosis adalah kentang yang dimasukkan ke dalam air garam. Kecepatan difusi ditentukan oleh : Jumlah zat yang tersedia, kecepatan gerak kinetik dan jumlah celah pada membran sel. Difusi sederhana ini dapat terjadi melalui dua cara: a. Melalui celah pada lapisan lipid ganda, khususnya jika bahan berdifusi terlarut lipid b. Melalui saluran licin pada beberapa protein transpor. Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.

Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat rendah. 2.2.2 Mekanisme DIfusi Difusi merupakan proses perpindahan atau pergerakan molekul zat atau gas dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi melalui membran dapat berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu difusi sederhana (simple difusion),difusi melalui saluran yang terbentuk oleh protein transmembran (simple difusion by chanel formed), dan difusi difasilitasi (fasiliated difusion). Difusi sederhana melalui membran berlangsung karena molekul-molekul yang berpindah atau bergerak melalui membran bersifat larut dalam lemak (lipid) sehingga dapat menembus lipid bilayer pada membran secara langsung. Membran sel permeabel terhadap molekul larut lemak seperti hormon steroid, vitamin A, D, E, dan K serta bahan-bahan organik yang larut dalam lemak, Selain itu, memmbran sel juga sangat permeabel terhadap molekul anorganik seperti O,CO2, HO, dan H2O. Beberapa molekul kecil khusus yang terlarut dalam serta ion-ion tertentu, dapat menembus membran melalui saluran atau chanel. Saluran ini terbentuk dari protein transmembran, semacam pori dengan diameter tertentu yang memungkinkan molekul dengan diameter lebih kecil dari diameter pori tersebut dapat melaluinya. Sementara itu, molekul molekul berukuran besar seperti asam amino, glukosa, dan beberapa garam garam mineral, tidak dapat menembus membrane secara langsung, tetapi memerlukan protein pembawa atau transporter untuk dapat menembus membran. Proses masuknya molekul besar yang melibatkan transporter dinamakan difusi difasilitasi. 2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Difusi Berikut adalah factor-faktor yang mempengaruhi difusi : a. b. c. d. Suhu; makin tinggi difusi makin cepat BM makin besar difusi makin lambat Kelarutan dalam medium; makin besar difusi makin cepat Perbedaan konsentrasi; makin besar perbedaan konsentrasi antara dua bagian, makin besar proses difusi yang terjadi.

e. Jarak tempat berlangsungnya difusi; makin dekat jarak tempat terjadinya difusi, makin cepat proses difusi yang terjadi. f. Area tempat berlangsungnya difusi; makin luas area difusi, makin cepat proses difusi.

BAB III KASUS


3.1 Disolusi 3.1.1 Judul : Penentuan Waktu Kelarutan Paracetamol pada Uji Disolusi Obat yang bersifat analgesik dan antipiretik yang banyak dikonsumsi salah satunya adalah paracetamol. Waktu kelarutan obat dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan efektivitas obat tersebut untuk menghilangkan rasa sakit yang diderita. Waktu kelarutan obat dapat diketahui dengan uji disolusi. Uji disolusi adalah metode in vitro yang digunakan untuk mengetahui waktu pelepasan obat dari bentuk sediaan menjadi bentuk terlarut. 3.2 Difusi 3.2.1 Judul : Uji Permeabilitas Intrinsik dan Termodinamika Difusi Piroksikam secara in vitro Efektivitas terapi obat yang digunakan secara topical tergantung dari kemampuannya untuk berpenetrasi ke dalam kulit. Stratum korneum yang merupakan lapisan penghalang kulit menyebabkan sebagian besar obat sulit untuk melewati kulit dengan kecepatan yang cukup untuk mencapai level terapeutiknya walaupun merupakan obat poten. Pada jurnal ini peneliti menggunakan uji permeabilitas intrinsic dan termodinamika difusi peroksikam dalam dapar fosfat pH 3,5 secara in vitro menggunakan alat uji sel difusi model side by side yang dilengkapi dengan membrane kulit kelinci.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Disolusi 4.2 Difusi

You might also like