You are on page 1of 10

PERSPEKTIF HISTORIS TENTANG ILMU ETIKA

(Pengayaan Materi Mata Diklat Etika Organisasi Pemerintah)


Oleh: Akmaluddin ABSTRACT Ethic is catgorised as an old science. It has known since 500-450 BC. Greece has studied ethic scientifically ever since. Up to now ethic field has developed well. Almost all Institutes or Universities study ethic science although as one of the basis of other knowledge. This article will elaborate the development of ethic from the application in the nations, relagion followers, and from the knowldge point of view. This article will see the ethic of Greece, middle age, Hinduism ethic, Arabic ethic (pre Islamic and Islamic era) an modern ethic as well, (applied ethic). Kata Kunci: Etika Yunani, etika abad Pertengahan, etika Hindu, etika Islam, dan etika terapan. Etika Pada Bangsa Yunani BANYAK sumber yang mencatat bahwa penyelidikan mengenai etika secara ilmiah dilakukan pertama kali oleh bangsa Yunani. Mereka adalah para ahli filsafat yang muncul sekitar tahun 500-450 SM Nama Socrates (469-399 SM) disebut pertama kali sebagai orang yang mula-mula manaruh perhatian terhadap penyelidikan etika dan hubungan manusia satu dengan manusia lainnya, dan tidak memperhatikan apa yang menjadi perhatian ahli-ahli filsafat sebelumnya yang senang menyelediki alam dan benda-benda langit, karena menganggap bahwa penyelidikan semacam itu kurang berguna. Dia berpendapat bahwa yang seharusnya dipikirkan ialah perbuatan yang mengenai kehidupan. Karena pandangannya inilah Socrates diakui sebagai perintis ilmu akhlak, karena dia merupakan orang pertama yang secara sungguh-sungguh mengkaji tentang hubungan manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Dia berpendapat bahwa etika dan bentuk perhubungan itu tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan kepada ilmu pengetahuan. Sehingga dia berpendapat: Keutamaan itu ialah ilmu. (Ahmad Amin, 1993:42). Pandangan Socrates mengenai kebajikan, yakni apa yang benar dan apa yang baik, yang dinamakan filsafat moral rasionalistik. Filsafat moral rasionalistik merupakan pandangan yang menganggap pemikiran atau rasionalitas sebagai faktor eksklusif atau dominan dalam tingkah laku bermoral. (Lavine, 2002: 12). Tidak diketahui pandangan Socrates tentang tujuan yang terakhir mengenai akhlak, mengenai ukuran yang dipergunakan untuk mengukur segala perbuatan baik dan buruk, sehingga lahirlah beberapa golongan yang bermacam-macam, dan berbeda-beda pendapatnya tentang tujuan akhlak, sedang semuanya mendasarkan kepada Socrates dan menganggap sebagai pemimpin. Sesudah Socrates lahirlah

Drs. Akmaluddin, adalah Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Keagamaan Denpasar.

beberapa paham tentang etika yang bermacam-macam sekarang ini.

sejak zaman itu sampai

Golongan yang muncul setelah Socrates adalah Cynics dan Cyrenics. Keduanya pengikut Socrates. Pendiri paham Cynics adalah Antisthenes, yang hidup pada tahun 444-370 SM. Di antara pelajaran mereka ialah bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia itu yang beretika dengan kahlak ketuhanan. Di antara pemimpin paham ini yang terkenal ialah Diogenes (w. 323 SM). Dia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan peranannya. Dia memakai pakaian yang kasar, makan makanan yang buruk dan tidur di atas tanah. Adapun Cyrenics, pemimpin mereka adalah Aristippus. Ia dilahirkan di Cyrena (kota di Barka di utara Afrika). Paham mereka bertolak belakang dengan Cynics, yang berpendirian bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah satu-satunya tujuan yang benar untuk hidup, dan suatu perbuatan disebut utama bila timbul kelezatan yang lebih besar (lihat: paham hedonisme). Tatkala Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu menghindari kelezatan dan menguranginya sedapat mungkin, maka Cyrenics berpendapat sebaliknya, bahwa kebahagiaan itu adalah mencapai kelezatan dan mengutamakannya. (Amin, 1993: 142-143). Lalu datang Plato pada 427-347 SM, seorang ahli filsafat asal Athena, murid Socrates. Dia berpendapat bahwa di dalam jiwa itu ada kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari perimbangan kekuatan itu dan tunduknya kepada hukum akal. Menurutnya, pokok-pokok keutamaan itu ada empat: hikmat kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan, dan keadilan. Seluruh ajaran Plato tersebut bermuara pada mencari kebahagiaan yang sesungguhnya. (Rappar, 1991: 5). Tokoh lain adalah Aristoteles (394-322 SM) seorang murid Plato, yang membangun paham yang khas, yang mana pengikutnya dinamai Peripatetics. Aristoteles barangkali merupakan orang serba bisa pertama dan terbesar sepanjang sejarah. (Strathem, 2001). Pemikirannya tentang etika adalah, bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki oleh manusia mengenai segala perbuatannya ialah bahagia. Menurutnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal dengan sebaik-baiknya. Ia pencipta teori serba tengah. Tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah di antara kedua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah antara boros dan kikir; keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut. Lalu Stoics dan Epicurics. Mereka berbeda penyelidikannya tentang akhlak. Kaum Stoics berpandangan seperti halnya paham Cynics, namun paham Stoics ini diikuti oleh banyak ahli filsafat di Yunani dan Romawi, dan pengikutnya yang termasyhur pada permulaan kerajaan Roma ialah Seneca (6 SM 65 M); Epicetus (60 140 M); dan Kaisar Marcus Orleus (121 180 M). Adapun Epicurics, mereka mendasarkan pandangannya sesuai pandangan Cyrenics. Pendiri paham mereka ialah Epicuros. Di antara pengikutnya pada zaman baru ialah Gassendi, seorang ahli filsafat Perancis (1592-1656). Dia membuka sekolahan di Perancis dengan menghidupkan paham Epicuros. Sekolah itu telah

menghasilkan pemikir besar Perancis seperti Mouliere, dan banyak orang-orang Perancis yang termasyhur. Pada akhir abad ke-3 Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok etika yang tersebut dalam Taurat, dan memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan Allah adalah sumber segala akhlak. Tuhan Allah-lah yang membaut segala patokan yang harus kita pelihara; juga yang menjelaskan arti baik dan arti jahat. Baik menurut arti yang sebenarnya adalah kerelaan Tuhan Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Para pendeta menempati posisi sebagaimana para ahli filsafat di Yunani. Sebagian ajaran Nasrani cocok dengan ajaran ahli-ahli filsafat Yunani terutama Stoics. Tidak banyak perbedaan di antara kedua ajaran ini (Filsafat dan Agama Nasrani) mengenai baik dan buruk. Perbedaan yang ada hanyalah mengenai dorongan jiwa untuk melakukan perbuatan. Menurut ahli-ahli filsafat Yunani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan atau kebijaksanaan. Sedang menurut agama Nasrani, pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu ialah cinta kepada Tuhan Allah dan iman kepada-Nya. Agama Nasrani mengharap kepada manusia supaya berusaha dengan sungguhsungguh mensucikan dirinya, baik fikiran maupun perbuatannya. Dan agama itu menjadikan ruh, suatu kekuasaan mengenai badan dan keinginan. Oleh karena itu, kebanyakan pengikut pertama dari agama ini, suka mengabaikan badannya, menjauhi dunia yang fana, dan suka kepada zuhud, ibadah dan menyendiri. Etika pada Abad Pertengahan Pada zaman pertengahan di Eropa, filsafat telah menjadi musuh di Gereja, termasuk di dalamnya juga masalah etika. Gereja pada masa itu memerangi filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa Hakekat telah diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu adalah benar; maka tidak ada artinya lagi menyelidiki filsafat Plato, Aristoteles, dan Stoics untuk memperkuat ajaran Masehi dan memcocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang agama Nasrani dibuang sejauh mungkin, dan banyak ahli gereja dikatakan ahli filsafat dengan arti ini. Amin, 1993:146). Ahli filsafat yang lahir pada masa ini, filsafatnya adalah paduan dari ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Di antara mereka yang termashur adalah Abelard, seorang ahli filsafat Perancis (1079-1142 M) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat agama dari Itali (1226-1274 M). Etika pada Agama Hindu Ajaran Hindu berdasarkan kitab Veda. Di samping mengandung dasar-dasar ketuhanan juga mengajarkan prinsip-prinsip etika yang wajib dipegang teguh oleh pengikut-pengikutnya. Etika mereka berdasar pada ajaran ketuhanan yang mereka anut yang termaktub dalam kitab Veda tersebut. Prinsip tersebut ialah sifat patuh dan disiplin dalam melaksanakan upacaraupacara ajarannya sebagaimana mestinya. Manakala seseorang dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna, dapatlah dipandang sebagai orang yang

mencapai derajat kemuliaan yang sesungguhnya. Sebaliknya, barangsiapa melalaikan hal tersebut, kurang hati-hati atau salah dalam mengerjakan upacara keagamaan, maka hal itu berarti dosa dan sumber terbitnya kejahatan. Tanda-tanda lahir yang dipandang baik dalam etika menurut Hindu ialah: kemerdekaan, kekayaan, kebahagiaan yang dapat dicapai manakala seseorang itu melaksanakan upacara keagamaan dengan sempurna. Sedang alamat-alamat kejahatan ialah: perhambaan, sakit, fakir, dan celaka, yaitu timbul akibat tidak melaksanakan upacara agama dengan sungguh-sungguh. Murtadha Muthahhari (1995: 75-76), menyimpulkan bahwa sistem etika agama Hindu bercorak emosional, sebab sandaran etika mereka adalah perasaan. Mirip dengan sistem etika dan etika Kristiani yang bertumpu atas cinta kepada Tuhan. Hal ini antara lain dapat ditemukan dalam pikiran Gandhi, yang dipengaruhi oleh kitab Upanishad. Dalam karyanya yang berjudul: Inilah Agamaku, Gandhi menuangkan ajarannya dalam tiga dasar utama berikut: 1. Makrifat atau pengenalan diri (authology), dalam terjemahan Persia disebut dzat (diri), namun menurut Gandhi diterjemahkan nafs (jiwa). Dalam konteks makrifat, sandaran budaya Hindu adalah pengenalan diri. Manusia harus menyingkap dirinya. Semua riyadhah (palatihan diri) dalam agama Hindu bertujuan ke sana. 2. Barang siapa mengetahui dirinya, maka dia mengetahui Tuhan (Theology), dan mengetahui dunia (Cosmology). Dua dasar tersebut benar adanya. Nabi dan Imam Ali pun pernah mengungkapkannya. Imam Ali berkata: Pengetahuan diri adalah pengetahuan yang paling berguna. Sedang Nabi bersabda: Siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. 3. Di dunia hanya ada satu kekuatan dan kebaikan. Kekuatan itu adalah kekuatan dalam menguasai diri. Barang siapa telah menguasai dirinya, maka ia telah menguasai dunia. Dan di dunia hanya ada satu kebaikan. Kabaikan itu adalah menyayangi dan mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri. Atas dasar inilah kita mengatakan bahwa etika Hindu berdasar pada cinta, seperti halnya etika Kristiani. Jadi menurut teori ini, etika adalah berbuat baik dalam arti mencintai orang lain. Etika Pada Bangsa Arab 1. Etika Bangsa Arab Pra Islam Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada faham etika tertentu, sebagaimana kita ketahui di kalangan bangsa Yunani, seperti Epicuros, Plato, Aristoteles dan sebagainya. Yang demikian itu karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di negara yang telah maju. Pada waktu itu bangsa Arab hanya mempunyia ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli-ahli syair, yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan dan menjauhkan diri dari kerendahan. Ajaran tentang etika bangsa Arab Pra-Islam antara lain tergambar dari syair-syair yang dibuat para ahli syair pada saat itu dan dihapalkan banyak orang. Karena pada saat itu mereka masih buta huruf, tetapi memiliki hafalan yang sangat kuat. Beberapa syair tersebut antara lain:

Barang siapa menepati janji tidak akan tercela. Dan membawa hatinya menuju kebaikan yang menenteramkan. Amir Ibnud Dharbi Ad-Dawany, mengatakan: Pikiran itu tidur dan nafsu itu bergejolak. Barang siapa mengumpulkan antara yang hak dan yang batil, tidak akan terjadi. Dan yang batil itu lebih utama baginya, maka sesungguhnya penyesalan-penyesalan itu akibat dari kebodohan. Dan ia juga pernah berkata kepada anaknya, Usaid untuk melakukan sifat-sifat terpuji: Berbuatlah hartawan dengan hartamu, muliakanlah tetanggamu, bantulah orang yang meminta pertolongan kepadamu, hormatilah tamumu dan jagalah dirimu dari perbuatan meminta-minta kepada orang lain. (Musa, 1963: 7). Aktsam Ibn Shaifi, mengatakan: Jujur adalah pangkal keselamatan; dusta akan merusakkan; kejahatan adalah kekerasan; ketelitian adalah sarana untuk menghadapi kesulitan, dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Bila prasangka adalah merusakkan dan buruk, maka prasangka adalah kewaspadaan. Amar bin Ahtam pernah berkata kepada budaknya: Sesungguhnya kikir itu adalah perangai pencuri, bermurahlah dalam cinta, karena sesungguhnya diriku dalam keududukan suci dan yang berkedudukan tinggi adalah yang berbelas kasih. Setiap orang mulia akan takut mencelakakanmu, dan bagi kebenaran memiliki jalannya sendiri bagi orang yang baik. (Musa, 1963: 10). Dari beberapa contoh syair di atas, dapat dimengerti bahwa bangsa Arab pra-Islam telah memiliki kesadaran pemikiran dalam bidang akhlak, walaupun nilai-nilai yang tercetus dalam syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof Yunani kuno. 2. Etika Bangsa Arab Masa Islam Setelah Islam datang di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, maka Islam tidak menolak setiap kebiasaan yang terpuji yang terdapat pada bangsa Arab, bahkan mengakui apa-apa yang dipandangnya tepat untuk membina umat serta menolak apaapa yang jelek. Islam datang kepada mereka dengan membawa etika yang lebih mulia yang menjadi dasar kehidupan umat manusia, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, maupun sebagai bagian dari alam semesta ini. Setelah Al-Quran turun, maka lingkaran bangsa Arab dalam segi etika dari sempit menjadi luas dan berkembang menuju ke arah yang jelas sasarannya.

Melalui petunjuk Al-Quran Allah menetapkan beberapa keutamaan seperti benar dan adil yang harus dilaksanakannya; dan menjadikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat sebagai pahala orang-orang yang mengikutinya. Demikian juga Allah menjadikan lawan keutamaan itu, seperti dusta, kezaliman, dan sebagainya sebagai larangan yang harus dijauhi. Dan menjadikan kesengsaraan di dunia dan siksa di akhirat sebagai hukuman bagi orang yang melakukannya. Melalui firman-Nya, Allah telah mengarahkan etika bangsa Arab yang telah rusak, seperti firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan melarang berbuat keji, munkar dan kejahatan. Dia memberi nasehat kepada kamu, mudah-mudahan kamu sekalian ingat (mau mengambil pelajaran). (Q.S. 16: 90). Barang siapa yang berbuat kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka tentu kami hidupkan dia dengan penghidupan yang baik, dan kami balas ia dengan pahala yang labih dari apa yang telah ia lakukan. (Q.S. 16: 97). Dan Allah tidak senang kepada orang-orang yang merusak. (Q.S. 28: 77). Selanjutnya Allah telah mendidik Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan pendidikan bagi kita semua dengan sebaik-baik etika sebagai firmanNya: Jadilah engkau (Muhammad) pemaaf, dan suruhlah mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dalam keadaan beliau sebagai pemaaf, beliau juga menyambung tali tali persaudaraan dengan orang-orang yang memutuskannya dan memberi maaf kepada orang-orang yang berbuat jelek kepada beliau. Dalam perintah berbuat maruf terdapat ketakwaan terhadap Allah SWT, memelihara mata dari hal-hal yang diharamkan, dan menjaga lidah dari berkata dusta. Dan dalam berpaling dari orang-orang yang bodoh, terdapat pensucian jiwa dari pertengkaran-pertengkaran orang-orang yang jahat. Demikian pula Allah telah memerintahkan kepada beliau agar mempunyai perangai yang lembut, kasih sayang terhadap umat manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran berikut: Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.S. 2: 128). Rasulullah sangat bijaksana dalam memelihara perikesopanan ini, sehingga beliau jadi teladan yang utama bagi umat manusia. Hal ini dapat dibaca dalam salah satu sabdanya: Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk melaksanakan sembilan perkara, dan juga aku perintahkan kepadamu (untuk melaksanakannya), yaitu: (1) Ikhlas saat sembunyi dan terang-terangan; (2) Adil di saat suka atau marah; (3) Sederhana di saat kaya dan miskin; (4) Dan agar kau memberi maaf kepada orang 6

yang menganiayaku; (5) Memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadaku; (6) Menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang yang telah memutuskannya kepadaku; (7) ; (8) Ucapanku adalah dzikir; (9) Dan pandanganku adalah pengajaran. Dan di lain tempat Nabi bersabda: Bukannya kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah hati. (HR. Bukhari Muslim). Sesudah Rasulullah wafat, maka para sahabat merupakan orang-orang pertama yang menjadi kader penerus ajaran etika Nabi, akhlaqul karimah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dalam tingkah laku sehari-sehari sesuai petunjuk yang telah diajarkan dalam sunnah. Demikian selanjutnya diteruskan oleh tabiin dan tabiit tabiin, ulama dan sampai zaman kita sekarang ini. Tetapi tidak begitu banyak dari bangsa Arab, yang menyelidiki etika berdasar ilmu pengetahuan. Karena mereka telah cukup mengambil etika dari agama, dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengani dasar baik dan buruk. Oleh karena itu karya-karya tentang etika yang dihasilkan para ahli pada zaman itu banyak berciri religius, dan menjadikan agama sebagai rujukan karya-karyanya. Seperti dapat kita lihat dalam karya Al-Mawardi dan Al-Ghazali. Di antara tokoh-tokoh yang masyhur melakukan penyelidikan kahlak berdasarkan ilmu pengetahuan adalah Abu Nashar Arabi (w. 339 H). Demikian juga Ali Ibnu Sina (370-429 H). Karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Boleh jadi penyelidik etika bangsa Arab yang terbesar adalah Ibnu Miskawaih (w. 421 H) dengan kitabnya yang terkenal Tahdzibul Akhlaq Wa Tat-hir Al-Araq. Dia telah mensintesakan berbagai ajaran moral, baik dari Aristoteles, Plato, Galinus, dan dari ajaran Ialam. Akan tetapi tidak banyak dari ulama bangsa Arab yang mengikuti jejak langkahnya. Alangkah baiknya bila mereka memperluas teori-teorinya sehingga akan menghasilkan apa yang telah tertinggal, dan menempatkan apa-apa yang telah tetap kebenarannya dari pengetahuan baru, di tempat yang tampak kesalahannya dari pengetahuan lama. (Amin, 1993: 149). Etika Pada Zaman baru Pada akhir abad ke-15 mulailah kebangunan di Eropa, yang disebut masa pencerahan atau Renaisance. Ahli-ahli pengetahuan mulai menghidup suburkan filsafat Yunani Kuno. Demikian juga Itali, dan berkembang di seluruh Eropa. Akal dibangunkan dari tidurnya, dan mulailah dikemukakan segala sesuatu untuk diselidiki dan dikecam, sehingga tegaklah bendera berpikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru.

Di antara yang memperoleh perhatian untuk diselidiki dan dikecam adalah soalsoal etika yang dibawa oleh bangsa Yunani dan bangsa-bangsa kemudian. Ahli-ahli pengetahuan baru, mengkritik dan memperluas penyelidikannya, dengan bantuan ilmu-ilmu pengethauan lainnya yang telah dikuasainya, seperti ilmu jiwa dan ilmu masyarakat. Mereka suka menyelidikinya menurut kenyataan dan tidak mengikuti gambarangambaran khayal, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia. Pandangan baru ini membawa perubahan dalam menilai keutamaan. Keutamaan berbuat dermawan misalnya, tidak lagi mempunyai nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan sosial menjadi beroleh nilai dan harga yang belum pernah diperolehnya pada masa lampau. Penyelidikan-penyelidikan baru, mampunyai jasa dalam menentukan macam-macam hak dan kewajiban dan menimbulkan perasaan perseorangan dan tanggung jawabnya di hadapan masyarakat dan terhadap dirinya sendiri. Pada zaman ini timbullah reformasi pemikiran filsafat, termasuk di dalamnya etika. Ahli-ahli pikir zaman ini tidak puas terhadap pemikiran lama. Di antara tokohtokohnya antara lain: 1. Descartes (1596-1650). Ia seorang ahli filsafat Perancis yang tergolong seorang pendiri filsafat baru. Di antara pemikirannya yang terpenting adalah bahwa segala persangkaan yang berasal dari adat kebiasaan harus ditolak. Untuk menerima sesuatu harus didahului oleh penyelidikan. Akallah yang menjadi pangkal untuk mengetahui dan mengukur segala sesuatu. (Lavine, 2002), 2. Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Keduanya memindah paham Epicuros ke paham Utilitarianisme. Yaitu paham yang menilai baik dan buruk perbuatan itu ditinjau dari kecil besarnya manfaatnya bagi manusia. Jadi yang dinamakannya klebaikan tertinggi (summum bonum) itu ialah utility (manfaat). Dari penyelidikannya ternyat bahwa tiap-tiap pekerjaan manusia itu diarahkan kepada manfaat. Jadi ukuran baik dan buruknya suatu perbuatan manusia itu harus diukur dari segi manfaat yang ditimbulkannya. (Aiken, 2002: 167-196. 3. Green (1836-1882) dan Herbert Spencer (1820-1903). Keduanya mencocokkan paham pertumbuhan dan evolusi atas akhlak. Pengikut paham ini berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan etika itu tumbuh secara sederhana dan mulai berangsur meningkat sedikit demi sedikit, dan ia berjalan ke arah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Maka perbuatan itu baik apabila dekat dengan cita-cita dan buruk apabila jauh daripadanya. Tujuan manusia dalam hidup ini akan mencapai cita-cita atau mendekatinya sedapat mungkin. Tiap-tiap perbatan tumbuh dan mengingkat melalui tiga fase: (a) Permulaan dari titik tertentu; (b) Berangsur berjalan ke arah tujuan; (c) Tujuan yang akan dicapainya. (Aiken, 2002: 198-277). 4. Ahli-ahli ilmu pengetahuan bangsa Jerman seperti Spinoza (1632-1677); Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1831).

5. Ahli-ahli bangsa Perancis seperti Cousin (1792-1867) dan August Comte (17-981857). Kajian Etika Masa Kini Jika dipandang pada skala dunia, selama kira-kira tiga dasawarsa terakhir ini wajah filsafat moral berubah cukup radikal. Tidak bisa disangkal, dalam situasi kita sekarang ini, etika sedang naik daun. Setidaknya pernyataan ini diungkapkan oleh K. Bertens (1994: 263), dalam bukunya yang berjudul Etika. Menurut Bertens, kemajuan kajian etika akhir-akhir ini terutama tampak pada etika terapan (applied ethics) atau kadang-kadang disebut filsafat terapan (applied philosophy). Pada tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak filsuf menaruh minat pada etika terapan, yaitu etika yang menangani masalah-masalah moral secara praktis, bukannya menangani teori moral yang abstrak semata-mata. (Held, 1991: 9). Munculnya kecenderungan baru dalam pengkajian etika, dari abstrak ke praktis ini, lalu melahirkan aliran Metaetika (meta berarti: melebihi) pada awal abad ke-20. Aliran Metaetika menempatkan diri pada tahap lebih tinggi daripada membahas masalah-masalah etis. Mereka tidak menyelelidiki baik buruknya perbuatan manusia, melainkan mengarahkan segala perhatiannya kepada bahasa moral. Bagi Metaetika, pertanyaan pokok adalah: apa yang kita maksudkan, jika suatu perbuatan disebut baik atau buruk, layak atau tidak layak dan sebagainya, bila dipakai dalam konteks etis? Metaetika menjadi aliran filsafat moral yang dominan selama enam dekade pertama dalam abad ke-20 di negara-negara berbahasa Inggris. (Bertens, 1994: 264). Perkembangan pengkajian etika ke etika terapan disebabkan beberapa alasan berikut: Pertama, perkembangan pesat di bidang ilmu dan teknologi menimbulkan banyak persoalan etis yang besar, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu biomedis (seperti adanya bayi tabung, cloning, inseminasi buatan, euthanasia, dll). Kedua, munculnya iklim moral sekitar tahun 1960-an yang mengundang minat baru untuk etika. Misalnya di AS muncul pergerakan menuntut civil rights (hak-hak warga negara), khususnya persamaan hak bagi golongan kulit hitam; juga tuntutan terhadap persamaan hak wanita (emansipasi wanita). Pada akhir 1960-an dan permulaan 1970-an muncul juga revolusi mahasiswa di berbagai negara Barat, salah satu puncaknya terjadi di Perancis tahun 1968, yang menuntut hak mahasiswa untuk diikutkan dalam pengurusan perguruan tinggi dengan diwakili dalam organorgan yang menentukan kebijakan akademis. Revolusi itu bisa dilihat sebagai perjuangan menuntut hak. Lalu ada berbagai protes dilontarkan terhadap tentara AS karena keterlibatannya dalam perang Vietnam. Protes-protes itu diwarnai suasana etis. Suatu gejala lain adalah ketidaksenangan dan penolakan terhadap persenjataan nuklir dan perlombaan senjata yang sedang berlangsung antara dua negara adikuasa, AS dan Uni Soviet (sekarang Rusia) bersama sekutu masing-masing. Semua gejala itu menunjukkan bahwa etika terapan dilahirkan di tengah suasana yang jelas ditandai kepedulian etis yang mendalam.

Etika terapan merupakan istilah baru, tetapi sebetulnya yang simaksudkan dengannya bukan hal baru dalam sejarah filsafat moral. Sejak era Plato dan Aristoteles sudah ditekankan bahwa etika merupakan filsafat praktis, artinya, filsafat yang ingin memberikan penyuluhan kepada tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus kita lakukan. Sifat praktis itu bertahan sepanjang sejarah filsafat. Dalam abad pertengahan, Thomas Aquinas jelas melanjutkan tradisi filsafat praktis ini dan menerapkannya di bidang teologi moral. Pada awal zaman modern orientasi praktis dari etika berlangsung terus, diawali dengan munculnya etika khusus (ethica specialist) yang membahas masalah etis tentang suatu bidang tertentu. (Bertens, 1994). Berbagai kalangan misalnya, berargumentasi bahwa para filsuf perlu mengambil peran aktif di bidang politik. Mereka berpendapat bahwa, kita seharusnya mengambil sikap dan tindakan atas masalah-masalah yang yang menyangkut kebijakan umum, sebagai filsuf dan lewat organisasi kita, bukan hanya sebagai warga negara biasa. (Held, 1991: 10). Kemunculan etika terapan dalam konteks yang lebih luas dapat dilihat di berbagai bidang profesi dengan adanya apa yang disebut etika profesi bagi tiap-tiap profesi bersangkutan, seperti etika profesi kedokteran; etika profesi kewartawanan, etika profesi keguruan, etika profesi kehumasan, dll. Ini menunjukkan bahwa bidang kajian etika telah mengambil wilayah praktis yang sangat luas, yang disebut etika terapan.[] DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim. Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak); Penerjemah, Farid Maruf. Jakarta : Bulan Bintang, Cet. Ke-7, 1993. Bertens, K. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994. Held,Virginia Etika moral : Pembenaran tindakan sosial. Judul asli: Rights and goods : Justify social action; Penerjemah, Y. Ardy Handoko. Jakarta : Erlangga, 1991. Lavine, T.Z. Petualangan filsafat dari Socrates sampai ke Sartre; dari judul asli: From Socrates to Sartre: the Philosophic quest; Penerjemah, Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama. Yogyakarta : Penerbit Jendela, 2002. Muthahhari, Murtadha Falsafat akhlak : Kritik atas konsep moralitas Barat. Bandung : Pustaka Hidayah, 1995. Musa,Yusuf Falsafah akhlaq fil Islam, Kairo, 1963. Aiken, Henry D. Abad ideologi; Terjemahan dari: The Age of ideology; Penerjemah, Sigit Djatmiko. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2002. Rapar, J.H. Filsafat politik Plato, Jakarta : Rajawali, Cet. Ke-2, 199155. Strathern, Paul, 90 menit bersama Aristoteles; dari judul asli: Aristoteles in 90 minutes; Penerjemah, Frans Kowa. Jakarta : Erlangga, 2001.

10

You might also like