You are on page 1of 50

KATEKESE DASAR

DRS. J. WIDAJAKA PRANATA, LIC CM

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI WIDYA SASANA MALANG 2010

Pendahuluan Sejak Konsili Vatikan II terjadilah pembaharuan katekese. Beberapa abad lamanya Gereja memakai katekismus tradisional. Sejak Konsili Trente sampai dengan katekismus yang terkenal dari Paus Pius X, terdapat begitu banyak bentuk2 katekismus. Pada waktu itu katekese dipahami sebagai kursus tentang Ajaran katolik yang harus dihafalkan, diterangkan dan diterapkan dalam kehidupan. Sifat kursus tersebut adalah jelas, sintetis, dalam bentuk tanya jawab. Isinya berupa kebenaran-kebenaran iman untuk keselamatan, perintah-perintah atau norma-norma untuk dipraktikkan dan sarana-sarana adikodrati untuk dipakai (Rahmat dan Sakramen). Katekese demikian dinilai lebih bersifat Teologis daripada pastoral tentang Kabar Gembira. Bahasanya yang dipakainya adalah terlalu abstrak. Isinya miskin Kitab Suci dan Liturgi. Metodenya bersifat deduktif. Pengajarannya bersifat doktrinal dan Gereja dipandang lebih sebagai Gudang kebenaran. Katekese yang bersifat katekismus ini tampak terkait dengan suatu zaman tertentu yang memiliki kekurangan yang terdapat dalam Metode Katekese tersebut dari berbagai aspek, misalnya sosial, keluarga dan komunikasi. Karena itu timbullah gerakan pembaharuan. Ada berbagai upaya sebelum Konsili Vatikan II untuk pembaharuan tersebut, misalnya ensiklik Acerbo nimis (1905), dekrit Provido sane 1935 dan Kongres Kateketik Internasional di Roma (1950). Pembaharuan katekese ini disebabkan karena perkembangan ilmu-ilmu manusia sejak permulaan abad ke 20. Demikian pula perkembangan pendidikan, teologi, sarana analisa dan penafsiran mempengaruhi pembaharuan katekese. Pembaharuan pertama lebih bersitat pedagogis dan pembaharuan kedua lebih bersifat teologis dan pastoral. A. Periode pertama Pembaharuan Katekese bersifat Pedagogis. (Akhir abad ke 19 sampai dengan Perang Dunia ke 2). Pembaharuan ini lebih dipusatkan kepada kekuatiran akan metode pengajaran agama. Hal ini disebabkan oleh pengaruh perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi. Tokoh-tokohnya adalah O.Wilimann, J.F.Herbart (metode induktif), J.Dewey, G.Kershensteiner dan A.Ferriere (metode aktif). Pokok persoalannya adalah bagaimana mengajar katekismus lebih baik dengan pusat perhatian kepada anak-anak dengan kondisi riil. Beberapa contoh realisasi dari pembaharuan tersebut adalah pada tahun 1903-1912 diadakan Kongres di Monaco dan Wina. Pada waktu itu metode katekese yang terkenal adalah Metode Monaco (Preparasi Eksposisi Eksplikasi Riepilogi Applikasi). Demikian pula terdapat beberapa tokoh pembaharuan di Jerman dan Austria, yaitu H.Stieglits, G.Gotzel, A.Weber, J.Gottler, W.Pichler, M.Gatterer, M.Pfiepgler (1925): Einheitskatechismus (P.Monnichs). Demikian pula di Perancis, yaitu C.Quinet, J.M.Quinet, J.M.Dingeon, H.Lubienska (1947):Katekismus Perancis.

B. Periode kedua Pembaharuan Katekese bersifat Teologis dan Pastoral. (Perang Dunia ke 2 sampai dengan Konsili Vatikan II) Pembaharuan ini ditandai oleh persoalan tentang isi atau pesan katekese yang disebut Kerygmatis (Pewartaan). Pembaharuan ini dipengaruhi oleh perkembangan Teologi Pewartaan di Fakultas Teologi di Innsbruck. Pusat persoalan mengenai isinya. Timbul kebutuhan untuk mengganti rumusan sistematis dan bersifat skolastik dari katekismus tradisional dengan suatu presentasi lebih bersifat kerygmatis, Kristosentris, pentingnya Sejarah Keselamatan, dimensi Kitab Suci dan liturgi dari Kabar Gembira, dan konsepsi katekese sebagai pendidikan iman. Tokoh-tokohnya adalah J.A. Jungmann, F.X. Arnorld, G.Delcuve, J.CoIomb, Guy de Bretagne, F.Scheibmayer, K.Tilman, J.Hofinger, dsbnya. Lembaga-lembaga kateketik yang terkait dengan periode ini adalah Institut Kateketik di Paris (1952), Institut lnternasional Lumen Vitae di Brussel (katekismus nasional Jerman 1955), Pekan Internasional Katekese Misioner di Eichstatt (1960), Katekismus Austria (1960), Direktorium katekese nasional di Perancis (1964).

Pembaharuan katekese ini berlanjut setelah Konsili Vatikan II. Karena itu di bawah ini kami akan menunjukkan bagaimana pengaruh Konsili Vatikan II dan sesudahnya terhadap pembaharuan katekese tersebut. C. Konsili Vatikan II dan Katekese. Pengaruh Konsili Vatikan II terhadap katekese terus berlangsung. Pengaruh ini merupakan Zaman baru. Sebenarnya Konsili Vatikan II tidak secara langsung membahas katekese, tetapi banyak unsur baru masuk dan mewarnai katekese, misalnya, konsepsi baru tentang Wahyu (Dei Verbum), kesadaran baru tentang Gereja (Lumen Gentium), tentang lbadat (Sacro Sanctum Concilium), tentang hubungan Gereja dan Dunia (Gaudium et Spes), tentang Iman dan Pewartaan (Ad Gentes), sikap baru terhadap manusia, yang dekat dan jauh dari iman kristiani (kebebasan beragama), yaitu Dignitatis Humanae, Unitatis Redintegratio, Ekumenis, Nostrae Aetate. Semuanya ini mempengaruhi lebih dalam pembaharuan katekese. Pembaharuan ini meliputi berbagai dimensi baru bagi tugas katekese, yaitu tuntutan Antropologis, Kitab Suci sebagai pusat kegiatan katekese, dimensi sosio-politik, prioritas kepada orang dewasa, komunikasi, audiovisual, pentingnya komunitas. D. Zaman sesudah Konsili Vatikan II: Perubahan dan Problematik. Di dalam bidang kateketik periode setelah Konsili Vatikan II ditandai oleh usaha luas untuk membangun kembali dan perbaikan-perbaikan katekese. Di bawah ini ada beberapa gejala dan unsur-unsur yang khas yang dapat digarisbawahi, misalnya: 1. Perbaikan-perbaikan mengenai sarana katekese, yaitu universitas, pusat katekese, lembaga, buku-buku, majalah, dsbnya.

2. Penekanan-penekanan baru dalam konsepsi dan praktik katekese, yaitu dimensi antropologis, penggunaan KS., dimensi sosial dan politik dari katekese, pemikiran kembali pengajaran agama di sekolah, pentingnya komunikasi dan mass-media dalam katekese, dsbnya. 3. Situasi, gerakan dan problematik umum mengarah kepada krisis dari sistem tradisional: organisasi-organisasi, pribadi-pribadi, isi, metode, untuk mencari jalan baru dan pandangan masa depan yang baru, secara praktis dalam semua aspek dasar dari kegiatan katekese: struktur, pelaksana, orang yang dituju, isi, metode, tempat, sarana, bahasa. 4. Suasana persaingan dan krisis identitas: menimbulkan kebingungan dan tuduhan, perasaan ketidakpastian dan kecemasan, pertanyaan mendalam tentang arti dan bentuk/ciri khas dari kegiatan katekese di dunia dewasa ini. Karena itu kita seringkali berbicara tentang Identitas dan Dimensi dari Katekese baru. Sekarang ini kita ingin mempelajari lebih dalam HakIkat dan Tugas Katekese dengan Terang Konsili Vatikan II dan perkembangan lebih lanjut; Identitas dari fungsi katekese; Kedudukan katekese dalam praktik Gereja. Beberapa karakteristik dari wajah katekese yang diperbaharui dalam kesadaran Gereja dewasa ini. Kita harus menjamin sikap dasar dari katekese. Kita hendak berhadapan dengan berbagai masalah praktik katekese, yaitu apakah katekese itu?, Apakah tanggung jawab katekese dalam Gereja?, Di manakah tempat katekese dalam Gereja?, Kapan kita berkatekese? Pembahasan ini meliputi tiga bagian: 1. Katekese dilihat dalam konteks umum dari kegiatan pastoral Gereja, sebagai bagian dari keseluruhan praktik Gereja. Gambaran umum praktik Gereja dan kemudian identitas katekese. 2. Memperdalam tugas dan hakikat katekese dalam arah tiga realitas atau kategori dasar: Sabda Allah, Iman sebagai jawaban, dan Gereja sebagai tempat dan subjek. Katekese sebagai Pelayanan Sabda dan Kabar Keselamatan Kristus, katekese sebagai Pembinaan Iman dan sebagai Perantaraan dan Pengalaman Gereja. 3. Beberapa hubungan katekese dengan berbagai momentum dari kegiatan pastoral Gerejawi: pelayanan kasih, kehidupan komunitas, perayaan. Diperdalam pula hubungannya dengan diakonia, koinonia, liturgi.

BAGIAN PERTAMA: KATEKESE DAN PRAKTIK GEREJA


BAB PERTAMA: GAMBARAN UMUM PRAKTIK GEREJA
I.1. Merumuskan kembali tugas Gereja dalam dunia dewasa ini. Sebelum kita membahas katekese, terlebih dahulu kita harus memahami tugas Gereja terutama dalam dunia dewasa ini sesuai dengan pandangan Konsili Vatikan II. Di bawah ini kami akan mengajukan beberapa persoalan dasar yang perlu dipikirkan berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab Gereja, sebagai berikut: Apa saja yang merupakan tugas dan tanggung jawab Gereja itu? Bagaimanakah kegiatan Gereja diatur dan diarahkan ke suatu program utuh? Ke arah manakah dewasa ini orang kristen harus berjalan untuk melaksanakan tugas misi? Gereja yang bagaimanakah yang ingin kita bangun? Persoalan dasar di atas ini harus dipikirkan secara mendalam setelah Konsili Vatikan II. Berdasarkan banyak persoalan yang sudah lama timbul, yaitu misalnya hubungan iman dan politik, iman dan kebebasan, pewartaan dan perkembangan manusia, pewartaan dan sakramen, Injil dan kebudayaan, dsbnya, dengan mudah kita mengetahui kebutuhan untuk merumuskan kembali tujuan pokok kehadiran agama kristen di dunia dan di dalam konteks ini, demikian juga peranan Gereja dan orang kristen di dalam masyarakat dewasa ini. Dengan kata lain dewasa ini perlu kita menemukan kembali identitas Gereja dan pengalaman iman kristiani di dalam suatu masyarakat yang terus menerus berubah dan berkembang. Orang-orang kristen dewasa ini merasakan kebutuhannya untuk menjelaskan bagi dirinya sendiri kekhasan dan kemampuan tugas misinya, baik sebagai individu, maupun sebagai komunitas di dalam dunia ini. Dan terdapat pula perspektif ke masa depan, yaitu menuju Gereja manakah kita sedang berjalan? Apakah rencana global dari Gereja yang dapat mengarahkan semua usaha dari orang-orang yang bekerja dalam bidang pastoral? 1.2. Unsur-unsur pokok dari praktik Gereja Di sini kita harus membedakan tiga tingkat operasional dari praktik Gereja Tingkat I : tujuan akhir dan tugas dasar praktik Gereja adalah membangun Kerajaan Allah.

Tingkat II : fungsi atau tugas Gereja sebagai perantaraan untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Tingkat III : pelaksana, kondisi pribadi, lembaga-lembaga dan organisasi.

Tingkat I : Tujuan akhir dan tugas dasar praktik Gereja adalah pelayanan Kerajaan Allah. Kita menyadari bahwa Gereja tidak didirikan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melaksanakan rencana ilahi yang mengatasi batas-batas realitas dan kegiatan Gereja itu sendiri, yaitu Rencana Kerajaan Allah. Rencana ini juga mendapat berbagai nama dalam tradisi Kitab Suci dan Gereja, misalnya pembangunan Tubuh Kristus, Keselamatan, Pembebasan Putera-Putera Allah, Kesatuan umat manusia, Damai Mesias, dsbnya. Ini merupakan Rencana Besar Allah tentang kemanusiaan yang dalam Kristus dan melalui Roh Kudus terlaksana dalam sejarah. Ini merupakan rencana promosi dan pembebasan integral dari kemanusiaan; janji akan keberhasilan dan kebahagiaan manusia yang didamaikan dan disatukan. Kedatangan Kerajaan Allah merupakan cita-cita manusia. Hal ini membangkitkan kerinduan yang tertinggi dan pula merupakan titik arah setiap kegiatan dalam Gereja: Untuk memahami arti dan tugas dasar Gereja perlu kiranya kita mempertimbangkan beberapa hal di bawah ini: 1. Gereja sebagai Sakramen Kerajaan, tidak sama sekali identik dengan Kerajaan Allah, tetapi membentuk di dunia ini benih dan permulaan (LG.5). Gereja merupakan Sakramen atau tanda dan sarana dari persatuan intim dengan Allah dan kesatuan dengan segenap umat Allah (LG.1). Gereja adalah tanda dan karena itu sekaligus pewarta dan kehadiran permulaan dari Rencana Besar Allah tentang kemanusiaan yang kita namakan Kerajaan Allah. Gereja yang terarah kepada pelayanan rencana universal, membangun suatu perantara sejarah yang telah ditentukan oleh kehendak Allah, tetapi tidak dalam arti menutup diri, tetapi Gereja sebagai umat Allah, memiliki tugas misi memaklumkan dan menyaksikan kedatangan dan janji Kerajaan Allah di dalam dunia. Jadi indikasi dasar untuk praktik Gereja: Gereja tidak memiliki sebagai tujuan realitas diri sendiri, pemeliharaan bagi dirinya, dan minta peneguhan dalam dunia, tetapi Gereja menunjukkan atau menampakkan rencana yang mengatasi dirinya, yaitu menghadirkan Kerajaan Allah dan perkembangannya dalam sejarah. Di sini komunitas kristiani menemukan artinya yang terakhir dari usaha-usahanya dalam melihat nilainilai Kerajaan Allah, yaitu persaudaraan, kesatuan, kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan. 2. Dalam perspektif ini harus dipikirkan kembali hubungan Gereja dan dunia, menurut pengertian Konsili Vatikan II. Dunia, yaitu kemanusiaan yang bersejarah, tidak boleh dimengerti lagi sebagai sesuatu yang asing atau berlawanan dengan rencana Kerajaan Allah, dan juga tidak sebagai hanya tempat penerapan keselamatan oleh Gereja, tetapi sebagai tempat yang benar untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Karena itu perlu sedikit demi sedikit diatasi bentuk-bentuk sejarah tertentu yang menentang dan memperalat dunia, misalnya:

1. Bentuk Dunia dalam Gereja, (tipe masyarakat Abad Pertengahan), disatukan begitu kuat dan dikuasai oleh nilai-nilai kristen dan oleh kekuasaan Gereja. 2. Bentuk Dunia untuk Gereja, artinya kenyataan-kenyataan duniawi diatur dan dikembangkan tidak untuk dirinya sendiri, tetapi dalam fungsinya mencapai masyarakat religius. 3. Bentuk Gereja dan Dunia, Hal ini merupakan pandangan yang dualistis yang melihat dunia dan Gereja sebagai nilai yang lengkap dan saling berlawanan. Di antara mereka dibangun hubungan pertentangan, perbedaan, dan dialog, paralelisme, kerja sama, tetapi selalu pada rencana dari dua kenyataan yang berdiri sendiri dan berbeda sama sekali. 4. Kiranya lebih baik berbicara tentang Gereja dalam dunia untuk dunia. Gereja merupakan bagian dari dunia untuk melayani keberhasilan dan perubahan dari dunia. Gereja berjalan dengan seluruh kemanusiaan dan mengalami bersama dunia itu. Gereja merupakan ragi dan jiwa dari masyarakat manusiawi, yang direncanakan untuk membaharui diri dalam Kristus dan untuk mengubah diri dalam keluarga Allah (GS.40b). Dari sudut praktik Gereja, Gereja, tidak boleh bertindak dalam dunia untuk memelihara dan memperkembangkan diri sendiri, tetapi untuk mendorong perkembangan dunia sesuai dengan rencana Tuhan; untuk menjadikan dunia lebih manusiawi dan lebih cocok dengan rencana Allah. Dan peranan Gereja yang bersifat Sakramental dan Instrumental, memperkembangkan dunia dalam kesatuan tujuan dan usaha yang dalam dengan semua pihak, entah beriman atau tidak beriman serta bertugas untuk memperkembangkan nilai-nilai rohani. 3. Dalam pengertian ini harus dilihat dinamisme dasar dari Gereja, yang sekaligus merupakan persekutuan (pertemuan orang-orang yang dipanggil) dan misi (utusan), demi pelaksanaan tugasnya sebagai perantara keselamatan. Gereja merupakan persekutuan, yaitu persekutuan orang-orang yang terpanggil, persatuan umat beriman di dalam tugas misinya, utusan, umat Messias, Rasul. Persekutuan dan misi merupakan dua pola dari suatu dinamisme terusmenerus yang membawa Gereja untuk mengumpulkan umat yang tersebar, untuk bersatu kembali, menemukan kembali dirinya yang hilang dalam semangat cinta kasih ilahi. Tingkat II : Fungsi-fungsi atau perantaraan Gereja untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Tugas dasar Gereja sebagai pelayanan Kerajaan Allah tidak hanya terdiri dari kerja sama dengan segenap umat manusia yang berkehendak baik untuk mengubah bentuk kemanusiaan. Tetapi Gereja sadar bahwa la sebagai penyimpan misteri yang diwahyukan Allah dalam Kristus, dan memiliki tugas misi khusus untuk menerangi, membimbing, menyuburkan, dan mendorong perkembangan sejarah umat manusia, supaya Gereja dapat menjadi bangunan

Kerajaan Allah. Dalam arti ini, Gereja memiliki suatu misi khusus, yaitu menjadi perantaraan sejarah yang tampak dalam sakramen melalul fungsi-fungsinya yang khusus. Secara tradisional baik teologi pastoral maupun praktik Gereja dan Konsili sendiri telah menghadirkan fungsi-fungsi Gereja menurut skema Tri Tugas Kristus, yaitu Imam, Nabi, dan Raja, sambil membedakan tiga tugas pelayanan Gerejawi, yaitu lbadat, Nubuat, dan Rajawi. Tetapi pembagian ini tidak memberikan dasardasar yang meyakinkan dan akibatnya tidak cocok dengan praktik Gereja yang riil, khususnya berkenaan dengan tugas rajawi. Pembagian yang meyakinkan berdasarkan pada hakikat sakramental dari Gereja sejauh sebagai tanda dan sarana Kerajaan Allah. Cita-cita Kerajaan yang telah mulai dibangun oleh Gereja, menampakkan diri dan kelihatan di dunia dalam empat bentuk dasar kehadiran Gereja: 1. Sebagai Kerajaan direalisasikan dalam Cinta Kasih dan dalam pelayanan terhadap sesama (Tanda Diakonia). 2. Sebagai Kerajaan hidup dalam Persaudaraan dan dalam Persatuan (Tanda Koinonia). 3. Sebagai Kerajaan dinyatakan dalam Pewartaan Pembebasan Injili (Tanda Kerygma). 4. Sebagai Kerajaan dirayakan dalam Pesta atau Perayaan Pembebasan (Tanda Liturgia). Dengan cara ini Gereja hadir di dunia sebagai tempat yang paling utama untuk tugas pelayanan, persaudaraan, nilai, pesta, sesuai dengan empat kategori antropologis dasar, yaitu pikiran, perbuatan, relasi, dan perayaan. Hal ini tepat sekali untuk menggarisbawahi kelengkapan dan nilai dari empat bentuk untuk ada di dunia tanda Gerejawi Kerajaan. 1. DIAKONIA GEREJAWI: Fungsi ini menjawab tuntutan terdalam dari manusia untuk mengatasi sifat egoisme yang meracuni hidup bersama. Orang kristen dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang bentuk-bentuk baru dari mencintai, yang diajarkan Kristus, yaitu pelayanan kepada Tuhan dalam diri saudara-saudara yang miskin, menderita, tersingkirkan (bdk. Mat.25:31-48). Dengan melayani orang-orang miskin, menderita, dan tertindas kita mewartakan Kabar Keselamatan Kristus kepada dunia, supaya orang menjadi percaya akan Pewartaan Injil dan Ajaran Cinta Kasih Kristus. Fungsi diakonia ini dapat menimbulkan dalam hati orang keyakinan akan kepastian dan pentingnya Kerajaan Allah (keselamatan) yang diajarkan Kristus dalam Injil Matius 25:3148) dan sekaligus merupakan ujian bagi kita sejauh mana ketulusan dan kejujuran pelayanan kita kepada Tuhan dalam diri saudara kita, yang terutama miskin, menderita, dan tersingkirkan. 2. KOINONIA GEREJAWI: Fungsi ini menjawab kerinduan akan persahabatan yang sejati persatuan, dan hubungan antar manusia di segala waktu. mengajarkan suatu cara baru untuk hidup bersama dalam kasih, kemungkinan untuk hidup bersama sebagai saudara-saudara kedamaian Fungsi ini yaitu suatu yang telah

diselamatkan dan disatukan dalam Kasih Kristus. Berhadapan dengan masyarakat dewasa ini yang dikuasai oleh ambisi, kekuasaan, dan tindakan yang kurang manusiawi dan egoistis, diskriminasi dan ketidakadilan, maka orang kristen dipanggil untuk memberikan kesaksian mengenai persaudaraan kristiani yang sejati berdasarkan Kasih Kristus dan perdamaian, sambil memberikan tempat pula kepada kebebasan, dan hormat kepada hak asasi manusia. 3. KERYGMA GEREJAWI: Fungsi ini melaksanakan pewartaan keselamatan manusia dan kunci untuk menafsirkan kehidupan manusia. Berhadapan dengan situasi masyarakat dewasa ini terdapat banyak kejahatan, banyak orang yang putus asa, kecewa, maka orang kristen dipanggil untuk berada di dunia sebagai pembawa harapan melalui pewartaan Yesus Kristus, yang memberikan jaminan akan terwujudnya Keselamatan manusia (Kerajaan Allah). Jadi setiap orang kristiani bertugas menjadi Pewarta Kabar Gembira ini di tengah masyarakat. 4. LITURGIA GEREJAWI: Fungsi ini mengandung upacara-upacara dan perayaan pengalaman keselamatan kristiani, yaitu pengalaman pembebasan dan keselamatan. Fungsi ini mengungkapkan tuntutan hati manusia yang penuh kegembiraan dan syukur karena telah dibebaskan oleh Kristus dari kematian dosa dan dipulihkan kembali hubungan kasih dengan Bapa sebagai Putera Allah. Komunitas kristiani dipanggil untuk membangun, merencanakan, dan merayakan kehidupan demi terwujudnya Kerajaan Allah. Di dalam perayaan-perayaan sakramental, khususnya Ekaristi Suci, pesta-pesta, dan berbagai peringatan yang mengatur pengalaman iman, komunitas kristiani harus memberikan kesaksian dan merayakannya dalam kebahagiaan, keyakinan, dan kepenuhan pewartaan yang diberikan kepada kita dalam Kristus. Nilai-nilai keselamatan, perdamaian, persaudaraan, cinta kasih dan keadilan harus diwartakan dan dirasakan di dalam Perayaan liturgis ini. Karena itu tugas misi khusus Gerejawi dalam dunia adalah menghadirkan di tengah-tengah kita empat anugerah besar ini, sebagai tanda dan permulaan rencana besar Allah, yaitu: 1. cara baru Cinta Kasih universal, 2. bentuk baru kehidupan bersama dan persaudaraan, 3. sabda keselamatan dan pengharapan, 4. upacara kehidupan dalam kepenuhan Cinta Kasih. Melalui tanda-tanda ini Gereja melaksanakan tugas misinya dalam sejarah dan memberikan sumbangan khusus demi terwujudnya Kerajaan Allah. Agar fungsi-fungsi Gereja di atas ini dapat dipahami dengan tepat, maka kita harus memperhatikan beberapa hal yang penting berkenaan dengan pelaksanaan fungsi atau tugas Gereja tersebut, yaitu:

1. Keempat fungsi atau tugas Gereja ini tidak boleh dipisah-pisahkan tanpa hubungan satu dengan lainnya, karena masing-masing fungsi juga terkandung dalam fungsi-fungsi yang lain. Misalnya Perayaan liturgis mengandung di dalamnya fungsi kerygma (pewartaan), fungsi koinonia (persekutuan kasih), dan pula fungsi diakonia (pelayanan kasih). 2. Keempat fungsi atau tugas Gereja tersebut harus merupakan kesatuan yang utuh, yang mengungkapkan pengalaman kristiani. Kehadiran harmonis dari keempat fungsi tersebut dapat dipakai sebagai kriteria untuk menentukan kehidupan Gereja yang sehat dan murni. 3. Di antara keempat fungsi Gereja ini manakah yang mendapat tempat utama di dalam praktik Gereja? Menjawab pertanyaan ini kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang merupakan tujuan akhir Gereja. Seperti telah kita ketahui bahwa tujuan akhir Gereja adalah membangun Kerajaan Allah, (Kerajaan Cinta Kasih). Karena itu sebenarnya yang mendapat tempat utama dalam praktik Gereja adalah koinonia dan diakonia, karena di dalam fungsifungsi Gereja tersebut mengandung unsur cinta kasih dan persaudaraan, yang merupakan nilai dasar Kerajaan Allah. Sedangkan kerygma dan liturgia merupakan fungsi Gereja sebagai Pewartaan Kerajaan Allah di dunia. Dan isi pewartaan memang adalah cinta kasih dan persaudaraan. Karena itu Gereja lebih tampak kehadirannya di dunia ini dalam praktik penghayatan cinta kasih (koinonia dan diakonia) daripada dalam kata-kata dan perayaan. Tetapi berdasarkan tradisi Gereja kita mengetahui bahwa pewartaan injili selalu membangun tugas misi Gereja. Pewartaan injili harus dimengerti dalam arti keseluruhan, yaitu sebagai pewartaan dan sekaligus penghayatan dan kesaksian injili dari pihak Gereja. Pewartaan injili itu meliputi semua apa yang dikatakan, dilakukan oleh Gereja, bahkan merupakan Gereja itu sendiri. Oleh karena itu kalau dikatakan pewartaan injili itu merupakan unsur pokok kehidupan Gereja, tidak berarti bahwa fungsi kerygma di atas fungsi-fungsi Gereja lainnya. Demikian pula kalau kita berbicara tentang fungsi liturgi. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa liturgi merupakan titik puncak kegiatan Gereja dan sumber segala kebaikan. (SC.10). Tetapi peranan utama dari liturgi tidak boleh berarti bahwa fungsi-fungsi Gereja lainnya berada di bawah fungsi liturgi. Sebenarnya liturgi merupakan puncak dan sumber dari seluruh pengalaman Gereja, yang hidup di dalam keutuhan tugas pelayanan, persatuan, pewartaan dan perayaan itu sendiri. Tanpa dasar liturgi kehidupan, yaitu praktik cinta kasih dan persaudaraan, maka upacara liturgi dan sakramen, termasuk Sakramen Ekaristi hanya merupakan tindakan lahiriah dan kosong. 4. Refleksi mendalam tentang fungsi-fungsi Gereja ini membawa kita kepada pengertian mendalam tentang hubungan antara keempat fungsi tersebut, sehingga tidak timbullah pengertian bahwa kerygma dan liturgi merupakan fungsi yang melulu bersifat rohaniah sedangkan diakonia dan koinonia merupakan fungsi yang melulu bersifat profan, duniawi, dan temporal.

10

5. Dalam hal ini kita hendaknya menekankan interrelasi yang mendalam dan saling melengkapi antara berbagai fungsi Gerejawi ini. Di sini orang harus berpikir tentang ikatan yang tak terbagikan antara Sabda dan Sejarah, Liturgi dan Kehidupan, Sabda dan Sakramen, Perayaan dan Tugas, sehingga perlu dijamin dan dipelihara perkembangan harmonis dari semua fungsi, sambil mengatasi polarisasi. Tingkat III : Pelaksana dan kondisi pribadi dan kelembagaan dari praktik Gereja. Di sini kita menjumpai berbagai tuntutan pribadi, struktur organisasi yang penting dan cocok, supaya komunitas Gerejawi dapat mengembangkan fungsifungsi esensialnya. Terdapat berbagai bentuk dan kegiatan kelembagaan dari Gereja, di samping problem-problem berkenaan dengan pribadi dan struktur yang terlibat dalam kegiatan tersebut, seperti misalnya pembinaan rohaniwan dan pekerja pastoral, partisipasi wanita dalam tugas ibadat dan pastoral, strategi panggilan, pengaturan Gereja lokal, dsbnya. Semua kegiatan yang berkenaan dengan pribadi dan organisasi merupakan bagian integral dari seluruh praktik Gereja dan mempengaruhi arti global dari tindakan Gereja di dalam melaksanakan tugas pengabdian di dunia ini. I.3. Pilihan operasional dalam praktik Gereja. Skema praktik Gereja yang telah dibahas di atas, seharusnya memberikan suatu gambaran praktik Gereja yang bersifat esensial dan tetap sepanjang sejarah perkembangan Gereja. Namun kenyataannya, Gereja tidak selalu berjalan sesuai dengan skema tersebut. Setiap zaman dan kebudayaan memberikan tekanan dan nuansa tertentu kepada praktik Gereja tersebut, dan sekaligus memberikan ciri khas pada kehidupan Gereja zaman tertentu. Jika kita mengamati sejarah Gereja akhir-akhir ini, sekurang-kurangnya dalam dua abad terakhir ini, maka kita melihat beberapa sifat dominan dari praktik Gereja di dalam mewujudkan tugas misinya. Di bawah ini kami akan menunjukkan sifat-sifat khas dari praktik Gereja tersebut: 1. Ekklesiosentris dan berpusat kepada Pastoral: Di sini kami melihat hubungan Gereja dan Kerajaan Allah. Gereja merasa berada di masyarakat sebagai tempat satu-satunya kebenaran dan keselamatan. Secara praktis Gereja mengidentikkan dirinya dengan Kerajaan Allah di dunia. Karena itu dalam tindakannya Gereja lebih berpusat kepada Pastoral, artinya menarik semua orang kepada pangkuan Gereja, memelihara umatnya yang berada di dalamnya, melindungi umatnya yang berada jauh dari Gereja, mempertahankan posisi dan pengaruhnya dalam masyarakat. Aspek lain yang khas dari pengertian ekklesiosentris, yaitu: Gereja terlalu kuatir akan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegerejaan dan kurang memperhatikan perhatian kepada hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan dan kemanusiaan pada umumnya.

11

Gereja lebih bersikap curiga dan menghukum orang-orang non katolik, orang-orang tidak beriman. Gereja lebih bersikap melawan dan mempertahankan diri (defensif) berhadapan dengan dunia dan kebudayaan modern.

2. Memberikan tempat utama kepada pastoral liturgis-sakramental: Di dalam praktik Gereja, aspek liturgis-sakramental memIliki tempat utama. Tujuan setiap keglatan pastoral lebih mengarah kepada bidang religiusspiritual. Hal ini memberikan beberapa sifat khusus kepada kegiatan Gereja: Kerygma: dalam praktiknya kegiatan ini diarahkan hanya kepada kehidupan sakramental. Pengajaran agama selalu menekankan fungsifungsi liturgis atau para-liturgis. Sedikit sekali kerygma ini diarahkan kepada Evangelisasi atau Pewartaan. Koinonia: dalam praktiknya kegiatan koinonia ini diarahkan secara menyolok kepada kegiatan-kegiatan devosional-liturgis. Diakonia: dalam praktiknya kegiatan diakonia ini diarahkan kepada bentukbentuk cinta kasih individual dan karya sosial-karitatif. Sedikit sekali dikembangkan usaha-usaha sosial. 3. Polarisasi klerikal dan Supremasi kelembagaan: Kegiatan pastoral dalam praktiknya tampak dipusatkan kepada golongan klerikus (religius, imam dan uskup) atau kepada beberapa kaum awam yang hanya terbatas sebagai pelaksana perintah dari kaum rohaniwan. Semua kegiatan pastoral diatur dan dikontrol langsung oleh hierarki. Jika kita sekarang mencoba menggambarkan, walaupun bersifat skematis dan pendekatan saja, tuntutan-tuntutan pastoral untuk praktik Gereja sebagai suatu program Gereja masa depan, maka setiap daerah dan Gereja lokal memikirkan program pastoral yang khas dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Bagaimanapun juga kita harus berusaha membuat gambaran dari tuntutan-tuntutan dan desakan-desakan yang dirasakan dalam Gereja dewasa ini, seperti tampak di dalam seluruh dokumen, peristiwa Gerejawi, refleksi-refleksi teologis dan pastoral yang secara langsung merefleksikan status prioritas operasional dalam Gereja aktual. Di sini kami akan memperlihatkan gambaran praktik Gereja yang menjawab kebutuhan, tuntutan dan desakan yang dirasakan oleh Gereja dewasa ini. Beberapa program Gereja yang timbul dari tuntutan-tuntutan dewasa ini sebagai berikut: 1. Gereja untuk dunia dalam tugas pelayanan (melawan pandangan ekklesiosentris). Kita memikirkan kembali tugas misi Gereja sebagai sakramen Kerajaan. Paham baru tentang hubungan Gereja dan Dunia menuntut suatu perubahan definitif di dalam mengarahkan seluruh kegiatan orang kristiani dewasa ini. Setiap orang kristiani harus memiliki minat yang besar akan Rencana Kerajaan

12

Allah. Karena itu praktik Gereja harus meninggalkan pandangan sempit tentang paham Gereja, yaitu yang selalu memikirkan dan kuatir akan dirinya, kepentingannya sendiri, tertutup, dan berada di dalam dunianya yang sempit. Gereja harus membuka diri. Umat beriman harus merasa dipanggil untuk memberikan kesaksian dan melayani dunia. Dunia dengan problemproblemnya dan harapan-harapannya yang terdalam harus menjadi program dasar operasional dari kegiatan Gereja. Di bawah ini kami akan memperlihatkan beberapa aspek dan konsekuensi dari pilihan operasional Gereja sebagai berikut: Diperluasnya tuntutan Gereja dalam karya keselamatan dan pelayanan yang ditujukan kepada semua orang; untuk melawan sikap eksklusif dari Gereja yang hanya memperhatikan putera-puteranya, karya-karyanya dan lembaga-lembaganya sendiri. Dipakai kriteria injili untuk menilai situasi kultural, kenyataan sosial, dsbnya; untuk melawan kriteria ekklesiosentris yang sempit yang hanya berminat akan kegiatan Gereja sendiri. Berkomunikasi dengan tuntutan-tuntutan duniawi yang diilhami oleh rasa hormat otonomi relitas duniawi; memiliki disposisi dialog dan keria sama; kebebasan dan tidak tergantung kepada injil; sikap melawan posisi dualistis tradisional. Ditinjau kembali lembaga-lembaga katolik (seperti sekolah katolik, universitas katolik, rumah sakit katolik, dsbnya), yang seringkali dipelihara dan dipakai sebagai benteng pertahanan yang kuat melawan otonomi progresif lembaga-lembaga sekulir.

2. Gereja dalam tugas evangelisasi dan dialog. Situasi baru dari sosio-kultural, tempat Gereja hidup dewasa ini, ditandai oleh kemajemukan ideologis dan kultural, dan oleh pecahnya kesatuan pandangan kristiani. Hal ini mengakibatkan Gereja mengalami krisis yang mendalam di dalam bidang liturgis-sakramental dan kultural-religius. Demikian pula Gereja mengalami krisis mendalam di dalam praktik tradisional pastoral. Timbul ketidakseimbangan antara massa orang beriman tradisional dan sekelompok kecil orang beriman; adanya pemisahan antara batas-batas kelembagaan (hierarki) dan gambaran riil dari komunitas kristen. Di samping itu berkembanglah kesadaran akan tugas pokok misioner Gereja di dalam dunia. Di bawah ini kami akan memperlihatkan beberapa arah dasar baru di dalam praktik Gereja: Evangelisasi harus menjadi pusat perhatian dan cita-cita orang kristen. Tujuan akhirnya adalah kedewasaan iman, kesaksian iman, dan promosi orang beriman. Kita tidak boleh memahami evangelisasi dalam arti tradisional.

13

Konsekuensinya, tampak secara mendalam perubahan terhadap kriteria yang berkenaan dengan Tubuh Gerejawi, yaitu pengertian mengenai keanggotaan Gereja melalui Sakramen Baptis; kapan seseorang dapat disebut beriman. Bukan karena terpaksa atau sifat oportunis, melainkan merupakan buah sebuah penilaian baru injili, maka Gereja harus menerima pluralisme kultural dan religius dan menempatkan diri dalam sikap dialog konstruktif dengan semua pihak guna tercapainya tujuan akhir Gereja.

3. Gereja berpihak kepada orang miskin dalam tugas promosi dan pembebasan integral semua orang. Ini merupakan pilihan operasional yang berhubungan dengan cara baru memahami dan melaksanakan tugas diakonia Gerejawi. Di sini juga ada perpindahan tekanan dari kesaksian Gerejawi, yaitu dari kegiatan utama religius-ibadat kepada kegiatan kesaksian pelayanan dan persaudaraan, terutama dengan saudara-saudara kita yang miskin, dengan tujuan mencapai pembebasan integral manusia dan umat Allah. Pilihannya kepada orang-orang miskin, terlantar, dan tertekan dalam segala bentuk, tampaknya merupakan sasaran utama dari tugas kesaksian injili kita. Perlu meninggalkan pandangan bahwa kekuasaan atau kekuatan dapat dipakai demi tujuan yang baik. Karena itu perlu ditolak segala bentuk kekuasaan dalam Gereja dan berbagai kekuatan sipil, politik, dan ekonomi yang tidak sehat. Praktik Gerejawi harus diwarnai dengan semangat pelayanan, dan melibatkan semua pihak demi perkembangan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

4. Gereja komunitas dalam bentuk baru (melawan semangat birokrasi dan previlegi yang berlebihan dalam Gereja). Dewasa ini tanda koinonia berusaha mencari bentuk baru yang mampu menampakkan nilai persaudaraan dan persekutuan antar manusia. Kenyataannya, Gereja lebih menampakkan diri sebagai organisasi kuat dan teratur, badan sosial yang efisien, dan pula merupakan biro administrasi yang mengurusi masalah-masalah rohani. Jarang sekali Gereja tampak sebagai persekutuan dan persaudaraan sejati. Di sini kami menunjukkan sekurang-kurangnya dua seri tuntutan operasional yang timbul dalam praktik Gereja: Tumbuhnya dimensi komunitaria dari praktik Gereja dalam semua kegiatannya: organisasi, kegiatan-kegiatannya, ibadat, pelayanan, tugas misi, dsbnya. Dituntut bahwa komunikasi pribadi, partisipasi efektif, sikap hormat dan menerima pribadi-pribadi lain, kebebasan berbicara, semuanya

14

ini memiliki tempat utama dan tidak boleh dirugikan oleh sistem organisasi yang terlalu memperhatikan efisiensi kerja, pembagian tugas yang kaku dan ketat, dan tuntutan-tuntutan birokrasi-administrasi. Tumbuhnya bentuk-bentuk baru dalam komunitas tampak di mana-mana sebagai perwujudan semangat koinonia. Komunitas lebih cenderung bersifat kecil, komunitas basis, sebagai bentuk persekutuan, yang menghayati imannya.

5. Gereja bersemangat doa, perayaan Cinta Kasih (mengatasi keagamaan ritual belaka). Momentum perayaan liturgis dari praktik Gereja diarahkan untuk melenyapkan mentalitas pastor-sentris dan pengertian-pengertian tertentu tentang apa yang bersifat ritual dan devosional masa lampau, tetapi yang kurang jelas manfaat dan artinya di dalam keseluruhan praktik Gereja. Sifat-sifat khas situasi sosiokultural dewasa ini menuntut peninjauan kembali kegiatan simbolik ritual dari arti perayaan liturgis, sebagai ungkapan kehidupan di dalam kepenuhan dan misterinya yang paling dalam. Karena itu kiranya kita harus memikirkan kembali pengertian liturgi dan ungkapannya dalam situasi Gereja dewasa ini: Tempat utama evangelisasi dalam praktik Gereja menuntut bahwa kegiatan liturgi terutama merupakan perayaan iman dan sakramen iman dengan menekankan otentisitas perjalanan iman. Peranan baru diakonia menuntut bahwa kegiatan liturgi merupakan perayaan kehidupan, pada umumnya, sebagai anugerah dan tugas, dan perayaan kehidupan kristiani, secara khusus, sebagai liturgi yang dihayati di dalam tugas melayani sesama dan persekutuan. Di dalam liturgi dituntut pula bentuk-bentuk baru dari kontemplasi dan berdoa. Kekurangan refleksi, mendengarkan, meditasi, ekspresi simbolik, sangat sering di dalam zaman kita ini. Kiranya penting sekali membangkitkan bentuk baru dari kontemplasi dan berdoa yaitu sebagai kontemplasi dalam aksi.

6. Gereja dari orang dewasa (mengatasi semangat klerikalisme, infantilisme, paternalisme dari praktik Gereja). Penting kiranya di dalam praktik Gereja dilaksanakan konsepsi Gereja sebagai umat Allah, yang menekankan kesamaan derajat panggilan sebagai anggota Gereja, yang memiliki perbedaan fungsional dan tugas pelayanan. Karena itu untuk mengatasi polarisasi klerikal dalam segala bentuk dan diskriminasi pribadi perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: Kita harus meninggalkan monopoli klerikal dalam kegiatan-kegiatan Gereja, yang terlalu menekankan perbedaan antara kaum klerus dan awam. Kita lebih baik menekankan: pengertian Gereja sebagai persekutuan di antara

15

anggota-anggota yang memiliki berbagai tugas pelayanan di dalam mengambil bagian tugas misi Kristus. Kegiatan pastoral tradisional ditandai dengan semanaat infantilisme dalam penghayatan dan sikap hidup beriman, dan dewasa ini kita harus menumbuhkan kedewasaan iman orang kristiani. Kita hendaknya membentuk dan menimbulkan di dalam diri kaum awam dewasa rasa tanggung jawab di dalam semua bidang kehidupan sosial. Mereka bukan lagi sebagai objek karya pastoral, tetapi sebagai subjek. Hal ini berarti bahwa ada perubahan bentuk pastoral, yaitu dari bentuk pastoral yang bersifat pastor-sentris kepada bentuk pastoral yang membawa kaum awam kepada kreativitas dan tanggung jawab terhadap kehidupan Gereja. Dalam konteks ini pula ditumbuhkan penghargaan terhadap kaum wanita dan kesamaan martabat di dalam Gereja. Kita harus mengakui bahwa struktur Gereja dan praktik Gereja sampai kini masih didominasi oleh kaum pria; masih terjadi diskriminasi kaum wanita di dalam Gereja. Di samping itu kita harus mengatasi semangat paternalistis di dalam kehidupan Gereja, yang menghalangi partisipasi, kreativitas kaum awam di dalam membangun Gereja. Mereka harus dianggap sebagai subjek yang memiliki hak dan kewaiiban dan bertanggung jawab akan perkembangan Gereja selanjutnya.

7. Gereja adalah umat Allah, misteri dan lembaga (mengatasi polarisasi kelembagaan). Dari sudut pandangan struktural dan lembaga Gereja, dewasa ini praktik Gereja terlalu dititikberatkan kepada lembaga yuridis-institusional. Karena itu penting kiranya kita merevisi dan kembali kepada pengertian tepat dari Gereja; kita hendaknya memberikan tempat layak dan tepat kepada dimensi karismatik dalam dinamika Gereja. Dalam perspektif ini perlu kiranya dipikirkan beberapa urgensi operasional: Pembaharuan kelembagaan dari Gereja, yang melibatkan pribadi dan struktur, organ dan lembaga, pedoman yuridis dan praktik. Dalam kerumitan masalah ini, kita harus ingat akan urgensi dari desentralisasi struktural dan organisasi, tumbuhnya semangat kolegalitas dalam berbagai tingkat, pembaharuan fungsi otoritas, rasionalitas aparat, organisasi, dsbnya. Menumbuhkan dan mengakui berbagai bentuk pelayanan dan kharisma dalam praktik Gereja. Penegasan kharisma dan bentuk pelayanan, tetapi juga usaha untuk tidak memadamkan semangat Roh, semuanya ini harus membawa Gereja kepada sikap menghargai dan mengakui berbagai anugerah Tuhan, kharisma yang dilimpahkan secara istimewa dan khusus kepada masing-masing anggota Gereja.

16

8. Gereja merupakan persekutuan dari Gereja-Gereja partikular dan lokal (mengatasi sentralisasi dan ethnosentrisme dari Gereja) Gereja katolik tampak ditandai oleh uniformitas intern dari doktrin-doktrin dan organisasi-organisasi dan disusun secara teratur berdasarkan administrasi sentral dengan pembagian-pembagian wilayah seperti keuskupan, propinsi, yang tergantung langsung kepada pemerintah pusat. Karena itu tampaklah pembagian-pembagian dan pemecahan-pemecahan antara umat kristen, yang tidak termasuk struktur Gereja katolik, yang diragukan otentisitasnya. Karena itu perlu usaha untuk mengatasi beberapa hal ini: Tumbuhnya kegiatan ekumenis untuk menghimpun kembali kesatuan umat kristiani. Suatu pengertian dinamis dan realistis dari kesatuan Gerejawi dan tugas misinya dalam dunia dapat memungkinkan realisasi dan perkembangan ke arah kesatuan. Karena itu di dalam masing-masing Gereja terdapat perbedaan yang begitu dalam dari berbagai Gereja merupakan tanda bahwa kriteria aktual dari diskriminasi ini perlu ditinjau kembali. Mengakui secara efektif otonomi sah dari Gereja-Gereja partikular, yang seperti diajarkan Konsili Vatikan II, tidak hanya merupakan bagian-bagian dari Gereja universal, tetapi Gereja-Gereja ini dalam arti penuh seperti yang diungkapkan di dalam dokumen Lumen Gentium artikel 26, di bawah pimpinan uskup yang bukan wakil Paus, tetapi langsung wakil Kristus (LG.27) dalam tugas pelayanan apostolik. Perlu dikembangkan inkulturasi iman dan pengalaman Gerejawi di dalam keanekaragaman kebudayaan, tempat berkembangnya iman kristiani. Kita harus menghargai kekhasan dari suatu kebudayaan dari Gereja-Gereja partikular.

9. Gereja terbuka bagi dialog, realitas dan masa depan (mengatasi improvisasi metodologis dan kekurangan perspektif). Di sini kami ingin menunjukkan aspek metodologis dari praktik Gereja. Seringkali terjadi bahwa banyak problem yang berkenaan dengan kegiatan Gereja berasal dari kekurangan dalam bidang metodologi, yaitu kekurangan sarana yang tepat dan analisis untuk lebih memahami masalah yang timbul dalam Gereja, sehingga kita tidak mampu menyusun suatu program yang tepat. Karena itu dituntut dari Gereja beberapa hal yang berkenaan dengan hal tersebut, yaitu: Perlu adanya analisa realitas, memiliki sarana pengetahuan yang berbobot, agar kita dapat memahami masalah-masalah yang timbul dalam praktik Gereja. Perlu adanya dialog komunikasi dan kebebasan di dalam tubuh Gereja. Dan Gereja harus mampu melihat dengan tepat masa depan.

17

BAB KEDUA: KATEKESE DALAM KONTEKS PRAKTIK GEREJA


II.1. Merumuskan kembali tugas Katekese dalam konteks pastoral. Melihat gambaran struktur dasar dari praktik Gereja dan kecenderungan untuk merencanakan suatu program khas zaman ini, maka kita perlu menentukan tempat katekese sebagai bagian khusus dari praktik Gereja. Karena itu dapat ditanyakan, di manakah tempat katekese dalam susunan tersebut?, Apakah peranan dan tugas katekese dalam rencana global praktik Gereja? Berdasarkan hakikatnya, katekese merupakan bagian penting dari Kerygma Gerejawi, yaitu bagian dari Pelayanan Sabda atau Tugas kenabian yang sama, seperti evangelisasi, kotbah, pendalaman iman, dstnya. Karena itu di dalam kerygma Gerejawi katekese harus selalu memikirkan kembali tugas misi dan artinya. Tetapi tempat katekese di dalam struktur dasar praktik Gerejawi menimbulkan berbagai problematik yang menuntut pemikiran dan penjelasan kembali. 1. Dewasa ini orang memberikan tempat utama kepada Evangelisasi di dalam tugas misi Gereja. Istilah Evangelisasi tampaknya mengaburkan banyak fungsi tradisional dari katekese atau sekurang-kurangnya menuntut suatu revisi (ditinjau kembali). Istilah-istilah evangelisasi dan katekese tampaknya seringkali dipakai di dalam kesempatan-kesempatan dan rencana pastoral, yang dahulu seringkali dimasukkan ke dalam pengertian katekese. Kita juga berbicara tentang katekese Evangelisasi. Rupanya kegiatan-kegiatan katekese lenyap atau sekurang-kurangnya dikaburkan oleh kegiatan-kegiatan evangelisasi dan misi. Karena itu dirasakan penting untuk menjelaskan dan membedakannya. 2. Berhadapan dengan kesempatan-kesempatan lain dari tugas pewartaan dan kenabian Gerejawi, maka identitas katekese tampak kehilangan bentuknya yang tepat, terutama perbedaan antara katekese dan sabda, menjadi kabur dan tidak menguntungkan secara pastoral. Dari lain pihak, ada risiko kehilangan kekhususan dan otentisitas dari masing-masing fungsi Gerejawi, termasuk katekese. 3. Kesukaran lain dapat timbul dari fakta bahwa ada berbagai bentuk katekese, misalnya katekumenat (pembinaan calon baptis), inisiasi sakramental (persiapan untuk menerima sakramen inisiasi: Baptis, Krisma, dan Ekaristi), kursus pembinaan iman, kursus Kitab Suci, dsbnya. Demikian pula terdapat berbagai nama untuk katekese, misalnya pengajaran agama, pendidikan iman, pembinaan agama, dsbnya. Pula seringkali kita berbicara tentang katekese berkenaan dengan kegiatan-kegiatan Gereja lainnya, misalnya perayaan liturgi, meditasi dan doa-doa, gerakan kaum muda, bimbingan rohani, dsbnya. Karena itu ada bahaya bahwa katekese berada di mana-mana, dan semuanya disebut katekese. Karena itu katekese menjadi kehilangan arti dan jati dirinya dalam susunan fungsi-fungsi Gerejawi. Perlu ditanyakan bagaimana kita merumuskan kembali jati diri dan peranan katekese dalam struktur praktik Gereja dewasa ini.

18

II.2. Tempat Utama Evangelisasi dalam Tugas Misi Gereja. Istilah evangelisasi relatif baru dan dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II tampak dalam bentuk yang tidak ielas. Sesudah Konsisli Vatikan II, terutama dalam tahun 1970 istilah evangelisasi menjadi sangat terkenal di dalam kegiatan Gereja; banyak dokumen, karya, pertemuan, dan program pastoral, yang puncaknya dalam Sinode para uskup tahun 1974, membahas tema Evangelisasi dalam dunia modern. Kemudian muncul ensiklik baru, Evangelii Nuntiandi, (1975). Dari ensiklik tersebut kita mengetahui bahwa Evangelisasi, yang dahulu dipandang sebagai tugas di garis depan, yaitu dalam Tanah Misi, sekarang diakui sebagai tugas misi esensial dari seluruh Gereja (EN 14). "....sekali lagi kami ingin mengatakan bahwa perintah untuk mewartakan Injil kepada semua orang membangun Tugas Misi esensial Gereja, yaitu merupakan tugas dan misi yang mendesak bagi masyarakat dewasa ini yang selalu mengalami perubahan yang luas dan mendalam. Sebenarnya evangelisasi merupakan Rahmat dan Panggilan Khusus Gereja, jati dirinya yang mendalam" Hal ini berarti bahwa Gereja memberikan tempat yang penting bagi Evangelisasi dalam tugas misinya. Bagaimanakah orang berpikir dalam terang ini tentang peranan dari fungsi Gerejawi yang lain, antara lain katekese? II.2.1. Apakah itu Evangelisasi? Dalam hal ini kita perlu memperhatikan bahwa istilah Evangelisasi tidak memiliki arti tunggal. 1. Di dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, istilah Evangelisasi bergeser dari pengertian sempit, yaitu sebagai pewartaan injili kepada orang-orang tidak beriman, kepada pengertian luas, yaitu mengidentikkan evangelisasi dengan segenap kegiatan kenabian dari Gereja atau jelasnya dengan seluruh tindakan Gereja yang merupakan kegiatan misioner. Di dalam studi tentang evangelisasi berdasarkan dokumen Konsili, maka D.Grasso menyatakan bahwa pengertian evangelisasi terdiri dari tiga bagian, yaitu: Predikasi misioner (Ad Gentes 6) Segenap pelayanan Sabda (LG 35, CD 6, GS 44, AA 2) Segenap kegiatan misioner Gereja (AG 23,27) 2. Sinode tahun 1974 menyadari adanya berbagai arti dari evangelisasi dan tidak mempersempit pengertian evangelisasi sebagai suatu pewartaan injili hanya kepada orang-orang tidak beriman, tetapi memperluas arti evangelisasi, aitu meliputi semua kegiatan misioner dari Gereja dalam segala bentuk. Demikian pula ensiklik Evangelii Nuntiandi mengakui pengertian evangelisasi dalam arti luas dengan mengungkapkan sifat kompleks dan kekayaan dimensidimensinva:

19

Evangelisasi adalah suatu proses yang kompleks dan terdiri dari berbagai unsur, yaitu pembaharuan kemanusiaan, kesaksian, pewartaan eksplisit, masuk dalam komunitas, penerimaan tandatanda, karya-karya kerasulan (EN 24). 3. Dalam Perjanjian Baru pengertian kata Evangelisasi kurang jelas. Suatu waktu evangelisasi menunjukkan proklamasi dari kerygma dalam arti sempit, yaitu suatu pewartaan yang ditujukan kepada semua orang dan bersifat resmi tentang keselamatan Allah yang diberikan kepada semua orang dalam Yesus Kristus yang mati dan bangkit. Di tempat lain evangelisasi menunjukkan semua kegiatan Gereja purba yang mewartakan dan melaksanakan keselamatan dengan kata dan kehidupan. Inti Evangelisasi adalah suatu Injil Suci yang sekaligus merupakan kabar gembira, keselamatan, proklamasi Kerajaan Allah, pewahyuan misteri Tuhan, pewartaan Paskah Kristus, Wahyu Tertinggi Allah dan rencana Nya dalam sejarah (bdk. A.M.Henry, La Forza del Vangelo, Assisi, Cittadella, 1969, p.13). Semua ini menunjukkan bahwa memberikan tempat utama kepada evangelisasi dalam tugas misi Gereja tidak berarti memberikan previlegi (keistimewaan) kepada suatu fungsi khusus dengan merugikan atau bertentangan dengan fungsi-fungsi lainnya. Di dalam arti yang lebih penuh, evangelisasi merupakan pewartaan dan kesaksian akan Injil dari pihak Gereja melalui apa saja yang dikatakan dan dilakukan oleh Gereja dan yang merupakan Gereja itu sendiri. Evangelisasi meliputi dalam arti tertentu segenap tindakan Gereja, sejauh memiliki tujuan untuk mewartakan dan memberikan kesaksian tentang Injil (Kabar Gembira). Karena itu memberikan tempat utama kepada evangelisasi dalam tugas misi Gereja bagaimanapun juga sama dengan menunjukkan kembali arah yang pokok menuju ke Rencana Allah, yang telah dilaksanakan dan dijanjikan dalam Kristus, atau membangkitkan kembali jati diri dari Sakramen Universal Keselamatan; tanda dan permulaan dari Kerajaan Allah dalam dunia. Tetapi kita harus berkata bahwa merumuskan kembali secara tepat evangelisasi berarti menangkap dalam kemampuannva arti dari pilihan Evangelisasi dalam Gereja dewasa ini. II.2.2. Perkembangan Sejarah Evangelisasi Pilihan evangelisasi, sebagai Rahmat dan Panggilan khusus Gereja (bdk.EN 14), tampak sebagian besar dituntut oleh kondisi masyarakat kita yang berubah-ubah. Tidak ada lagi kesatuan pandangan kristianisme sebagai fakta kebudayaan dan religius. Pecahnva kesatuan ideologi, timbulnva kemajemukan sosial dan kebudayaan, pengertian baru dari kebebasan pribadi, merupakan faktafakta yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakan lagi proses otomatis dari sosialisasi religius tradisional.

20

Di sini kita perlu menggiatkan kembali semua tingkat kehidupan Gereja, fungsi evangelisasi, supaya pertobatan pribadi dan kematangan iman menjadi kembali kriteria benar dan pasti untuk menjadi anggota Gereja dan untuk ambil bagian dalam tugas misi Gerejawi. Karena itu kita harus mengetahui benar paham evangelisasi dan konsekuensinya. 1. Agar kita dapat memahami evangelisasi dewasa ini kita tidak boleh memandang Gereja dan kristianisme sebagai realitas yang tidak dapat dipersoalkan lagi dan secara damai diterima oleh semua orang, melainkan kita harus selalu menguji dan mengkoreksi serta menyempurnakan paham Gereja dan kristianisme yang dapat berubah akibat dialog dengan dunia luar. 2. Evangelisasi menuntut dari kita suatu usaha kesaksian dan otentisitas hidup kristiani kita. Karena itu penting bahwa Injil suci ini benar-benar dapat diyakini dalam keseluruhan realitas Gereja dan tidak hanya dalam beberapa bidang khusus atau beberapa bagian tindakan Gereja. Tidak cukup kiranya bahwa Gereja hanya menyiapkan kelompok-kelompok khusus pelaksana evangelisasi atau bahwa Gereja mengorganisasikan dengan cermat pelaksana dan petugas evangelisasi. 3. Evangelisasi meminta kepada semua Gereja suatu usaha untuk memusatkan diri kepada apa yang pokok (penting), supaya dalam keseluruhan tradisi, rumusan dan manifestasi religius, kita dapat menangkap inti pesan Injil dalam kemurniannya dan memiliki kekuatan transformasi. 4. Evangelisasi mewajibkan Gereja untuk menemukan dan merumuskan kembali jati diri dan tugas misinya supaya Sabda Kabar Gembira tentang Kerajaan Allah benar berada dalam dunia. Hal ini berarti bahwa kita menerima suatu pembaharuan radikal, berangkat dari Sabda Tuhan, meninggalkan diri dalam kemiskinan radikal untuk memperoleh kekuatan yang hanya dari Sabda. Karena itu kita tidak perlu mengatur kegiatan evangelisasi dengan cara berlebih-lebihan dengan menggunakan sarana-sarana propaganda yang tidak sehat. 5. Evangelisasi harus membawa Gereja untuk keluar dari dirinya sendiri, supaya segala usaha Gereja diletakkan kepada pelayanan akan kabar keselamatan. Dengan mengetahui paham evangelisasi dewasa ini maka orang kristen harus makin memahami bahwa evangelisasi adalah inti tugas misi qereia dalam dunia dewasa ini; harus mengakibatkan suatu pengerahan global dan proyek pembaharuan mendalam, kemampuan untuk mentransformir arti sejarah dari kehadiran Gereja dalam dunia. Dengan terang arah fundamental ini, maka kita harus mempelajari kembali semua bidang dan aspek dari praktik Gereja, antara lain juga katekese. II.2.3. Pelayanan Sabda, Evangelisasi dan Katekese Tugas keseluruhan evangelisasi, dalam arti seperti telah diterangkan di atas, dilaksanakan dalam komunitas-komunitas Gerejawi di dalam berbagai bentuk sejak zaman para Rasul yang disebut Pelayanan Sabda (Kis.6:2-4). Ini merupakan

21

keseluruhan manifestasi tanda-tanda Gerejawi dari kerygma, seperti telah kita lihat dalam gambaran umum praktik Gereja. Katekese adalah salah satu bentuk pelayanan sabda. Karena itu bila kita ingin menentukan kembali identitas katekese, kita harus meletakkannya pada keseluruhan pelaksanaan dari pelayanan sabda. Tetapi di dalam hubungan dengan ini terdapat situasi yang sangat kompleks, dan sering mendorong kita dengan berbagai cara menggolongkan dan merumuskannya: 1. Menurut cara yang sangat sering dilakukan dan klasik, kita dapat membedakan tiga momentum besar atau fungsi dalam pelayanan sabda: Evangelisasi (kerygma, predikasi misioner) Katekese Prediksi liturgi (homili, predikasi dalam komunitas) Pembagian fungsi kerygmatis berdasarkan kepada perbedaan dari orang-orang yang mendengarkan Sabda (orang tidak beriman, bertobat, komunitas kristen) atau berdasarkan kepada keterlibatan secara progresif dari seseorang dalam struktur sakramental (pertobatan, permandian, ekaristi) atau berdasarkan kepada tiga tahap fundamental dari proses intern atau penghayatan iman (kenal iman, mendalami iman, menghayati iman). Skema ini memberikan batasan-batasan yang ketat baik sebagai teori pastoral maupun dalam pelaksanaan praktis dari tindakan Gereja. Kenyataannya ada berbagai arti yang diberikan untuk berbagai penulis mengenai istilah itu, yaitu predikasi, kerygma, pewartaan, evangelisasi, katekese, dsbnya. Demikian pula kita telah memahami arti luas dari evangelisasi. Dan pula perbedaan antara katekese dan predikasi litur dak terlalu tegas, baik berdasarkan tradisi katekumenat yang klasik dan liturgis, maupun dalam situasi-situasi konkret dari kehidupan Gereja, yang menempatkan tugas katekese di dalam keseluruhan kegiatan liturgis dan perayaan. 2. Kembali kepada Perjanjian Baru. Dalam Gereja awali kita dapat melihat suatu pelaksanaan yang beraneka ragam, spontan dan tidak jelas dari pelayanan Sabda. Demikianlah bahwa komunitas kristen, sebagai jawaban iman akan pewartaan Kristus wafat dan bangkit, memperkembangkan dan memperdalam dalam berbagai bentuk Sabda yang membangun komunitas dan merupakan saksi di depan semua orang. Beberapa bentuk khas pada umumnva tampak sebagai berikut, misalnya Evangelisasi, yaitu merupakan pewartaan pertama, kabar gembira, bertujuan, untuk membangkitkan minat akan iman kepada orang yang belum beriman: instruksi atau ajaran yaitu pendalaman, yang memiliki tujuan untuk memahami lebih dalam dan untuk menyimpulkan dari inti pewartaan semua konsekuensi untuk kehidupan. Nubuat, yang mendesak komunitas untuk melihat dengan tepat Kehendak Allah dalam sejarah kesaksian; yang ingin menerangkan dan menjamin dan meyakini; nasehat, yang ingin mengkoreksi dan memberikan semangat.

22

Dalam semua manifestasi Sabda ini kehidupan konkret komunitas menjadi kriteria penyesuaian dan penentuan, dalam kesetiaan akan Kabar Keselamatan yang mempersatukan dan membangkitkan. Dalam Perjanjian Baru ada suatu perbedaan yang mendasar yang dinyatakan antara momentum pertama dari pewartaan Kabar Gembira, melalui kata-kata seperti krasein yang berarti berseru, keryssein yang artinya mengumumkan, euangelizomai yang berarti mewartakan kabar baik, martyrein yang berarti memberikan kesaksian, dan momentum kedua dari penjelasan dan pendalaman, yang diungkapkan dengan kata-kata didaskein yang berarti mengajar, "katechein yang secara harafiah berarti menggema, homilein yang berarti berkotbah, paradidonai yang berarti meneruskan. Karena itu katekese termasuk dalam momentum kedua. 3. Tradisi Gereja mempersembahkan keanekaan kegiatan yang diberi nama katekese (katekumenat, katekismus, pengajaran katekese, dsbnya). Dalam zaman-zaman tertentu istilah-istilah ini dilembagakan, misalnya katekumenat klasik, bentuk inisiasi sakramental, pengajaran agama untuk anak kecil, pelajaran agama di sekolah, dsbnya. Di sini kita ingin berkata bahwa bentuk atau penggunaan sempit dari istilah katekese dan pula ada arti yang lebih luas dan tepat yang mencerminkan identitas fungsi dalam berbagai bentuk dan aktualisasinya. Jika kita memperhatikan data-data dalam Perjanjian Baru dan dalam sejarah Gereja, maka kita dapat mengartikan katekese adalah setiap bentuk pelayanan Sabda dan diarahkan kepada pendalaman dan pendewasaan iman pribadi dan komunitas. Di bawah ini kami akan melihat beberapa ketentuan: 1. Momentum katekese tampak, dalam hakikatnya, berbeda dan sekaligus merupakan kelanjutan dari momentum pewartaan-evangelisasi, tetapi dalam pengertian tidak tegas dan konsisten. Sebenarnya kami telah melihat bahwa evangelisasi mencakup seluruh pewartaan dan kesaksian Gereja akan Injil (Kabar Gembira). Dalam arti ini katekese merupakan salah satu bentuk dari evangelisasi. Di samping itu katekese juga mengandung selalu dalam tugasnya unsur pertobatan (conversio) atau tuntutan untuk bertobat bila belum ada pertobatan. Dalam hal ini katekese memiliki fungsi evangelisasi (lihat DCG 18). Demikianlah pilihan-pilihan pastoral baru dari Gereja dewasa ini membawa katekese, dalam segala bentuknya, untuk menggiatkan dan memperkembangkan fungsi evangelisasi, terutama di dalam Gereja di negara Kristen, di mana orang-orang kristen tidak lagi menghayati iman mereka dengan sungguh-sungguh. 2. Fungsi katekese tidak berbeda sama sekali dengan pelayanan Sabda di dalam liturgi Gereja, sejauh ada banyak fungsi Sabda dalam liturgi yang menjawab tujuan khas dari setiap pendalaman dan pendewasaan iman, misalnya homili, upacara inisiasi, wejangan, dsbnya. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak tahu lagi ciri-ciri khas liturgi dan aturan liturgi. Dengan kata lain tidak berarti bahwa ada kekaburan arti dan fungsi liturgi dan katekese.

23

3. Fungsi katekese dalam Gereja adalah sangat luas dan mewujudkan diri di dalam berbagai bentuk privat dan publik, spontan dan kelembagaan, kebetulan dan sistimatik. Fungsi katekese dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan konkret, misalnya perjalanan katekumenat, persiapan penerimaan sakramen, pembinaan iman, rekoleksi komunitas, predikasi dalam ibadat, dsbnya. (bdk. DCG 19).

BAGIAN KEDUA DIMENSI-DIMENSI FUNDAMENTAL DARI KATEKESE

Tujuan bagian kedua ini adalah mengadakan pendekatan katekese dari sudut pandangan dimensi-dimensi yang mendasar dari setiap realisasinya yang otentik; dan pula usaha menangkap intisari, konotasi, dan arti fundamental. Bagian kedua ini disusun sekitar tiga bagian pokok dari praktik katekese, yaitu Sabda Allah, Iman, Gereja; dan mengarah kepada fungsi-fungsi pokok dari praktik Gereja, yaitu Diakonia, Koinonia, Kerygma, Liturgia.

BAB KETIGA KATEKESE, PELAYANAN SABDA, DAN PEWARTAAN KRISTUS

III.1. Katekese dan Sabda Allah. Katekese sebagai momentum perantaraan Gerejawi di dalam tugas pelayanan sabda membuka kemungkinan pertama untuk mendalami iman, dan sekaligus melihat suatu seri persoalan dan kesulitan, baik berhubungan dengan berbagai pengertian tentang Sabda, maupun berhubungan dengan pengalaman hidup dari praktik katekese. Di bawah ini kami akan menunjukkan beberapa persoalan: 1. Sejauh melayani Sabda Allah katekese melibatkan diri di dalam persoalan umum mengenai Sabda Allah, sebagai peristiwa dan perantaraan sejarah. Apakah yang terkandung secara khusus di dalam Sabda Allah? Di manakah Sabda Allah diketemukan? Bagaimanakah dewasa ini Sabda Allah dikomunikasikan? Perantaraan manusia dari Sabda Allah tampaknya suatu paradoks. Dapatkah Sabda Allah merupakan objek komunikasi manusiawi ataukah lebih baik merupakan anugerah dari atas? Di dalam arti apakah dan sampai batas manakah kemampuan manusia siap untuk memanifestasikan Sabda Allah dalam sejarah?

24

2. Di dalam katekese terdapat tuntutan untuk mengintegrasikan iman dan kehidupan. Karena itu sejak iman dikaitkan dengan penerimaan Sabda Allah, maka proses integrasi yang diinginkan tampaknya dalam aspek-aspek tertentu menimbulkan banyak problem: Pengalaman seringkali menunjukkan adanya keadaan dissosiasi atau parallelisme antara dunia kevakinan dan bentuk-bentuk agama dan realitas kehidupan yang luas dan rumit, dengan situasi dan problemnva sendirisendiri. Bagaimanakah mungkin kita memahami suatu integrasi yang tidak mengabaikan sifat transendensi dan kekhasan Wahyu Allah? Usaha untuk memanfaatkan di dalam katekese dimensi antropologis (katekese antropologis. atau situasional, metode antropologis, pendekatan antropologis, katekese yang berpusat pada problematik) tampaknya tidak mudah dan tidak selalu meyakinkan. Hal ini tidak sedikit menimbulkan kebingungan tidak hanya pada tingkat realisasinya, tetapi juga sebagai konsep praktik katekese, bagi pelaksana katekese dan para pengamat dan kritikus lainnya. Sinode uskup tahun 1977 telah memaparkan problematik tentang inkulturasi iman kristiani dalam berbagai situasi geografis dan sejarah. Karena itu tentu saja katekese terlibat di dalam problematik tersebut. Hubungan antara kebudayaan tertentu dengan pengertian akan pesan kristen dikembalikan kepada tema Sabda Allah dalam penjelmaannya di dalam sejarah, dan kepada problem dari kondisi-kondisi dan batasan-batasan di mana Sabda Allah memakai berbagai kebudayaan sebagai kategori interpretatif dan ekspresif. Demikian, tampak problem bahasa dalam tugas Sabda, khususnya dalam katekese.

3. Kesetiaan katekese pada isi dan misinya, terutama sejauh merupakan pelayanan Sabda Allah, dewasa ini memperlihatkan pula berbagai aspek problematik: Katekese harus menyalurkan kepastian, dan dapat melibatkan diri di dalam mencari dan memaparkan problematik-problematik. Sampai batas manakah usaha katekese tersebut? Kita berbicara, dalam bidang refleksi katekese, tentang perjalanan dari suatu katekese asimilasi ke arah katekese kreativitas. Bagaimanakah mungkin kita berbicara tentang kreativitas dalam tugas katekese yang menyalurkan Sabda Allah? Kita merasa pula tuntutan untuk mengatasi katekese tertutup, sempit dan doktrinal, menuju kepada katekese dialoq dalam dunia majemuk dan usaha mencari persamaan dan perbandingan.

25

4. Dalam praktik katekese dewasa ini seringkali kita berbicara tentang pengalaman agama dan pengalaman iman. Dalam hal ini timbul berbagai kesulitan dalam bidang konsepsi pengalaman maupun dalam bidang hubungan antara pendalaman dan Sabda Allah. Bila bersumber kepada pengalaman maka tampaklah bahya untuk tinggal di dalam ketidakjelasan, di dalam sifatnya yang irrasional dan emosional, dan karena itu berbahaya bagi kesetiaan akan pesan injili. Kesukaran-kesukaran ini dan lainnya mengajak kita untuk melihat pentingnya dijelaskan hakikat katekese sejauh merupakan momentum pelayanan Sabda Allah. Di sini tampaklah interdipendensi antara pengertian teologis dari Sabda Allah dan pengertian katekese. Kita dapat berkata bahwa setiap bentuk/teologis mengkondisikan pengertian katekese dan cara menjawab kesulitan-kesulitan dan keberatan-keberatan di atas. III.2. Dimensi-dimensi Sabda Allah dan konsekuensinya untuk katekese. Untuk mengatasi pengertian sempit dan unilateral dari Wahyu (berpusat pada bentuk doktrinal tentang kebenaran), dewasa ini refleksi teologis dan kesadaran Gereja, terutama setelah Konsili Vatikan II, memberikan suatu pandangan yang lebih lengkap dan memuaskan, lebih eksistensial dan pribadi, lebih kristologis dan terbuka bagi sejarah. Karena pandangan ini kita melihat beberapa dimensi karakteristik dari Sabda Allah, yang ditulis dalam Konstitusi Dogmatik Dei Verbum dan mengungkapkan pula konsekuensi-konsekuensi \nya, sebagai berikut: Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendakNya; berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (DV.2). Tampaklah di sini asal, objek dan tujuan dari pewahyuan. Ditekankan di sini inisiatip Tuhan, hakikat penyelamatan dari pewahyuan dan konteks trinitas dalam perkembangan dan arahnya pewahyuan tersebut. Maka dengan wahyu. itu Allah yang tidak kelihatan kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diriNya dan menyambut mereka di dalamnya (DV.2). Tampaklah pula komunikasi verbalis atau magisterial diubah dan menekankan kedalaman pertemuan pribadi antara sahabat-sahabat dengan tujuan utama adahah persekutuan. Tata pewahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan,

26

memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataankenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan katakata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya (DV.2). Di sini dijelaskan pula dimensi sejarah dari pewahyuan ilahi, yang terungkap dalam peristiwa-peristiwa dan kata-kata, dan terjalin erat sekali antara mereka, yaitu misteri Wahyu, peristiwa dan kata-kata. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalamdalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi klta dalam Krlstus, yang sekaligus menJadl pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu (DV.2). Akhirnya, Kristus merupakan Titik Pusat Keselamatan dari Pewahyuan Tuhan, sejauh merupakan Sabda Tertinggi dan Definitif, Puncak dari manifestasi Allah dan Rencana Nya terhadap manusia. Sabda Allah hadir terutama sebagai intervensi ilahi, berkuasa dan berbelas kasih, di mana Tuhan menyatakan diriNya dan Rencana persekutuan dan keselamatanNya kepada seluruh umat manusia. Komunikasi dan Rencana Keselamatan Allah yang dinyatakan dalam diri Kristus, harus dilanjutkan dan dikembangkan oleh katekese, sebagai sarana pewartaan keselamatan. Karena itu katekese bertugas untuk mewartakan dan memperdalam misteri Sabda Keselamatan Tuhan. III.2.1. Sabda Allah, Kabar untuk manusia (karakter memberikan arti dan membebaskan dari Sabda Allah). Di bawah ini kami akan melihat nilai antropologis dari Sabda Allah: 1. Sabda Allah merupakan pesan, injil (kabar gembira) Di sini kita melihat arti dan isi yang terkandung di dalam kata injil, yaitu Evangelizzare, sebagai unsur-unsur yang memberikan ciri khas kepada manifestasi Sabda Allah dalam sejarah dan kepenuhannya dalam Kristus. 2. Sabda Allah merupakan interpretasi, penerangan tentang Kehidupan dan kebijaksanaan. Kita ingat akan hubungan esensial antara Sabda dan Kejadiankejadian dalam dinamika Wahyu: Sabda menerangkan karya-karya dan misteri yang terkandung dalam Sabda (DV 2). Revelasi-kejadian dan Revelasi Sabda saling melengkapi. Dalam hal ini kita harus memikirkan peranan nabi, orang bijak, pembuat mazmur, pengarang suci, dalam tugas misi mereka di dalam menulis buku-buku rohani dan menafsirkan kehidupan dan sejarah. Dalam Kristus, sebagai nabi utama dan kebijaksanaan sejati, maka peranan tersebut di atas mencapai kesempurnaannya. Yesus adalah Terang Dunia, Jalan Kebenaran, dan Kehidupan. Tema ini mengingatkan kita akan tugas kenabian yang dibebankan kepada komunitas kristen: Orang kristen adalah nabi yang senantiasa memberikan arti dan arah kepada kehidupannya.

27

3. Sabda merupakan tugas operasional untuk membangun sejarah. Siapa bertemu dengan Sabda Allah dan mendengarkannya dengan iman tidak dapat tinggal diam dan pasif, tetapi harus merasa denqan, tanggung jawab terlibat di dalam program kehidupannya dan pelaksanaan. Baik Sabda penciptaan maupun Sabda keselamatan berpaling kepada manusia dan membangkitkan sikap tanggung jawab dalam penciptaan dan keselamatan. Ciri khas Sabda Allah ini diterjemahkan secara logis ke dalam konotasi katekese, kalau katekese dipikirkan kembali dan digambarkan sebagai perantaraan Sabda untuk kematangan iman. Di bawah ini kami memberikan beberapa penjelasan sekitar katekese yang terdapat dalam dokumen katekese: "Katekese adalah proses yang menjelaskan eksistensi manusia sebagai intervensi keselamatan Tuhan melalui misteri Kristus dalam bentuk pewartaan Sabda dengan tujuan membangkitkan dan memelihara iman dan membawanya kepada pelaksanaan dalam kehidupan": Dari sudut pandangan ini kita dapat merumuskan katekese sebagai kegiatan sekelompok manusia yang menafsirkan situasi kehidupannya, menghayati dan menjelaskannya dengan penerangan injil. Katekese adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan manusia untuk membangkitkan kehidupannva sesuai dengan kemampuannya sambil mendengarkan dalam Gereja Sabda Allah, mengakui arti kristiani kehidupan mereka dan menyatakan iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Tujuan tertinggi dari kegiatan katekese adalah membantu manusia agar berhasil di dalam kehidupannya dengan menerima panggilan dan tuntutan Tuhan. Berkat kekuatan Roh Kudus berkembanglah kekuatan iman kalau pesan Kristiani dipelajari dan dihayati sebagai Kabar Gembira dalam kehidupan seharihari. Sabda Allah harus tampak pada setiap orang dalam bentuk memberikan kemampuan untuk terbuka akan problem-problem kehidupan, menjawab panggilan, memperluas pandangan akan nilai-nilai dan sekaligus memberikan kepuasan akan aspirasi-aspirasinya. Katekese adalah kegiatan yang menyebabkan sekelompok manusia menyadari diri akan proses seluruhnya dari kemajuan kemanusiaan, yang di dalamnya Tuhan memanggil untuk melibatkan diri dan memperkembangkan kemanusiaan itu. Pribadi dewasa dalam iman dapat mengakui dalam setiap keadaan dan setiap pertemuan dengan orang lain panggilan Tuhan yang menugaskan manusia untuk melaksanakan rencana keselamatan.

28

Karena itu katekese memiliki tugas memberikan penerangan akan panggilan tersebut dengan menafsirkan secara kristianl setiap peristiwa manusia, terutama tanda-tanda zaman, sehingga setiap orang beriman dapat mempertimbangkan dan menafsirkan semua hal dengan semangat kristiani. Melalui berbagai rumusan dan penekanan definisi katekese tersebut merefleksi dan mengetrapkan karakter pesan injil, penafsiran, pembebasan dan tugas, yang semua ini menunjukkan kehadiran Sabda Allah. III.2.2. Inkarnasi Sabda Allah dalam Sejarah (karakter sejarah dan dialog Sabda Allah) Tujuan mewahyukan DiriNya dan berbicara dalam sejarah dan melalui sejarah manusia. Dari sudut Sabda Allah ini kita dapat menggarisbawahi beberapa unsur sebagai berikut: 1. Aspek dialog dari Sabda Sabda Allah menjelma dalam sejarah manusia, yang di dalam jawaban imannya ia menunjukkan pesan injili yang diterimanya. Demikian, Sabda Allah tampak diartikan dan dijelaskan dalam kata-kata manusia yang menjawabnya dalam iman. 2. Aspek kebudayaan dari Sabda Dengan menjelmakan diri dalam sejarah Sabda Allah memakai ciri-ciri kebudayaan dari situasi dan waktu tertentu. Di sini keanekaragaman bahasa, gaya literer, kategori kebudayaan membangun sarana-sarana untuk memahami Sabda Allah. Aspek-aspek dasar Sabda Allah ini direfleksikan juga di dalam usaha memahami kodrat katekese yang memiliki beberapa sifat dan ciri khas sebagai berikut: 1. Katekese, sebagai momentum dialog Allah dan manusia. 2. Katekese sebagai momentum inkarnasi sejarah dan kebudayaan dari Sabda Allah (hasil dan asal dari proses inkulturasi iman; momentum dialog kebudayaan antara pengalaman kristiani dan pikiran dewasa ini di dalam berbagai kebudayaan). 3. Katekese sebagai tempat interpretasi dan perumusan kembali Sabda Allah di dalam pengalaman Gerejawi. 4. Katekese sebagai refleksi iman di dalam tugas sejarah dalam konteks pilihan bidang. III.2.3. Sabda Allah, persekutuan dan komunikasi antar pribadi (karakter personalistis dari Sabda Allah). "Dengan pewahyuan ini Tuhan yang tidak kelihatan dalam Cinta KasihNya yang besar berbicara kepada manusia seperti kepada teman-teman dan tinggal bersama dengan mereka, untuk

29

mengundangnya dan mengijinkan mereka pada persatuan denganNya" (DV.2.). Di dalam pewahyuan itu ada dinamisme pribadi dari Sabda Allah, yang menampakkan diri di dalam sejarah dengan kehadiran dan komunikasi pribadiNya, sebagai interpelasi, sebagai program persekutuan, sebagai keterbukaan akan hubungan pribadi antara Tuhan dan manusia, dan antara manusia itu sendiri. Karena itu jawaban iman akan Sabda Allah mengambil bentuk hubungan antar pribadi, pertemuan yang disadari dan bebas antara pelaku dialog keselamatan. Katekese, sebagai pelayanan Sabda dan pembinaan iman tampak ditandai secara esensial oleh dimensi pribadi. Katekese harus merupakan pertemuan, persekutuan, keterbukaan antar subjek. Katekese melaksanakan tugas dalam konteks komunikasi mendalam antar pribadi. Dan juga merupakan pendidikan cinta kasih. III.2.4. Sabda inkarnasi dari Tuhan Yesus Kristus (karakter Kristologis dan Sabda Allah). Kebenaran yang terdalam, baik dari Tuhan maupun dari keselamatan manusia, melalui pewahyuan ini terpen.uhi dalam Yesus Kristus, yang adalah perantara dan kepenuhan seluruh pewahyuan (DV.2). Sabda Allah mencapai puncakNya dalam kejadian dan Pribadi Yesus Kristus, Sabda yang menjelma, gambaran Bapa, kebijaksanaan Allah, keselamatan dan pembebasan manusia dan sejarah, kepenuhan pewahyuan kenabian, pewahyuan tertinggi dari,Sabda. Katekese memiliki dimensi dasar kristologi: 1. 2. 3. 4. Pewartaan Kristus (Kristosentris dari katekese) Interpretasi kehidupan yang mengarah kepada Kristus Identifikasi dengan Yesus dari Nasareth Pembentukan kembali kepribadian yang khas sekitar Kristus.

III.2.5. Sabda Allah, Anugerah Roh Kristus (Karakter rohani dari Sabda Allah). Sabda Allah merupakan anugerah, rahmat, dan gerakan Roh. Sabda Allah ini dikaitkan erat sekali dengan sikap menerima sepenuh hati dan sikap taat. Sebagai konsekuensinya pada katekese, yang juga merupakan keterbukaan akan anugerah rahmat, pendidikan,untuk bersikap menerima dan taat, yang semuanya ini termasuk di dalam dinamisme Roh sebagai pencipta dan pembaharu. III.2.6. Sabda Tuhan yang diberikan dan dijanjikan (karakter eskatologis dari Sabda Allah) Sabda Allah mengambil bagian dalam ketegangan eskatologis antara apa yang telah terjadi den apa yang belum terjadi, antara kebenaran yang telah

30

diberikan dan yang masih dijanjikan, antara kebahagiaan karena telah memiliki sesuatu dan penderitaan karena kegelapan. Yesus Kristus, Sabda definitif dan tertinggi dari Tuhan untuk manusia. Ia telah datang dalam rupa daging, dan tetap hadir sekarang ini dan masih harus datang kemudian. KedatanganNya merupakan penampakkan bersifat misteri, pengungkapan rahasia Allah. la memiliki kepastian esensial, artinya kita tidak perlu menantikan Messias lain, tidak perlu kuatir untuk merefleksikan kembali rencana keselamatan yang telah diwahyukan. Karena itu orang kristen dapat meimiliki kunci yang tepat untuk menafsirkan kenyataan dan kepastian mutlak dari janji-janji Tuhan. Pesan kristen memiliki aspek kebenaran yang dijanjikan, karena itu belum sama sekali memiliki kebenaran tersebut. Dengan menjelma dalam sejarah, Sabda Allah menampakkan diri sebagai perjalanan panjang dari pewahyuan, penemuan dan mencari terus menerus kebenaran. Semuanya ini memberikan reaksi tertentu kepada katekese. Bila pewahyuan itu dilihat sebagai kebenaran yang telah diberikan dan dimiliki, maka katekese itu dilihat sebagai tugas untuk memindahkan kebenaran itu ke dalam pribadi peserta katekese. Bentuk kegiatan katekese bersifat magisterial. Katekese bertugas memberikan kebenaran itu yang merupakan kekayaan Gereja, sebagai gudang kebenaran. Sebaliknya bila pewahyuan Sabda itu merupakan kebenaran yang masih dijanjikan, maka katekese lebih bersifat terbuka dan bersifat dialog dengan berbagai masalah kehidupan. Di bawah ini kami menunjukkan ciri-ciri khas dari kedua bentuk katekese: A. Katekese tentang kebenaran yang telah diberikan: Katekese kepastian (cf. Katekismus tanya-jawab) Katekese doktrinal (arah yang unik dari katekese) Katekese indifferent (semua memiliki kepentingan dan kepastian yang sama) Katekese self-sufficient dan tertutup: tidak belajar apapun dari orang lain, sikap apologetis, bahaya pendidikan intoleransi, dan curiga. Katekese tidak dapat berubah dan sama untuk semua: tanpa ada perbedaan usia, kondisi, tuntutan, dan kebudayaan. Katekese yang dibatasi oleh waktu Katekese asimilasi: peserta katekese harus menyesuaikan diri dengan pengajaran. B. Katekese tentang kebenaran yang telah diberikan dan masih dijanjikan: Katekese kepastian dan mencari: terbuka untuk keragu-raguan, ketidakpastian, mencari kebenaran. Katekese kesaksian dan komunitas: sebagai refleksi umum, berjalan bersama. Katekese different: dibedakan antara apa yang penting dan tidak, pusat dan periferi, pasti dan problematik.

31

Katekese terbuka pada dialog: sikap kerja sama dan pluralisme pendidikan untuk hidup bersama, perdamaian, mencari kesatuan. Katekese dalam pergerakan dan disesuaikan dengan subjek: usaha terus menerus untuk menyesuaikan diri dan menafsirkan. Katekese untuk mendalami terus menerus iman: merupakan proses. Katekese kreativitas.
III.2.7. Sabda Allah dan pengalaman iman (karakter pengalaman dari Sabda Allah). Konsep pengalaman iman berada di dalam problematik katekese , karena merupakan hal yang penting dalam sejarah pewahyuan dan karena implikasinya dalam setiap proses komunikasi iman; tanpa pengalaman iman tidak ada komunikasi iman. Di sini perlu dijelaskan dan diperdalam konsep-konsep yang terlibat di dalamnya. III.2.7.1. Konsep pengalaman. Konsep pengalaman pada umumnya dari sudut antropologis dan hermeneutika adalah jalan memasuki pengertian akan realitas. Hanya dalam arti ini pengalaman merupakan guru bagi kehidupan dan sumber arti. Beberapa unsur struktural dari pengalaman, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Realitas yang hidup Dengan suatu kedalaman tertentu Objek refleksi Interpretasi dan penilaian Dirumuskan atau diungkapkan Transformasi

III.2.7.2. Konsep pengalaman iman Bagi unsur-unsur karakteristik setiap pengalaman, pengalaman iman lebih membuka misteri (problematik radikal, tuntutan arti, keinginan akan keselamatan) dan lebih terbuka kepada apa yang transenden (sesuatu yang sama sekali lain yang memberikan arti dan keselamatan). Dari struktur pengalaman iman ini timbullah beberapa hal yang menonjol dan konsekuensi-konsekuensi yang penting, mengingat problematik katekese: 1. Objek iman (teks Kitab Suci, rumusan-rumusan, ritus, tradisi, dsbnya) merupakan manifestasi dari pengalaman-pengalaman Iman bukan merupakan satu sektor khusus dalam realitas hidup, tetapi merupakan dasar yang terdalam dari realitas. 2. Komunikasi orang beriman tidak merupakan komunikasi dari apa yang dilakukan secara lahiriah, tetapi terutama meliputi komunikasi

32

pengalaman dan interpretasi mendalam dari fakta-fakta dan kejadiankejadian. 3. Karena pengalaman iman selalu ambil bagian dalam struktur bahasa (sejauh diungkapkan dalam objek), maka dapat dikomunikasikan, yaitu dipahami dan diteruskan kepada orang Lain, meskipun pengalaman iman itu memiliki pula karakter yang tidak dapat diucapkan. Karena itu pengalaman iman dapat dibangkitkan dan diperdalam melalui bahasa. 4. Tidak setiap bahasa bersifat ekspresif dan dapat membangkitkan pengalaman-pengalaman iman, tetapi hanya memiliki kemampuan untuk mendalami dan menafsirkan realitas hidup dan mengungkapkan misteri dari realitas tersebut.

Karena itu bahasa tidak semata-mata bersifat konstatatif dan informatif. Demikian pula bahasa tidak bersifat rasional dan demonstratif, tetapi lebih bersifat evokatif (ajakan) dan mampu mengungkapkan dalamnya suatu realitas: bahasa langsung dan global dari kesaksian; bahasa simbol, puisi, seni, perayaan, dan mitos.

33

III.2.7.3. Pengalaman iman kristiani sebagai tempat Sabda Allah. Di dalam momentum interpretatif dan ekspresif pengalaman iman kristiani harus mengarah kepada pengalaman kristiani mendasar dari bangsa Israel (Perjanjian Lama) dan dari Yesus Kristus (Komunitas Apostolik: Perjanjian Baru) dan kepada pengalaman Gerejawi (tradisi). Di dalam perspektif ini kita memiliki pengalaman kristiani kalau kita baik secara pribadi maupun kelompok memperdalam dan menyatakan pengalaman hidupnya dalam arah pokok kepada pengalaman mendasar dan Gerejawi. Demikianlah, proses identifikasi antara perjanjian pengalamannya dan pengalaman Kristus dan Gereja, baik pada tingkat realitas kehidupan ini rpaupun pada tingkat tujuan hidup.

III.2.7.4. Bentuk-bentuk komunikasi iman kristiani Dengan, memperhatikan struktur karakteristik dari pengalaman agama kristen, kita mungkin dapat menggolongkan beberapa model komunikasi iman yang kurang lengkap dan kurang efektif karena justru dalam fakta bahwa struktur tersebut tidak menghiraukan tuntutan-tuntutan dasar. Beberapa contoh: 1. Katekese sebagai transmisi sederhana dari tujuan agama (iman): Katekese dipahami sebagai pelajaran tentang kebenaran, sebagai transmisi suatu kekayaan ritual, ibadat dan tingkah laku. Tipe transmisi ini tidak sampai kepada kedalaman pengalaman iman, dan tetap tinggal dalam bentuk doktrinal kering atau bentuk sosialisasi yang tidak bersifat pribadi. Isi dari transmisi adalah kebenaran abstrak, atau fakta Kitab Suci, atau realitas dari sejarah dan tradisi Gereja.

34

2. Katekese sebagai refleksi kejadian-kejadian atau problem-problem kehidupan. Katekese direduksikan kepada pembicaraan tentang tema-tema aktual, atau pada refleksi dari problem-problem manusiawi, tetapi tanpa mencapai kedalaman agama. Mungkin kita berbicara tentang suatu proses yang sangat menarik, penting dan berguna. Mungkin lingkungan-lingkungan tertentu tidak mengizinkan berbuat lain. Jika demikian kita tidak dapat berbicara tentang katekese.

3. Katekese sebagai aplikasi superfisial dari tujuan agama kepada kehidupan Dalam hal ini di dalam katekese yang dipahami secara esensial seperti model nomor satu, kita mencoba mengkaitkannya dengan realitas eksistensial melalui suatu applikasi langsung kepada kehidupan.

4. Katekese sebagai perjalanan tidak bermotif dari kehidupan kepada iman. Kita berbicara tentang banyak katekese yang disebut antropologis yang berangkat dari tema-tema atau problem-problem manusiawi dan melewati pada suatu momentum tertentu pada tujuan-tujuan kristiani (Kitab Suci, Sakramen-sakramen, berbagai aspek kehidupan kristiani, dsbnya) tidak untuk mendalami suatu pengalaman, tetapi hampir untuk mempertentangkan. Jadi tema-tema ini tidak diperdalam pada tingkat pengalaman iman. Sebenarnya problem katekese antropologis bukan problem dari perjalanan tetapi pendalaman.

35

5. Evangelisasi dan katekese, sebagai proses pendalaman atau komunikasi dari pengalamanpengalaman, dan sebagai proses identifikasi dari pengalaman sendiri dengan pengalaman mendasar dari Kristus dan dari Gereja. Evangelisasi dan katekese, sejauh merupakan tugas sarana Gerejawi untuk melayani Sabda Allah, bertujuan untuk pendidikan iman, mendapatkan wuiudnya hanya di dalam struktur global dari pengalaman agama kristiani, dalam sifat-sifatnya yang pokok. Hal ini dapat terjadi dengan kedalaman yang berbeda-beda, dalam arti penuh atau sebagian. Demikianlah kami dapat membedakan secara sistematis beberapa bentuk yang berhubungan dengan ini:

A) Tuntutan esensial yang pertama dibangun oleh kedalaman manusiawi yang kita sebut pengalaman rohani, di mana kita mencapai tingkat ini, meskipun belum terjadi identifikasi dengan pengalaman-pengalaman dasar kristiani (Kristus dan Gereja), di sini kita sudah memiliki permulaan Evangelisasi dan katekese (bdk. EN.21). Tampaknya terlalu reduktif berbicara hanya tentang pra-evangelisasi atau prakatekese.

B) Tempat di mana kita memiliki identifikasi (=pengakuan) dari pengalaman sendiri, meskipun dalam, bentuk global dengan pengalaman Kitab Suci dari bangsa Israel-Kristus dan dengan pengalaman Gereja. Hal ini dapat disebut Evangelisasi dan katekese.

36

C) Katekese dalam arti yang khas terjadi berdasarkan kepada suatu identifikasi global dari pengalaman hidup pribadi dengan pengalaman dasar kristiani, sebagai pendalaman dari identifikasi tersebut dan sebagai perluasan progresif dari identifikasi pada berbagai situasi dan momentum kehidupan. Dengan demikian katekese tampak sebagai suatu proses yang menemani semua eksistensi individual dan komunitaria, di mana semua eksistensi dan tujuan menembus setiap saat lebih dalam ke dalam pengalaman kristiani; berpusat dalam Kristus, dipahami sebagai kunci interpretasi dari eksistensi dan sebagai program hidup. Karena itu di dalam inti tugas katekese terkandung realitas pengalaman kehidupan baik sebagai desakan dan pendalaman dari pengalamannya sendiri, maupun sebagai proses interpretasi dan transformasi dari pengalaman tersebut berdasarkan cahaya pengalaman kristiani. III.2.7.5. Beberapa konsekuensi untuk katekese. Dari pertimbangan tentang peranan dan struktur pengalaman iman kristiani, maka kiranya terungkaplah beberapa indikasi tentang kemampuan besar dalam bidang pendidikan agama dan katekese. Dalam inti tugas katekese terdapatlah seni dan pengetahuan, untuk membangkitkan dan memperluas pengalaman, memperdalam, menghubungkan, dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman tersebut. a) Membangkitkan dan memperluas pengalaman, berarti mempengaruhi, dalam lingkup pengalaman kehidupan, sambil menimbulkan realitas baru, kesaksian, sambil memperluas ruang lingkup kehidupan, baik secara ekstensif maupun intensif. b) Memperdalam pengalaman, berarti mengundang dan membimbing untuk mengatasi tingkat kedangkalan dari kehidupan, memecahkan pandanganpandangan yang dangkal untuk menampakkan dasar misteri dan problematik dari situasi kehidupan. Dalam konteks katekese, berarti pula memperkenalkan pengalaman kristiani sebagai kunci untuk membaca dan menginterpretasi kehidupan. Karena itu tugas pendidikan agama adalah mulai dengan refleksi, meditasi, kontemplasi, kemampuan untuk menggunakan alat untuk menganalisis dan memperdalam pengalaman-pengalaman kehidupan. c) Menghubungkan pengalaman, bahwa proses katekese dilewati oleh suatu pertukaran terus menerus pengalaman, di dalam pengalaman dasar Kristus dan Gereja. Karena itu adalah esensial bagi katekese bahwa pengalamanpengalaman ini sungguh-sungguh ada dan tidak hanya mengarah kepada masa lampau, misalnya, pengalaman Kitab Suci dan Gereja Purba, atau

37

kepada masa kini secara global dan abstrak. Suatu katekese adalah benar jika ada suatu pengalaman kristiani yang otentik yang dapat diinterpretasikan dan dikomunikasikan. d) Mengungkapkan pengalaman, yaitu pengungkapan, bahasa, tujuan, tidak hanya merupakan sarana untuk menghubungkan pengalaman yang sudah terjadi, tetapi mereka juga dan terutama merupakan sarana yang pokok untuk memperdalam dan menafsirkan pengalaman. Karena itu tugas katekese adalah menyediakan sarana-sarana untuk mengungkapkan, memberikan kebebasan, mengijinkan melalui bahasa identifikasi dari pengalaman kehidupan sendiri dengan pengalaman mendasar kristiani. Di dalam tugas pokok katekese ini pilihan perjalanan tepat dan takaran dari unsurunsur metodologis tergantung kepada beberapa faktor yang berbeda-beda sebagai berikut: 1) Jika yang pokok pada katekese adalah menghormati struktur dasar perkembangan pengalaman iman, tidak perlu orang selalu mengikuti aspek metodologis yang sama. Pada prinsipnya, ada dua perjalanan besar yang mungkin, yaitu dari realitas hidup sampai ke tujuan agama (metode antropologis) dan dari tujuan agama kepada realitas hidup (metode kerygmatis, liturgis, biblis, sejarah, doktrinal). 2) Harus diperhatikan pula tuntutan-tuntutan berbagai macam dari setiap tahap perkembangan manusia dan dari situasi eksistensial. Untuk setiap usia dan kondisi harus dibuka kemungkinan riil dari pengalaman iman, lingkungan hidup, kemungkinan untuk merefleksikan dan untuk berkomunikasi dsbnya. 3) Respek terhadap struktur pengalaman iman kristiani harus menjamin kepada katekese kesetiaan akan aspek berganda dari sejarah keselamatan, yaitu pengetahuan dan rahmat (anugerah, hal-hal adikodrati) dan putusnya hubungan dengan manusia dan pengetahuan akan kontinuitas dengan manusia dan jawaban akan tuntutan dari manusia. Di dalam pengalaman iman kristiani hubungan antara tuntutan manusiawi dan jawaban kristiani berlipat tiga: kontinuitas/afirmasi, putus/penolakan, mengatasi/transendensi.

38

BAB KEEMPAT: KATEKESE DAN DIAKONIA GEREJAWI

IV.1. Hubungan antara Evangelisasi, katekese dan diakonia: aspek dan problema. Fungsi diakonia Gerejawi mengandung berbagai macam kegiatan pelayanan kasih kepada sesama, misalnya perkumpulan sosial-karitatif, solidaritas, karya pendidikan, kegiatan sosial-politik, promosi manusia, dsbnya. Berhadapan dengan berbagai kegiatan karitatif tersebut terbukalah berbagai masalah yang menyangkut identitas diakonia, dan pula berbagai masalah yang menyangkut hubungannya dengan katekese. Di dalam arti apa dan sampai di mana katekese dan diakonia saling mengikat? Di dalam arti apa dan sampai di mana dimensi diakonia terkandung di dalam katekese? Di bawah ini secara skematis kita dapat membedakan tiga posisi besar, yaitu: 1. Perbedaan dan pemisahan antara katekese dan diakonia. Di sini kita menekankan keaslian dan kekhasan dari fungsi katekese, sambil menggarisbawahi dimensi vertikal dari katekese, seperti pewartaan sabda dan pengalaman iman. Di dalam posisi ini kita ingin menyatakan bahwa Gereja merupakan pelyanan akan kemanusiaan (diakonia) sambil mewartakan Injil dan melaksanakan tugasnya yang bersifat rohaniah; bahwa pembebasan yang dilaksanakan Yesus Kristus merupakan pembebasan dari dosa; bahwa tidak perlu mencampurkan katekese dengan masalah sosial dan politik dsbnya.. 2. Persamaan katekese dengan diakonia. Dari pihak lain, kita menggarisbawahi dimensi horisontal dari pengalaman iman kristiani: iman sebagai penerapan dari pembebasan; keselamatan sebagai realitas sejarah dari suatu masyarakat yang lebih manusiawi; kesetiaan akan Injil sebagai solidaritas dengan manusia-manusia dan sebagai tugas dalam sejarah kehidupan. 3. Hubungan tegas, dalam perbedaan, antara katekese dan diakonia. Di sini terdapat berbagai posisi yang ingin menekankan affinitas dan implikasinya, tetapi dalam kesadaran akan bahaya reduksionisme dan polarisasi unilateral (lihat GS). Dalam hubungan dengan tema ini, maka ada beberapa masalah: a) Arti dan kemampuan dari fungsi diakonia Gerejawi. Dalam ukuran apa fungsi diakonia berada dan bekerja di dalam Gereja, termasuk tugas misinya, maka fungsi diakonia ini berkaitan dengan katekese, sejauh memiliki tugas memulai kehidupan kristiani di dalam Gereja. b) Hubungan antara pendidikan iman dan pelaksanaan diakonia. Ukuran hubungan ini secara jelas menunjukkan pula ukuran hubungan katekese dan diakonia.

39

IV.2. Diakonia Gerejawi masa lampau dan masa depan Suatu pandangan yang sangat skematis pada masa lampau dari Gereja memungkinkan kita untuk menggolongkan beberapa bentuk karakteristik dari pelaksanaan diakonia:

Pembagian rata harta milik, bantuan persaudaraan, solidaritas antar Gereja Tugas karitas individual dan derma berbagai bentuk amal Lembaga dan karya pendidikan, promosi, dsbnya.

Beberapa sifat khas dari tugas sosial karitatif Gerejawi menampakkan problematik di dalam mentalitas dewasa ini: Dimensi yang lebih menonjol sifat individual (perhatian akan pribadi-pribadi, tidak pada struktur) Fungsionalisasi dari berbagai bentuk pelayanan akan pewartaan atau akan kehidupan sakramental-liturgis. Di dalam konteks ini tampaklah bahwa perkembangan refleksi teologis dan Gerejawi, timbulnya beberapa nilai dan tuntutan-tuntutan kebudayaan dewasa ini (sekularisasi), perasaan sosial, pengetahuan politik, otonomi tentang hal-hal yang temporal, ikut menentukan perjalanan katekese.. Bentuk diakonia Gerejawi dewasa ini: tuntutan dan karakteristik, sebagai berikut: (a) Diakonia tidak hanya merupakan tugas di dalam Gereja, yaitu hanya ditujukan kepada anggota-anggota jemapt, tetapi juga diarahkan kepada pelayanan dunia atau masyarakat luas, kepada semua orang, dan terutama ditekankan kepada mereka yang lebih membutuhkan. (b) Diakonia menampakkan tugas yang terarah kepada semua komunitas Gerejawi, dan tidak hanya terarah kepada beberapa anggota. (c) Diakonia tampaknya terlibat di dalam inti dari nilai kerajaan atau keselamatan, yang membangun tugas pokok dan prioritas dari misi Gereja di dunia. Pandangan ini memiliki tema-tema teologis yang sangat penting, yaitu pengertian tentang Kerajaan Allah, hakikat sakramental, dan diakonia Gerejawi, hubungan antara penciptaan dan penebuisan, kesatuan sejarah manusia dan sejarah keselamatan, pengertian global tentang keselamatan sebagai pembebasan integral, dsbnya. Demikian pula tampak penting mengatasi masalah dualisme tradisional Gerejawi, yakni Dualisme antara rohani dan temporal sebagai pembatasan bidang kegiatan Gereja dan kegiatan masyarakat sipil. Kita harus memberikan arti yang tepat tentang apa yang bersifat rohani dan temporal sesuai dengan Kitab Suci.

40

Dualisme antara klerus dan kaum awam, dengan menyerahkan kepada kaum awam tugas-tugas profan atau temporal. Diakonia Gerejawi memiliki tempat utama tertentu di antara fungsi-fungsi Gerejawi lalnnya dan membangun suatu krltdrla darl otensltasnya. Pelayanan kepada saudara dan diakonia karitatif merupakan dasar agar ungkapan-ungkapan lain dari kehidupan komunitas berfungsi merupakan kriteria dari otensitas mereka (bdk R.Volkl, Diaconia e Carita, Bologna, Dehoniane, 1978, p.65). Pelayanan kepada saudara dan diakonia karitatif merupakan kriteria yang menentukan untuk memasuki hidup di dalam komunitas. Diakonia Gerejawi tidak boleh direduksikan menjasi suatu alat untuk melaksanakan fungsi-fungsi Gerejawi lainnya, tetapi memiliki tugas dan tujuannya sendiri, sesuai dengan tujuan akhir dari Gereja, yaitu Kerajaan Allah. Diakonia Gerejawi harus memandang semua tingkat dari tugas dan partisipasi: pribadi, familiar, kebudayaan, sosial, ekonomi, ekologi, politik. Setiap dari tingkat-tingkat ini memiliki kemampuannya dan bertugas dalam berbagai cara, pada tugas misi dari orang beriman dan dari komunitas Gerejawi. Diakonia Gerejawi harus menghormati otonomi dari apa yang bersifat temporal (duniawi) dan sifat-sifat ganda dari kompetensi (pada tingkat isi, pelaku, pendekatan ilmiah dan profesional, metode intervensi, dsbnya). IV.3. Katekese dan Diakonia Gerejawi Berdasarkan hakikat katekese dan refleksi yang dilaksanakan tentang diakonia Gerejawi, kita dapat mengungkapkan di sini hubungan-hubungan antara mereka: 1. Katekese harus merupakan permulaan dari diakonia dalam berbagai bentuk. Hal ini berarti bahwa tugas katekese memberikan bimbingan, motivasi, menjelaskan, mengilhami, melibatkan, mendampingi, memberikan kunci untuk melihat dengan jelas dan merefleksikannya. 2. Diakonia tampak sebagai unsur konstitutif dari setiap proses katekese dalam komunitas kristen: a. Karena diakonia adalah unsur konstitutif dari pewartaan dan dari kesaksian injili dari pihak komunitas Gerejawi (bdk. Sinode tahun 1971) b. Karena diakonia adalah unsur konstitutif perkembangan iman dari komunitas dan masing-masing anggota. 3. Ukuran dan bentuk keterlibatan dalam katekese dari dimensi diakonia tergantung kepada berbagai faktor situasi katekese: konteks kebudayaan dan sosio politik, usia dan kondisi dari para peserta, situasi sejarah, dsbnya.

41

BAB KELIMA: KATEKESE DAN LITURGIA GEREJAWI

V.1. Liturgi dan pengalaman kristiani. Tempat dan arti momentum liturgis perayaan dalam keseluruhan pengalaman kristiani: Liturgi sebagai perayaan dan kehadiran misteri kristiani Sekularisasi dan liturgi, liturgi sebagai tujuan dari pengalaman iman. Liturgi terkait dengan kehidupan konkret seorang beriman. Arti antropologis dan sosio-budaya dari momentum liturgis-perayaan: Pentingnya sifat antropologis dari liturgi: ritus, pesta, perayaan, simbol. Pentingnya sosio-budaya dari liturgi: sense of belonging, pengetahuan sosial, struktur simbolik, ritus "perjalanan", inisiasi ................... Pentingnya dan kekaburan dari momentum liturgis-perayaan dalam kehidupan orang-orang kristen dan dalam praktik Gerejawi. Iman kristiani dan kegiatan ritual-simbolik: Sakramen-sakramen kristiani sebagai sakramen iman Hubungan dialektik antara liturgi kristiani dan keagamaan ritual. Liturgi dan praktek Gerejawi: Arti dan pastoral liturgi dalam keseluruhan tindakan pastoral dari Gereja. Problem pastoral dari sakramen Hubungan antara evangelisasi-katekese dan sakramentalisasi Problem dari praktik religius dan dari keagamaan populer.

V.2. Evangelisasi, Katekese dan Liturgi: Kesatuan yang mendalam dari ketiga momentum ini: pengalaman dari kondisi dan persiapan katekumen klasik. Liturgi sebagai sarana komunikasi: dimensi evangelisasi dan katekese dari liturgi-perayaan dan proses kematangan iman. Pentingnya katekese untuk kegiatan liturgi dan untuk pembaharuan liturgi. V.3. Pelayanan Sabda di dalam liturgi: Yang dimaksudkan dengan pelayanan Sabda dalam liturgi bukan hanya homili atau kotbah, tetapi juga seluruh realitas liturgis, sejauh merupakan sarana dan pelaksanaan Sabda Allah. Seluruh liturgi memiliki dimensi kenabian dan didaktik, karena liturgi merupakan momentum khusus dari inkarnasi Sabda.

42

Walaupun liturgi kudus pada tempat yang pertama adalah penghormatan terhadap ke Agungan ilahi, namun liturgi mengandung juga pendidikan umat yang berbobot. Karena di dalam liturgi Allah berbicara kepada umatNya, Kristus masih menwarkan injil sedangkan umat memberikan jawaban kepada Allah, baik dengan nyanyian maupun dengan doa (SC 33). Teologi liturgi dewasa ini menekankan peranan pokok Sabda Allah dalam peristiwa liturgis. Sabda allah itu merupakan unsur yang tarkandung di dalam ritus itu sendiri.Karya keselamatan Allah ditandai oleh dua unsur pokok, yaitu kejadiankejadian dan Sabda (kata-kata), yang menandai sejarah keselamatan Allah. Di dalam liturgi, yang merupakan momentum puncak dan khusus dari kegiatan Gereja, dimanifestasikan dan dihadirkan misteri keselamatan Yesus kristus, untuk keselamatan manusia dan kemuliaan Allah. Liturgi menuntut Sabda kenabian yang mengungkapkan misteri ilahi dalam tanda-tanda. Tanda-tanda liturgi sekaligus merupakan pemakluman, peringatan, perjanjian dan permohonan, tetapi hanya melalui Sabda, tanda-tanda liturgis tersebut mendapatkan kepenuhan artinya. Hubungan mendalam antara kata-kata dan kejadian-kejadian, di dalam liturgi menjadi hubungan yang sangat erat sekali antara Sabda dan Sakramen. Ini merupakan hukum konstitutif yang menjelaskan liturgi sabda. Pemakaian Kitab Suci dalam liturgi, pemakaian pada umumnya kata-kata (teks, nyanyian dan homili) dan lebih pokok lagi eksistensi forma sakramen, yang merupakan momentum puncak di mana Sabda masuk ke dalam inti sakramen. Seperti Sabda (logos) menjelmakan diri dalam bentuk jasmaniah (lahiriah), demikian pula Sabda Iman menjelmakan diri dalam perbuatan-perbuatan ritual yang menjadi- sakramen-sakramen atau sabda-sabda yang diinkarnasikan. Bentuk sakramen adalah sabda Allah yang dijelmakan dalam ibadat (ritus). Demikian pelayanan sabda masuk ke dalam inti sakramen tersebut: berkat sakramen, maka perbuatan ritual menjadi manifestasi misteri perbuatan-perbuatan Kristus yang menyelamatkan kita. Karena itu Sabda di dalam puncaknya menjadi sakramen itu sendiri, yaitu tujuan sakramen merupakan bentuk berbagai dari inkarnasi dari satu Sabda Iman. Di dalam pengertian inilah kita berbicara tentang tempat utama dari Sabda di dalam ibadat, sejauh Sabda itu membangun bagian formal dari ibadat dan sejauh dipahami hanya dalam konteks Sabda injil. Semua upacara liturgis pada hakikatnya harus merupakan komunikasi hidup kabar pewahyuan dalam Kristus. Eksistensi global, dimensi komunitaria, pengalaman konkret, merupakan karakter yang sangat berarti dan sah dari pelayanan Sabda dalam bentuk liturginya.

43

Dalam konteks global dari kejadian liturgis sebagai pewartaan Sabda, perlu kita pertimbangkan secara khusus, karena hakikatnya yang bersifat evangelisasi dan katekese, yaitu arti dan fungsi homili. Homili membangun suatu bentuk khusus, yang tidak dapat diganti dengan yang lain, dari proklamasi Sabda Allah: Homili adalah bagian dari tugas kenabian, yang dikuduskan dalam liturgi, memaklumkan keagungan karya Tuhan dalam sejarah keselamatan, diilhami oleh teks-teks Kitab Suci, dan sesuai dengan misteri yang dirayakan dan pula memperhatikan kepentingan khusus para pendengar. Definisi homili ini menunjukkan ciri-ciri khas dari homili yang berbeda dengan bentuk-bentuk lainnya dari pewartaan dan pengajaran agama. Di bawah ini kami akan memperlihatkan beberapa unsur yang perlu ada di dalam homili yang baik dan benar, yaitu: 1. Dimensi komunitaria: homili, karena merupakan bagian integral dari perayaan komunitaria, mengarah kepada kehidupan komunitas, artinya homili ini harus bersandar pada partisipasi individu dalam kelompok. Di dalam perayaan ekaristi, yang merupakan puncak dari kehidupan liturgi, homili dapat memiliki artinya yang penuh bila komunitas mencapai kematangan iman yang per se berkaitan dengan pengertiannya tentang tempat ekaristi dalam karya keselamatan. 2. Bersumber pada Kitab Suci: pada hakikatnya, homili merupakan penafsiran aktual dari teks Kitab Suci yang dinyatakan dalam perayaan. Homili memaklumkan kehadiran dan arti misteri keselamatan yang dinyatakan dalam bacaan-bacaan suci: Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya (Lk.4:21). Kemungkinan memilih bacaan-bacaan Kitab Suci dan menggunakan berbagai model aktualisasinya membimbing pastor dalam penyesuaian homili pada situasi efektif dari komunitas. Dalam setiap kasus perlu kiranya mengarah kepada Kitab Suci, bila kita benar-benar ingin berbicara tentang homili liturgis. 3. Mengarah kepada misteri: setiap Sabda yang dimaklumkan dalam perayaan harus merupakan penafsiran rohaniah dari ritus. Homili memiliki tugas pokok mengungkapkan misteri dan menyatakannya kehadiran misteri dalam perayaan liturgi. Pelayanan homili harus diarahkan kepada pengendapan iman dari tanda-tanda sakramen, dalam arti luas, dalam konteks komunitas. Ciri-ciri khas dari homili yang telah kami utarakan di atas mungkin hanya berkaitan dengan pengalaman yang dihayati dari pemakluman homili dewasa ini. Realisasi efektif dari suatu pewartaan otentik liturgi ditentukan dan dipersulit dewasa ini oleh berbagai faktor, yaitu antara lain ketidaktepatan pembaharuan liturgi, kekurangan otentisitas dari siatu komunitas iman, dan kurang siap para pastor dalam tugasnya di dalam membina umat dalam bidang pastoral.

44

V.4. Katekese dan pelayanan liturgi sabda. Di antara kegiatan-kegiatan katekese dan perayaan liturgi, seperti yang telah kita lihat di atas, terdapat berbagai unsur kesamaan dan saling berhubungan, yaitu: 1. Katekese memiliki peranan penting dalam liturgi Di dalam karya keselamatan sakramental, dan bila kita berbicara tentang ritus inisiasi, kita menemukan peranan penting katekese untuk memperkembangkan secara benar dan khusus liturgi, sehingga liturgi ini dapat dipahami, dihayati dalam bentuk yang sesuai. Perayaan liturgi sebenarnya mengandaikan beberapa disposisi dasar, yaitu semangat berkomunitas, perasaan syukur, pemahaman beberapa rumusan, bacaan suci, liturgi, karena tuntutan kodratnya, tidak dapat menjadi tempat pertama (utama) untuk evangelisasi dan katekese, karena secara material tidak memiliki waktu cukup dan sarana yang memadai untuk melaksanakan hal itu. Banyak upaya yang dilaksanakan untuk mengatasi kekurangan evangelisasi dan katekese di dalam perayaan sakramen dan ekaristi. Hal ini menunjukkan kegagalan mereka. Harapan Konsili Vatikan II mengenai Liturgi Dalam pembaharuan ini teks dan upacara harus ditata sedemikian rupa, sehingga hal kudus, yang dilambangkan diungkapkan lebih jelas, dan sejauh mungkin umat kristen dapat memahaminya dengan mudah dan dapat berperan serta secara penuh dan aktif dalam perayaan khas jemaat" (SC.21). Hal ini masih dapat sangat jauh dari realisasi, meskipun telah tampak kemajuannya. Dan kita senantiasa berpikir bahwa liturgi, senantiasa membutuhkan katekese untuk mempersiapkan memahami upacara-upacara liturgis dan pula mengajak meteka untuk secara aktif ambil bagian dalam liturgi tersebut. Dari lain pihak, kami yakin pula bahwa tidak cukup diadakan pembaharuan liturgi untuk mengatasi kekurang tersebut. Dalam situasi dewasa ini, banyak sakramen diberikan kepada pribadi-pribadi yang kurang matang imannya, bahkan yang belum beres kehidupan agamanya; homili seringkali diberikan kepada mereka yang tidak cukup terikat dengan Gereja nya dan memiliki pengetahuan iman yang kurang. Karena itu dibutuhkan pembinaan yang sungguh-sunguh di dalam bidang sakramental, agar mereka benar-benar siap menerima sakramen-sakramen dan dapat menghayatinya. Di sini dibutuhkan pastoral sakramen-sakramen. 2. Katekese pada hakikatnva diarahkan kepada liturgi Di antara pembaharuan katekese dewasa ini terdapatlah peninjauan kembali setiap katekese yang diarahkan kepada partisipasi aktif dan matang kepada kehidupan liturgis Gerejawi. Dewasa ini sangat penting dan berguna diperhatikan persiapan menerima sakramen-sakramen dan meninjau kembali pelajaran agama bagi calon baptis. Dalam arti tertentu, liturgi dapat dipandang sebagai tujuan katekese:

45

Liturgi, karena partisipasi aktif dan sadar yang dituntut oleh setiap orang kristiani, merupakan titik akhir setiap pendidikan iman. Orang kristiani tidak pernah mengungkapkan pengakuan imannya sedemikian tinggi dan dalamnya kecuali di dalam perayaan-perayaan kultus, di dalam menerima sakramensakramen, khususnya ambil bagian di dalam perayaan ekaristi. Semua pendidikan iman, kegiatan pastoral di dalam komunitas Gerejawi, cenderung pada dasarnya memberikan kepada orang beriman kesadaran yang makin mendalam akan panggilan ekaristinya. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa liturgi merupakan tujuan katekese. Pernyataan di atas ini harus dipahami benar-benar supaya kita tidak sampai kepada pendapat bahwa tugas katekese hanya mempersiapkan perayaan liturgi yang indah atau mengajarkan individu untuk menerima sakramensakramen. Orientasi liturgi di dalam katekese dalam usaha edukatif dan pastoral untuk mewujudkan dalam kehidupan suatu kultus dalam semangat dan kebenaran bahwa dalam perayaan-perayaan liturgi ditemukan pengungkapannya dan makanannya. Di dalam katekese kita mengajarkan agar menghayati liturgi dengan baik. Di dalam pembaharuan ini ditekankan hubungan antara liturgi dan kehidupan dalam perwujudan konkret. 3. Katekese memiliki di dalam liturgi sumber dan kriteria pembaharuan Seperti telah dikatakan di atas bahwa evangelisasi merupakan norma dan jiwa dari kegiatan katekese, hal ini juga berlaku secara analogi bagi liturgi, meskipun berbeda sesuai dengan fungsinya dan ciri khas masing-masing. Berkat katekese maka liturgi dapat membawa kita kepada tujuannya. Fakta bahwa seluruh kehidupan kristiani ditemukan dalam liturgi, khususnya dalam Ekaristi, sebagai Puncak dan Sumber. Hal ini tidak diganti oleh kegiatan katekese. Demikian pula katekese, seperti liturgi, bagian dari mendengarkan Sabda Tuhan dan mengarah kepada tujuan dalam penghayatan iman, doa, kultus, dan kesaksian. Pengaruh liturgi dalam perkembangan katekese harus dipahami terutama dalam arti semangat dalam dan stimulasi dari Roh dan sikap. Hal ini tidak berarti bahwa katekese harus secara material menyesuaikan diri dengan skema perayaan liturgis, umpamanya dengan memperkenalkan upacaraupacara, nyanyian-nyanyian, doa-doa, simbol, bacaan suci, dsbnya, terutama dalam suasana dan momentum yang sama sekali tidak sakral. Di samping itu juga ada tempat untuk bentuk-bentuk katekese yang memiliki ciri-ciri kurang lebih kuat dari bentuk-bentuk liturgis, misalnya dramatisasi rohani, para liturgi, ekspresi mimik dan simbolik, perayaan Sabda, dsbnya. Dalam hal ini, sejuah hal ini dilaksanakan dalam tempat dan waktu yang, cocok, katekese dapat memanfaatkan hasilnya yang nyata dan komunikatif dari peranan liturgi yang dimaksud.

46

Kesimpulan 1. Inisiasi liturgi merupakan momentum esensial dari tugas katekese. 2. Aspek simbolik-perayaan dari dinamisme katekese 3. Pilihan pastoral: menyelamatkan kesatuan dan keseluruhan tindakan pastoral, perjalanan dari praktik liturgi-sakramental kepada evangelisasi orientasi baru dari inisiasi sakramental. Kesimpulan bagian kedua ini: identitas katekese dan katekis-animator a. Pandangan global dari katekese setelah berbagai pendekatan yang dilakukan sampai sekarang: komplesitas dan pentingnya katekese, dimensi fundamental, usaha untuk mensintesekan dan merumuskan. b. Arti dan pentingnya pilihan evangelisasi dan katekese dalam gambaran tugas Gereja dalam dunia dewasa ini. c. Spiritualitas dari para animator-katekis dan dari komunitas para katekis (usaha untuk menentukan, berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dilakukan tentang hakikat katekese, garis-garis fundamental dari profil dalam daripada penanggungjawab kegiatan katekese di dalam Gereja, pribadi-pribadi dan komunitas).

47

BAGIAN KETIGA UNSUR-UNSUR KONSTITUTIF DARI PRAKTIK KATEKESE


I. Tujuan dan Tugas Katekese 1. Proses kematangan iman Unsur-unsur konstitutif dari proses ini adalah pertobatan sikap dan pengetahuan bentuk-bentuk kehidupan dan perbuatan. Pemusatan kepada konsep sikap. Aspek-aspek kognitif dan afektif serta kekuatan pengaruh dari tujuan katekese. 2. Tujuan tindakan katekese Kriteria dari perumusan: gambaran global tentang tujuan; prospek panggilan dari katekese. 3. Hakikat dari tugas katekese Katekese sebagai pendidik-pembinaan; pengajaran-pengetahuan; inisiasi; komunikasi; promosi-pembebasan. II. Pelaku dan Tempat Katekese 1. Pertanggungjawaban Gerejawi dari tugas katekese: Memperlakukan peserta katekese sebagai subjek katekese yang ambil bagian secara aktif di dalam kegiatan katekese. 2. Komunitas kristiani sebagai subjek dan objek katekese: Orang-orang dewasa kristen merupakan subjek yang berpartisipasi dalam kegiatan katekese: Pentingnya promosi katekese dari orang beriman. Pentingnya wanita dalam tanggung jawab dari kegiatan katekese. Penting pula mengakui peranan wanita di dalam kegiatan Gerejawi. 3. Jabatan pelayanan dan kharisma dalam hubungan dengan katekese: Persoalan pastoral dari jabatan pelayanan dan kharisma dalam Gereja. Jabatan Gerejawi untuk katekese: kekuasaan mengajar dari para imam; tugas/jabatan imam dan diakon-para katekis; para religius; kaum awam (suami-isteri, orang tua) keluarga; bentuk-bentuk lain dari tanggung jawab katekese: teologi, para nabi, guru, penulis, dsbnya. 4. Tempat-tempat katekese: Tempat-tempat tradisional: paroki, keluarga, sekolah, perkumpulan. Tempat-tempat baru untuk katekese: bentuk-bentuk baru komunitas, massmedia, katekese okasional, tempat-tempat lain untuk katekese.

48

III.

Isi dan Bahasa Katekese Persoalan aktual dan tradisional mengenai isi dan bahasa katekese. 1. Isi dari katekese dewasa ini: Sumber isi katekese Pesan kristen dalam prospek katekese Iman dan budaya: inkulturasi dari isi katekese Iman dan sekularisasi: mengatasi dualisme religius dan interpretasi baru tentang pesan kristen. Iman dan pengetahuan: konsekuensi untuk isi katekese-katekese antropologis. 2. Persoalan intearitas isi katekese: Integritas ekstensif dan intensif Prinsip konsentrasi: rumusan sintetik, lambang iman Hierarki kebenaran dalam isi katekese Kriteria katekese dari integritas isi 3. Persoalan ortodoksi dari isi katekese: Ortodoksi sebagai tuntutan isi dari katekese Ortodoksi dan ideologi Ortodoksi dan pengertian tentang ekklesiologi Kriteria dari aplikasi katekese. 4. Bahasa katekese dewasa ini: Pesan kristen dan bahasa Tiga bahasa dari transisi katekese Bahasa Kitab Suci Bahasa Gereja Bahasa antropologis Komunikasi non verbal dan katekese Mass media dan katekese

Kesimpulan Kriteria untuk menentukan isi katekese, integritas iman dan kehidupan. Teologi sistematik dan katekese katekismus dan katekese. IV. Metode dan Sarana Katekese 1. Refleksi tentang praktik: Sebagai metodologi dari tindakan Gerejawi: perbedaan pengertian dari metodologi; struktur formal dari proses metodologi: pendekatan ilmiah, metode dan teknik. 2. Metodoloqi oraktek katekese: Struktur formal dari proses metodologi katekese Prinsip dasar dari metodologi katekese

49

3. Metode dan sarana dari metodologi katekese: Metode dan sarana untuk menganalisa situasi Metode dan sarana untuk memprogramkan dan melaksanakan katekese Eksperimen dalam bidang katekese dan penilaian metode-saran. $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Alberich E., Orientamenti attuali della Catechesi, Leumann (Torino), Elle Di Ci 1973. 2. Alberich E., Natura e Compiti di una catechesi moderna, Leumann (Torino), Elle Di Ci 1974. 3. Alberich E,., La pedagogia catechistica dopo il Concilio. Rassegna bibliografica sui problemi generali della catechesi, in Orientamenti Pedagogici (1969) 4. Alberich E., Evangelizzazione e Catechesi: La nuova opzione operative, IDOC Internazionale, 1977. 5. Alberich E., Fede ed esperienza nel movimento catechistico postconciliare, in Catechesi 50 ( 1981) 6. Alberich E., Liturgia e catechesi. La sintesi del mistero cristiano offerta dalla liturgia, Orientamenti Pedagogici 13 (1966) 7. Alberich E., Pastorale giovanile e sacramenti. A proposito delleta piu conveniente per conferire I sacramenti dell'iniziazione cristiana, Orientamenti pedagogici 14 (1967) 8. Angelini G, et alii, Iniziazione cristiana e Immagine di Chiesa, Leumann (Torino), Elle Di Ci 1982 9. Bartoletti E, et alii, Evangelizzazione e Promozione umana. Riflessione biblicoteologica-pastorale, Roma, AVE 1976 10. Burgess A.W., An Invitation to Religious Education, Mishawaka, Indiana, Religions Education Pres Inc., 1975 11. Colomb J., Al servizio della Fede, Torino-Leumann, LDC, 1969 12. Cavalleri C. et alii, Una Chiesa che si rinnova, Torino, SEI, 1979 13. Concilium 14 (1978) n 4, Tema:Evangelizzare nel mondo di oggi. 14. Cuminetti M, et alii, Evangelizzazione e promozione umana, Assisi, Cittadella 1979 15. Dreissen J., La linea liturgica della nuova catechesi, Leumann-Torino, Elle Di Ci, 1969 16. Gevaert J., Esperienza umana e annuncio cristiano, Leumann (Torino), Elle Di Ci, 1975. 17. Jungmann J.A., Catechetica, 3 ed., Alba, Ediz, Paoline, 1969 18. Marranzini A., Evangelizzazione e Sacramenti, Roma, Citta Nuova, 1973 19. Milan P. (Ed), Evangelizzazione e Comunita. Perche il Concilio viva nella Chiesa Locale, Roma, AVE 1973 20. Moran G., Catechesis of Revelation, New York, Herder and Herder, 1966 21. Mouroux J., Lesperienza Cristiana, Brescia, Morcelliana, 1956 22. Riva S., Catechetica Pastorale, Brescia, La Scuola, 1970. 23. Rahner K., et alii, La Chiesa nella situazione d'Oggi, Roma, 1969 24. Rahner K., Chiesa e Sacramenti, Brescia, Morcelliana, 1965 25. Rummery R. M., Catechesis and Religious Education in a Pluralist Society, SydneyHongkong, E.J. Dwyer, 1974 26. Schillebeeckx E., Cristo sacramento dell'incontro con Dio, Roma, Paoline, 1962 27. Zavalloni R., Levangelizzazione nel mondo contemporaneo, Roma, Ediz. Paoline, 1974

You might also like