You are on page 1of 25

RULE OF LAW STUDI TENTANG SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DI BARAT DAN DI INDONESIA

Abstrak Rule of law yang diartikan sebagai kekuasaan sebuah hukum merupakan tradisi hukum barat yang mengutamakan prinsip equality before law. Ungkapan yang sering mengekspresikannya adalah government by law and not by men. Diantara ciri-cirinya: adanya supremasi aturanaturan hukum, kesamaan kedudukan di depan hukum, dan jaminan perlindungan HAM. Doktrin yang muncul pada abad ke-19 ini memberikan kebebasan bagi individu, mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis, dan menjanjikan kepastian hukum tetapi disinyalir sarat dengan kepentingan sosial dan temporal masyarakat industrialis-kapitalis saat kemunculannya, sehingga sering missmatch dengan kondisi riil kekinian. Karenanya muncul ketidakpuasan dan kritik dalam rangka menyempurnakan rule of law. Di Indonesia sendiri rule of law diadopsi secara taken for granted sebagai satu-satunya pemikiran hukum, padahal dalam realitanya hukumnya dinilai sering tidak mencerminkan rasa keadilan sosial dan menjauh dari masyarakat. Tawaran kemudian banyak muncul untuk mempertimbangkan konsep lain yang lebih dinamis dalam berhukum seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila disamping rule of law, untuk menjadikan hukum lebih adil dan memihak. Keywords : Rule of law; penegakan hukum; dan keadilan Pra Wacana Hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, karena memiliki hubungan timbal balik (Teguh Prasetyo, 2007: 38). Ia akan selalu ada di setiap masyarakat di manapun juga di muka bumi ini dan bagaimanapun keadaannya, modern atau primitip. Dalam kehidupan bernegara, hukum bukan hanya peraturan, melainkan sebuah norma yang oleh negara dipaksakan seperlunya. Dengan demikian, hukum mengikat segenap warga negara dengan mekanisme keberadaan sebuah sangsi sebagai pemaksa. Karenanya, ia ditaati tidak saja oleh yang lemah, tetapi juga oleh pihak yang kuat. Hukum memainkan banyak peran dalam masyarakat. Teguh Prasetyo (2007: 39), menyebut tiga peranan utama hukum dalam masyarakat, yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. Dengan ungkapan lain, Zainuddin Ali (2006: 37-39) mengemukakan bahwa peran dan fungsi hukum sebagai sosial kontrol di dalam masyarakat, alat untuk mengubah masyarakat, simbol pengetahuan, instrumen politik, dan sebagai alat integrasi. Anton Freddy (2005: 89) menyebut peranan hukum sebagai sarana pembentukan perilaku dalam masyarakat untuk menghubungkan kepada seperangkat tujuan melalui orang-orang yang memiliki pengaruh di dalamnya. Sedangkan Theo Huijbers (1982: 289) menyebut bahwa fungsi hukum adalah untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan sosial dalam hidup bersama. Ketiga hal ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus dapat diatur dengan baik. Supremasi hukum (rule of law) dapat dianggap sebagai unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum tidak ditegakkan betul, selalu ada kecenderungan dari pihak-pihak yang kuat untuk bersikap sewenang-wenang dan yang lemah diperlakukan tidak adil. Yang lemah dapat diambil haknya, bukan karena yang kuat itu berhak, tetapi karena yang lemah itu memang salah. Pemerintahan dapat disebut berdasarkan hukum apabila menyatakan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga negara termasuk para pejabat pemerintahtunduk pada hukum dan sama-sama berhak atas perlindungannya. Kesepatakan bersama untuk menerima ini akan menjanjikan munculnya

sebuah keteraturan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dalam keadaan supremasi hukum yang sudah established, maka kepentingan dari semua orang akan terlindungi, termasuk dari pihak yang kuat. Bagi masyarakat hal ini merupakan sebuah keberuntungan jika semua mengikuti hukum. Adalah Imanuel Kant, seorang filosof yang memikirkan persoalan ini lebih 300 tahun yang lalu, dia mengatakan bahwa dalam negara dengan hukum yang baik, maka rakyat yang terdiri atas setan-setanpun akan menaati hukum. Menurut Frans Magnis Suseno dalam forum kajian hukum Freedom Institute 14 Mei 2007, apa yang hendak dikatakan Kant adalah bahwa meskipun orang-orang berwatak jelek, tapi karena hukum begitu masuk akal dan menguntungkan semuanya, maka mereka dengan sendirinya akan mengikutinya juga. Ini juga berarti bahwa yang kuat pun akan beruntung karena adanya aturan yang jelas. Yang kuat tetap dapat memakai kekuatannya dalam ruang yang bebas, misalnya persaingan ekonomi. Di sini yang kuat bisa menang, tapi bukan dengan tidak adil. Penelitian ini bersifat library research (kepustakaan) dengan mengkaji berbagai macam data berkenaan rule of law dan penegakan hukum, baik yang berasal dari sumber primer maupun sumber sekunder. Data yang didapat selanjutnya akan dianalisis dengan mengunakan content analysis, yaitu tehnik yang digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam teksteks tersebut, dan selanjutnya data disajikan dalam bentuk deskriptif-analitis. Dalam tulisan ini akan dielaborasikan lebih lanjut tentang makna rule of law, latar belakang kemunculannya, prinsip-prinsip yang dianutnya, dan penegakan hukum (rule of law) di Indonesia. Penulis juga merasa perlu untuk menelaah dinamika pemikiran rule of law dalam konteks keindonesiaan sebagai bahan kajian lebih lanjut. Definisi dan Sejarah Perkembangan Rule of Law Secara literal rule of law (supremasi hukum) menurut Josep Raz (1979: 212) dapat diartikan sebagai kekuasaan dari sebuah hukum. Secara luas, rule of law memiliki makna: that people should obey the law and ruled by it. Ini berarti bahwa masyarakat berkewajiban untuk mentaati hukum dan dikendalikan dengannya. Hanya saja, lanjut Raz dalam politik dan teori hukum pemaknaan ini menjadi sempit, yakni bahwa pemerintah hendaknya dikendalikan oleh hukum dan menjadi subyek terhadapnya. Dalam pengertian ideal seperti ini, supremasi hukum sering diekpresikan dengan ungkapan government by law and not by men, meskipun pada kenyataannya pemerintahan memang harus terdiri dari hukum dan manusia. Makna rule of law mengharuskan seluruh tindakan pemerintah memiliki landasan dan memiliki pengesahan hukum. Aspek literal Rule of law memiliki dua aspek, yakni: pertama, bahwa setiap orang harus dikendalikan oleh hukum dan mentaatinya; kedua, bahwa hukum hendaknya menjadikan orang mampu diarahkan dengannya. Ini berarti bahwa hukum harus dapat untuk ditaati. Seseorang dituntut oleh menyesuaikan diri dengan hukum dan bukan untuk melanggarnya. Hanya saja ketaatan seseorang terhadap hukum terjadi jika yang bersangkutan memiliki kecocokan dengan pengetahuannya. Oleh karenanya, hukum yang akan ditaati hendaknya bersifat must be capable of guiding the behavior of its subject. Hukum hendaknya dapat diketahui maksudnya dan dapat dijadikan pijakan dalam bertindak. (Raz, 1979: 213) Moch. Mahfud MD (1999: 127) menyebut bahwa rule of law dianut oleh negara-negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law . Rule of law mengutamakan prinsip equality before law. Adapun ciri-cirinya adalah : 1. Adanya supremasi aturan-aturan hukum, 2. Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan 3. Adanya jaminan perlindungan HAM. A.V. Dicey (2007: 264-265) mengartikan rule of law dalam tiga definisi yang berbeda. Pertama, rule of law berarti supremasi hukum atau superioritas hukum regular yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif

atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah. Kedua, ia juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh Mahkamah hukum umum. Ketiga, adalah fakta bahwa hukum konstitusi, aturan-aturan yang di luar negeri membentuk sebagian undang-undang konstitusi. Rule of law sebagaimana dinyatakan Ensiklopedi Wikipedia merupakan prinsip dasar yang menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang berada di atas hukum. Dalam pampletnya Common Sense (1776), Thomas Paine menyatakan bahwa: dalam pemerintahan absolute, raja adalah hukum, tetapi dalam Negara-negara yang bebas, maka hukum harus menjadi raja dan bukan yang lainnya. Di Inggris, dideklarasikannya Magna Carta (1215) merupakan contoh riil tegaknya rule of law terutama pada masa klasik. Sunarjati Hatono (1976:30) menyebut inti pengertian rule of law adalah jaminan apa yang disebut sebagai keadilan sosial. Selanjutnya Sunarjati (1976: 28) mengutip pendapat Friedman, memakai kata rule of law dalam arti formil dan arti materiil. Dalam arti formil, rule of law diartikan sebagai organized public power atau kekuatan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini maka setiap organisasi hukum (termasuk negara) memiliki rule of law-nya sendiri. Sedangkan dalam arti materiil, rule of law adalah hal yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk, yakni tentang just dan unjust law. Doktrin rule of law mulai muncul pada abad ke-19 berbarengan dengan negara konstitusi dan demokrasi. Kehadirannya dapat disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara yang absolut sebelum itu. Satjipto (2006: 14) menyebut kemunculannya sebagai necessary evil, sesuatu yang buruk tetapi harus terjadi. Dari dunia yang sebelumnya tidak mengenal negara, tidak dapat diharapkan begitu saja memunculkan negara berkonstitusi. Paham negara, apapun bentuknya harus dimunculkan terlebih dahulu, dan itulah yang terjadi. A. Gunaryo menambahkan (2006) bahwa kemunculan rule of law erat sekali dengan gerakangerakan sosial dan pola-pola kehidupan sosial yang menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi sosial. Thomson sebagaimana dikutip Gunaryo menegaskan bahwa konsep rule of law lahir di Inggris sebagai akibat dari munculnya gerakan pembebasan diri dari penindasan raja, sebuah kekuasaan yang absolut dan serba meliputi, dan dominasi kelas kelaskelas sosial yang kuat. Di Amerika, konsep ini diberlakukan untuk menjamin kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rule of law memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat dengan dunia barat. Gerakan-gerakan ini membawa banyak perubahan diantaranya munculnya negara modern. Perlu ditambahkan pula bahwa sementara rule of law memimiliki hubungan dengan kebebasan politik individual, konsep ini juga memiliki hubungan dengan kapitalisme kompetitif. Ekonomi pasar menurut mereka turut mengkondisikan rule of law dan outcome-nya. Dalam pandangan mereka kapitalisme yang kompetitif hanya akan berjalan dengan sangat baik jika ditopang oleh aturan tatanan hukum yang di didasarkan pada rule of law. Dengan rule of law, pertukaran di pasar, perencanaan dan implementasi investasi untuk membuat keuntungan-keuntungan pribadi pribadi, kepemilikan usaha, dan lain-lain diberikan perlindungan yang terukur (A. Gunaryo, 2006). Konsepsi negara hukum model rule of law yang lebih menitik beratkan individualisme tersebut telah menjadikan pemerintah sebagai penjaga malam (nachwachtersstaat) yang lingkup tugasnya sangat sempit dan terbatas (Mahfudz, 1999: 130). Pemerintah dituntut pasif dan hanya menjadi pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan dalam undang-undang oleh parlemen. Agar tidak terjerumus dalam absolutisme, kekuasaan pemerintah dibatasi secara ketat. Konsep negara hukum abad XIX dikenal sebagai konsep negara hukum formal ini yang melahirkan berbagai kesenjangan sosial dan ekonomi. Individualisme liberal telah menyebabkan dominannya pemiliki modal dalam parlemen yang berdampak pada dibuatnya produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis. Pemeritah dalam hal ini tidak dapat berbuat banyak dan tidak boleh campur tangan selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

Keadaan diatas menurut Mahfudz (1999: 130) melahirkan ketidakpuasan sehingga memunculkan gagasan tentang welfare state (negara hukum material). Gagasan ini didorong oleh sejumlah faktor yang merupakan ekses industrialisasi dalam sistem kapitalis, paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Berbeda dengan gagasan negara hukum formal yang melarang pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan masyarakat, negara hukum material menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat karenanya tidak boleh pasif. Demokrasi diperluas cakupannya hingga masalah sosial ekonomi sehingga tidak berhenti pada perlindungan hak sipil dan politik semata. Dalam bidang ekonomi harus diterapkan sebuah sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan mampu memperkecil perbedaan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan dan materiale daad. Ciri negara hukum dari konsep rule of law dan rechtstaat karenanya perlu dirumuskan kembali. Perumusan kembali ciri-ciri tersebut akhirnya dihasilnya dari International Comission of Jurist pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara hukum yang dinamis atau negara hukum material, sebagai berikut: 1. Adanya perlindungan konstitusional. Selain dapat menjamin hak-hak inidividu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. 2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak. 3. Adanya Pemilihan Umum yang bebas. 4. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi. 5. Adanya pendidikan kewarganegaraan. Prinsip-prinsip Rule of Law Diantara prinsip-prinsip yang dapat diambil dari ide pokok rule of law menurut Josep Raz ( 1979: 214-18) adalah : 1. Seluruh undang-undang hendaklah bersifat prospektif, terbuka dan jelas Seseorang tidak dapat dikendalikan oleh hukum yang bersifat retroaktif (berlaku surut). Dalam kondisi tertentu, hukum retroaktif memang dapat diundangkan, tetapi hendaklah tetap tidak bertentangan dengan rule of law. Sebuah undang-undang hendaklah terbuka dan dipublikasikan secara memadai. Pada saat yang sama, makna yang dikandungnya harus jelas, tidak samar, atau teliti. 2. Undang-undang hendaknya bersifat stabil Undang-undang hendaknya tidak sering berubah. Perubahan undang-undang yang terlalu sering akan mempersulit masyarakat untuk dapat mengenalnya dan menjadikan masyarakat dalam kekhawatiran yang berkepanjangan. Dalam kenyataannya masyarakat membutuhkan pengetahuan tentang hukum bukan untuk keputusan jangka pendek, tetapi juga untuk perencanaan jangka panjang (long term planning). 3. Pembuatan hukum khusus (particular law) hendaknya dipandu dengan terbuka, stabil, jelas, dan dengan aturan yang general. Terkadang diasumsikan bahwa kebutuhan akan generalitas sebuah undang-undang merupakan esensi sebuah rule of law. Penegasan atas hal ini merupakan interpretasi literal dari rule of law ketika undang-undang dibaca dalam konotasinya sebagaimana dibatasi untuk generalisasi, stabil, dan hukum yang terbuka. Hal ini juga diperkuat dengan keyakinan bahwa rule of law secara khusus harus relevan untuk melindungi equality (perlakuan sama) yang biasanya berhubungan erat dengan generalitas sebuah hukum. Perbedaan ras, agama, dan kebiasaan bukan sebuah harmoni tetapi sering dilembagakan dalam aturan yang general. 4. Independensi peradilan harus mendapat jaminan. Hal ini merupakan esensi dari sebuah sistem hukum kota (municipal legal system) bahwa institusi peradilan mendapatkan kebebasan untuk menentukan keputusannya. Independensi lembaga peradilan didesain untuk mendapatkan garansi sehingga bebas dari berbagai presseur dan independen dari segala bentuk otoritas lain yang turut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. 5. Prinsip-prinsip keadilan yang natural harus dijalankan

Keterbukaan, praktek hearing yang fair, ketiadaan bias dan semisalnya merupakan hal essensial dalam pelaksanaan sebuah hukum secara benar. Karenanya, berbagai konsideran yang disebut lebih dulu merupakan panduan yang patut dipertimbangkan dalam aksi hukum. 6. Pengadilan hendaknya mendapat kekuatan untuk meninjau kembali implementasi pendirian (hukum) yang lain. Hal ini termasuk peninjauan kembali terhadap legislasi parlemen dan hukum administratif, meski dalam bentuk terbatas. Hal ini diperlukan untuk menguji kesesuaiannya terhadap rule of law. 7. Pengadilan hendaknya dapat diakses dengan mudah Posisi sentral pengadilan dalam memastikan rule of law hendaknya menjadikan aksebilitas lembaga ini menjadi sangat penting. Penundaan yang berkepanjangan, ongkos yang berlebihan, dan sebagainya dimungkinkan akan mengubah hukum yang seharusnya mencerahkan menjadi a dead letter (kertas perkara yang tak berarti), dan membuat frustasi banyak pencari keadilan. 8. Praktek diskresi dalam rangka mencegah kejahatan tidak boleh menyesatkan pelaksanaan hukum. Tidak hanya peradilan tetapi juga kepolisian dan mereka yang memiliki otoritas untuk melakukan tuntutan hukum, dapat menumbangkan hukum itu sendiri. Sebuah tuntutan tidak diperkenankan misalnya hanya dilakukan secara maksimal terhadap kriminal tertentu atau jika pelanggarnya dari golongan tertentu. Pencurahan sumber daya dan seluruh tenaga tetap harus dilakukan dalam setiap tuntutan hukum. Daftar prinsip ini nampak lengkap, namun imbuh Raz (1979: 218), bisa saja ditemukan prinsip lain yang bersesuaian dengan rule of law lewat elaborasi lebih lanjut. Penyusunan daftar prinsip tersebut dimaksudkan untuk mengilustrasikan kekuatan dan manfaat konsep formal rule of law. Yang perlu diingat adalah bahwa analisis final terhadap doktrin ini terletak pada ide pokok bahwa hukum harus mampu menjadi pedoman yang efektif. Rule of Law dan Penegakan hukum di Indonesia Konsepsi Negara hukum Indonesia merupakan konsepsi sintetis dari beberapa konsep yang berbeda tradisi hukumnya. Mohamad Mahfud MD (1999: 139) menyatakan bahwa negara Indonesia ini diwarnai oleh campur aduk antara konsep-konsep rechtstaat, the rule of law, negara hukum formal, dan negara hukum material yang kemudian diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi negara hukum Pancasila. Konsepsi sintesis seperti ini meskipun lahir dari kebutuhan lingkungan masyarakat Indoenesia yang spesifik tetapi mengandung resiko berupa seringnya muncul perdebatan tentang konsep negara hukum dengan acuan berbeda. Yang satu mengacu pada rechtsstaat sedangkan yang lain mengacu pada the rule of law, atau yang satu mengacu pada negara hukum formal dengan legisme-nya, sedangkan yang lain mengacu pada hukum material dengan just law-nya. Tradisi hukum Anglo Saxon yang bernama Rule of law masuk dalam UUD 1945 dapat dilihat minimal dari pasal 27 yang menentukan bahwa setiap warga Negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Sementara itu istilah rechtstaat dan pelembagaan dunia peradilan yang membuka peradilan administrasi (tata usaha) Negara adalah cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental. Dalam sejarah perkembangan negara Indonesia sejak berdirinya (17-08-1945) sampai sekarang ini ternyata realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan. Dari segala kekurangan pemerintahan-pemerintahan masa lalu dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia, pemerintahan rezim Orde Baru dapat disebut sebagai yang paling gagal. Bukan saja gagal, tetapi bahkan lebih lanjut rezim tersebut secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum, mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin kelangsungan kekuasaannya. Maka menurut MD Kartaprawira (2000) yang berlaku bukan lagi rule of law, yang menuntut agar peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warganegaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala peraturan hukum yang berlaku ditujukan untuk

mengabdi kepada kepentingan rezim demi kelanggengannya dan pembenaran atas tindakantindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti keadilan dan anti HAM. Di bawah rezim Orde Baru hukum dijadikan alat yang efektif untuk melaksanakan dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan mengintervensi lembaga-lembaga negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan kekuasaannya. Itulah salah satu identitas rezim diktatur Orde Baru di Indonesia yang berlangsung selama 32 tahun. Di Orde Reformasi, keadaan ini sedikit membaik. Kebebasan berorganisasi dan berpolitik mulai mendapatkan tempatnya. Lembaga-lembaga hukum tidak lagi sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat-pejabat negeri ini telah dapat dimejahijaukan meskipun penyelesaiannya tidak menggembirakan. Kasus KKN Suharto dan kronikroninya diselesaikan dengan sangat manipulatif. Misalnya kasus korupsi jamsostek sebesar Rp 7,2 milyar yang diloloskan oleh Suharto sewaktu masih berkuasa tanpa melalui proses pengadilan, lolos pula di era reformasi berdasarkan Surat Putusan Pemberhentian Perkara (SPPP) Jaksa Agung dikarenakan tidak ditemukannya cukup bukti. Hal ini tentu cukup memukul rasa keadilan masyarakat. Diantara fenomena terakhir yang sangat menciderai dunia penegakan hukum kita adalah ketika praktek sogok menyogok hakim dan jaksa dalam penanganan sebuah perkara, banyak terjadi. Kasus jual beli tuntutan hukum yang melibatkan jaksa brilian Urip Tri Gunawan adalah contoh kongkritnya. Perihal keterlibatan oknum aparat yang seharusnya berdiri di garis terdepan dalam menegakkan supremasi hukum itu sendiri dalam berbagai kasus suap, korupsi, memang merupakan fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hakim disuap. Jaksa menerima upeti dari orang yang sedang diadili perkaranya. Kasus jaksa Urip dimungkinkan hanya salah satu diantara gunung es kebobrokan penegakan hukum kita. Hanya saja wajah hukum kita dewasa ini sedikit sumringah dengan mulai banyaknya proses hukum terhadap orang-orang besar yang dalam beberapa waktu lalu seakan tabu. Proses hukum terhadap mantan Presiden, anggota DPR RI, mentri dan mantan mentri, Jendral TNI, Kabulog, Gubernur, dan Bupati/Kepala Daerah adalah suatu yang lumrah terjadi meskipun penyelesaian hukum dalam persidangan dan hasil keputusannya adalah masalah lain. Setidaknya tidak ada kesan lagi manusia yang kebal hukum di negara Indonesia ini. Proses hukum terhadap Muhdi PR, seorang petinggi BIN, terkait pembunuhan aktivis HAM Munir adalah salah satu contoh terbaru dan riil untuk hal ini. Law enforcement mulai mendapatkan tempatnya. Kedudukan hukum adalah sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Jika hukum diabaikan dan terciderai, maka pembangunan masa depan bangsa akan terbengkalai. Misalnya, korupsi yang belum dituntaskan akan mempengaruhi pembangunan ekonomi bangsa. Demikian juga dengan berbagai problema lainnya. Karena itu, berbagai kasus yang terjadi belakangan ini mengisyaratkan bahwa penegakan supremasi hukum di tanah air masih mengalami ujian yang sangat berat. Peristiwa bebasnya sejumlah bandar narkoba, pelaku illegal loging, penyerobotan tanah orang lain, pelaku korupsi, dan lain-lain dari jeratan hukum semakin membuktikan bahwa supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan. Hukum masih terkesan pandang bulu. Perlakuan bagi pelanggar hukum masih sering memilah dan memilih. Tanpa tegaknya supremasi hukum, mustahil akan dirasakan kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Namun, niat baik untuk menjaga kewibawaan hukum dimata publik belumlah kuat dan mengakar, termasuk oleh aparatur penegak hukum itu sendiri. Bahkan yang sering terjadi adalah perselingkungan hukum. Hukum diperjual belikan oleh mafia peradilan. Tidak berlebihan jika Sadjipto Rahardjo (2006: 60-65) menyebut menjalankan hukum sebagai sebuah permainan dan bisnis, disamping sebagai sarana mencari keadilan dan kebenaran. Jika kita ingin membangun republik ini, maka seharusnya upaya menegakkan supremasi hukum adalah sebuah kemutlakan. Penegakan hukum tidak boleh bersifat sesaat atau suam-suam kuku. Asas ini digunakan sebagai langkah awal yang bijak dalam memelihara tegaknya supremasi

hukum. Tegaknya supremasi hukum akan melahirkan kepastian. Kepastian tentang mana yang benar dan mana yang salah. Bukan malah menciderai hukum itu sendiri. Dari kehidupan seharihari, sering sekali kita menyaksikan bahwa keadilan dan hukum masih lebih berpihak kepada yang bayar, kepada penguasa dan pengusaha. Sementara rakyat kecil sering sekali terpinggirkan. Potret seperti inilah yang sering terjadi selama ini. Akhirnya, supremasi hukum pun menjadi terkoyak. Karena itu, kalau ditemukan ada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, seharusnya ada sangsi dan tindakan yang jelas dari pejabat yang berwewenang. Dari Rule of Law menuju keadilan Rule of Law adalah suatu sistem hukum yang sangat dominan tidak hanya di Negara-negara industrial kapitalis, tetapi juga di dunia termasuk di dunia. Usianya di Indonesia melebihi usia republik ini, yakni sejak Belanda melaksanakan konkordansi hukum di Indonesia. Menurut Achmad Gunaryo (2006), di Indonesia sistem hukum ini diterima begitu saja (taken for granted), dan sejak dilaksanakannya belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkritisinya. Di barat sendiri telah muncul ketidakpuasan terhadap sistem ini karena dianggap hanya mampu menghadirkan keadilan individual, tetapi tidak mampu membawa keadilan yang menyeluruh untuk seluruh lapisan masyarakat. Gerakan Critical Legal studies (CLS) adalah gerakan pemikiran hukum yang kritis terhadap rule of law, dengan Roberto M. Unger sebagi salah satu tokohnya. Di Indonesia, Ismail Sunny adalah salah satu tokoh yang bersuara kritis terhadap rule of law. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara , Sunny menegaskan (1966) bahwa dalam pola hubungan human relation yang berubah-ubah yang diakibatkan oleh kemajuan sosial yang progresif, prinsip rule of law mengalami proses evaluasi dan revolusi untuk menghadapi situasi-situasi yang baru dan penuh tantangan. Ini adalah aspek dinamis dari rule of law, karena pelaksanaannya tidak terbatas pada suatu sistem hukum, bentuk pemerintahan, tata ekonomi, atau tradisi kultural tertentu. Adalah Satjipto Raharjo, seorang guru besar hukum dari Universitas Diponegoro, yang menurut pengamatan A. Gunaryo (2006), pada masa kontemporer yang dalam berbagai tempat dan kesempatan secara vocal melakukan kritik terhadap sikap pasrah menerima Rule of Law atau bahkan membabi buta dengan menganggapnya sebagai capaian final dalam perkembangan hukum di Indonesia. Pandangan yang menjamur di kalangan praktisi hukum maupun akademisi bahkan menyebut bahwa sistem hukum ini sebagai satu-satunya koridor pemikiran hukum. Satjipto menegaskan bahwa sistem hukum ini bukanlah sebuah institusi netral, tetapi merupakan suatu legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat, dan negara serta nilai-nilai tertentu. Sebagai sebuah institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis dan akar budayanya sendiri, rule of law tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa-bangsa di Eropa. Karenanya dapat dikatakan bahwa rule of law berstruktur sosiologis dan berakar pada budaya Eropa. (Satjipto Raharjo, 2006: 8) Penggunaan rule of law merupakan bentuk pinjam meminjam antar bangsa-bangsa yang makin menyatu dan saling berhubungan. Interaksi intensif antar bangsa di dunia meniscayakan diadopsinya berbagai cara dalam penataan masyarakat dan kehidupan sosial. Hal ini lanjut Satjipto (2006: 8) adalah hal yang dapat dimengerti dan lumrah. Yang perlu diperhatikan kemudian adalah kenyataan bahwa keadaan si peminjam tidak tidak selalu sama dengan yang dipinjam. Budaya masyarakat Indonesia menganut doktrin keserasian, keselarasan, keseimbangan, musyawarah, dan kekeluargaan. Sementara masyarakat Belanda menurut Sosiolog Belanda, Bart van Steenbergen (Satjipto, 2006: 8) adalah masyarakat barat yang memiliki ciri budaya seperti dualisme, pemecah-pecahan (fragmentarjsering) atomisasi, pembagi-bagian, yang sekaliannya mengandung arti kesatuan atau keutuhan.

Dengan demikian maka legalisme liberal model rule of law yang kita pakai sebagai sistem formal hukum kita menurut Satjipto (2006: 10) akan menimbulkan persoalan sendiri. Ada mismatch antara sistem hukum kita dengan rule of law. Hanya saja, Indonesia tidaklah berdiri sendiri menghadapi masalah kesenjangan ini, karena memang merata di kawasan Asia Timur seperti di Korea, Jepang, dan Thailand. Rule of law yang menyediakan tatanan stabil untuk individu dan usaha dalam rangka memperoleh keuntungan dan laba, memiliki banyak keterbatasan. Menurut A. Gunaryo (2006), dalam pandangan rule of law, hukum bukanlah arena untuk memecahkan persolan seperti kemiskinan, penganggungan, atau asuransi kesehatan. Rule of law memang tidak diorientasikan untuk peka terhadap persoalan-persoalan sosial. Lebih lanjut bahwa persoalan-persoalan yang menurut konsep rule of law diidentifikasi sebagai persoalan hukum, di Indonesia persoalan-persoalan tersebut bukanlah persoalan hukum semata tetapi juga persoalan sosial. Korupsi memang persoalan hukum, tetapi apabila dilakukan secara berjamaah, maka hal itu bukan lagi persoalan rule of law. Menurut A. Gunaryo (2006), persoalan sosio-legal ini tidak akan mampu dipecahkan oleh rule of law, karena memang tidak didesain untuk itu. Persoalan hukum disini telah berubah menjadi persoalan sosial. Jika kita ingin mengkatagorikan korupsi sebagai kasus hukum, maka pemahaman kita tentang hukum harus dirubah. Dalam kerangka pemikiran seperti ini perlu dibicarakan fungsi rekayasa hukum sosial. Konsekwensi hukum dalam konsep rule of law yang berfungsi untuk menopang tuntutan industrialisasi kapitalis, selama ini kurang diperhatikan. Kenyataan ini menyeret hukum ke dalam bingkai ekonomi dan tujuan-tujuannya. Keadilan menjadi tujuan sekunder. Mafia peradilan dan jual beli putusan pengadilan adalah gambaran reflektif bahwa hukum sudah menjadi institusi pengadilan (Gunaryo: 2006). Bisnis lawyering dengan lawfirm-nya adalah contoh yang sedikit lebih netral menurut Satjipto Raharjo (Raharjo, 2006: 63). Praktik hukum menjadi tidak murni lagi urusan hukum lagi, tetapi sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis. Indonesia telah mendekati arah negara-negara maju yang menjadikan hukum sebagai big industries (perusahan hukum). Keadilan akhirnya tidak untuk setiap orang. Keadilan hanya miliki mereka yang data membayarnya (equal justice under law-to all who can afford it). Satjipto (2006: 16) selanjutnya menyarankan untuk dapat mengembangkan doktrin pengganti rule of law berupa Rule of Moral, Rule of Justice, dan Rule of Pancasila. Doktrin yang bersumber dari pemikiran Indonesia ini diharapkan memberikan isyarat untuk lebih mengedepankan olah hati-nurani dari pada olah otak, atau lebih mengunggulkan komitmen moral dari pada sekedar perundang-undangan. A. Gunaryo (2006) menawarkan the rule of social justice sebagai pengganti rule of law. Disamping memiliki kelebihannya tersendiri, rule of law memiliki cacat pada waktu ingin dipakai menyelesaikan kasus-kasus besar. Dalam konteks persoalan Indonesia, cacat terbesarnya adalah sistem hukum ini hanya melayani kepentingan individual sehingga social justice dikorbankan. Keadilan sosial inilah yang sering tidak terjamah dan kurang diperhatikan. Rekontruksi pemikiran hukum yang menempatkan keadilan sosial sejajar dengan keadilan individu mutlak diperlukan saat ini. Perubahan sistem sosial feodal kearah yang lebih egaliter merupakan agenda besar yang mendesak. Untuk itu diperlukan gerakan budaya. Revolusi amerika pada abad 19 dalam rangka menciptakan kehidupan egaliter merupakan pengalaman berharga yang tidak perlu terjadi di Indonesia. Para pemimpin bangsa harus segera sadar bahwa perilaku koruptif mereka telah menyebabkan tidak dihargainya bangsa ini di mata masyarakat internasional disamping keterpurukan hukum di dalam negeri. Karenanya perbaikannya hendaklah dimulai dari mereka (A. Gunaryo, 2006). Dengan ungkapan yang berbeda M. Mahfudz MD (1999: 150-152) menyatakan bahwa dalam

berperkara di pengadilan, prinsip utama yang harus ditegakkan adalah menegakkan keadilan dan kebenaran. Konsep negara hukum yang diberi arti material sehingga acuan utama bukan hanya hukum yang tertulis seperti yang dianut paham legisme, melainkan hukum yang adil. Karenanya, the rule of law harus diartikan sebagai the rule of just law atau the rule of social justice, atau negara hukum dalam arti maateril yang bermaksud melaksanakan hukum yang adil. Inti dari konsepsi negara hukum memang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, meskipun dalam dunia kita hal tersebut terdengar naif terutama di kalangan para pengacara yang selalu berorientasi pada mencari kemenangan. Sebagai penutup pembahasan ini, menarik untuk diketengahkan apa yang diceritakan oleh Satjipto Raharjo (2006: 113-115) tentang budaya hukum dan praktik hukum antara Amerika dan Jepang. Pada tanggal 2 Agusus 1985, sebuah jet jumbo Delta Airlines telah jatuh di Dallas dan menewaskan 127 orang. Setelah itu orang menyaksikan bergeraknya para lawyer Amerika menyongsong peristiwa tersebut. Maka terjadilah perang tuntut-menuntut dan gugat-menggugat antara pihak penumpang dan perusahaan Delta Airlines. Masing-masing lawyers mengemukakan dalih untuk menuntut atau menolak gugatan. Sepuluh hari sesudah peristiwa itu, yakni pada 12 Agustus 1985, sebuah jet jumbo Japan Airlines (JAL) Jatuh di Gunung Ogura di Pulau Honsu. Presiden JAL, Yasumoto Takagi, mendatangi para korban dan membungkukkan diri dalam-dalam dan lama kepada mereka. Dia lalu menghadap tembok yang dipenuhi nama-nama para korban yang dipahatkan pada kayu. Sekali lagi ia membungkuk. Kemudian dengan suara bergetar, Yasumoto Takagi, meminta maaf dan merima tanggung jawab. Upacara ini menandai akhir kerja panjang berbulan-bulan untuk memperingati arwah 520 orang yang tewas dalam kecelakaan tersebut. Takagi dan pegawainya mempertanggung jawabkan semua kesalahan mereka. Pada hari-hari menyusul kecelakaan tersebut, pada saat keluarga korban pergi ke gunung untuk mengenali para korban, para pegawai JAL mendampingi mereka, membayar pengeluaran, menyediakan makan dan minum serta pakaian bersih. Sesudah mayatmayat dikenali, perusahaan menugasi dua orang pegawai untuk setiap keluarga guna memperhatikan kebutuhan mereka mulai dari pemakaman hingga mengamankan mereka dari wartawan. JAL bahkan menyediakan beasiswa untuk membiayai anak-anak yang orang tuanya tewas dalam kecelakaan tersebut. Perusahaan membelanjakan 1,5 juta dollar AS dalam usaha memorial tersebut. Yasumoto Takagi segera minta mengundurkan diri sebagai tanda tanggung jawab. Menurut Satjipto Raharjo (2006: 114), reaksi Amerika tersebut merupakan wujud dari suatu bangsa yang membanggakan dirinya sebagai bangsa yang mengunggulkan hukum (supremacy of law). Sementara Jepang sebagai bangsa modern yang juga memakai hukum modern, lebih mengunggulkan moralitas (supremacy of moral). Dari sini dapat dilihat, betapa bangsa-bangsa dengan sistem hukum yang sama, bisa menghasilkan kualitas produk yang berbeda. Amerika sibuk dengan urusan gugat-menggugat, dan tutut-menuntut, sedangkan Jepang sibuk meminta maaf dan menunjukkan rasa tanggung jawab. Tidak berlebihan jika kita disebut lebih cenderung kepada Jepang daripada Amerika. Pada banyak daerah, budaya malu pada masyarakat kita masih memegang peranan penting. Meski demikian budaya ini semakin pudar, surut dan melemah. Selain mempertimbangkan rule of law, nilai luhur dan moralitas kita tersebut sebenarnya dapat diberdayakan dan dijadikan acuan dalam kita melaksanakan hukum yang lebih berkeadilan, karena dalam kenyataannya banyak aspek-aspek kebenaran dan keadilan tidak terwadahi dalam pasal-pasal undang-undang dan aturan hukum. Penutup Rule of law sering diterjemahkan sebagai supremasi hukum atau kekuasaan hukum. Hal ini meniscayakan ketundukan individu, masyarakat, dan negara pada hukum, sejalan dengan term

equity befor the law. Pada awalnya, ia merupakan respon terhadap kekuasaan negara yang absolut. Konsep ini memberikan jaminan terlindunginya hak-hak individu dalam bernegara dan bermasyarakat. Rule of law juga ditengarai memiliki hubungan yang erat dengan kapitalisme kompetitif. Seiring dengan perkembangan zaman ditemukan bahwa rule of law tidak mampu menghadirkan keadilan yang lebih menyeluruh dalam masyarakat. Ia dianggap lebih mewakili masyarakat pada masanya dengan latar belakang sosial budaya yang tersendiri. Upaya tambal sulam terhadap kosep ini sudah banyak dilakukan. Tawaran untuk melirik konsep yang lebih komprehensif--yang bersumber dari budaya lokal seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau bahkan rule of Pancasila disamping rule of law perlu mendapat pertimbangan dan perhatian tersendiri, demi tegaknya keadilan sosial dalam sebuah masyarakat dan bangsa. Problem-problem hukum nasional yang tidak terselesaikan dengan adil lewat rule of law diharapkan menemukan solusi penyelesaian yang lebih baik. Aspekaspek immaterial yang sering tidak tercover di dalamnya hendaknya dapat dipenuhi dengan mengadopsi konsep-konsep yang ditawarkan tersebut.

VIVAnews - Jumlah kasus tindak pidana korupsi hingga medio 2010 terus meningkat. Peningkatan ini tidak hanya pada banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang berhasil dijerat hukum, tapi juga pada jumlah uang yang dikorupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) Rabu kemarin, 4 Agustus 2010, merilis bahwa mereka mendapati 176 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum di level pusat maupun daerah. Nilai kerugian negara dalam kasus-kasus itu ditaksir mencapai Rp2,102 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun 2009 lalu, tercatat hanya ada sebanyak 86 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp1,7 triliun. ICW juga mencatat jumlah pelaku korupsi yang telah ditetapkan sebagai tersangka di semester I tahun ini ada 441 orang. Sedangkan sepanjang tahun lalu hanya 217. Pelaku korupsi yang menempati peringkat tertinggi adalah kalangan swasta dengan latar belakang komisaris maupun direktur perusahaan. Mereka ada 61 orang. Empat pelaku yang di urutan tertinggi lainnya adalah kepala bagian di instansi pemerintah (56 orang), anggota DPRD (52), karyawan atau staf di pemerintah kabupaten/kota (35), dan kepala dinas (33). Jika dibanding tahun 2009 semester I, ada pergeseran di mana peringkat pertama diduduki anggota DPR/DPRD (63 orang). Dalam laporannya, ICW juga mengungkapkan bahwa saat ini korupsi di daerah menjadi favorit. Selama 2010, ada 38 kasus korupsi keuangan daerah yang ditangani aparat hukum, dan melahirkan potensi kerugian negara terbesar yakni, Rp596,232 miliar.

Tiga sektor lain yang menjadi penyumbang terbesar bagi potensi kerugian negara adalah: perizinan senilai Rp420 miliar (1 kasus), pertambangan Rp365,5 miliar (2 kasus), dan energi/listrik Rp140,8 miliar (5 kasus). Sebagai perbandingan, pada semester I tahun 2009, kasus korupsi yang menggerogoti kas daerah ada 23 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp410,857 miliar. Soal modus, yang paling banyak digunakan adalah penggelapan (62 kasus), mark upanggaran (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyalahgunaan anggaran (18 kasus), dan suap (7 kasus). *** Di mata ICW, ini pertanda buruk. Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho, berpandangan data itu merupakan indikator dari meningkatnya tren korupsi di Indonesia. Dan bahwa badan antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum optimal menindak dan mencegah korupsi. "Sudah banyak anggota DPR yang ditangkap KPK, tapi ternyata tidak menjadi shock therapybagi anggota lainnya. Masih banyak korupsi yang dilakukan anggota DPR," kata Emerson. Emerson melihat KPK masih kurang tegas dalam memberantas korupsi. Contohnya, saat menangani kasus cek pelawat anggota DPR. "KPK masih belum mampu mengungkap kasus itu hingga tuntas," ujarnya. Emerson juga melihat kehadiran Satgas Mafia Hukum masih belum mengurangi tingkat korupsi. "Mafia saat ini masih unggul dibanding penegak hukum yang ada," ia mengritik. Wakil Ketua Bidang Pencegahan KPK, Haryono Umar, menyatakan saat ini lembaganya masih berjalan di relnya. Meski demikian, ia menyatakan bahwa sebetulnya data itu juga bisa menjadi pertanda positif. Kian banyaknya jumlah perkara korupsi yang diungkap dan diselidiki menunjukkan makin gencarnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan makin bagusnya kinerja penegak hukum. Haryono mengakui, pada 2009 KPK mengalami kemunduran dalam penanganan kasus korupsi. Hal tersebut diakibatkan dua komisionernya, Bibit Samad Rianto, dan Chandra M. Hamzah harus disibukkan dengan kasus "cicak vs buaya". Bahkan, ketuanya ketika itu, Antasari Azhar, kemudian divonis terbukti melakukan pembunuhan berencana dan dihukum 18 tahun penjara. Antasari pun langsung dicopot dari jabatannya. "Meski 2009 mengalami gangguan, tapi pada 2010 ini kami mengalami peningkatan dalam melakukan penindakan. Kasus yang sudah kita tangani sampai saat ini sama dengan kasus yang kita tangani pada tahun lalu," kata Haryono. Selain penindakan, lanjut Haryono, KPK juga gencar melakukan upaya pencegahan. Haryono menjelaskan, saat ini KPK sedang menyorot minimnya laporan gratifikasi. "Padahal ini bisa menjadi pangkal melakukan tindak pidana korupsi," ujarnya. "Caranya, dengan membangun pusat pelaporan gratifikasi di sejumlah instansi." Pihak Kejaksaan Agung pun menyanggah anggapan bahwa meningkatnya jumlah kasus korupsi

yang ditangani aparat hukum merupakan pertanda negatif. Babul Khoir, Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung, menyatakan kinerja kejaksaan dalam memberantas korupsi di tahun ini justru meningkat. "Kami bahkan kewalahan menangani kasus-kasus korupsi di seluruh Indonesia. Penanganan kami terus meningkat," ujar Babul. Ia yang mengaku lupa jumlah kasus korupsi yang saat ini ditangani kejaksaan. (kd) VIVAnews

Kasus Korupsi di Jatim Paling Tinggi di Indonesia


Rabu, 28 April 2010 - 13:13 wib

Amir Tejo - Okezone

ilustrasi.(foto: dok SI)

SURABAYA - Selama triwulan pertama Januari sampai Maret 2010 Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur menangani kasus korupsi paling banyak dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Asisten Pidana Khusus Kejati Jatim Mohammad Anwar, mengatakan, total kasus korupsi baik yang masih dalam penyidikan maupun penuntutan dari seluruh Kejati di Indonesia mencapai 1.800 perkara. Dari jumlah kasus yang masuk, Kejati Jatim menerima 226 perkara. Jumlah ini merupakan yang paling banyak di Indonesia. Menurutnya, data dari Kejagung RI jumlah Kejati di seluruh Indonesia ada 29 kantor. Kejaksaan Agung RI sekarang menangani 145 perkara dari 1.800 perkara yang masuk. Sisanya disebar ke-29 Kejati di Indonesia, termasuk Kejati Jatim. Sedangkan 226 perkara yang ditangani Kejati Jatim saat ini ditangani 36 kejaksaan negeri (Kejari) di berbagai kota/kabupaten. Kerugian dari seluruh kasus itu diduga mencapai ratusan miliar rupiah Anwar menjelaskan, Kejari terbagi dua tipe, yakni tipe A dan tipe B. Kejari tipe A berada di kota besar, sedangkan tipe B berada di kota kecil. Kejari Surabaya tergolong Kejari tipe A. Tiap Kejari memiliki target perkara yang harus dituntaskan. Untuk Kejari tipe A ditarget minimal menyelesaikan tujuh perkara korupsi dalam satu tahun, sedangkan tipe B dipatok lima kasus, ujarnya.

Sebagian besar perkara korupsi yang ditangani Kejati Jatim didominasi kalangan pemerintahan dan melibatkan APBD daerah masing-masing. Beberapa kasus perkara korupsi yang kini tengah ditangani di antaranya dugaan korupsi dalam pengadaan lahan PIA Jemundo Sidoarjo, dugaan penyelewengan Kasda Pemkab Pasuruan, dan dugaan korupsi dalam pengadaan lahan lapangan terbang di Banyuwangi. Semua kasus tersebut melibatkan unsur pemerintahan. Seperti salah satunya Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan lahan lapter di Banyuwangi. Dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah perkara korupsi yang saat ini ditangani Gedung Bundar lebih tinggi. Kalau tahun 2009 lalu sekitar 1.500-an kasus masuk. Anwar menambahkan, pihaknya optimistis bisa menyelesaikan seluruh kasus yang masuk. Kan sudah ada Inpres (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan Nasional. Di dalamnya juga ada instruksi tentang percepatan dalam penanganan kasus korupsi, ujarnya. Dia berharap tahun depan ada penurunan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan. Atau indikasi penurunan kasus-kasus korupsi. Mudah-mudahan tahun depan bisa berkurang dari angka 1.800 kasus, ujarnya. Sebelumnya Kejaksaan merasa kesulitan untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat. Namun sekarang hambatan itu sudah bisa ditekan. Surat izin presiden untuk memeriksa pejabat yang diduga kena kasus sekarang bisa turun dalam waktu tidak terlalu lama, tak lagi dalam hitungan tahun seperti dulu, dan sesuai arahan Kajagung setiap kasus yang masuk ditarget dalam 14 hari penyelidikannya tuntas. Atau dalam 60 hari seluruh penyidikan selesai, tuturnya. (fit)

aporan ICW yang menyatakan pengadilan umum masih sebagai surga bagi para koruptor mesti dihargai dan tak

perlu

disikapi

secara

berlebihan

oleh

MA.

Keterangan pers Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan pengadilan umum masih menjadi surga bagi para koruptor karena kerap menjatuhkan vonis bebas, berbuntut panjang. Mahkamah Agung (MA) selaku puncak dari kekuasaan kehakiman jelas meradang. Makanya, MA menantang ICW membuktikan keterangannya dengan data-data valid. Kita uji data masing-masing, berani nggak dia (ICW, red), data kasus yang disampaikan ICW dimana saja, tunjukkan datanya, tantang Ketua MA Harifin A Tumpa, usai menunaikan Sholat Jumat di Gedung MA (17/9). Harifin mengaku sudah menyampaikan hak jawab atas keterangan yang disampaikan ICW itu. Kami sudah sampaikan datanya sama dia (ICW) dengan lampiran sekian setebalnya, seperti nama-nama terdakwanya siapa, di pengadilan mana, dia mana datanya? sergah Harifin. Jadi Anda yang menilai yang punya data atau yang tak punya data yang bohong. Keterangan pers ICW awal September lalu melansir data bahwa pada semester I 2010, pengadilan umum telah membebaskan 91 terdakwa dari 166 orang (54,82 persen) dengan 103 kasus korupsi. Secara rinci pengadilan negeri memiliki 82 kasus, pengadilan tinggi 7 kasus sedangkan MA memiliki 14 kasus pidana korupsi. Khusus MA, terdapat 11 kasus dalam putusan kasasi dan 3 untuk peninjauan kembali (PK). Sisanya, divonis 1-2 tahun (38 orang), 2-5 tahun (30 orang), 5-10 tahun (5 orang), 10 tahun lebih (1 orang), dan hukuman percobaan (1 orang). Harifin menyangsikan data yang disampaikan ICW. Ia mempertanyakan berapa prosentase sesungguhnya jumlah terdakwa yang diadili. Sebab, dalam satu kasus korupsi dimungkinkan lebih dari dua atau tiga orang terdakwa. Misalnya ada 100 perkara korupsi dengan 200 orang terdakwa, dibebaskan 20 orang, tetapi ICW tak menghitung perkara yang 100 itu berapa jumlah terdakwanya. Dengan hitungan seperti itu jumlah prosentase terdakwa yang bebas lebih tinggi/banyak, kalau kita menghitungnya dari 100 perkara korupsi misalnya, sekian terdakwa yang dinyatakan bebas, ini lebih fair kan, klaim Harifin. Ini sama saja memanipulasi data, lagian data itu dari mana ICW ambil? Harifin mengaku bahwa vonis bebas di tingkat kasasi ada sekitar 3 persen. Bukan sama sekali tak ada yang bebas, yang tak ada vonis bebas itu di tingkat Pengadilan Tinggi. Kemarin sudah disampaikan olen Kepala Biro Humas MA, akunya. Bukan data akurat Sebagaimana dilansir di situs MA, sebelumnya Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi membantah keras laporan ICW yang dinilai tak menggunakan data akurat. Sebab, dari data terakhir, di tingkat kasasi MA hanya memutus bebas 6 perkara dari 240 perkara. Kami sudah mengumpulkan data semester I tahun 2010, yaitu sejak Januari 2010 hingga Agustus 2010 dari seluruh badan peradilan di Indonesia. Faktanya, prosentase perkara korupsi yang diputus bebas di tingkat kasasi, baru berjumlah 3 persen dari total 240 perkara yang sudah putus. Jadi data yang sebenarnya digunakan

ICW, tolong tunjukkan, mana datanya, MA siap memberikan data yang valid, kata Nurhadi. Nurhadi memaparkan MA telah mengabulkan 56 permohonan kasasi jaksa dan menghukum terdakwa yang sebelumnya dibebaskan pada pengadilan tingkat pertama maupun pada pengadilan tingkat banding. Ini artinya, MA memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi di tanah air. Bila terbukti bersalah, sikap MA jelas dan tegas, tidak ada kompromi bagi koruptor. Perlu dipahami juga tidak semua perkara yang diajukan ke pengadilan memiliki cukup bukti materiil, sehingga, terhadap perkara yang demikian, siapapun tidak dapat memaksakan hakim untuk menghukum terdakwa untuk alasan dan kepentingan apapun, dalihnya. Nurhadi menegaskan kasus Gayus baru-baru ini menjadi bukti MA tidak melindungi oknum hakim yang melanggar kode etik maupun diduga terlibat korupsi dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Hingga Maret 2010, MA sudah menghukum berat 4 orang hakim yang terbukti melakukan perbuatan tercela melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim, ungkapnya. Berdasarkan data dari 266 pengadilan negeri di seluruh Indonesia, terhadap 377 perkara yang diajukan, 289 perkara sudah diputus dan sebanyak 43 perkara diputus bebas. Sementara itu, dari 377 perkara di Pengadilan Negeri, 322 di antaranya banding di Pengadilan Tinggi. 262 putusan di antaranya menguatkan putusan sebelumnya, tanpa satupun putusan bebas. Adapun untuk perkara permohonan kasasi, sepanjang Januari hingga Agustus 2010 MA menerima 619 permohonan. Dari jumlah tersebut, 240 perkara sudah diputus dan hanya 6 perkara atau 3 persen yang diputus bebas di tingkat kasasi. Perlu dihargai Secara terpisah menanggapi hal ini, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menyarankan agar MA tak tersinggung dengan laporan ICW yang menyatakan pengadilan umum sebagai surga bagi koruptor. Semestinya MA justru menghargai laporan ICW yang juga dapat dipandang sebagai sistem pengawasan dari civil society. "Ini bagian dari sistem pengawasan, jadi harus dihargai. Tidak perlu disikapi dengan sikap tersinggung," saran Busyro, di sela-sela acara halal bihalal di Gedung Komisi Yudisial, Selasa (14/9) kemarin. Busyro menambahkan setiap putusan bebas yang dikeluarkan perlu dipelajari apakah fakta dan pertimbangan hukum yang dijatuhkan sudah sesuai dengan rasa keadilan dan hukum yang berlaku? Jika fakta hukum dan argumentasi untuk membebaskan sudah tepat, misalnya bukti lemah, ini bisa dipahami. Jika sebaliknya tanpa dasar atau fakta yang tak akurat untuk memutus bebas, ini yang menarik, ujar calon kuat pimpinan KPK itu. Karena itu, perlu ada proses telaah terhadap salinan putusan bebas secara transparan untuk dikaji secara akademis (eksaminasi putusan).

Eksistensi Penegakan Hukum dan Masyarakat dalam Efektivitas Hukum di Indonesia


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah dewasa sangat berkembang dewasa ini. Bahkan kebanyakan penelitian sekarang di Indonesia dilakukan dengan mengunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum dalam sejarah tercatat bahwa istilah Sosiologi hukum pertama sekali digunatkan oleh seorang berkebangsaan

Itali yang bernama Anzilloti pada tahun 1822 akan tetapi istilah sosiologi hukum tersebut bersama setelah munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound (1870 1964 ), Eugen Ehrlich ( 1862 1922 ), Max Weber ( 1864 1920 ), Karl Liewellyn (1893 1962), dan Emile Durkhim (1858 1917). ) Pada prinsipnya sosiologi hukum (Sociologi of Law) merupakan cabang dari Ilmu sosiologi, bukan cabang dari dari Ilmu Hukum. Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai Sociologi Jurispurdence. Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut: 1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat. 2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal. 3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat. Disamping itu, pesatnya perkembangan masyarakat , teknologi dan informasi pada abad kedua puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi antara sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara. Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Artinya hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat . Disamping itu hukum yang baik adalah hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia (pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum di katakan dengan masyarakat, sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah ruang lingkup permasalahan hukum? 2. Apa saja contoh kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia? 3. Bagaimana akibat inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia? 4. Bagaimana pengaruh eksistensi masyarakat dalam efektivitas hukum? C. Tujuan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah : 1. Untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Sosiologi Hukum. 2. Untuk mengetahui efektivitas berlakunya hukum di dalam masyarakat. 3. Agar mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyaraka. 4. Agar mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitannya dengan penerapan hukum di masyarakat. D. Metodologi Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau informasi melalui :

Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui studi literature, internet, dan sebagainya yang sesuai atau yang ada relevansinya (berkaitan) dengan masalah yang dibahas. E. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan sistematika penulisannya agar lebih mudah dipahami dalam memecahkan masalah yang ada, di dalam penulisan ini dibagi dalam 3 (tiga) bab yang terdiri dari: Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metodologi, dan sistimatika penulisan. Bab II : Bab ini merupakan bab yang berisi tentang analisis terhadap masalah efektivitas hukum dalam masyarakat. Bab III : Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran. BAB II PEMBAHASAN A. Permasalahan Hukum Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. ) Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya. ) Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria reformasi menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak,

yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari. B. Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik. 1. Tingkat Kekayaan Seseorang Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad Bob Hasan. PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara hanya sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi. Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR,

Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya. 2. Tingkat Jabatan Seseorang Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, sementara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana. Selain itu, bila dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia. ) Suatu perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang harus dikeluarkannya bisa tinggi. ) Oleh karena itu Kejaksaan Agung tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya. Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat, awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21 namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat. Semestinya Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c, Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan umum. ) Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi preoritas keputusan. )

3. Nepotisme Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat. 4. Tekanan Internasional Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

C. Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.

1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka, dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya damai dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi tertuduh dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan. Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah. 2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala kecil seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak

diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut. D. Pengaruh Eksistensi Masyarakat dalam Efektivitas Hukum Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum masyarakat primitif, jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan secara total merupakan penjelmaan dari hukum masyarakatnya. Masalah kesadaran hukum masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan, dan penganalisan hukum. Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut dengan covariant theory. Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku hukum. Disamping itu berlaku juga doktrin volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku manusia dalam masyarakat. 1. Faktor faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum dalam masyarakat. Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di maksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat ; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu : a. Kaidah Hukum Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut: - Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penetuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. - Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis apabilah kaidah tersebut efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori Kekuasaa). Atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. - Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu seseai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. b. Penegak Hukum Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah betulbetul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga dengan demikian hukum akan berlaku secara efektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya para penegak hukum tentu saja harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang dapat berupa peraturan perundangundangan peraturan pemerintah dalam aturanaturan lainnya yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus patuh pada aturanaturan yang dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan pada aturan hukum yang jelas. Namun dalam kasus kasus tertentu, penegak hukum dapat melaksanakan kebijakankebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan

peraturanperaturan yang ada dengan pertimbanganpertimbangan tertentu sehingga aturan yang berlaku dinilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang dari aturanaturan yang telah ditetapkan. c. Masyarakat Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang yang patuh pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengatur masyarakat secara baik benar dan adil. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak langsung pada kepatuhan hukum. Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintakan, bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena perintah agama atau kepercayaannya. Jadi dalam hal pengaruh tidak langsung ini kesaaran hukum dari masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin, agama, kepercayaannya dan sebagainnya. Namun dalam dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseranpergeseran dimana akibat faktorfaktor tertentu menyebabkan kurang percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada salah satunya adalah karena faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakantindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu bahkan tidak kurang masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknumoknum penegak hukum seperti itu apalagi masih banyak masyarakat yang awam tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita. 2. Pengaruh Kesadaran Hukum Dalam Perkembangan hukum ) Dalam tubuh hukum terjadi semacam perkembangan sehingga sampai pada hukum yang maju, atau diasumsi maju seperti yang dipraktekan saat ini oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat lamban meskipun sekali terjadi agak cepat. Namun perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern merupakan perjuagan manusia tiada akhir satu dan lain hal disebabkan masyarakat, dimana hukum berlaku berubah terus menerus dalam perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau amendemen terhadap undangundang yang sudah ada tetapi sering pula dilakukan dengan menganti undang undang lama dengan undangundang baru. Bahkan hukum modern telah menentukan prinsip dan asas hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan zaman. Dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat, hukum mengatur tentang masalah struktur sosial, nilainilai dan laranganlarangan atau halhal yang menjadi tabu dalam masyarakat. Dalam abad Ke-20 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana sebagiaan hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang-bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat

interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat. Namun tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan/keefektivan hukum: 1. Hukum/UU/peraturan 2. Penegak Hukum (pembentuk hukum maupun penerap hukum) 3. Sarana atau fasilitas pendukung 4. Masyarakat 5. Budaya hukum (legal cultur) Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku Faktor yang mempengaruhi keefektivan hukum: 1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat/ disidik. Makin mudah makin efektif. Contoh Pelanggaran narkoba (hukum pidana) lebih mudah dari pada pelanggaran hak asasi manusia(HAM). 2. Siapakah yang bertanggung jawab menegakkan hukum yang bersangkutan. Contoh narkoba: tanggung jawab negara : leih efektif, HAM : taggung jawab individu/ warga : kurang efektif. B. SARAN Agar hukum dapat berjalan dengan efektif, sebaiknya: 1. UU dirancang dengan baik, kaidahnya jelas, mudah dipahani & penuh kepastian. 2. UU sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan mengharuskan/ membolehkan (mandatur). 3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan. 4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding dengan pelanggarannya). 5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat. 6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral. 7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik, menyebarluaskan UU, penafsira seragam dan konsisten. DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad., Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press. Ujung Pandang: 1999. Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia. Jakarta: 1986. Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Kompas, Jakarta: 2009.

Mahfud MD, Kompas tgl 7 Januari 2010. Sahri, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat. MHS S2 Hukum Untag. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti. Bandung: 2000. Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co. Jakarta: 1997. Sofia, Kesadaran Hukum Masyarakat dan Pengaruhnya bagi Efektivitas Perkembangan Hukum. MHS S2 Hukum UID. http://balianzahab.wordpress.com

You might also like