Professional Documents
Culture Documents
19
Miskin Kuliah
Prinsip Keadilan yang Sulit Diterapkan
PUNGUTAN biaya besar yang dilakukan perguruan tinggi negeri (PTN) kepada calon mahasiswanya dituding sebagai bentuk komersialisasi ataupun kapitalisasi pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyangkal tuduhan itu. Ia menegaskan, apa yang dilakukan PTN-PTN tersebut sudah sesuai dengan peraturan. Komersialisasi itu suatu usaha yang orientasinya mendapatkan keuntungan dan hasil keuntungannya itu dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan dari pelaku usaha itu. Apakah PTN seperti itu? Jelas tidak, sanggahnya, saat ditemui di Raker Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (30/5). Macam-macam biaya yang bisa sampai ratusan juta rupiah itu, ujar Nuh, selanjutnya akan dipakai untuk reinvestasi PTN yang bersangkutan. Bentuknya, bisa melalui pembangun gedung baru, pembangun laboratorium, ataupun pembiayaan penelitian yang merupakan bagian tridarma perguruan tinggi. Masyarakat, lanjut Nuh, sering kali lebih terfokus pada biaya kuliah yang begitu besar. Padahal permintaan sumbangan pendidikan itu sifatnya periodik, dari Rp0 hingga ratusan juta rupiah. Itu pun, katanya, bersifat sukarela, disesuaikan dengan kemampuan keluarga si mahasiswa. Nuh menambahkan, permintaan biaya PTN itu sudah sesuai dengan prinsip keadilan. Baginya justru tak adil bila menerapkan sistem pembayaran yang sama rata. Jaminan keadilan itu juga tecermin dalam PP No 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang menerapkan aturan alokasi bangku kuliah minimal 20% bagi keluarga kurang mampu di tiap PTN. Pungutan tinggi Di lain pihak, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) HAR Tilaar menilai prinsip keadilan yang digadang-gadang pemerintah dalam pungutan PTN itu sulit diterapkan di lapangan. Terbukti, masih ada calon mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah gagal mendaftar akibat ditodong pungutan yang jauh melampaui kemampuan ekonomi mereka. Sama saja dengan pembohongan, mereka sudah terpilih (melalui seleksi jalur undangan yang ketat), tapi masih saja digorok (dengan biaya tinggi), cetusnya. Selain penerapannya yang sulit, sambung Tilaar, penginformasian sistem pungutan itu pun sejak awal bermasalah. PTN ia nilai belum komunikatif dalam menyampaikan besaran biaya yang akan dipungut kepada calon mahasiswanya. Ditambah lagi, ada kesimpangsiuran informasi di masyarakat, bahwa semakin besar biaya yang disetujui calon mahasiswa, makin besar pula peluang masuk ke PTN tersebut. Tilaar pun menganggap sistem pungutan PTN merupakan cermin keberpihakan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) kepada kaum yang mampu membayar. Sangat disayangkan bahwa anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN tidak mampu memperluas akses si miskin ke bangku kuliah. Anggaran itu justru habis hanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi bagi kaum yang justru mampu, bahkan ada yang diselewengkan bagi kepentingan politik elite daerah. Sistemnya sendiri tidak mendukung kemajuan. Padahal, prioritas pembangunan suatu bangsa adalah pendidikan, pendidikan, dan pendidikan, pungkasnya. (*/S-3)
ANTARA/SAPTONO
melakukan pendaftaran ulang di sebuah perguruan tinggi negeri. Pendidikan tinggi yang semestinya hak setiap warga masih sulit diakses masyarakat miskin. potan dalam menutup biaya pendidikan dasar. Hal tersebut diamini Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal. Ia mengatakan, penyerahan kemandirian pengelolaan nansial PTN disebabkan terbatasnya alokasi skal bagi pembiayaan pendidikan tinggi. Situasi itu memaksa kampus untuk kreatif mencari sumber pendanaan. Biasanya, sumber itu didapat dari subsidi pemerintah, organisasi lantropi, dan yang paling reguler yaitu pungutan uang kuliah dari mahasiswa dan calon mahasiswanya. Peningkatan mutu akademik tentu butuh biaya besar. Penurunan biaya masuk justru akan mengorbankan kualitas pendidikan dan lulusan PTN. Apa mau mutu dikompromikan? Atau kita rela UI peringkatnya turun dari 200 besar dunia? kilahnya retoris. Namun, menurut pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Utomo Dananjaya, permasalahan keterbatasan anggaran yang dijadikan kambing hitam naiknya biaya kuliah itu seharusnya bisa dikompromikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat ini, anggaran pendidikan sebesar 20% APBN sebagian besar digunakan untuk gaji guru serta anggaran pendidikan yang sifatnya tidak langsung mengena pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Anggaran itu hanya menyisakan 3% untuk beasiswa. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, APBN memberikan alokasi 26% untuk membantu pembiayaan siswa. Utomo menambahkan, pemerintah melalui Kemendiknas seharusnya tanggap dengan masalah anak berprestasi namun berasal dari keluarga paspasan. Amanat PP No 66/2010 yang meminta pengalokasian 20% kursi PTN bagi siswa miskin seharusnya ditanggapi secara proaktif melalui pendataan anak-anak itu secara lebih detail, terutama pada SNMPTN jalur undangan. Tak pernah ada pendataan jumlah anak yang pintar namun tidak mampu itu ada berapa, cetusnya. (AT/S-3) arif.hulwan@ mediaindonesia.com
Klise, karena sejak zaman Ki Hajar Dewantara, pendidikan selalu saja diasosiasikan dengan akses khusus bagi kalangan ningrat berduit.
sejumlah lomba mata pelajaran sejak SD dan aktif di organisasi kesiswaan diharuskan menggelontorkan dana Rp55 juta untuk biaya pendidikan di muka (BPM) dan Rp2 juta untuk biaya matrikulasi. Begitu meneken kontrak kuliah pun, Rp750 ribu per SKS (satuan kredit semester) atau setara dengan Rp15 juta untuk 20 SKS, ditambah biaya praktikum, harus disalurkan ke rekening kampus favorit di Jawa Barat itu. Yang ingin kuliah di ITB itu anak saya, dan saya setuju. Bukan ITB yang memaksa kuliah di sana.
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN:
Sejumlah mahasiswa UGM melakukan aksi menolak komersialisasi kampus beberapa waktu lalu. Tingginya pungutan bagi calon mahasiswa baru dianggap sebagai bentuk komersialisasi perguruan tinggi negeri.