You are on page 1of 28

TBC PARU-PARU Pengertian Tuberculosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis),

sebagian besar kuman menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Depkes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam atau BTA.

Etiologi Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman ini terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi karena kuman yang ada pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali dan menjadi tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang kandungan oksigennya tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan dengan menghirup partikel kecil yang mengandung bakteri tuberkulosis, minum susu sapi yang sakit tuberkulosis. Masa tunas berkisar antara 4-12 minggu. Masa penularan terus berlangsung selama sputum BTA penderita positif.

Patofisiologi Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara

pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaraan langsung kebagian tubuh lain (Depkes, 2003). Infeksi primer : infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga dapat melewati mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus, menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan bersarnya respon daya tahan (imunitas seluler) pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan keman TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Dep Kes, 2003). Infeksi paska primer (post primary TB) : TB paru pasca primer biasanya terjadi terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi.

Pengaruh pada kehamilan Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan

sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi basal, suara kaverne atau pleura efusion. Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan faktor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan dengan TB. Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami kolaps yang disebut pneumo-peritoneum. Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas) seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi. Harold Oster MD, 2007, mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih dulu sampai tuntas.

Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi. Pengaruh terhadap janin Menurut Oster, 2007, jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko, biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir. Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi, seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas, apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

Diagnosa Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati terpapar sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembap. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota keluarga penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita. Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu

melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah dilakukan, murah dan cukup reliable. Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari tuberkulin tes. Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit. Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan BTA), serta uji tuberkulin. Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi anergi. Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif. Klasifikasi Berdasarkan organ yang terinvasi : TB Paru adalah tuberkolosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi Tuberkolosis Paru BTA positif dan BTA negatif.

TB ekstra paru yaitu tuberkolosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal, dan TB ekstra paru berat seperti meningitis, paricarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.

Berdasarkan tipe penderita : Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita : Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkolosis (OAT) kurang dari satu bulan. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat (Depkes 2003). Menurut American Thoracic Society, 1974: Kategori 0: Tidak pernah terpapar dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak negative, tes tuberculin negative. Kategori 1: Terpapar tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat kontak positif, tes tuberculin negative.

Kategori 2: Terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis dan sputum negative. Kategori 3: Terinfeksi tuberculosis dan sakit

Komplikasi Komplikasi yang terjadi jika TB paru tidak diobati adalah pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, TB usus.

Penatalaksanaan Pada penderita yang dicurigai menderita TBC paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (purified protein derivate) 5u dan bila hasilnya positif diteruskan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X. Pada penderita dengan TBC paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum, untuk membuat diagnosis secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan. Pengaruh TBC paru pada ibu yang sedang hamil bila diobati dengan baik tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Pada janin jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui oleh ibunya. Pada penderita dengan proses yang masih aktif, kadang-kadang diperlukan perawatan, untuk mendiagnosis serta untuk memberikan pendidikan. Perlu diterangkan pada penderita bahwa mereka memerlukan pengobatan yang cukup lama dan ketekunan serta ada kemauan untuk berobat secara teratur. Penyakit akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita. penderita dididik untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin, tertawa. pengobatan terutama dengan kemoterapi, dan sangat jarang diperlukan tindakan operasi.

Pada penderita TBC paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak perlu dapat pengobatan. sedangkan pada yang aktif, dianjurkan untuk menggunakan obat dua macam atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu diikutkan dalam regimen pengobatan tersebut. Obat-obat yang dapat digunakan: 1. Isoniazid (INH), dengan dosis 300 mg/hari. obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati, sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu perlu diperiksa faal hati sewaktu-waktu, dan bila ada perubahan, maka obat untuk sementara harus segera dihentikan. 2. Ethambutol dengan dosis 15-20 mg/kg/hari. dilaporkan obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrotubuler neuritis akan tetapi laporan efek samping obat ini dalam kehamilan sangat sedikit, dan pada janin belum ada. 3. Streptomycin dengan dosis 1 g/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, dan jangan digunakan dalam kehamilan trimester pertama. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik), disamping itu pemberian obat ini kurang menyenangkan pada penderita, karena harus disuntikkan setiap hari. Dilaporkan bila dosis yang diberikan < 30 g selama kehamilan, tidak banyak atau jarang ada pengaruhnya pada janin. 4. Rifampisin dengan dosis 600 mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC paru, akan tetapi mempunyai efek potensial teratogenik yang besar pada binatang percobaan. Pada manusia belum banyak laporan, dan dianjurkan untuk tidak menggunakannya dalam trimester pertama. Pemeriksaan sputum setelah 1-2 bulan pengobatan, harus dilakukan dan kalau masih positif, perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat. Tidak ada indikasi untuk melakukan tindakan pengguguran kehamilan pada penderita TBC paru. Antenatal care dapat dilakukan seperti biasa. Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau terakhir dan segera diperiksakan, agar tidak terjadi penularan pada orang-orang disekitarnya.

Persalinan pada wanita yang tidak dapat pengobatan dan tidak aktif lagi, dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang masih aktif, penderita ditempatkan di kamar bersalin tertentu (tidak banyak digunakan penderita lain). Persalinan ditolong dengan ekstraksi vakum atau forceps, dan sedapat mungkin penderita tidak meneran, diberi masker untuk menutupi mulut dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya. Cegah terjadinya perdarahan postpartum seperti pada pasien lain pada umumnya. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi 6-8 jam, kemudian penderita dapat dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika, dan obat TBS paru diteruskan, serta nasihat perawatan masa nifas yang harus mereka lakukan. Penderita yang tidak mungkin dipulangkan, harus dirawat di ruang isolasi. Perawatan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita TBC paru haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya agar anaknya tidak tertular oleh ibunya. Dalam keadaan ideal bayi setelah lahir segera dipisahkan dengan ibunya, sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali, yang selalu memperlihatkan hasil negative. Pada bayi diberi suntikan Mantoux sampai menunjukkan reaksi positif. Bila suntikan BCG tersedia, sebaiknya segera diberikan pada bayi setelah lahir, atau bila reaksi Mantoux negative. Proses laktasi tetap dilakukan, karena toksisitas obat rendah. ASI tidak dapat digunakan sebagai pengobatan bayi yang telah terinfeksi.

ASMA BRONKIAL Pengertian

Definisi yang banya dianut saat ini adalah yang dikemukakan oleh The American Thoracic Society yaitu asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.

Etiologi Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui dengan pasti. Berbagai teori tentang patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling disepakati oleh para ahli adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan sistem imun. Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Adanya inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma baik pada asma alergi maupun non-alergi. Oleh karena itu dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Hiperreaktivitas saluran napas diduga sebagian didapat sejak lahir. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas yaitu : inflamasi saluran napas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan obstruksi saluran napas.

Patofisiologi Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume

yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedang menggambarkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)

derajat

hiperinflasi

paru. Penyempitan saluran napas dapat

terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi (wheezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi. Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena peningkatan kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan ventilasi semenit dan peningkatan tidal volume. Terdapat sejumlah perubahan fisiologik dan struktural terhadap fungsi paru selama kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema mukosa dan saluran pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar estrogen. Pada uterus gravid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma meninggi, dan semakin dalamnya sudut antar-kosta. Wanita hamil mengalami peningkatan tidal volume, volume residu, serta kapasitas residu fungsional, penurunan volume balik ekspirasi, sementara kapasitas vital tidak berubah. Hiperventilasi alveolar terjadi bila PCO2 menurun dari 34-40 mmHg menjadi 2734 mmHg, yang biasanya terlihat pada umur kehamilan 12 minggu. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terjadinya serangan eksaserbasi asma puncaknya pada umur kehamilan sekitar enam bulan, gejala yang berat biasanya terjadi antara umur kehamilan 24 minggu - 36 minggu. Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut: 1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas 2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas 3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu

4. Hiperaktivitas

bronkial,

yang

diakibatkan

oleh

histamin,

prostaglandin dan leukotrin. Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara pelepasan mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas dan spasme bronkus. Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa dipertahankan diawal berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis. Akibat perubahan nilai gas darah arteri pada kehamilan (penurunan PCO2 dan peningkatan pH). Pasien dengan perubahan nilai gas darah arteri secara signifikan merupakan faktor risiko terjadinya hipoksemia maternal, hipoksia janin yang berkelanjutan. dan gagal napas.

Pengaruh pada kehamilan Pengeluaran janin merupakan saat penting yang membutuhkan oksigenasi segera dan hal ini bergantung pada suplai oksigen dan arteri ibu, venous return, cardiac output, dan arkulasi uteroplasenter. Mekanisme kompensasi bagi janin untuk melawan kondisi kekurangan oksigen adalah mempertahankan kadar Hb 16g/dL dan PO2 22 mmHg. Asma yang tidak terkontrol baik atau asma yang berat dapat mengancam janin oleh karena mengakibatkan hipoksia yang berat pada ibu dan penurunan sirkulasi darah ke uterus. Kelompok wanita ini mempunyai risiko tinggi melahirkan bayi berat Janin rendah (BBLR) dan bayi prematur, hipoksia neonatal, komplikasi selama persalinan, dengan tingkat mortalitas perinatal dan maternal yang tinggi pula. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperemesis gravidarum, perdarahan maternal, dan preeklampsia. Oleh karena akibat yang ditimbulkan asma selama kehamilan, maka dianggap yang disertai asma adalah kehamilan risiko tinggi. Namun bayi yang lahir dan dari wanita yang menderita asma (misalnya dari wanita dengan asma yang terkontrol) menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal berat bayi, nilai

apgar, dan tingkat kelainan kongenital, dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita asma.

Diagnosa Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa sumber lain dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan tes fungsi paru. Walaupun tidak ada tes laboratorium yang dapat memastikan diagnosis, tes fungsi paru penting mengetahui reversibilitas penyakit,

progresifitasnya dan sebagai petunjuk pelaksanaan. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang- kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain nada pasien maupun keluarganya, dapat membantu diagnosis. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus terjadinya asma.

Klasifikasi Menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu: 1. Asma intermitten Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu), serangan singkat (beberapa jam sampai beberapa hari), gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali sebulan, diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE dan KVP1 > 80% dari hasil prediksi, vanabilitas <20% 2. Asma persisten ringan Gejala lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari, serangan mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 2

kali /bulan, nilai APE atau KVP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 2030% 3. Asma persisten sedang Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 1 kali seminggu, nilai APE atau KVP, antara 6080% nilai prediksi, variabilitas >30% 4. Asma persisten berat Gejala terus menerus, sering mendapat serangan, gejala asma malam sering, aktifitas fisik terbatas karena gejala asma, nilai APE atau KVP1 60% nilai prediksi, variabilitas > 30%.

Komplikasi Komplikasi akut Komplikasi akut timbul dengan sangat cepat, berupa perubahan-perubahan pada otot polos bronkus, permeabilitas pembuluh darah, serta jantung. Perubahanperubahan tersebut mungkin disebabkan oleh penglepasan yang cepat dan dalamjumlah besar amin-amin vasoaktif seperti histamin, slow reacting subtance of anaphylaxis (SRS-A) dan prostaglandin. Pada penderita asma bronkial, sering timbul apneu mendadak setelah melakukan aktivitas fisik. Bila obstruksi saluran napas hebat sekali maka kecepatan arus udara menjadi sangat berkurang, sehingga bising mengi tidak terdengar (silent chest). Pada sistem kardiovaskular terjadi takikardia. Frekuensi denyut jantung atau nadi lebih dari 130 per menit menunjukkan serangan asma bronkial yang berat. Penderita dapat mengalami hipoksemia dan kehilangan kesadaran sampai koma. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita telah masuk dalam keadaan darurat gawat napas. Bila penderita tidak ditangani secara efektif

dengan ventilator mekanik, maka penderita dapat mengalami aritmia jantung atau henti jantung sampai kematian. Komplikasi sub akut Komplikasi sub akut terutama disebabkan oleh sekret kental yang menyumbat saluran napas, sehingga akan memperberat obstruksi semula. Produksi sekret yang terus bertambah, serta gagalnya mekanisme mucociliary clearance akan menyebabkan gejala obstruksi tersebut makin berat. Bila keadaan ini terus berlanjut, dapat terjadi status asmatikus, yang menggangu proses ventilasi-perfusi, dengan akibat hipoksemia serta takipneu. Bila status asmatikus berlanjut, dapat terjadi hiperkapnia, kelelahan menghebat, penurunan kesadaran dari apatis sampai koma, dan akhirnya keadaan darurat gagal napas. Salah satu komplikasi asma bronkial adalah infeksi

sekunder. Misalnya pneumonia ,yang kemudian dapat menimbulkan edema paru. Komplikasi asma bronkial lainnya adalah timbulnya hiperkapnia dan asidosis respirasi. Hiperkapnia yang berat selalu disertai dengan takipneu. Hiperkapnia dan asidosis menimbulkan gejala gelisah, disorientasi, somnolens dan koma. Komplikasi kronik Pada asma kronik, serangan timbul berulang-ulang diselingi dengan periode tanpa gejala. Pada periode tanpa gejala, fungsi paru normal, sedangkan dalam keadaan serangan terdapat kelainan fungsi paru. Woolcock dan Read menemukan hampir 50% penderita asma kronik disertai dengan hiperinflasi paru yang persisten. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan struktur paru. Pada penelitian takizawa dan kawan-kawan serta Dunnill dan kawan-kawan ditemukan adanya penambahan ukuran otot polos bronkus serta kelenjar mukosa bronkus. Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) jenis asma menahun merupakan salah satu komplikasi asma bronkial. Pada asma menahun selalu terdapat onstruksi jalan napas, walaupun dalam tingkatan yang berbeda. Dalam golongan penyakit ini

mungkin saja sudah ada komponen bronkitis atau emfisema, namun penyakit dasarnya adalah asma bronkial.

Penatalaksanaan 1. Mencegah timbulnya stress. 2. Menghindari factor resiko (pencetus) yang sudah diketahui, secara intensif. 3. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacam yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan. 4. Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk inhalasi, atau per oral seperti isoproterenol. 5. Pada keadaan yang lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat dihilangkan dengan satu atau lebih dari obat di bawah ini: a. Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml, disuntikkan subkutis b. Isoproterenol (1:1000) berupa inhalasi 3-7 hari c. Oksigen d. Aminofilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infuse glucose 5% e. Hidrokortison 260-1000 mg iv pelan-pelan atau perinfus dalam dekstrose 10%. Hindari obat-obatan yang mengandung iodium karena dapat membuat gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi. Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan tetapi bila penderita masih dalam serangan dapat diberi pertolongan dengan tindakan seperti dengan ekstraksi vakum atau forceps. Tindakan seksio sesarea atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan.

TIFUS ABDOMINALIS

Pengertian Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, mengakibatkan gejala khas demam, nyeri kepala, nyeri perut, dan penurunan kesadaran (Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV: Patologi Kebidanan, 2009).

Etiologi Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi, Salmonella Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, Salmonella Paratyphi C.

Patofisiologi Kuman salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus. Kuman salmonella typhi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe, salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Endotoksin salmonella typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam tifoid disebabkan karena salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Pengaruh pada kehamilan Pada Kehamilan Penyakit ini lebih mungkin dijumpai selama Epidemi atau pada mereka yang terinfeksi oleh virus Imunodefisiensi manusia (HIV). Pada tahun 1990 di

laporkan bahwa demam tifoid antepartum dahulu menyebabkan abortus hampir 80% kasus, dengan angka kematian janin 60%, dan angka kematian ibu 25%. Penyakit Typhus Abdominalis ini masuknya ke bagian infeksi dari bakteri salmonella dan shigella. Berpengaruh terhadap kehamilan karna bisa

menyebabkan kematian janin usia gestasi 15 minggu. Pada Persalinan Penyakit ini dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terinfeksi oleh bakteri Salmonella typhosa. Kuman ini masuk melalui mulut terus ke lambung lalu ke usus halus. Di usus halus, bakteri ini memperbanyak diri lalu dilepaskan ke dalam darah, akibatnya terjadi panas tinggi. Sehingga dapat berpengaruh pada janin kemungkinan bisa gawat janin. Pada Nifas Penyakit ini di tularkan melalui makan dan dampaknya bisa ke ibu dan bayi, dari ibunya sendiri bisa tertular lewat makanan yang sudah tercemar dan gejalanya meliputi: diare, nyeri abdomen, mual dan muntah, pada ibu yang mempunyai penyakit ini bisa juga menular pada bayinya lewat ASI ibu dan mengakibatkan demam yang tinggi bila tidak ditindaklanjuti akan mengakibatkan kematian pada ibu dan bayinya.

Diagnosa Selain demam tinggi yang menetap, gejala-gejala lain yang patut diperhatikan dan ditanggulangi adalah pusing, mual/muntah, nyeri perut, diare hebat dan dehidrasi yang gawat. Dehidrasi dapat bertambah hebat bila pasien mengalami hiperemesis gravidarum. Lidah tampak kotor, tremor, dengan tepi hiperemis. Nadi dapat memperlihatkan bradikardi relative, dengan nadi per menit yang tidak sesuai (terlalu lambat) dibandingkan suhu badan yang tinggi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leucopenia dan trombositopenia (tidak seberat

trombositopenia pada DBD). Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara

antigen dan antibodi (aglutinin). Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.

Komplikasi Komplikasi demam tifoid memang cukup mengkhawatirkan. Dan kalau sudah muncul komplikasinya, kadang prognosisnya kurang bagus. Komplikasi yang serius diantaranya adalah: 1. Komplikasi intestinal (maksudnya komplikasi di daerah usus halus), yaitu: Perdarahan usus. Karena memang kuman ini menyerang dinding usus halus, sehingga memperlemah/membuat luka di dinding usus halus. Dan bila makin lemah, dapat terjadi perforasi usus (ususnya berlubang). Kalau sudah begini, harus dilakukan operasi segera, untuk memotong usus yang berlubang itu. 2. Komplikasi ekstra intestinal (maksudnya komplikasi yang terjadi di luar usus halus), yaitu: Peradangan pada otot jantung (myocarditis). Peradangan paru-paru (Pneumonia) Peradangan pada pankreas (pankreatitis) Infeksi pada ginjal dan kandung kencing Infeksi tulang belakang (osteomyelitis) Infeksi dan peradangan di selaput otak (meningitis), dan Gangguan kejiwaan, misalnya halusinasi (melihat sesuatu, yang sebenarnya tidak ada atau bahkan psikosis paranoid, selalu curiga atau ketakutan yang tidak berdasar).

Penatalaksanaan

Tindakan preventif terhadap demam tifoid adalah menjaga kebersihan makanan, minuman dan tentu saja peralatan/tangan yang dipergunakan dan vaksinasi ibu hamil.

Penanganan umum terdiri atas: Istirahat dan batasi aktifitas fisik, tirah baring sampai panas hilang. Demam tifoid merupakan kasus rawat inap Observasi kehamilan dan komplikasinya Perbaiki kondisi kesehatan umum dan nutrisi, yaitu diet (cukup lunak dan rendah serat)

Lakukan rehidrasi akibat demam, muntah atau diare. Demam dapat diatasi dengan parasetamol 500 mg setiap 4-6 jam, kurangi dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali normal. Isolasi kuman penyebab (untuk diagnosis pasti) dan lakukan pemeriksaan serologis secara terjadwal. Terapi antibiotika untuk demam tifoid: Kloramfenikol 4x500mg (oral) per hari hingga 3-5 hari bebas demam Tiamfenikol 4x500mg (oral) per oral hingga 3-5 hari bebas demam Ampisilin 4x500-1000mg hingga 3-5 hari bebas demam Walaupun golongan kinolon cukup efektif, tetapi tidak dianjurkan untuk ibu hamil. Pilih antibiotika generasi baru yang tidak menekan eritropoesis.

Lakukan kompres pada tubuh apabila terjadi hiperpireksia. Lakukan pemantauan perkembangan kehamilan dan pertumbuhan janin. Hindarkan transmisi lanjutan. Konseling tentang demam tifoid dan pengaruhnya terhadap kesehatan ibu, kehamilan, dan janin/neonatus. Ibu dengan demam tifoid sebaiknya mempertimbangkan resiko dan keuntungan untuk memberikan laktasi atau merawat sendiri bayi yang baru dilahirkan. Meskipun basil tifus tidak mencapai air susu ibu, tetapi karena ibu sakit berat dan dapat menularkannya, maka bayi segera dipisahkan dari ibu

setelah lahir. Vaksinasi tifoid dapat dilakukan pada ibu hamil dan tidak membahayakan janin yang dikandungnya.

HIV/AIDS Pengertian Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) adalah infeksi sistemik akibat virus HIV, yang mengakibatkan berbagai gambaran klinis, mulai dari infeksi primer akut, periode laten, sampai munculnya tahap lanjut yang dikenal dengan acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Pada tahap lanjut mulai muncul berbagai kelainan yang memperlihatkan kegagalan system imun pasien menghadapi berbagai kuman penyakit (Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV: Patologi Kebidanan, 2009).

Etiologi Virus penyebab defisiensi imun ini yang dikenal suatu dengan virus nama Human RNA dari

Immunodeficiency

Virus (HIV)

adalah

famili Retrovirusdan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDSassociated virus. Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini.

Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase

Patofisiologi Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase. Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai

mekanismeproofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini. Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang berkelanjutan terhadap pengobatan.

Pengaruh pada kehamilan Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi

HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi. Transmisi Vertikal HIV Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, 24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif. Transmisi Intra Uteri Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan,Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. Transmisi Intra partum Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu

berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui.Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal. Tranmisi Post Partum Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup

banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan

berikutnya. Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu, defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu, abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi Faktor yang berhubungan dengan tingginya resiko penularan vertikal HIV dari ibu ke anak:

Periode Antepartum

Faktor Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi vitamin A, mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan gp160, malnutrisi, perokok, pengambilan sample vili korion, amniosentesis.

Intrapartum

Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara persalinan, ketuban pecah sebelum waktunya,

persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penyakit ulkus genital aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, episiotomi, persalinan

dengan vakum atau forseps Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis

Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi juga dipengaruhi jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV-2 jauh lebih rendah daripada HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang terinfeksi HIV-2

Diagnosa Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya : Lahir dengan ibu resiko tinggi Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi. Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa uji HIV. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)

Homoseksual atau biseksual. Kebiasaan seksual yang keliru.

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitial, keganasan sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya.

Pemeriksaaan laboratorium Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga kelompok, yaitu : Pembuktian adanya antibodi atau antigen HIV Pemeriksaan status imunitas Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan

Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari protein yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan antibodi dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak sekali, tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibodi gp41. gp120 dan p24. Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut : Tes untuk menguji antibodi HIV,Terdapat berbagai macam cara yaitu: ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, RIPA

(RadioImmunoPresipitation Assay).

Assay)

dan

IFA

(ImmunoFluorescence

Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus, antigen P24, dan Polymerase Chain Reaction (PCR).

Komplikasi Dikarenakan orang yang terkena HIV imunitasnya menurun, sehingga dengan mudah HIV menjalar dan merusak organ-organ lain sehingga komplikasi yang dapat terjadi yaitu menyangkut semua penyakit yang bahkan sakit pilek atau batuk ringan saja bisa meninggal dunia.

Penatalaksanaan Penapisan dilakukan sejak asuhan antenatal dan pengujian dilakukan atas permintaan pasien dimana setelah proses konseling resiko PMS dan hubungannya dengan HIV, yang bersangkutan memandang perlu

pemeriksaan tersebut. Upayakan ketersediaan uji serologic (ELISA dan Western Blot) Konseling spesifik bagi mereka yang tertular HIV, terutama yang berkaitan dengan kehamilan dan resiko kehamilan. Bagi golongan resiko tinggi tetapi hasil pengujian negative (termasuk pasca window period) dilakukan konseling untuk upaya preventif (penggunaan kondom). Berikan nutrisi dengan nilai gizi yang tinggi, atasi infeksi oportunistik. Lakukan terapi (AZT) sesegera mungkin, terutama bila konsentrasi virus 30.000-50.000 kopi RNA/ml atau jika CD4 menurun secara drastis. Tatalaksana persalinan sesuai dengan pertimbangan kondisi yang dihadapi (pervaginam atau perabdominam, perhatikan prinsip pencegahan infeksi).

Terapi preventif terhadap HIV yaitu dengan menjauhi hal seperti tidak berhubungan seks diluar pernikahan dan penggunaan narkoba, khususnya intravena. Pasien HIV dan keluarga perlu memperoleh konseling, dukungan psikologis, disamping evaluasi dan terapi terhadap komplikasi infeksi yang terjadi. Prinsip terapi infeksi HIV adalah suportif dan pemberian terapi anti viral. Pada ibu hamil dengan HIV (+) pemberian anti viral diindikasikan untuk menurunkan kemungkinan transmisi vertical kepada janin. Kelahiran umumnya direncanakan dengan SC selektif, sebelum persalinan dimulai atau pecah ketuban.

DAFPUS:: Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). 2009.

You might also like