You are on page 1of 8

A.

Sejarah lembaga bantuan hukum Kalau bantuan hukum diartikan sebagai charity maka bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Praktek bantuan hukum terlihat adanya praktek gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat di mana dalam masalah-masalah tertentu masyarakat meminta bantuan kepada kepala adat untuk menyelesaikan masalah tertentu. Kalau hukum diartikan luas maka bantuan adat adalah juga bantuan hukum. Dalam hukum positif Indonesa, bantuan hukum sudah diatur dalam pasal 250 HIR. Dalam pasal ini jelas mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara-perkara tertentu yaitu perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup walaupun dalam pasal ini prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia. Dan bagi ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma. Meskipun HIR berlaku terbatas namun bisa ditafsirkan sebagai awal mula pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia. Sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang hukum acara maka ketentuan HIR masih tetap berlaku. Pada tahun 1970 lahirnlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum. Secara institusional, lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di Rechtshoge School Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker. Biro ini didirikan dengan maksud untuk memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Pada tahun 1953 didirikan semacam Biro Konsultasi Hukum pada sebuah perguruan Tionghoa Sim Ming Hui atau Tjandra naya. Biro ini didirikan oleh Prof, Ting Swan Tiong. Pada sekitar tahun 1962 Prof. Ting Swan Tiong mengusulan kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia agar di Fakultas Hukum didirikan Biro Konsultasi Hukum. Usulan ini disambut baik dan didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia. Pada tahun 1968 diubah namanya menjadi Lembaga Konsultasi Hukum lalu pada tahun 1974 diubah menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum. Di daerah lain biro serupa juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran pada tahun 1967 oleh Prof. Mochtar Kusumatmadja. Berbicara tentang sejarah bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari peranan dua tokoh penting yaitu S. Tasrif, S.H. dan Adnan Buyung Nasution, S.H. S. Tasrif dalam sebuah artikel yang ditulisnya di Harian Pelopor Baru tanggal 16 Juli 1968 menjelaskan bahwa bantuan hukum bagi si miskin merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian untuk mewujudkan idenya tersebut, S. Tasrif mohon kepada Ketua Pengadilan Jakarta untuk diberikan satu ruangan yang dapat digunakan untuk para advokat secara bergiliran untuk memberikan bantuan hukum. Adnan Buyung Nasution, S.H. dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang dalam Kongres tersebut akhirnya

mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lainnya di seluruh Indonesia. Tidak ketinggalan pula organisasi-organisasi politik, buruh, dan perguruan tinggi juga ikut pula mendirikan LBH-LBH seperti, LBH Trisula, LBH MKGR, LBH Kosgoro, dan sebagainya. Dengan adanya LBH-LBH di seluruh Indonesia maka muncul Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bertujuan untuk mengorganisir dan merupakan naungan bagi LBH-LBH. YLBHI menyusun garis-garis program yang akan dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi sehingga diharapkan kegiatan-kegiatan bantuan hukum dapat dikembangkan secara nasional dan lebih terarah di bawah satu koordinasi. B.Penyelesaian dan Alur Pemberian Bantuan Hukum Ketika seseorang dinilai tidak mampu untuk menghadapi perkara di Pengadilan. Sesuai Pasal 5 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum bisa mendapatkan informasi demi kepentingan dan pembelaan hak-hak hukumnya dengan meminta keterangan dari instansi-instansi seperti : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung; Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Tinggi; Rumah Tahanan Negara; Lembaga Pemasyarakatan; Kepolisian Sektor/Resort/Daerah; Kantor Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan/Desa); Lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum; Unit kerja bantuan hukum dalam Organisasi Profesi Advokat; dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum di Perguruan Ting

Untuk dapat memperoleh bantuan hukum yang disediakan oleh Mahkamah Agung RI melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum. Terdapat hal-hal yang harus dipersiapkan yaitu : 1. Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa/Lurah setempat; atau 2. Surat Pernyataan Tidak Mampu dari Pemohon dan dibenarkan oleh Pengadilan Negeri setempat; atau 3. Surat Pernyataan Tidak Mampu dari Pemohon dan dibenarkan oleh Lembaga Bantuan Hukum setempat. Dalam pemberian bantuan hukum selain syarat-syarat tersebut diatas yang harus dipenuhi terdapat hal-hal mendasar yang harus diperhatikan terkait dengan perkara yang dihadapi oleh individu yang membutuhan bantuan hukum. Dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak ada pembedaan baik itu perkara pidana, perdata, tata usaha negara, atau perkara lainnya. Namun dalam hal ini akan dijelaskan perbagian dari pengadilan tersebut bagaimana cara mendapatkan bantuan hukumnya. Dalam pemberian bantuan hukum ini dalam prosesnya di pengadilan UU Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan ruang diskriminasi dalam perkara atau

subjek dan objek apapun. Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) yaitu pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Dalam perkara hukum pidana baik hukum material dan formil. Terdapat ketentuan mendasar untuk mendudukkan hukum pada tempat yang sebenarnya. Agar tercapai tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sesuai dengan teori dari Gustav Radbrugh. Dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terdapat hal-hal penting yang harus dipenuhi ketika seseorang harus didakwa dan dihukum melalui pengadilan, beberapa diantaranya : Pasal 6 ayat (1) : Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain, kecuali undang-undang lain menentukan lain yang sering disebut dengan istilah nullum delictum sine praevia lege). Pasal 6 ayat (2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Pasal 8 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu presumption of innocense. Pasal 56 Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Pasal 56 ayat (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu Menjadi landasan hukum yang kuat bahwa ketentuan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 56 memberikan perimbangan kekuatan. Perimbangan kekuatan yang dimaksud adalah adanya equality of arms yaitu keseimbangan kekuatan hukum antara aparat hukum dengan pihak berperkara. Bantuan hukum yang dimaksud adalah pemberian jasa hukum secara cuma-cuma yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu. Hal tersebut dituangkan jelas dalam penjelasan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 56 ayat (1). Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut menyebut setiap orang yang tersangkut berperkara yang tidak mampu adalah pencari keadilan yang tidak mampu yaitu adalah oang perseorangan atau kelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Dalam perkara hukum perdata terdapat asas yang bertujuan untuk melindungi kepentingan hukum dari para pihak yang berperkara di pengadilan yang diatur dalam Staatsblaad No. 23 Tahun 1847 Tentang Burgerlijk Wetboek voor Indonesie atau yang sering disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diantaranya adalah sebagai berikut : Pasal 4 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. 1. Penggugat dan tergugat (para pihak) dapat memilih salah satu dari upaya penyelesaian sengketa perdata, yaitu upaya yang dilakukan melalui pengadilan atau upaya yang dilakukan di luar pengadilan (melalui upaya perdamaian). 2. Pasal 118 KUHPer Para pihak berperkara dapat menghadap sendiri proses persidangan atau meminta bantuan hukum dari Advokat. 1. Pasal 119 KUHPer 2. Ketua Pengadilan Negeri memberi nasehat dan pertolongan kepada orang yang menggugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan tuntutannya. 3. Pasal 120 KUHPer Jika orang yang menggugat tidak pandai menulis, maka tuntutannya boleh dilakukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Ketua itu mencatat tuntutan tersebut atau menyuruh mencatatnya. Pasal 130 KUHPer Sebelum memeriksa perkara dalam sidang pertama, Ketua Majelis Sidang atau Hakim yang menyidangkan diwajibkan untuk mengusahakan tercapainya suatu perdamaian diantara mereka yang berperkara. Pasal 237 KUHPer Dalam hal penggugat atau tergugat tidak mampu menanggung biaya perkara, mereka dapat memperoleh izin untuk berperkara dengan cuma-cuma. Selain ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman tentang bantuan hukum terdapat ketentuan dalam UU yang lain yang juga menjadi dasar hukum dilakukannya bantuan hukum, diantaranya yaitu : 1. Pasal 68 B dan 69 C UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

2. Pasal 60 B dan 60 C UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun Peradilan Agama 3. Pasal 144 C dan 144 D UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN Ketentuan dari setiap dasar hukum diatas mengatur hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum. Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Menanggapi hal tersebut maka Mahkamah Agung RI (MARI) telah menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Berdasarkan ketentuan dari surat edaran tersebut mekanisme bantuan hukum dilakukan sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Untuk alur pelayanan bantuan hukum dan penyelesaiannya diatur dalam beberapa ketentuan peraturan. Diantaranya Peraturan Perhimpunan Advokat No. 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dan SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Sedangkan aturan terbarunya sudah ada dalam UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam hal ini akan dijelaskan alur pemberian bantuan hukum dan penyelesaiannya sesuai UU Bantuan Hukum tersebut sebagai berikut : 1. Pemohon Bantuan Hukum (pemohon) memenuhi syarat-syarat : o Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon (nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, dan pekerjaan) dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum o Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara o Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon o Jika pemohon tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis maka permohonannya dapat diajukan secara lisan 2. Permohonan yang sudah lengkap yang diajukan kepada Pemberi Bantuan Hukum (pemberi) dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja harus diberikan jawaban menerima atau menolak permohonan. Jika terdapat beberapa hal yang belum jelas maka pemberi bantuan hukum dapat meminta keterangan tambahan kepada pemohon sesuai dengan waktu yang telah ditentukan 3. Permohonan dapat diajukan bersama-sama oleh beberapa pemohon yang mempunyai kepentingan yang sama terhadap persoalan hukum yang bersangkutan 4. Permohonan yang diajukan secara lisan dituangkan dalam bentuk tertulis dengan ditandatangani pemohon dan Advokat atau petugas pada organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang ditugaskan untuk itu 5. Permohonan yang diajukan langsung kepada Advokat, tembusan permohonan disampaikan kepada organisasi Advokat 6. Jika permohonan diterima pemohon berubah statusnya menjadi Penerima Bantuan Hukum (penerima). Maka dilakukan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima sedangkan jika permohonan ditolak harus disertai dengan alasan. Namun pada

dasarnya advokat dilarang untuk menolak permohonan bantuan hukum dan pemohon dapat mengajukan keberatan kepada organisasi Advokat dan LBH yang terkait. 7. Pendanaan dalam bantuan hukum dibebankan kepada Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) dan juga dari hibah atau sumbangan serta sumber laun yang sah dan tidak mengikat 8. Permohonan bantuan hukum yang diajukan langsung kepada organisasi Advokat atau LBH maka lembaga atau organisasi tersebut menugaskan Advokat yang memberikan bantuan hukum dengan mencantumkan namanya dalam jawaban terhadap permohonan 9. Jika sudah sah mendapat bantuan hukum maka untuk penyelesaian perkara, penerima mempunyai hak dan kewajiban yaitu : 10. Mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) dengan syarat bahwa penerima tidak mancabut surat kuasanya 11. Mendapat bantuan hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat 12. Mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksaan pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 13. Menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada pemberi 14. Membantu kelancaran pemberian bantuan hukum 15. Keputusan pemberian bantuan hukum ditetapkan secara tertulis dengan menunjuk nama Advokat. Kemudian keputusan tersebut disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait dengan pemberian bantuan hukum. 16. Advokat yang ditunjuk untuk memberikan bantuan hukum harus memberikan perlakukan yang sama dengan bantuan hukum yang mendapatkan honorarium. Advokat dalam memberikan bantuan hukum juga dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari penerima bantuan hukum. 17. Advokat yang menolak memberikan bantuan hukum tanpa alasan yang kuat dan menerima atau meminta suatu pemberian atau dalam bentuk apapun dari penerima bantuan hukum akan menerima teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari profesinya yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. 18. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum dilaporkan pada organisasi Advokat atau LBH. 19. Pelaksanaan bantuan hukum dilakukan dalam rangka realisasi program bantuan hukum yang dilakukan oleh organisasi Advokat dan bekerjasama dengan LBH dengan membentuk unit kerja khusus bantuan hukum. Jika memang belum memiliki unit kerja tersebut maka bantuan hukum dilakukan oleh unit kerja lain yang ditetapkan oleh instansi itu sendiri 20. Dalam hal berlakunya ketentuan bantuan hukum yang terbaru maka pemberian bantuan hukum yang sedang ditangani advokat dilaporkan kepada organisasi Advokat atau LBH.

Sumber Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Peraturan Perhimpunan Advokat Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang masalah Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana (Oemar Seno Adji, 1985: 31). Salah satu hak yang diberikan kepada tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain. Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya diatur dalam Pasal 69 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah:

Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang. Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar. Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut (Loebby Loqman, 1990: 10).Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya. Mengantisipasi akses tersebut serta karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih berorientasi kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi seorang penasehat hukum. B.Rumusan masalah 1.Bagaimnakah sejrah lembaga bantuan hokum di Indonesia? 2.Apakah pengertian dari bantuan hokum? 3.Bagaimanakah Penyelesaian dan Alur Pemberian Bantuan Hukum? 4.apakah pungsi dan tujuan bantuan hokum?

You might also like