Professional Documents
Culture Documents
1 TAQWA
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar
taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan Islam.”
(QS. Ali Imran/3:102).
***
Kata “taqwa” berasal dari bahasa Arab yang merupakan akar kata dari “al-
Wiqayah” atau “al-Wiqwa” yang berarti alat pelindung kepala atau perisai
untuk menghindari diri dari sesuatu yang ditakuti dan membahayakan di-
rinya. “At-Taqwa” adalah bentuk mashdar yang artinya “al-Itqaa” yaitu
membuat perlindungan. Sedangkan menurut para ahli hakikat, taqwa be-
rarti memelihara diri dengan jalan taat ke-pada Allah SWT atau menjauhi
semua yang dilarang-Nya sehingga tetap terlindung.
1
QS. 49:13
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -2
yang lebih kekal dan abadi yaitu alam akhirat yang hanya dibatasi oleh
kematian. Manusia yang berhak mengisinya ialah mereka yang suci jiwan-
ya dengan amal shalih dan ketaqwaan. Firman Allah; “Sesungguhnya ber-
untunglah orang-orang yang membersihkan diri. Dan menyebut nama Tuhannya
lalu me-laksanakan shalat. Tetapi kalian (orang kafir) mengutamakan kehidupan
dunia. Sedang akhi-rat itu lebih baik dan lebih kekal.” 5
Begitulah kehidupan dunia, dipenuhi de-ngan hiasan yang bisa melalaikan
manusia dari hakikat manusia diciptakan yaitu beribadah ha-nya kepada
Allah SWT. Padahal dari makna lahir saja, kata “dunia” menggambarkan
kehi-dupan yang kecil dan sesaat.
Dalam “Tahdibul Akhlaq”, dijelaskan; “Du-nia dan akhirat adalah ibarat dua
keadaan. “Ad-Dunya” berarti “al-Qarib” (sementara) dan “Ad-Danaa” (hina
dan kecil) yaitu segala per-kara yang ada sebelum kematian datang. Sedangkan
akhirat adalah al-Mutarakhi (tujuan akhir) yang terjadi setelah kematian.” 6
Karenanya, Rasulullah SAW mewanti-wanti ummatnya dari kehidupan
dunia yang melebihi batas. Dalam sebuah hadits dijelaskan ada malaikat
yang menyeru; “Biarkan dunia bagi mereka yang mencintainya !” hingga di-
ulang sampai tiga kali, “Barangsiapa yang mencari dunia melebihi batas keper-
luannya, maka dia akan menemui ajal dalam keadaan tak sadar.”7
Kematian memang satu hal yang sudah pasti datangnya, kapan atau di-
mana, hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, persiapannya harus dalam
setiap saat. Allah SWT memberikan tuntunan hidup bagi manusia agar
tidak takut menghadapi kematian yaitu mempersiapkan bekal menuju ke-
hidupan kekal nanti. Dan bekal yang sebaik-bainya adalah taqwa.8
Dengan merujuk pada pengertian taqwa di atas, maka aplikasi dari taqwa
ini ialah berhati-hati dan selalu memperhitungkan setiap amal perbuatan
yang akan dilakukan, apakah bertentangan dengan titah-Nya atau tidak.
Imam Al-Baidlawi dalam kitab tafsirnya, membagi taqwa menjadi tiga
tingkatan;
Tingkatan Pertama, Taqwa seseorang yang didorong oleh rasa takut akan
siksa yang kekal sehingga dia memelihara diri dari perbuatan dosa dan
syirik kepada Allah. 9
5
QS. 87:14-17
6
Hlm. 78
7
HR. Al-Bazzar
8
QS. 2:197
9
QS. 48:26
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -4
Konsekuensi Taqwa
Karakteristik Muttaqin
Cukup menarik untuk dikaji ulang, tentang sifat dan sikap muttaqin yang
lebih praktis, dengan tujuan agar kita mampu mengapli-kasikannya dalam
kehidupan dan rutinitas sehari-hari.
Ada beberapa tanda muttaqin sejati yang penting untuk dihayati oleh se-
tiap muslim, di antaranya:
Tanda kedua ini merupakan cerminan sikap Ihsan yang harus dimiliki oleh
setiap muslim dan muttaqin sejati. Ihsan artinya kita selalu merasa diawasi
Allah walaupun kita tidak melihat-Nya langsung, karena Allah SWT
12
QS. Ad-Dukhan/44:51-59
13
QS. 16: 91
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -6
Sesungguhnya sikap Mu’aqabah ini lahir dari kesadaran untuk tetap men-
jalankan sya-ri’at Allah. Mu’aqabah ialah pemberian sanksi kepada diri
sendiri, apabila kita menyalahi perjanjian yang kita buat. Namun tentu
saja sanksi tersebut tidak boleh menyalahi Sunnah Rasulullah SAW seperti
tidak akan menikah, shaum terus menerus dan lain-lain. Sanksi ini hanya
untuk mengingatkan apabila kita lalai dari perjanjian.
14
QS. Asy-Syura: 218-219
15
QS. 99: 7-8
16
QS. Al-Hasyr: 18
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -7
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, suatu hari Umar Bin Khathab RA men-
gurus kebun sampai-sampai ia tertinggal berjama’ah shalat Ashar. Maka
beliau berkata: ”Aku tertinggal berjama’ah Ashar hanya karena sepetak kebun,
kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang miskin.” Sungguh mulia
akhlaq shahabat Umar, hanya karena tertinggal shalat Ashar ia memberik-
an sanksi yang begitu besar. Tidakkah kita tergugah untuk meneladan-
inya?
***
17
QS. Al-Ankabut: 69
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -8
2 MA’RIFATULLAH
***
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -9
18
QS. An-Nur:35
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 10
Pertama; Al-haya, ialah sifat malu melakukan perbuatan kotor dan jahat.
Sebelum ia melakukan sesuatu perbuatan yang meragukan hatinya, maka
dengan pertimbangan rasa malunya ia akan memutuskan. Bila akan men-
imbulkan celaan dan buah bibir orang, tidak ia lakukan karena malu yang
beralasan. Karena-nya Rasulullah SAW menyatakan bahwa “Malu
merupakan bagian dari iman.”
Kedua; Al-Amanah, yaitu terpercaya bila diserahi tugas atau jabatan ter-
tentu. Bila ma-nusia diserahi “tugas” oleh Sang Pencipta untuk beribadah
dan melaksanakan setiap perbuatannya19 maka dengan penuh amanat dan
rasa tanggung jawab ia akan berusaha melaksanakannya. Demikian juga
dengan tugas yang dibebankan oleh sesamanya. Sehingga tidak akan ter-
jadi penyalahgunaan wewenang dan jabatan.
Ketiga, Ash-Shiddiq, yaitu berlaku jujur dan benar, inilah modal seseorang
bila ingin mendapat penghargaan sesamanya. Bila sudah terjerumus pada
dusta dan bohong maka kepercayaanpun akan sirna dan jadilah ia ma-
nusia yang terhina, bahkan Solon -seorang ahli politik Yunani memberlak-
ukan hukuman bu-nuh kepada rakyatnya yang berdusta sekecil apapun.20
22
1985:10
23
QS.36:29
24
QS. 5:83
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 12
***
3 AL-HAYA
Al-haya artinya malu, tapi malu bukan karena rasa bersalah atau sebab
lain yang disebabkan perasaan jelek. Al-haya adalah malu yang didorong
oleh rasa hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat
membuat dirinya terhina. Jika seseorang hendak melakukan sesuatu per-
buatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat akibat
jelek yang bisa menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati,
maka dia telah memiliki sifat Al-haya. Inilah salah satu sikap yang
merupakan cerminan akhlaq malu dalam hatinya.
Namun, tentu saja malu setiap orang berbeda sesuai dengan tingkatan
keyakinan (ke-imanan) yang dimilikinya akan sesuatu yang dijadikan ob-
jek malu tersebut. Bahkan seseorang bisa saja menjadikan objek malu yang
salah dan menyesatkan atau membawanya ke-pada riya dan syirik.
Sebuah riwayat menceritakan, ketika Zulaikha hendak melakukan maksiat
kepada Yusuf AS, dia melihat patung di sekelilingnya terbuka, kemudian
dia menutupinya dengan kain. Lalu Yusuf bertanya, “Mengapa patung-pa-
tung itu ditutupi ?” Jawab Zulaikha; “Aku malu bila perbuatan maksiat ini di-
25
QS. 67:1-2
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 13
lihat oleh tuhan-tuhanku.” Dalam hal ini, malu ditempatkan pada sesuatu
yang menyesatkan, sehingga maknanya menjadi lain.
Dalam Islam, Al-haya termasuk akhlaqul karimah yang amat luhur, ter-
utama bila sudah mencapai tingkat malu yang paling tinggi. Sifat malu
lahir ketika manusia mengalami penga-laman beragama dan menjalani ih-
san sebagai puncak pengabdian manusia terhadap Khaliq-nya.
Al-haya adalah bagian iman yang utama. Sabda Rasulullah SAW: “Malu
dan diam adalah cabang dari iman, sedangkan keji dan keras (banyak omong)
adalah cabang dari nifaq.” 26
Hadits lain menyebutkan, sabda Rasulullah SAW; “Malu adalah bagian dari
iman, dan iman membawanya ke dalam surga, sedangkan kekejian adalah perkara
kotor yang tempatnya adalah di neraka.” 27
Keutamaan Al-haya ini banyak dikemuka-kan oleh para ahli hikmah yang
memandang bahwa malu merupakan pangkal kebahagiaan seseorang.
Karena dengan sifat malu, dia akan berhati-hati dalam setiap amaliahnya.
Malu adalah salah satu bentuk ihsan yang artinya keyakinan kita ketika
melaksanakan ibadah seakan kita melihat Allah SWT dan Dia menyaksik-
an perbuatan kita sekecil apapun. Salah sebuah Hadits mengingatkan kita,
sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya yang menjadi peringatan Nabi-Nabi
terdahulu kepada ma-nusia ialah, apabila kamu tidak punya rasa malu, maka lak-
ukanlah apa yang kamu kehendaki sesukamu.” 28
Hadits ini menunjukkan akan keutamaan Al-haya sebagai ajaran yang did-
a’wahkan se-tiap para utusan Allah. Maka setiap mujahid da’wah,
selayaknya memahami hakikat Al-haya ini, supaya manusia mengerti fung-
si dan peran Al-haya dalam kehidupannya. Hadits di atas mengisyaratkan
juga bahwa bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka alamat
dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga ber-
buat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun
kehormatan dirinya. Na’udzubillahi Min Dzalik.
Pembagian Al-haya
Tingkatan Ketiga adalah malu terhadap diri sendiri yaitu sifat iffah,
artinya memelihara kebersihan jiwa dari sifat tercela meskipun dalam
keadaan menyendiri. Para ahli hikmah ber-kata; “Barangsiapa melakukan
perbuatan dalam sunyi yang apabila perbuatan itu dilakukan dalam keramaian
dia merasa malu, maka telah hilang kemuliaan darinya.” 29
Al-haya merupakan ciri seorang yang selalu dekat dengan Allah SWT
(muraqabah). Karena amat dekatnya dia dengan Allah SWT sehingga ia
yakin akan sifat Allah yang Maha Melihat dan Maha Mendengar seluruh
perbuatannya, baik lahir maupun batin. Firman Allah:
29
Adabud Dun-ya Wad Din:242
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 15
“Sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dan Kami mengetahui apa yang
dibisikkan oleh jiwanya dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.” 30
Kesadaran inilah yang mendorong manusia beramal shalih dimanapun
dan kapanpun. Ma-ka seorang mujahid sudah seharusnya berusaha
dengan sungguh-sungguh memelihara sifat malu, sehingga tetap berada
dalam keri-dlaan Allah SWT. Karena dengan demikian, tugasnya menyer-
ukan Al-haq telah terpenuhi, baik bagi dirinya sendiri maupun sesama
muslim lainnya.
Rasulullah SAW sendiri memberi teladan sifat malu, sebagaimana diri-
wayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudry; “Adalah Rasulullah SAW lebih pemalu
daripada gadis pingitan. Tetapi bila terjadi sesuatu yang tidak disukainya, kami
dapat mengetahuinya dari raut wajahnya.” 31
Sifat malu lahir dari dua dorongan, sebagai-mana dikemukakan Abul
Qasim (Junaid); “Malu itu timbul karena memandang budi kebaikan dan meli-
hat kekurangan diri.” Memang, dengan menyadari kekurangan diri dalam
hal amal kebaikan itu akan menjadi motivasi mem-perbaiki perbuatan
kita, sebagaimana akhlaq dan perilaku Nabi-Nabi terdahulu. Firman Allah
SWT: “Sesungguhnya mereka itu bersegera dalam kebaikan dan mereka memohon
kepada Allah dengan pengharapan dan ketakutan, dan mereka berserah diri
dengan khusyu’ kepada Kami.” 32
***
30
QS. 50:16
31
HR. Al-Bukhari & Muslim
32
QS. 21:90
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 16
4
IKHLAS
Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi:
“Akulah sebaik-baiknya sekutu (teman). Barang siapa mempersekutukan Aku ber-
sama yang lain, ia akan
diserahkan kepada sekutu itu. Wahai sekalian manusia, beramallah kalian dengan
ikhlas karena Allah.
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal
seseorang kecuali amal yang berdasarkan ikhlas karena-Nya. Janganlah kalian
mengucapkan “ini demi Allah dan demi kekerabatan“, perbuatan itu akan men-
jadi karena kekerabatan saja dan tidak sedikitpun karena Allah.
Dan jangan pula kalian mengucapkan “ini demi Allah dan demi pemimpin kali-
an.” Amalan seperti itu hanya untuk kehormatan/pemimpin kalian saja,
dan bukan karena Allah.”
(HR. Al-Bazzar dari Adh-Dhahak).
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 17
***
Imam Abu Zakaria Yahya Ibn Syarf An-Nawawi dalam kitabnya ‘Riy-
adhusshalihin’ menempatkan masalah ikhlas pada bab pertama,
mengawali masalah lainnya yang tidak kalah penting. Namun, tentu saja
penempatan itu mengandung maksud, bahwa ikhlas merupakan amal
yang paling mendasar untuk di-ketahui dan dihayati maknanya.
Barangkali pandangannya terhadap esensi ikhlas tidak jauh berbeda
dengan ulama lainnya seperti Hujatul Islam Imam Al-Ghazali, Ibnul Qay-
im Al-Jauziah dan para Salafusshalih lainnya yang menjadikan masalah
ikhlas sebagai amaliah yang patut mendapatkan perhatian sungguh-sung-
guh dari setiap pribadi muslim. Karena tanpa itu, semua perbuatan kita
tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan dalam kutipan Hadits Qudsi di atas yang men-
gingatkan kita bahwa Allah hanya menerima amal yang didasari oleh ikh-
las semata karena-Nya. Untuk itu, ada baiknya bila kita merenungi kem-
bali beberapa firman Allah dan sabda Rasulullah SAW tentang ikhlas ini
yang diperjelas juga oleh manhaj para ulama salaf, sehingga kita dapat
menerapkan akhlaq ikhlas ini dalam beramal.
33
Tazkiyatun Nufus: 1
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 18
man-Nya: “Sesungguhnya kamu pasti akan merasa-kan adzab yang pedih, dan
kamu tidak diberi balasan kecuali atas kejahatan yang telah kamu perbuat. Dan
hamba-hamba Allah yang meng-ikhlaskan diri (dalam menjauhi dosa), mereka
mendapat rizqi yang ditentukan.” 34 Ayat ini mengisyaratkan bahwa amal
yang disertai de-ngan keikhlasan akan mendapat balasan yang berlipat
ganda, sementara mereka yang mempunyai niat jahat, juga akan mener-
ima balasan kejelekannya. Allah SWT memang memberi keutamaan dalam
akhlaq ikhlas ini. Bukankah salah satu surat di dalam Al-Quran diberi
nama Al-Ikhlas. Ini menunjukan bahwa ikhlas merupakan akhlaq utama
dalam menjalankan ke-taatan kepada Allah SWT sebagaimana dijelaskan
dalam surat Al-Ikhlas yang berisi tauhid yang menjadi dasar keyakinan
ummat Islam.
Sayid Muhammad Ibnu Alwy Ibnu Abbas Al-Maliki Al-Makky Al-Hasani
dalam kitabnya “Qul Hadzihi Sabili,” memasukkan ikhlas sebagai Al-
Manjiyyat yaitu sesuatu yang dapat memberi keselamatan kepada siapa
saja yang mengamalkannya. Ikhlas menurutnya identik dengan Iman,
sambil mengutip QS. 17: 19 yang artinya, “Dan barang siapa yang meng-
hendaki kehidupan Akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh
sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya
dibalas dengan baik.”
Ayat ini juga memberikan pemahaman bah-wa motivasi orang yang beri-
man (baca: ikhlas) adalah kehidupan Akhirat serta bersungguh-sungguh
untuk meraihnya.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah dalam men-
jalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan wal-au amal sekecil apa-
pun.” Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab: ”Ia-
lah ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua
amal kecu-ali disertai keikhlasan kepada-Nya serta meng-harap keridlaan-Nya
semata.” 35
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melak-
ukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi
ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Al-
lah, tanpa men-campuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena
hawa nafsu atau keduniaan (harta, tah-ta, wanita). Dan jika dia berniat
disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu or-
ang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia be-
ramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam ke-
binasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq, na’udzubillahi min
dzalik. 36
34
QS. 31: 41
35
HR. An-Nasai
36
hal. 121
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 19
37
Ihya 1V:372
38
HR. Ahmad dari Mahmud Bin Labid
39
hal. 214
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 20
40
HR. Al-Hakim
41
HR. Al-Hakim
42
QS. 40: 14
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 21
Kedua, memahami makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam
beribadah hanya kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah
yakin perbuatan kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Maka ketika niat kita menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada
keimanan dan ke-taqwaan serta segeralah mensucikan diri de-ngan ber-
taubat dan meluruskan kembali niat baik tadi. Firman Allah: “Kecuali or-
ang-orang yang bertaubat dan memperbaiki amal mereka serta berpegang teguh
kepada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah,
maka mereka itu adalah bersama orang yang beriman dan kelak Allah memberik-
an kepada orang yang beriman pahala yang besar.” 45
Imam Yahya An-Nawawi membagi amal baik berdasarkan niatnya kepada
tiga macam,
(1). Amal hamba sahaya, apabila kita me-lakukan perbuatan baik karena
merasa takut akan adzab dari Allah.
(2). Amal Saudagar, yaitu jika kita beramal karena mengharapkan pahala
dan surga dari Allah SWT.
(3). Amal manusia merdeka, yaitu beramal sebagai bukti keikhlasan kita
kepada Allah SWT serta rasa syukur dengan menyadari akan kewajiban
43
QS. 99: 7-8
44
HQR. Al-Bazzar & at-Tabrani
45
QS 4; 146
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 22
untuk beribadah kepada-Nya dan inilah tingkatan amal baik yang paling
tinggi dalam pandangan Allah SWT.46
46
Hadits Qudsi, 1988: 277
47
QS. 18: 110
48
HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tabrani dalam “Al-Mu’jam Al-Kabir
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 23
Nabi kami, Muhammad SAW, juga millah Ibrahim dengan setulus hati.
Dan Ibrahim itu bukan dari golo-ngan orang musyrik ).
***
5
SHABAR
Dr. Yusuf El-Qardhawi menulis sebuah buku dengan judul “Ashabru fil-
Quran Al-Karim” (Shabar dalam Al-Quran), Me-ngungkap secara luas dan
terperinci makna shabar serta aplikasinya dalam kehidupan mus-lim, kar-
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 24
ena tanpa memahami makna shabar yang sesungguhnya, maka sulit men-
getahui seseorang disebut penyabar, atau sudah adakah sifat shabar pada
diri kita, sehingga tercermin dalam perilaku nyata dan kehidupan sehari-
hari.
Shabar merupakan perbuatan batin yang hanya Allah-lah yang menget-
ahuinya. Namun sebagai akhlaq, tentu shabar harus dapat terdefinisi
dalam amal badani sehingga dapat dilaksanakan. Untuk itu, Allah SWT
mengutus para Rasul sebagai figur dan contoh teladan setiap ummat
dalam perilaku dan akhlaq baik yang zhahir maupun batin.
Firman Allah: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu ada pelajaran bagi
kaum yang berpikir. Bukanlah itu suatu hal yang dibuat-buat, akan tetapi mem-
benarkan yang terdahulu dan perincian terhadap segala sesuatu serta sebagai pe-
tunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” 49
Mengingat pentingnya manusia memiliki figur hidup untuk mencapai ke-
bahagiaan dunia dan Akhirat, maka dalam hal shabar-pun Allah men-
jadikan beberapa orang utusannya sebagai figur manusia shabar yaitu
mereka yang dijuluki Ulul ‘Azmi (orang-orang yang tabah mengha-dapi
cobaan).
Para mufassirin berbeda dalam menentukan nama para rasul yang direbut
Ulul ‘Azmi ini. Ibnu Abbas dalam “Tanwirul Miqbas” nya membagi dua
kriteria Ulul ‘Azmi, sesuai de-ngan penafsirannya. Al-’Azmi mempunyai
dua makna.
Pertama, Para rasul yang memiliki keteguhan dalam mempertahankan
kebenaran Tauhid, sehingga melakukan perlawanan bersama pengikut-
nya. Misalnya Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, dan Isa AS.
Kedua, Al-’Azmi berarti para rasul yang tabah menjalani cobaan baik lang-
sung dari Allah SWT atau siksaan kaum kafir yang menentang ajarannya,
seperti Nabi Ayyub AS, Nabi Zakaria AS, dan Nabi Yahya AS. 50
Dalam hal ini Ibnu Abbas tidak menentukan nama para rasul yang termas-
uk Ulul ‘Azmi ini, tetapi berdasarkan jenis cobaan yang me-nimpanya.
Lain lagi dengan penafsiran Ibnu Katsir yang melihat dari makna kalimat
‘Min Ar-Rusuli” pada ayat di atas.51 Dia mengemukakan dua pendapat,
Pertama, “Min” berarti Lit- Tab-’iedh, maksudnya hanya menunjukan seba-
gian saja dari para rasul, yaitu lima orang rasul.
Sedangkan pendapat kedua, memandang bahwa “Min” pada ayat di atas
tidak menunjukan Lit-tab’iedh tapi Libayanil-jinsi, artinya menunjukan pen-
49
QS. 12:111
50
Tanwirul Miqbas:426
51
QS. 46:35
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 25
jelasan bahwa Ulul ‘Azmi itu dari golongan para rasul bukan dari go-
longan lainnya, sehingga menurut pendapat kedua ini semua para rasul
termasuk Ulul ‘Azmi, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah Hadits dari
Aisyah RA: “Adalah Rasulullah SAW selalu melaksanakan shaum padahal itu
membuatnya kepayahan. Kemudian pada suatu hari ia ber-sabda: “Wahai Aisyah
RA, sesungguhnya ma-salah duniawi tidak menjadi beban bagi diri Muhammad
juga bagi keluarganya. Wahai Aisyah RA, sesungguhnya Allah mencurahkan
keridlaannya kepada Ulul ‘Azmi karena keshabarannya melakukan yang ia benci
dan meninggalkan yang ia cintai, maka akupun menginginkan keridlaan Allah
dengan menerima apa yang Dia berikan sebagaimana kepada mereka.” Lalu dia
membacakan ayat di atas dan bersabda: “Demi Allah sesungguhnya aku berusaha
untuk shabar seperti mereka para rasul sesuai kemampuanku, tiada kekuatan
selain dari Allah.” 52
Sebelumnya, Ibnu Katsir mengemukakan pendapat yang paling masyhur
tentang nama-nama Ulul ‘Azmi di antaranya: Nuh AS, Ibrahim AS, Musa
AS, Isa AS dan Muhammad SAW berdasarkan QS. Al-Ahzab:7 dan QS.
Asy-Syura:13. Firman Allah: ”Dan ingatlah ke-tika Kami mengambil perjanji-
an dari para Nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan
Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teg-
uh.” 53,54
Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam “Taf-sirul Mufradat“ ayat di atas
dengan mengutip bait sya’ir Imam Mujahid: “Ulul ‘Azmi Nuh wa khalilul
Mumajid... wa Muusaa wa ‘Isa wal habibu Muhammad...“ (Ulul ‘Azmi adalah
Nuh dan Khalil Ibrahim yang dimulyakan... juga Musa, Isa dan
Muhammad yang dicintai.” 55
Memang, bila dilihat dari cobaan yang me-nimpa kelima orang rasul ini
jauh lebih berat dibanding Nabi lainnya, dengan tidak me-nafikan
keshabaran seluruh para utusan Allah SWT yang tercantum dalam Al-
Quran. Maka, sesuai dengan petunjuk Allah dalam Al-Quran, sudah
selayaknya kita mencontoh keshabaran seluruh para Rasul terutama yang
telah diki-sahkan dalam Al-Quran dan lebih khusus lagi menjadikan figur
Ulul ‘Azmi sebagai suri teladan dalam ketabahan mereka mempertahan-
kan ajaran tauhid.
Dalam Al-Quran terdapat lk. 103 kata yang berasal dari lafadz shabara
dengan berbagai bentuk dan maksudnya masing-masing.56 Imam Al-
52
HR. Ibnu Abi Hasyim & Dailami
53
QS. 33:7
54
Ibnu Katsir IV:172
55
Al-Maraghi IX, 26:38
56
Al-Mu’jamul Mufahrats:399
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 26
57
QS. 13:23-24, lihat juga QS. 76:12, 25:75, 2:153
58
HR. Al-Qudla’i, Ad-Dailami dan Al-Hakim, Turmudzi dari Anas RA
59
QS. 8:66
60
Shabar, Suatu Prinsip Gerakan Islam, 1989:4
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 27
Pertama, Ibtila Al-Fardi yaitu cobaan yang Allah berikan langsung kepada
individu guna menguji keimanan dan ketabahannya.62 Seper-ti yang men-
impa Ayub AS dengan penyakit yang berat. Jenis cobaan ini meliputi tiga
bentuk antara lain:
a) Cobaan badaniah dan rohaniah berupa penyakit, luka, cacat badan, rasa
susah, gelisah, duka cita, rasa tidak aman dan lain-lain.
b) Cobaan melalui harta kekayaan berupa kehilangan, kekurangan, keru-
sakan dsb.
c) Cobaan melalui sanak keluarga dan keturunannya, seperti kematian, ke-
sakitan pada keluarga dll.
Kedua, Ibtila Jama’i, jenis ujian ini terjadi sebagai hasil pertarungan antara
Aulia‘ur-Rah-man dengan Aulia‘usy-syaithan seperti perjalanan da’wah Ra-
sullullah SAW yang mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy.
Adapun medan Shabar menurut Al-Ma-wardi dalam ”Adabud-dun-ya
Wad-Din” meliputi enam bidang, yaitu;
61
Hadits Qudsi 1988:102
62
QS. 29:2
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 28
63
hlm. 276
64
QS. 2: 155-156
65
QS. 2:45-46
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 29
Setiap hari, tidak kurang dari 17 kali kita membacakan Iyaka Na’budu Wa
Iyaka Nasta’in (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-
Mu kami memohon pertolo-ngan). Ucapan ini merupakan do’a kita ke-
pada Allah SWT agar mencurahkan pertolongan-Nya dalam menghadapi
cobaan di dunia dan akhi-rat kelak. Namun, tentu saja permohonan terse-
but harus sesuai dengan cara dan syarat yang telah digariskan oleh-Nya.
Karena bila permohonan tersebut hanya sebatas ucapan saja, kecil kemun-
gkinan do’a akan terkabul.
Oleh karena itu, Allah SWT memberikan cara kita memohon kepada-Nya,
yaitu dengan shabar dan shalat, sebagaimana firman-Nya; “Hai orang-or-
ang yang beriman, jadikanlah shabar dan shalat sebagai pernolongmu.” 66
Ayat ini menjadi tafsir dari surat al-Fatihah, yaitu tata cara beristi’anah ke-
pada-Nya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah di-
timpa suatu masalah yang dirasakan amat berat dan beliau memohon per-
tolongan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan shalat, kemudian
beliau membaca ayat tentang shabar, “Innallaha Ma’ash-shabirin” (Sesung-
guhnya Allah beserta orang-orang yang shabar). Dari hadits ini bisa disim-
pulkan, ketika seorang ditimpa bencana atau kesusahan, maka disyar-
i’atkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan shabar dan
shalat.
Namun, sampai di sini kita masih bertanya, bagaimana bentuk amaliah
shabar dan shalat sehingga mampu mengatasi ketegangan jiwa dan prob-
lema hidup.
Menurut sunnatullah, setiap manusia selalu mengalami kesusahan dan co-
baan. Firman Allah ; “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat
kebaikan, ia amat kikir.”
Jadi, masalah sebenarnya terletak pada sikap manusia terhadap cobaan
tersebut, dan sikap ini tercermin dalam sikap lahiriah yang berkeluh kesah
dan sikap batin yang tidak shabar menghadapi cobaan tadi.
Maka, bila seseorang bersikap tidak shabar dan selalu mengeluh akan ke-
susahannya, sudah termasuk dosa yang tidak terasa, dan cara
menghapusnya ialah dengan shalat.
Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang di pagi harinya telah
mengadukan kesulitan hidupnya kepada sesamanya, berarti ia tidak mensyukuri
pemberian Allah kepadanya. Barangsiapa yang di pagi harinya merasa sedih
dengan keduniaan yang menimpa dirinya, berarti ia tidak shabar dan tidak men-
gimani taqdir Allah kepadanya. Dan barangsiapa yang me-rendahkan dirinya ke-
pada orang kaya karena kekayaannya, maka hilanglah dua pertiga imannya.”
Para Ahli Hikmah membagi shabar kepada lima bagian;
Kedua, Meyakini bahwa semua yang kita miliki, dunia dan seisinya adalah
milik Allah dan Dia berkuasa atas jiwa dan raga kita, semua akan kembali
kepada-Nya, sebagaimana maksud ucapan istirja’ “Inaa lillahi wa inaa ilaihi
67
Hadits Qudsi, 1988:105
68
QS. 11:114-115
69
Ayat-Ayat Hukum, 1990:191
70
QS. 29: 2
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 31
Ketiga, Yakin bahwa dibalik cobaan dan malapetaka terdapat balasan ke-
baikan serta jalan keluar. Firman Allah: ”Apa yang di sisimu akan lenyap dan
apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi
balasan kepada orang-orang shabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” 71
Kelima, meyakini bahwa yang menimpa kita adalah taqdir Allah yang
harus diimani agar hilang kesedihan dan duka cita. Firman Allah: ”Tiada
suatu bencana pun yang menim-pa di bumi dan pada dirimu sendiri, melainkan
telah tertulis pada kitab (Lauh Al-Mahfudh) sebelum Kami menciptakannya. Ses-
ungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan) supaya kamu jangan ber-
dukacita terhadap yang luput dari kamu. Dan supaya kamu jangan terlalu gem-
bira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” 73
71
QS. 16: 96
72
HR. Al-Bukhari
73
QS. 57: 22-23
74
QS. 7: 128
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 32
‘Azmi dan shahabat salafush-shalih yang berjiwa penyabar dan tabah. Su-
dah sela-yaknya kita meneladani akhlaq mereka terutama dalam
keshabarannya. Rabbana Afrigh ’Alainaa shabran Watsabit Aqdamanaa
Wanshurnaa ‘alal Qaumil Kafirin Watawaffanaa Muslimin.” (Rabbana,
curahkanlah keshabaran atas kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami dari orang-orang kafir serta wafatkanlah kami dalam
keadaan berserah diri kepada-Mu). Amien.
***
6
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 33
MENSYUKURI
NIKMAT WAKTU
Demi masa, sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling
menasehati
dalam keshabaran.”
(QS. Al-’Ashr/103:1-3)
***
75
HR. Al-Bukhari
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 34
Kedua, waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali dan akan men-
jadi kenangan indah atau sebuah penyesalan. Imam Hasan Al-Bishri men-
gungkapkan; "Setiap hari ketika merekah fajar, sang waktu berseru, "Wahai
anak Adam, aku adalah makhluk baru, dan atas amal perbuatan kalian aku men-
jadi saksi. Oleh karenanya ambillah bekal dariku. Sesungguhnya bila aku telah
berlalu, aku tidak akan pernah kembali sampai Hari Kiamat.”
76
QS 103:1-3
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 35
Pertama, dengan keimanan secara total kepada Allah, baik hati, lisan dan
anggota badan. Yaitu iman yang memiliki 76 cabang, yang tertinggi ka-
limat tauhid Laa ilaha illallah dan yang paling ringan membuang duri yang
membahayakan. Dengan memperhatikan wak-tu, setiap saat diisi dengan
kegiatan yang men-cerminkan keimanan kita kepada Allah SWT.
Kedua, mengisi waktu dengan amal shalih baik yang dipandang baik di
hadapan Allah atau sesama manusia. Karena Allah menjamin kebahagiaan
bagi orang yang beriman dan beramal shalih, firman Allah: "Dan barang-
siapa mengerjakan amal shalih dan dia dalam keadaan beriman, maka ia tidak
khawatir akan perlakuan yang tidak adil terhadapnya atau dirampas haknya.” 77
Banyak sekali ayat Al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang menyuruh kita
memperhatikan waktu. Salah sebuah Hadits menyatakan sabda Nabi
SAW: "Bersegeralah kamu melakukan amal-amal shalih, karena sesungguhnya
akan terjadi kekacauan seperti bagian malam yang gelap gulita. Di pagi hari seor-
ang menjadi mu’min tetapi di sore hari ia menjadi kafir. Ia menjual agamanya
demi Keduniaan semata.” 79
Maka untuk membiasakan diri mengisi waktu dengan amal shalih, Dr.
Yusuf Qardhawi memberikan lima kiat sebagai sikap muslim terhadap
waktu.
77
QS 20:112
78
Al-Maraghi X:30
79
HR. Muslim
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 36
ing buruk?" Rasul menjawab: "Ialah orang yang panjang umurnya tapi jelek
amalnya.” 80
Kedua, tidak menyia-nyiakan waktu luang karena waktu adalah nikmat Al-
lah yang tidak boleh disia-siakan. Sebuah Hadits menyebutkan: "Man-
faatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara.... manfaatkanlah waktu
senggangmu sebelum datang kesibukan.”
Keempat, merenungi setiap detik waktu yang kita gunakan dan mengambil
pelajaran darinya. Sabda Rasulullah SAW ; "Seorang hamba tidak akan ber-
pindah tempatnya sebelum ditanya empat perkara; tentang umurnya dengan apa
dilalui, tentang ilmunya apa yang telah dilakukannya, tentang hartanya darim-
ana ia dapat dan kemana ia nafkahkan dan tentang fisik-nya bagaimana ia gun-
akan.” 81
Kelima, mengatur waktu sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, serta disip-
lin terhadap aturan waktu yang telah ada dan menyelesaikannya dengan
penuh kesungguhan. Firman Allah SWT: "Maka apabila kamu telah selesai
dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan
hanya kepada Tuhanmu sebaiknya kamu berharap.” 82
80
HR. Turmudzi dari Abdurrahman Ibn Abi Bakrah
81
HR. Turmudzi
82
QS 94: 7-8
83
QS 59: 18-19
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 37
***
7 SHALAT KHUSYU’
***
Ali Ath-Thanthawi pernah menulis risalah kecil dengan judul “Shalat Ar-
Rak’ataini” yang diterjemahkan oleh penerbit GIP dengan “Menuju Shalat
Khusyu’.” Dalam kar-yanya ini ia mencoba membuat rumusan metode
praktis pelaksanaan shalat khusyu’ de-ngan menampilkan contoh shalat
dua rakaat mulai dari sebelum takbiratul ihram sampai salam.
Memang kita akui, pelaksanaan shalat yang kita lakukan sehari-hari masih
belum meme-nuhi ketentuan baik syarat maupun rukunnya. Shalat kita
hanya terbatas pada pelaksanaan zhahirnya saja, belum terasa fungsi shal-
at dan manfaatnya dalam kehidupan sehari hari. Bahkan terkadang shalat
dijadikan beban yang teramat berat, bukan dijadikan amal kebaikan
primer.
Apabila shalat sudah memenuhi ketentuan yang zhahir dan batin, maka
akan terwujud Muqiimush-Shalat yang mengaplikasikan shalatnya dalam
setiap langkah. Firman Allah: “Bacalah apa yang telah diwahyukan Allah ke-
padamu, yaitu kitab Al-Quran dan dirikan-lah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih baik keutamaannya dari ibadah lainnya. Dan Allah menget-
ahui apa yang kamu kerjakan.” 84
Secara teoritis memang pelaksanaan shalat amatlah mudah dan cepat.
Hanya dalam beberapa menit saja sekian raka’at kita selesaikan. Namun
apakah shalat tersebut sudah memenuhi ketentuan yang dikehendaki Al-
lah SWT sehingga mencapai derajat khusyu’ yang merupakan puncaknya
ibadah shalat ?
84
QS. 29:45
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 38
Ada lk. 15 kata dalam berbagai bentuknya yang berasal dari akar kata
“khasya’a” dan sedikitnya ada lima ayat yang berkaitan dengan shalat
khusyu’.85 “Khusyu’an” adalah bentuk isim mashdar dari kata “khasya’a”
yang berarti takut atas sesuatu sehingga merasa rendah dan hina ketika
berhadapan dengan-Nya.
Dalam kitab “Al-Ta’rifat” dijelaskan, Khasyi’ (orang yang khusyu’) ialah
yang meren-dahkan diri dihadapan Allah SWT dengan seluruh hati dan
anggota badannya.86 Ibnu Abbas menafsirkan khusyu’ pada surat Al-
Mu’minun ayat 1-2 sebagai perasaan rendah dan tawadhu’ di hadapan Al-
lah ketika shalat, sehingga tidak menoleh ke kanan atau ke kiri serta diam
sejenak.87 Penafsiran seperti ini diikuti pula oleh para ulama lain seperti
Mujahid, Al-Hasan. Qatadah dan Al-Zuhri.
Dalam hal ini Ibnu Abbas menyatukan antara aktifitas lahir dan batin
pada praktek shalat secara bersamaan. Kebanyakan ulama menekankan
makna khusyu’ sebagai perbuatan batin yang menimbulkan gerak anggota
badan sesuai dengan kekhusyu’an hati. Ali Bin Abi Thalib dan Hasan Al-
Bashri mengistilahkannya sebagai khusyu’ Al-Qalb (hati yang khusyu’).
Berbeda dengan Ibnu Katsir yang memandang ayat di atas dari aspek asb-
abunnuzul yang memang berkaitan dengan peristiwa shalat para shahabat.
Muhammad Ibnu Sirin me-ngatakan, para shahabat Rasul selalu me-
ngangkat pandangannya ke atas ketika shalat, maka pada waktu turun
ayat ini, mereka me-nundukkan pandangannya ke tempat sujud. Bahkan
ada yang berpendapat, tidak boleh pandangan melampaui batas tempat
sujud, maka jika melebihi hendaklah menundukkannya.88,89
Khusyu’ menurutnya sama dengan ihsan yang maksudnya ialah beribadah
kepada Allah seakan kita melihat-Nya dan menyadari Dia selalu melihat
kita.90
ar, laki-laki dan perempuan yang shabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang ber-
puasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi
mereka ampunan dan pahala yang sangat amat besar.” 91
Umar Bin Khathab RA menceritakan tentang turunnya 10 ayat surat Al-
Mu’minun, Rasulullah SAW apabila turun wahyu beliau selalu mendengar
suara dengung seperti suara lebah, maka kami menunggu sesaat kemudi-
an dia menghadap Kiblat dan mengangkat dua ta-ngannya berdo’a: “Ya
Allah, tambahlah jumlah kami dan jangan Kau kurangi, muliakanlah kami jan-
gan Kau hinakan kami, dan ridhailah.” Setelah itu beliau bersabda: “Telah
turun sepuluh ayat, barangsiapa yang melaksanakannya dijamin masuk surga,
kemudian membacakan ayat: “qad aflaha Al-mu’minun, alladzinaahum ‘an shal-
atihim khasyi’un....” sampai ayat 10.92,93
Khusyu’ merupakan salah satu akhlaq Rasulullah SAW yang utama seba-
gaimana penjelasan Aisyah RA ketika ditanya tentang akh-laq Nabi, ia
menjawab: “Adalah akhlaqnya Al-Quran” kemudian membaca 10 ayat pertama
surat Al-Mu’minun.94
Di samping ayat yang menjanjikan kebahagiaan juga ada beberapa ayat
yang menyebutkan ancaman bagi mereka yang melalaikan shalatnya95
bahkan dalam QS An-Nisa: 147 dikatakan: “Sesungguhnya orang munafik
itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipu daya mereka, apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka bermalas-malasan. Mereka bermaksud riya (dengan
shalatnya) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit.”
Kedua, mengingat Allah (dzikir) dan merasa takut akan balasan-Nya se-
hingga bersungguh-sungguh ketika menghadap-Nya. Firman Allah; “Di-
rikanlah oleh kamu shalat untuk mengingat-Ku.” 97
Banyak orang Islam yang melaksanakan shalat bukan karena sebagai ke-
butuhan tapi merasa sebagai kewajiban yang membebani dirinya. Oleh se-
bab itu, sebagai langkah pertama agar khusyu’ dalam shalat ialah mema-
hami fungsi dan keutamaan kita melaksanakannya. Beberapa ayat men-
jelaskan keuta-maan memelihara shalat. Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itulah orang-orang yang
akan me-warisi. Yaitu akan memperoleh surga Firdaus dan mereka akan kekal di
dalamnya.” 99
Rasulullah SAW menjelaskan tentang shalat, sabdanya; “Barangsiapa yang
memelihara shalat, maka ia akan mendapat cahaya, petunjuk dan kebahagiaan
pada Hari Kiamat, dan barangsiapa yang tidak memeliharanya maka tidak ada
baginya cahaya, petunjuk dan kebahagiaan pada Hari Kiamat, mereka bersama
Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay Ibn Khalaf (para pemimpin kafir).” 100
Agar kita dapat merasakan shalat sebagai kebutuhan bukan sebagai be-
ban, ada baiknya kita mempelajari hikmah di balik pelaksanaan dan
gerakan shalat terhadap kesehatan jasmani dan rohani. Sebagaimana yang
dibahas Prof. Saboe dalam bukunya “Shalat dan Kesehatan” dengan pen-
dekatan medis. Misalnya, ketika duduk tuma’ninah dengan jari kaki dilip-
atkan, akan menekan seluruh saraf yang berhubungan dengan otak, mata
dan bagian vital lainnya, sehingga berpengaruh mengatasi beberapa
penyakit.101
102
HR. Ath-Thabrani dari Abdullah Ibn Qarth
103
QS. 6:59
104
QS. 39:23
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 42
• Bertekad dalam hati bahwa shalat yang sedang kita laksanakan harus sem-
purna sehingga akan dijalankan dengan sungguh-sungguh karena merasa
takut tidak bisa melaksanakannya kembali. Firman Allah;
“Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya sendiri yang ia hadapkan kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Al-
lah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 105
***
105
QS. 2:148
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 43
8 DO’A MUSTAJAB
“Dan Tuhanku berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku
niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.”
(QS. al-Mu’min/40:60)
***
henti dari dosa, (7) Kalian mengaku bahwa maut pasti tiba, namun kalian tidak
mempersiapkan diri, (8) Kalian sibuk membicarakan cela orang lain, namun kali-
an melupakan cela diri sendiri, (9) Kalian me-nikmati rizqi Allah, namun kalian
tidak mensyukuri-nya, (10) Kalian mengubur orang mati, namun kalian tidak
mengambil pelajaran darinya.” 106
Demikianlah nasehat Ibrahim Bin Adham yang sarat hikmah dan ilmu
tentang pertanyaan yang sering kita ungkapkan sehubungan dengan do’a-
do’a kita yang tidak terkabul. Dia memberikan satu pedoman berdo’a
yang menekankan bahwa dikabulkannya do’a seseorang sangat
dipengaruhi oleh akhlaq dan amal shalihnya sehari-hari.
Pada dasarnya firman Allah SWT di atas me-rupakan kebenaran dan ke-
pastian yang tidak bisa disangkal, namun diperjelas lagi oleh beberapa
Hadits yang mengemukakan tentang syarat dan faedah do’a, sehingga
pengabulan do’a seorang hamba kepada Allah SWT sangat ditentukan
oleh terpenuhinya beberapa ketentuan yang telah Dia gariskan. Seperti
juga diisyaratkan dalam firman-Nya; “Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Al-
lah amat dekat kepada o-rang-orang yang berbuat baik.” 107
Ayat ini memberikan penjelasan bahwa do’a harus dibarengi dengan sikap
batin yang penuh harap dan berserah diri kepada Allah, dan perbuatan
baik (ihsan) akan mendekatkan rahmat-Nya dengan terkabulnya do’a.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Tiada seorang muslim di
atas bumi berdo’a melainkan pasti diterima dan terhindar dari malapetaka,
asalkan dia tidak ber-do’a akan suatu dosa atau untuk memutuskan silatur-
rahmi.” Kemudian seorang shahabat berkata; “Kalau demikian, kami akan mem-
perbanyak do’a kepada Allah.” Nabi menjawab; “Sesungguhnya Allah amat ban-
yak karunia-Nya.” 108 Riwayat lain menambahkan; “Atau do’a tersebut ditang-
guhkan pengabulannya.” 109
Maka, bila diperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, bisa disimpulkan
bahwa do’a seorang muslim akan dikabulkan jika memenuhi ketentuan
Allah dan pengabulannya itu bisa dengan tiga cara
Pertama; Allah mengabulkan do’anya secara langsung begitu selesai dia
sampaikan sesuai de-ngan permohonannya.
Kedua, ditunda sampai Allah menghendaki untuk mengabulkannya pada
saat dia sangat membutuhkan, misalnya ketika tertimpa bahaya yang
tidak disangka-sangka.
106
Nashaihul ‘Ibad No. 211
107
QS. 7:55
108
HR. At-Tirmidzi dari Ubadah Bin Shamit
109
HR. Hakim dari Abu Sa’id
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 45
110
Riyadlus shalihin: 375
111
QS. 4:28
112
QS. 39:53
113
QS. 19:22
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 46
Adab Berdo’a
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas 118 mengutip perkataan Ka’ab
Al-Akhbar; “Kalian (ummat Islam) diberi tiga kelebihan yang tidak pernah
diberikan kepada ummat sebelumnya (1) Para Rasul terdahulu diutus hanya un-
tuk satu ummat tertentu, tetapi kalian menjadi saksi untuk seluruh ummat
114
HQR. Askari dalam kitab Mawa’idl dari Abu Hurairah RA de-ngan Sanad Hasan
115
QS. 39:8, lihat juga QS. 10:12, QS. 41:51
116
HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi dari An-Nu’man Bin Basyir
117
QS. 51:56
118
QS. 40:60
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 47
misalnya dengan taubat, tidak memakan harta yang haram atau tidak ber-
do’a yang mustahil menurut akal dan mencelakakan orang lain ke-cuali
karena didzalimi. 122
• “Ada seorang lelaki yang masuk masjid, kemudian shalat dan berdo’a dengan
tergesa-gesa, maka Rasulullah SAW menegurnya; “Janganlah kamu tergesa-
gesa, shalatlah dengan tenang, lalu duduklah, memuji Allah (bertahmid)
dengan me-nyebut asma-Nya, bershalawat untukku barulah berdo’a sesuai ke-
hendakmu !” Kemudian datang seorang lainnya, dia bertahmid, bershalawat
atas Nabi SAW, maka Nabi SAW berkata kepadanya; “Hai Mushalli, berdo’a-
lah kamu, pasti akan terkabul, bila engkau duduk mulailah dengan memuji Al-
lah, membaca shalawat atasku kemudian berdo’alah untuk dirimu.” Lalu Nabi
SAW ber-sabda: “Mintalah, pasti diberi, sesungguhnya do’a itu terdiam antara
langit dan bumi, tidak ada yang bisa mengangkatnya selain mengucapkan
shalawat atas Nabimu.”
• “Adalah Rasulullah SAW gemar sekali pada kalimat do’a yang singkat tetapi
meliputi semua maksud dalam do’a dan meninggalkan selain itu.”123
• “Jangan suka berdo’a yang tidak baik terhadap dirimu sendiri atau anak-ana-
kmu atau harta milikmu, mungkin saja do’amu bertepatan saat Allah menerima
do’a, maka dikabulkanlah do’a tersebut.” 124
• “Selalu diterima do’a seseorang selama tidak tergesa-gesa dengan berkata;
“Saya telah ber-do’a tetapi tidak dikabulkan juga.” 125
• “Do’a seorang muslim untuk saudaranya diluar pengetahuan orang yang
dido’akan itu mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu malaikat
muwakkal mengucapkan setiap kali do’a keba-ikan untuk saudaranya: AMIN
WA LAKA BIMITS-LIK (Semoga diterima dan untukmu seperti itu).” 126
• “Berdo’alah kepada Allah dengan keyakinan pasti dikabul, dan ketahuilah bah-
wa Allah tidak mengabulkan do’a seseorang yang hatinya lalai.” 127
• “Apabila seorang hamba berkata; “Ya Rabby, Ya Rabby, Allah akan menjawab;
Labbaik hamba-Ku, mintalah, pasti Aku beri.” 128
122
Ihya I:306-309
123
HR. Abu Dawud dari Aisyah RA
124
HR. Muslim dari Jabir RA
125
HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah RA
126
HR. Muslim dari Abi Darda
127
Al-Hadits
128
Al-Hadits
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 49
Selain adab berdo’a, dijelaskan pula lima belas waktu yang utama untuk
berdo’a, antara lain:
Pertama, Meyakini bahwa do’a adalah ibadah seperti juga ibadah mahdlah
lainnya, bahkan dalam sebuah Hadits dijelaskan sabda Rasulullah SAW:
“Do’a adalah intinya ibadah.” 131 Dan mereka yang tidak mau berdo’a ter-
masuk orang yang menyombongkan diri dan dimurkai Allah SWT. 132
Setiap do’a yang kita sampaikan pasti didengar oleh Allah SWT dengan
memperhatikan ketentuan dan syarat-syarat di atas sebagaimana sabda
Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah akan malu ke-pada hamba-Nya yang
menengadahkan tangan berdo’a kepada-Nya, kembali dengan tangan ham-pa.” 133
129
hlm. 621-623
130
Kitab Majmu’at At-Tauhid: 624-625
131
HR. At-Tirmidzi dari Anas RA
132
QS. 40:60
133
HR. Al-Arba’ah selain Nasa’i dari Sulaiman
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 50
maksiat ataupun dengan amal shalih dan berserah diri kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT: “Siapa-kah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang berdo’a kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata; “Sesung-
guhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” 134
Ketiga, Melaksanakan do’a setiap saat, baik ketika ditimpa kesulitan hidup
maupun ketika mendapat kenikmatan. Karena hal ini merupakan salah
satu tanda syukur kita atas pemberian Allah SWT yang tidak terhitung
banyaknya, disamping juga sebagai pengakuan kita atas kemahakuasaan-
Nya, kemaha rahiman-Nya dan Asmaul Husna milik-Nya, firman Allah
SWT: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna (nama-nama yang baik) maka ber-
mohonlah kepadanya dengan menyebut Asmaul Husna.” 135
Serta dengan do’a dan dzikir, kita akan terhindar dari sifat orang yang
lalai, sebagaimana firman-Nya; “Dan sebutlah (nama Tuhanmu) dalam
hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan de-ngan tidak meninggikan
suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
lalai.” 136
Sudah saatnya kita mengingat kembali do’a-do’a yang telah kita lupakan
dan mengulanginya sebagai sebuah ibadah dan amal shalih yang penuh
dengan hikmah dan manfaat.
ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MINAL ‘AJZI WAL KASALI WAL
BUKHLI WAL HA-RAMI WA ‘ADZABIL QABRI, ALLAHUMMA ATI
NAFSI TAQWAHA WA ZAKKIHA ANTA KHAI-RU MAN ZAKKAHA
ANTA WALIYYUHA WA MAULAHA.
ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN ‘IL-MIN LA YANFA’ WAMIN
QALBIN LA YAKH-SYA WA MIN NAFSIN LA YASYBA’ WA MIN
DA’WATIN LA YUSTAJABA LAHA.
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ke-lemahan dan malas, kikir dan ketu-
aan serta siksa kubur. Ya Allah, curahkanlah ke dalam hatiku taqwa dan pensu-
cian dari dosa, Engkau sebaik-baiknya yang mensucikan hati, Engkau Pelindung
dan Penguasanya. Ya Allah, aku berlindung ke-pada-Mu dari ilmu yang tidak
bermanfaat dan hati yang tidak khusyu’, dan nafsu yang tidak puas serta dari
do’a yang tidak diterima) Amien Ya Rabbal ‘Alamien.
***
134
QS. 41:33
135
QS. 7:180
136
QS. 7:205
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 51
9
IKHTIAR DAN DO’A
“Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazan waa’udzu bika minal ‘ajzi
walkasali wa a’udzubika minal bukhli wal jubni wa a’udzu bika min ghalabatid-
dain wa qahrirrijal.”
(Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari
rundungan sedih dan duka, aku berlindung
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 52
***
137
1995:30
138
QS 13:11
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 53
Tapi jika kamu tidak beribadah ke-pada-Ku, Aku akan bebankan kepadamu
kesibukan-kesibukan dan tidak pernah Kututupi kebutuhanmu." 139
Manusia kerap mengalami ketegangan dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan masyarakat sekelilingnya, baik secara langsung atau
akibat lain yang membebani langkahnya. Karena itu Allah SWT dengan
kemurahan-Nya membekali manusia dengan akal dan bimbingan wahyu
yang secara lengkap diberikan contoh figur Rasulullah SAW.
Tapi setelah mengalami perjalanan hidupnya, banyak manusia yang ter-
goda oleh sampah duniawi dan terjerumus dalam perangkap Iblis la’natul-
lah, sehingga menyimpang dari tujuan pokok yaitu beribadah kepada-Nya
dan menjadi manusia sesat yang kehilangan pegangan. Sebab itu
hubungan dengan Allah perlu diperkuat agar mendapat kemantapan
dalam jiwanya. Manusia disuruh agar senatiasa berdo’a dan bermunajat
kepada-Nya dengan memohon petunjuk-Nya setiap saat.
Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke masjid, dilihatnya seorang
shahabat duduk tepekur berdzikir, terlihat khusyu’ dengan mata dibasahi
air mata kebimbangan. Setelah didekati, ternyata dia adalah Abi Umamah
Al-Bahily salah seorang shahabat yang dikenal tegar memperjuangkan
dan membela Islam. Rasul pun bertanya: "Apa gera-ngan yang menyebabkan
kedukaan ini ?" Diapun berkisah: ”Wahai Rasulullah, aku ini seorang yang ter-
lilit hutang teramat banyak sehingga aku tidak mampu melunasinya.” Rasulul-
lah tertegun, kemudian bersabda; "Maukah kau kuajarkan sebuah do’a yang
bisa membuat hatimu tenteram dan menghilangkan kegelisahanmu ?" Abu Um-
amah mengangguk, maka Rasulullah membacakan do’anya: “Allahumma
inni a'udzu bika minal hammi wal hazan waa'udzu bika minal 'ajzi walkasali wa
a'udzubika minal bukhli wal jubni wa a'udzu bika min ghalabatiddain wa qahrir-
ijal.” (Ya Allah, aku ber-lindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan
duka, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku ber-
lindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, aku berlindung kepada-
Mu dari beban hutang dan penindasan orang).
Ternyata do’a pendek itu mampu membangkitkan gairah hidup Abu Um-
amah yang hampir terperosok dalam jurang keputusasaan dan rasa stress
yang kronis. Ia pun bangkit dari duduknya dan menyingsingkan lengan
bajunya untuk meng-aplikasikan do’a yang telah dia terima dari seorang
utusan yang agung. Dia memahami betul makna dan maksud do’a yang
sarat hikmah dan nasehat yang tinggi nilainya. Akhirnya dia menjadi seor-
ang shahabat yang selalu optimis menghadapi kehidupan dan tidak pes-
imis atau putus asa dengan keadaan yang telah menimpanya, sehingga ia
termasuk salah seorang yang disebutkan dalam Al-Quran "Yaitu mereka
yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami memberi petunjuk kepada mereka dan se-
sungguhnya Allah bersama orang yang berbuat baik.” 140
139
HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah
140
QS Al-Ankabut: 69
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 54
Al-hammi dalam do’a di atas adalah rasa khawatir dan resah menghadapi
kejadian yang akan menimpa sebelum terjadi. Pepatah mengatakan “kalah
sebelum bertanding", akibatnya selalu meng-ganggu pikiran dan menjadi
beban hidup. Seharusnya seorang mu’min tidak gelisah menghadapi masa
depan dan selalu berkeyakinan Al-ghadd biyadillah (masa depan di tangan
Allah), sehingga tetap optimis menghadapi masa depan dengan usaha se-
maksimal mungkin.
Al-Hazan adalah kebingungan atas apa yang telah terjadi, terus larut
dalam kesedihan yang ber-kepanjangan. Akibatnya jalan hidup tertutup
dan hidup hanya berandai-andai dalam lamunan ham-pa. Sebuah sya'ir
Arab menyebutkan:"Yang lalu biarlahlah berlalu, masa depan belumlah tahu,
yang ada hanyalah sekarang yang sedang kau jalani."
Al-’Ajzi ialah perasaan lemah tidak berdaya. Melihat orang lain maju tidak
jadi pemicu gairah kerja, tetapi menimbulkan rasa rendah diri dan
ketidakmampuan. Padahal setiap manusia diberi kelebihan dari yang
lainnya.
Al-Kasal artinya tidak punya kemauan atau sifat malas yang tanpa alasan.
Rasa malas ini lahir ketika melihat pekerjaan yang dia pandang tidak
sanggup melaksanakannya. Dalam hal ini diperlukan keseimbangan kerja
sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, sehingga semangat kerja tetap stabil
dan bergairah selalu.
Al-Bukhli berarti kikir, di mana seseorang telah meraih apa yang dicita-
citakan, dia lupa daratan dan tidak ingat kejadian asalnya serta me-
lupakan jasa orang kecil yang membantunya mencapai kesuksesan.
Al-Jubn adalah sifat rakus dan pengecut akibat rasa takut hilangnya harta
atau jabatan yang ada dalam genggamannya. Berat rasanya dia tinggalkan
kekayaan yang dia raih. Akibatnya menjadi seorang manusia yang diliputi
rasa takut dan muncul sifat sombong dengan hasil usahanya tersebut.
Ghalabatu dain ialah terlilit hutang seperti yang terjadi pada Abu Umamah.
Dengan menghindari diri dan berlindung kepada-Nya dari sifat Al-Hamm,
Al-Hujn, Al-’Ajzi, Al-Kasal, Al-Bukhl dan Al-Jubn akan mudahlah dia
menyelesaikan masa-lahnya serta bisa melunasi hutang-hutangnya.
Yang terakhir ialah Qahr ar-Rijal yaitu mohon perlindungan dari penin-
dasan manusia disebabkan menurunnya martabat karena berhutang,
menge-mis dan lain-lain. Dengan permohonan ini, ia akan menjadi
manusia yang terhormat di hadapan Allah dan sesama manusia.
Demikianlah, apabila manusia dapat menjauhi sifat-sifat di atas dan
mengamalkannya baik dalam do'a maupun ikhtiar, pastilah akan tercapai
kebahagiaan yang diharapkan serta hilanglah rasa tertekan atau stress
yang menjadi penyakit masyarakat modern sekarang ini dan menjadi
manusia yang selalu optimis menghadapi masa depan. Insyaallah.
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 55
***
1 AKHLAQ
PEWARIS AL-QURAN
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di ant-
ara hamba-hamba Kami,
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 56
lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara
mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu
berbuat
kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang amat besar.”
(QS. Fathir/35:32)
***
141
QS. 2:105
142
QS. 2:2
143
QS. 17:106
144
QS. 5:3
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 57
Pertama, mereka yang menganiaya dirinya sendiri, ialah orang yang lebih
banyak kejahatannya daripada kebaikannya.
Kedua, golongan pertengahan ialah orang yang kebaikannya sebanding
dengan kesalahan.
Ketiga, mereka yang bersegera dalam kebaikan, ialah orang-orang yang
kebaikannya amat banyak dan jarang berbuat salah.147
Mengenai ketiga sifat ini, Ibnu Katsir me-ngemukakan beberapa pendapat
tentang balasan Allah kepada mereka masing-masing. Sementara sebagian
mufasir memandang golo-ngan pertama termasuk kafir walaupun dia tel-
ah menerima Al-Quran. Yang berpendapat seperti itu di antaranya Mu-
jahid dan Ibnu Abi Najih. Ada pula yang menganggapnya munafik, sep-
erti Imam Malik, Qatadah, Al-Hasan dan lain-lain. Tetapi yang lebih
145
Maududi, 1976:19
146
QS. Al Fathir 35:32
147
Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibni Abbas:367
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 58
shahih menurut Ibnu Katsir, golongan pertama ini masih termasuk ummat
Islam sebagaimana zhahirnya ayat (min ‘ibaadinaa...) selain diperkuat oleh
beberapa Hadits, diantaranya sabda Rasulullah SAW: “Allah Ta’ala menur-
unkan ayat ini (QS. 35:32); orang yang bersegera dalam kebaikan (golongan
ketiga) mereka masuk surga tanpa hisab, orang yang pertengahan (golongan ke-
dua) mereka mendapat hisab yang mudah dan orang yang mendzalimi dirinya
(golongan pertama) mereka mendapat hisab yang lama di Mahsyar kemudian Al-
lah memaafkan mereka dengan rahmat-Nya, mereka itu termasuk o-rang-orang
yang diampuni.”148,149
Dalam khulashahnya, Syekh Al-Maraghi menjelaskan sikap ketiga go-
longan tersebut. Golongan pertama, sedikit mengamalkan Al-Quran dan
sering mengikuti hawa nafsunya. Golongan kedua, seimbang antara
pengamalan dan pengingkarannya. Golongan ketiga, me-ngejar pahala dari
Allah SWT dengan amal shalih dan pengamalan Al-Quran.150
Memperhatikan ketiga sifat di atas, maka sudah selayaknya kaum
muslimin yang telah mewarisi Al-Quran mengintrospeksi diri ma-sing-
masing, sudah sejauh manakah sikap kita terhadap Al-Quran terutama
pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk meningkatkan pema-
haman dan pengamalan kita terhadap Al-Quran, ada beberapa manhaj
(aturan) yang harus dilaksanakan sesuai dengan tingkatan kemampuan
masing-masing pribadi muslim.
Bila kita melihat sejarah pada masa Rasulullah SAW, ketika ummat Islam
masih minoritas dan dikucilkan, yang pertama kali dijadikan cara ber-
da’wah ialah dengan memperkenalkan bacaan Al-Quran. Banyak diantara
mereka setelah mendengar ayat demi ayat dengan se-ngaja atau tidak
mereka tertarik kemudian memeluk Islam. Disamping tidak sedikit juga
yang menutup kupingnya, tidak ingin terpengaruh oleh bacaan Al-Quran,
sebagaimana di-sinyalir dalam firman Allah SWT: “Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri, seolah-
olah dia tidak mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya, maka
beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih.” 151
Umar Bin Khatab adalah seorang shahabat yang mendapat hidayah sete-
lah mendengar Fatimah adiknya, membaca QS. Thaha ayat 1-8, dan luluh
hatinya di hadapan Sa’id Bin Zaid. Padahal sebelumnya beliau termasuk
tokoh kafir yang sangat ditakuti. Ibnu Mas’ud menya-takan; “Sungguh,
masuk Islamnya Umar adalah satu kemenangan. Sebelumnya kami tidak sanggup
148
HR. Ahmad dari Abi Darda
149
Ibnu Katsir III:555
150
Al-Maraghi VIII, 22:130
151
QS. 31:7
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 59
tidak menganggap alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif adalah satu huruf,
laam satu huruf dan miim satu huruf.” 158
Membaca Al-Quran juga merupakan salah satu tanda ke-imanan dan men-
jadi pembeda antara seorang muslim dan kafir, firman Allah SWT; “Dan
apabila kamu membaca Al-Quran, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-
orang yang tidak beriman kepada kehidupan Akhirat, suatu dinding yang tertu-
tup.” 159
Allah SWT memberikan hujjah yang kuat bagi mereka yang membaca Al-
Quran. Firman-Nya; “Dan bacalah Al-Quran itu dengan tartil. Sesungguhnya
Kami akan menurunkan kepa-damu perkataan yang berat.” 160
Dalam membaca Al-Quran, kemampuan orang beragam. Ada yang lancar
dan tidak sedikit yang masih mengeja. Meskipun demi-kian, setiap orang
mendapat balasan sesuai usahanya.
• Tingkatan Kedua, membaca sesuai dengan tajwid dan hukum qiraat yang ber-
laku.
Firman Allah; “Dan bacalah Al-Quran dengan tartil.”162 Beberapa Hadits juga
menjelaskan tentang keutamaan membaguskan bacaan Al-Quran, se-
hingga Imam An-Nawawi dalam “Riyadlus Salihin”nya memuat bab
khusus “Istihbab Tahsinis Saut bil Quran wa Thalabal Quran min husnis saut
wal Istima’ lahu.” (Bab keutamaan membaguskan suara bacaan Al-Quran
dan mencari bacaan yang lebih baik lagunya serta mendengarkannya).
Dalam bab ini terdapat sabda Rasulullah SAW;
“Barangsiapa yang tidak membaguskan baca-an Al-Quran, maka ia bukan dari
golongan kami.” 163
158
HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud
159
QS. 17:45
160
QS. 73:4-5
161
Muttafaq Alaih
162
QS. 73:4
163
HR. Abu Dawud dari Abi Lubaba Basyir Ibn Abil Mundzir
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 61
164
Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, Al-Qurthubi, Muqaddimah
165
QS. 8:2
166
HR. Abi Dawud & At-Tirmidzi dari Abdullah ibn Amr Ibn Ash
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 62
lullah SAW bersabda; “Tidak akan mengerti isi Al-Quran orang yang menam-
atkannya kurang dari tiga (hari).” 167
Rasulullah SAW pernah mewasiatkan ke-pada ummatnya untuk mendidik
generasi Islam dengan tiga hal;
1. Didiklah anakmu dengan mencintai Rasul.
2. Didiklah anakmu dengan mencintai keluarganya.
3. Didiklah anakmu dengan membaca al-Quran.
Namun, apa yang terjadi sekarang sungguh mengkhawatirkan, dimana
anak-anak tidak lagi interes pada pengajian malam, mereka lebih senang
duduk di depan Televisi atau Video Game. Seperti diungkapkan KHE.
Abdurrahman; “Umumnya anak-anak kaum muslim se-karang tidak banyak
yang pernah tamat al-Quran, bahkan di kalangan juru da’wah yang banyak hafal
al-Quran ada yang belum pernah membaca dari awal sampai tamat. Kebiasaan
lama khataman Quran mulai hilang dan cara yang dicontohkan Nabi belum ber-
jalan.” 168
Tadabbur ada kesamaan arti dengan tafakkur. Bedanya, tadabur lebih bersi-
fat khusus yaitu menghayati ayat-ayat Allah dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah sedekat-dekat-nya. Firman Allah SWT; “Ini adalah kitab
(Al-Quran) yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya
mereka merenungkan ayat-ayatnya (tadabbur) dan supaya menjadi pelajaran bagi
mereka yang berpikir.” 169
Sedangkan tafakkur lebih umum yaitu me-renungkan ayat-ayat Allah
yang penuh dengan rahasia kemahakuasaan-Nya, maupun ayat-ayat
Qauliah (Al-Quran).
Mentadaburi Al-Quran termasuk yang di-perintahkan dan tinggi nilainya
di hadapan Allah Ta’ala. Sabda Rasulullah SAW; “Neraka wail bagi orang
yang membaca Al-Quran tetapi tidak mentadaburinya.” 170
Hadits ini amat keras mengecam orang yang tidak menghayati Al-Quran
dan mengikuti aturan-aturannya yang merupakan salah satu cara men-
tadabburi kandungan Al-Quran. Firman Allah; “Thaha, Kami tidak menur-
unkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peri-
ngatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah).” 171
Sikap tadabbur ini akan melahirkan sikap tadzakkur yaitu menjadikannya
sebagai sumber hukum dan kamus hidup yang memapah pada kebahagi-
aan dunia dan Akhirat. Untuk itu Allah menjadikan Al-Quran sangat
167
HR. Ahmad
168
Perbandingan Madzhab-Madzhab
169
QS. 38:29
170
HR. Abid Ibn Hamid
171
QS. 20:1-3
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 63
172
QS 54:17
173
Fawaid 1985:108
174
QS 19:97
175
HR. Al-Bukhari
176
HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Hakim dan Nasa’i dari Anas RA
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 64
”Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan
memberikan kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal
shalih bahwa bagi mereka adalah pahala yang besar.” 177
***
1
177
QS 17:9
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 65
TAUBAT
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah SWT dengan taubat
yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhan-mu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai.” (QS. at-Tahrim/ 66:8)
***
182
Dalil Al-Falihin I:78
183
QS 49:11
184
QS 66:8
185
QS 4:17
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 67
1
186
No: 277
187
QS 3:135
188
HR. Muslim dari Abu Hurairah RA
189
QS 11:3
190
Muttafaq ‘Alaih
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 68
MAGHFIRAH
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang ber-
taqwa.” (QS. Ali Imran/3:133)
***
Maghfirah berasal dari akar kata “ghafara” yang berarti menutup atau
memperbaiki. Ampunan Allah disebut maghfirah karena Dia menutup
segala dosa dan kesalahannya. Keterkaitan antara taubat dan maghfirah
sangatlah dekat. Kalimat Al-Quran yang berasal dari “ghafara” cukup ba-
nyak, ada lebih kurang 210 kata dengan ber-bagai bentuknya. Hal ini men-
jadi isyarat akan sangat pentingnya masalah maghfirah dalam kehidupan
seorang muslim.
Ayat yang dijadikan topik tulisan ini berkenaan dengan kedudukan magh-
firah dan amali-yah yang dapat mengantarkan kita dalam me-raihnya. Fir-
man Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan ke-
pada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-
orang yang bertaqwa.” 191
Al-musara’ah ilal maghfirah (bersegeralah menuju ampunan) adalah perin-
tah Allah kepada orang-orang yang beriman. Menyegera-kan amal shalih
dan tidak menunda-nunda walau beberapa waktu, sangatlah dianjurkan.
Banyak ayat Al-Quran yang menyatakan hal itu, dipertegas lagi oleh be-
berapa Hadits di antaranya, apa yang diungkapkan oleh Ibnu Umar RA:
“Apabila kamu berada di waktu sore maka jangan tunggu waktu pagi, dan bila
kamu berada di waktu pagi maka jangan tunggu waktu sore, gunakanlah waktu
sehatmu sebelum datang waktu sakit, dan waktu hidupmu sebelum matimu.” 192
Ayat dan Hadits di atas sungguh membuat kita harus lebih memperhatik-
an masalah waktu dalam kebaikan. Demikianlah tanda orang yang ber-
taqwa, setiap waktu selalu digunakan beramal shalih untuk meraih magh-
firah Allah.
Makna ayat di atas sejalan dengan sebuah Hadits dari Anas Bin Malik RA
Katanya, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Allah SWT berfir-
man, “Wahai Bani Adam, Sungguh jika engkau memohon kepada-Ku dan meng-
harapkan (pertemuan) dengan-Ku pasti Aku ampuni segala apa yang ada padamu
191
QS. 3:133
192
HR. Al-Bukhari
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 69
193
HR. At-Tirmidzi
194
QS. 30:39
195
HR. Al-Bukhari dari Abi Musa Al-Asy’ary
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 70
pandai bergulat, tetapi (orang yang kuat) adalah orang yang mampu menahan
diri ketika marah.”
Orang yang selalu emosi ketika meng-hadapi masalah akan menjeru-
muskan dirinya pada penyesalan yang tiada akhir. Maka, jika kita sudah
mencapai titik kemarahan yang sangat, Rasulullah SAW menganjurkan
agar cepat-cepat mengambil air wudlu. Ini langkah untuk mengendalikan
kemarahan tadi, beliau bersabda; “Barangsiapa yang menahan rasa marahnya
sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya de-
ngan rasa ketenangan dan keimanan.”
Selanjutnya tanda orang yang taqwa yang mendapat maghfirah Allah ada-
lah mereka yang dapat memaafkan kesalahan orang lain seberapapun
kesalahan mereka.
Sangat berat menjadi seorang pemaaf. Karenanya Rasulullah SAW amat
memuji o-rang yang mampu memaafkan di saat mereka berkuasa mem-
balas dendam. Sabdanya;
“Barangsiapa suka bangunan rumahnya (di surga) didirikan dan diangkat dera-
jatnya, hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya,
memberi kepada o-rang miskin dan menyambung silaturrahmi dengan orang
yang memutuskannya.” 196
Kemudian, Allah SWT sangat mencintai orang yang menolong sesamanya,
menyantuni hambanya yang menderita sebagai tanda rasa syukur ter-
hadap-Nya.
Imam Baihaqy mengetengahkan sebuah riwayat. Ada seorang hamba
sahaya wanita mi-lik Ali Bin Husain RA. Ketika sahaya itu menuangkan
air wudlu padanya, tiba-tiba kendi airnya terlepas dan melukai Ali.
Alangkah marahnya dia, lalu ia mengangkat tangannya hendak memukul
sahaya tadi. Namun sahaya itu berkata; “Sesungguhnya Allah berfirman
WAL KADZIMINAL GHAIDZA, (ialah orang yang dapat menahan am-
arahnya). Sadarlah Ali dan berkata; “Aku telah menahan amarahku” sehingga
ia tidak jadi memukulnya. Sahaya itu berkata lagi; “Dan orang-orang yang
suka memaafkan orang lain.” Beliaupun menyahut; “Allah telah memaafkan-
mu.” Sahaya itu berkata lagi; “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik.” Ali-pun menjawab; “Pergilah engkau, mulai sekarang aku
memerdekakanmu karena Allah.” 197
196
HR. Ath-Thabrany
197
Al-Maraghi IV:120
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 71
***
198
QS. Ali Imran/3:133-136
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 72
1 RIZQI,
ANTARA
RAHMAT & LAKNAT
“Dan Dialah yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Maka berjalan
dan berusahalah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rizqi-Nya, dan
kepada-Nya lah kalian dibangkitkan.”(QS. Al-Mulk/67:15)
***
199
QS. Al-Ankabut:64
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 73
Rizqi ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup,
baik berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Adapun cara
mendapatkan dan menggunakan rizqi, bisa dengan cara halal ataupun
haram, misalnya hasil curian, perjudian, penipuan, perampokan dan lain-
lain. Karenanya Rasulullah SAW pernah mengingatkan tentang dua per-
tanyaan pada rizqi ini, sabdanya: “Setiap hamba akan ditanya pada hari
qiamat tentang lima hal: 1) umurnya untuk apa dihabiskan, 2) masa mudanya
dipakai apa, 3) hartanya dari mana didapatkan dan, 4) kemana digunakannya, 5)
amal-nya apa yang diperbuatnya.” 202
Untuk mengetahui apakah rizqi yang ada pada kita adalah termasuk rah-
mat atau laknat, dapat dilihat dari dua hal di atas, apakah cara
mendapatkannya sesuai dengan syari’at Allah atau sebalik-nya, apakah
cara menggunakannya dibenarkan oleh agama atau tidak ?
Pertama-tama yang harus menjadi prinsip da-sar mencari rizqi ialah ber-
tujuan meraih ridla Allah SWT yaitu dengan taqwa dan semangat ibadah.
Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi kepada malaikat yang diserahi
urusan rizqi Bani Adam, firman-Nya: “Hamba manapun yang kalian dapati
cita-cita maupun tujuannya hanya satu (semata-mata untuk Akhirat), jaminlah
rizqinya di langit dan bumi. Dan hamba manapun yang kalian dapati mencari
rizqinya dengan jujur, berhati-hati untuk berbuat adil, berilah dia rizqi yang baik
dan mudahkanlah baginya. Dan jika dia telah melampaui batas kepada selain itu,
biarkanlah ia sendiri me-lakukan apa yang dikehendakinya. Dia tidak akan men-
capai lebih dari apa yang telah Aku tetapkan untuknya.” 203
Firman Allah ini merupakan janji dari Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang berusaha dengan ikhlas. Akhlaq
200
QS. Al-Kahfi:46
201
QS. 102:1-8
202
HR. At-Tirmidzi
203
HQR. Abu Naim dari Abu Hurairah RA
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 74
dalam mencari rizqi ini patut diperhatikan misalnya, jujur, adil, amanah,
taqwa disamping juga tetap memperhatikan perintah Allah atau dzikrullah,
sebagaimana firman Allah; “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk melakukan dan menunaikan shalat pada hari Jum’at, bergegaslah kalian
mengingat Allah dan tinggalkanlah pernia-gaan, yang demikian itu lebih baik
bagi kalian jika kalian mengetahui. Apabila shalat telah ditunaikan, bertebaranlah
kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan selalu ingat kepada Allah
supaya kalian beruntung.” 204
Ambisi memiliki harta memang selalu ada, maka selayak-nya kita ber-
sikap zuhud dan qana’ah dalam memandang harta, tidak rakus dan tamak.
Sabda Rasulullah SAW; “Lihatlah orang yang di bawahmu dan janganlah meli-
hat orang yang di atasmu. Karena yang demikian itu lebih baik, supaya kamu
tidak meremehkan nikmat karunia Allah kepadamu.” 205
Kemudian rizqi yang telah kita miliki, dengan ikhlas kita infaqkan di jalan
Allah SWT yaitu menggunakannya pada sesuatu yang diridlai oleh-Nya.
Sebagaimana firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman, berinfaqlah
kamu dari sebaik-baik apa yang kamu hasilkan dan dari apa yang Kami keluarkan
untuk kamu dari bumi. Dan janganlah kamu memilih yang jelek untuk kamu in-
faqkan.” 206
Tentu saja, rizqi yang didapat dari sumber yang haram dan digunakan di
jalan maksiat kepada Allah SWT akan menjadi laknat bagi dirinya. Rizqi
hasil dari pencurian, perjudian, perampokan, korupsi, penipuan atau
dengan cara zhalim lainnya, bahkan rizqi yang diragukan kehalalannya
atau syubhat jangan sampai menjadi sumber penghasilan kita, karena itu
semua akan menjadi api neraka kelak, sebagaimana firman Allah; “Sesung-
guhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim sebenarnya
mereka itu menelan api neraka sepenuh perutnya dan mereka akan dilempar ke
dalam api yang menyala-nyala.” 207
Akhlaq yang jelek dalam mencari dan menggunakan harta harus dihindari
seperti bakhil, kikir, israf, tabdzir, takatsur, bermegah-megahan dan cara-cara
maksiat lainnya. Firman Allah SWT;
“Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pen-cela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya,
sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
Hutha-mah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Yaitu api yang disediakan
204
QS. 62:9-10
205
HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah RA
206
QS. 2:267
207
QS. 4:10
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 75
Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati. Sesungguhnya api itu di-
tutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) di-ikat pada tiang-tiang yang pan-
jang.” 208
Firman Allah yang senada, dengan keras me-ngecam orang yang menim-
bun hartanya tanpa mengindahkan kaum yang lemah. Firman Allah SWT;
”...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan
(menggunakan-nya) pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bah-
wa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan
perak itu dalam neraka Jahannam lalu dibakarkan pada dahi mereka, lambung
dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka; “Inilah harta bendamu
yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu.” 209
Bahkan dalam sebuah Hadits Nabi SAW ber-sabda; “Demi Allah, bukanlah
kefaqiran atau kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justeru
aku khawatir (kalau-kalau) kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana
telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang
dalam kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan bi-
nasa pula.” 210
Hadits ini memberi pelajaran kepada kita bah-wa kehancuran sebuah
masyarakat bukan karena rakyat yang miskin, tetapi disebabkan pendu-
duk negeri ini sudah terbuai oleh kemewahan dan materialistis yang be-
rakibat rizqi tidak lagi berkah, malah menjadi laknat bagi seluruh
masyarakatnya.
Maka, jika kita ingin mengentaskan kemiskinan yang sekarang ramai dibi-
carakan, sebenarnya ha-rus diawali dengan, “memasyarakatkan pola hidup
sederhana” bagi orang-orang yang hidup di atas garis kemewahan, bukan
sebaliknya.
Dalam ayat berikut ini Allah SWT menyatakan bahwa dunia dan segala
isinya merupakan ujian dan cobaan bagi setiap muslim. Firman-Nya; “Se-
sungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi itu sebagai perhiasan
agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amal per-
buatannya. Dan sesungguhnya Kami akan menjadikan (pula) apa yang ada di
atasnya menjadi tanah rata dan tandus.” 211
Harapan dan do’a kita, mudah-mudahan Allah SWT menurunkan rizqi
yang membawa rahmat dan memberkahi seluruh penduduk bumi dan
negeri ini. Amien Ya Rabbal ‘Alamien.
***
208
QS. 104:1-9
209
QS. At-Taubah:34:35
210
HR. Al-Bukhari
211
QS. 18:7-8
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 76
1 BAHAYA TAKATSUR
“Telah melalaikan kamu perlombaan memperbanyak harta kekayaan, sampai
kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui
akibatnya, dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu,
jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-ben-
ar akan melihat neraka jahim dan sesungguhnya kamu akan melihat benar-benar
dengan ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang seluruh kenikmatan yang kamu rasakan.”
(QS. At-Takatsur/102:1-8)
***
Hidup di dunia memang tidak bisa dilepaskan dari yang namanya harta
kekayaan atau materi. Karena dunia itu sendiri merupakan bentuk bend-
awi yang sifatnya konkrit dan mudah dilihat. Keberadaannya yang selalu
lekat dan dekat dengan manusia bahkan meliputi seluruh badannya.
Semuanya itu alam dunia yang fana dan sementara. Uang yang ada di
kantong, baju yang dipakai, perhiasan yang melingkar di tangan, mobil
yang berderet di gerasi, semuanya menghiasi kehidupan manusia di dunia
ini. Hal itu telah di-sinyalir Allah SWT dalam firman-Nya: “Telah dihiaskan
kepada manusia suka pada pemuasan syahwat yang berupa perempuan dan anak-
anak serta menimbun harta, baik emas dan perak dan kendaraan yang mewah dan
hewan ternak serta kebun-kebun kurma, itu semua kesenangan hidup dunia dan
di sisi Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali.” 212
Kecenderungan akan pemuasan dunia adalah merupakan insting yang si-
fatnya manusiawi sebagaimana penegasan ayat di atas. Karena pengertian
212
QS. Ali Imran:14
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 77
dunia itu sendiri berasal dari kata “danaa” yang artinya rendah dan hina,
dekat dengan manusia, namun rendah jika manusia telah diperbudak
oleh-nya. Sebagaimana perumpamaan Rasulullah SAW, suatu hari beliau
berjalan sekitar pasar, di sana ia melihat bangkai kambing yang telinganya
cacat, maka Rasulullah SAW mengangkat telinganya dan berkata:
“Siapakah di antara kalian yang ingin membeli ini dengan satu dirham ?”
Mereka menjawab: “Tidak akan ada orang yang suka membelinya dan buat apa ?
”Nabi bertanya lagi: “Sukakah bila diberikan kepadamu cuma-cuma ?” Jawab
mereka: “Demi Allah, andaikan ia masih hidup, iapun cacat, apalagi ia sudah
menjadi bangkai.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Demi Allah, sungguh dunia
ini lebih hina dalam pandangan Allah SWT daripada bangkai ini bagi kalian
semua.” 213
Perumpamaan ini amat menyadarkan mereka yang selama ini meman-
dang dunia di atas segala-nya dan melebihi batas sehingga lupa diri,
akibatnya mereka menjadi materialistis yang berpanda-ngan
“takatsurisme” atau menimbun harta dan bermegah-megah sampai me-
lupakan hakikat dirinya diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Namun, bukan berarti dunia tidak boleh dicari atau dimiliki oleh manusia,
karena itu sudah merupakan sifat manusia yang telah ada sejak diciptakan
ke dunia. Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai harta duniawi
itu melalaikan dan memperdaya dirinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai sekalian manusia, sungguh janji Allah itu benar, maka janganlah kamu ter-
pedaya oleh kehidupan dunia ini dan janganlah kamu tertipu oleh suatu penipuan
sehingga terlupa kepada Allah.” 214
Peringatan Allah SWT ini menekankan kehati-hatian manusia akan bahaya
duniawi apabila tidak dilandasi oleh iman kepada Allah SWT. Karenanya,
sebelum berniat menguasai duniawi, ingatlah akan godaan yang sangat
berat, mampukah kita mengatasinya ?, karena ternyata takatsurisme ini bi-
asanya selalu melalaikan manusia selama hayat dikandung badan. Dan
yang dapat mengingatkannya hanyalah kematian. Demikian pula setelah
memiliki harta dengan niat yang baik, maka masalah selanjutnya ialah un-
tuk apa harta tersebut ? Kemana akan digunakan? Rasulullah SAW men-
gingatkan;
“Celaka dan merugilah hamba dinar atau dir-ham, atau yang diperbudak kekay-
aan, kemewahan atau perhiasan, jika diberi ia senang dan jika tidak diberi,
mereka tidak senang.” 215
Maka, selayaknya kita menyadari, bahwa harta tersebut bukan untuk
kesenangan dan kemegahan belaka, tetapi sejauh mana kita menggun-
akannya di jalan Allah SWT. Harta bisa menjadi penghalang panasnya api
neraka dan dinding yang memisah-kan dua tempat berbeda yang kekal.
213
HR. Muslim dari Jabir RA
214
QS. Luqman:33
215
HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah RA
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 78
Sabda Rasulullah SAW: “Tiga perkara yang mengikuti mayat, (1) keluarganya,
(2) harta kekayaannya, dan (3) amal perbuatannya, maka dua perkara kembali
yaitu keluarga dan kekayaannya, tinggallah amal perbuatan yang akan tetap me-
nemaninya.” 216
Jadi jelas bahwa penggunaan harta kekayaan duniawi akan dipertanyakan
di Akhirat kelak, dari mana dia dapatkan ? dan kemana dia gunakan ?
Maka yang paling beruntung ialah mereka yang menggunakan hartanya di
jalan Allah SWT, baik dengan shadaqah, zakat maupun infaq fi sabilillah.
Janji Allah SWT; “Sesungguhnya orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian hartanya dari rizqi yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam atau terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perhitungan yang tidak akan merugi.”217
Banyak sekali suri teladan para shahabat yang berjiwa dermawan, mis-
alnya Utsman Bin Affan seorang saudagar namun tetap menafkahkan
hartanya di jalan Allah SWT atau Abu Bakar Ash-Shiddiq yang
menyerahkan seluruh miliknya untuk Allah dan Rasul-Nya. Demikian
juga Rasulullah SAW. Abu Dzar RA pernah mengisahkan: “Ketika saya
berjalan bersama Nabi SAW di jalan kota Madinah, kami menghadap
Uhud, maka Nabi SAW berkata; “Saya tidak senang kalau umpamanya saya
memiliki emas sebesar bukit Uhud ini, kemudian kutimbun sampai tiga hari
walau sedinar, ke-cuali hanya untuk membayar hutang atau untuk saya bagi-ba-
gikan kepada hamba Allah ke kanan kiri, ke depan dan belakang.” Kemudian
Nabi SAW berjalan sedikit dan bersabda: “Ingatlah, orang yang banyak harta
itu akan sedikit pahalanya di Akhirat kecuali yang mengeluarkan hartanya ke
kanan kiri, ke depan ke belakang, tetapi sayang sedikit sekali orang yang demiki-
an.” 218
Hadits ini menjelaskan kekhawatiran Rasulullah SAW apabila manusia su-
dah terbuai oleh harta ke-kayaannya. Memang adapula orang yang mam-
pu menggunakan harta yang melimpah ruah tersebut di jalan Allah se-
hingga terhindar dari bahaya taka-tsurisme tadi, tetapi kata Rasulullah
SAW jumlah mereka sangatlah sedikit. Umumnya, jika manusia telah
menguasai harta dan menjadi kaya raya, mereka lupa diri dan lalai akan
perintah Allah SWT.
Al-Quran surat at-Takatsur di atas merupakan khabar Insya’i yang menun-
tut kesadaran kita dari harta yang melalaikan. Suatu hari Abdullah Bin
Asy-Syiskhir RA datang kepada Nabi SAW ketika beliau membaca “alhak-
umuttakatsur..” kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bani Adam akan ber-
kata: “Hartaku, hartaku”, “Apakah bagianmu dari hartamu selain yang kamu
216
HR. Al-Bukhari & Muslim dari Anas RA
217
QS. Fathir:29
218
HR. Al-Bukhari & Muslim
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 79
makan sampai habis dan kamu pakai sampai rusak atau kamu sedekah-kan dan
tetap menjadi simpananmu atau tersimpan untukmu.” 219
***
***
219
HR. Muslim
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 80
223
QS. Al-A'raf:54
224
QS Al-Ahzab:40
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 82
Jihad Fi Sabilillah
Jihad pada ayat ini mengandung makna yang sangat luas. Sebagaimana
dijelaskan, jihad dapat dilakukan dengan harta dan jiwa. Menurut Al-
Maraghi, jihad ada bermacam-macam, di antaranya, jihad terhadap
musuh di medan perang dengan tujuan menolong agama Allah. Jihad ter-
hadap nafsu yaitu dengan memaksa dan mencegah syahwatnya yang
membawa kepada kehinaan. Jihad terhadap nafsu dan makhluk yaitu
menjauhi sifat materialistik, meninggalkan ketamakan terhadap harta
benda atau berlebihan cinta pada dunia. Jihad terhadap manusia dan ke-
duniaan, yaitu dengan tidak mengumpulkan harta kekayaannya dan tidak
membelanjakannya kecuali dalam hal yang diperbolehkan oleh syari’at
dan diakui oleh akal sehat.
Makna jihad sendiri yaitu berusaha sekuat tenaga mencapai cita-cita atau
berusaha keras mencegah duka derita. Tidak ada amal shalih yang men-
andingi pahala jihad. Jihad fi sabilillah dengan harta benda juga termasuk
paling utama yaitu menyisihkan hartanya dengan niat ikhlas untuk mem-
bantu tegak dan terpeliharanya kalimatullah dalam da’wah Islamiah. Dan
jihad jiwa raga mencakup pengorbanan seluruh kemampuan diri untuk
memelihara keimanan.
Ayat lain menjelaskan amal yang merupakan jenis perniagaan paling men-
guntungkan. Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah dan mendirikan shalat, me-nafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami
anugerah-kan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” 226
Jika kita melaksanakan jenis perniagaan di atas, maka Allah SWT
menghargainya dengan menghapus dan mengampuni dosa-dosa kita,
memasukkan kita ke dalam Jannah yang nyaman dan penuh kenikmatan
yang kekal. Inilah puncak dari keberuntungan yang tiada bandingnya.
Tidakkah kita terhenyak untuk segera mengadakan pernia-gaan dengan-
Nya.
Fastabiqulkhairat.
***
225
HR. Al-Bukhari, Muslim
226
QS 35:29
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 83
1 MELURUSKAN KETABUAN
SEKS SUAMI ISTERI 227
“Istri-istrimu adalah ladangmu. Garaplah ladangmu itu sesuai kehendakmu.
Kerjakanlah amal baik untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kelak akan menemui-Nya. Berilah kabar gembira orang-orang
yang beriman.” 228
Kehidupan suami istri adalah merupakan kehidupan suci dan penuh ke-
berkahan. Kebahagia-an manusia lawan jenis hanya dapat dicapai mela-lui
“mietsaqan ghalidlo” ikatan dan perjanjian yang disyari’atkan Allah dan Ra-
sul-Nya yaitu pernikah-an. Hidup berumah tangga dengan mencontoh ke-
hidupan rumah tangga Rasulullah SAW dijamin akan merasakan keinda-
han surga duniawi, karena hanya istri shalihahlah yang diakui sebagai se-
baik-baik perhiasan dunia.
227
Tulisan ini pernah dipresentasikan pada acara bedah buku “Kado Per-
nikahan Buat Generasiku.” di AULA Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Bandung, 27 Pebruari 1999 dengan beberapa revisi dan perbaikan.
228
QS. al-Baqarah : 223
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 84
Anggapan tabu terhadap seks sampai saat ini masih menghinggapi kaum
muslimin yang ter-golong kaum militan, sehingga bagi mereka mela-
kukan hubungan suami istri adalah suatu yang na-luriah, tidak perlu dibi-
carakan dan dipelajari, kare-na pada saatnya nanti semua orang pasti bisa
mela-kukannya. Memang tidak terbantah, bahwa orang yang tidak mem-
pelajari seksiologi bisa melakukan hubungan badan dan menghasilkan
keturunan, na-mun tidakkah kita sadar bahwa perhatian ajaran Islam ter-
hadap suatu masalah pasti mempunyai tu-juan dan hikmahnya.
Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. memberi-kan tempat kepada masalah ini
tidak bisa dikatakan sedikit. Syari’at mengatur kehidupan seks suami is-
teri dari A sampai Z, dari muqaddimah sampai khatimah, atau dari mas-
229
al-Bukhari, 1981,V:160
230
Abu Dawud, II :249
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 85
َج ِتك
َ ْعوْ َر َتكَ إِلّ مِنْ زَو َ ْح َفظْ عوْرَا ُتنَا مَا نَ ْأتِي ِمنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ ا
َ ِّعنْ معاوية بن حيدة قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ ال َ
س َتطَعْتَ أَنْ لَ يَ َر َينّهَا أَحَ ٌد
ْ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِي ُنكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ الِّ إِذَا كَانَ ا ْلقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنِ ا
َفَلَ يَ َر َينّهَا قَال
قُلْتُ يَا رَسُولَ الِّ إِذَا كَانَ أَحَ ُدنَا خَاِليًا
ِحيَا مِنْهُ مِنَ النّاس
ْ َست
ْ حقّ أَنْ ُي
َ َقَالَ الُّ أ
Dari Mu’awiyah Bin Haidah ia berkata, “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, man-
akah aurat kami yang bisa dili-hat dan mesti dijaga?” Beliau menjawab: “Jagalah
au-ratmu kecuali kepada pasanganmu atau kepada hamba sahayamu.” Ia berkata,
“Aku bertanya lagi: Wahai Ra-sulullah bagaimana jika satu jenis terhadap
temannya?” Beliau menjawab: “Jika kamu mampu, jangan melihat-nya dan ia
tidak melihatmu”. Ia berkata, “Wahai Rasu-lullah, bagaimana jika salah seorang
233
QS. al-Baqarah : 187
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 87
dari kami sedang menyendiri?” Beliau bersabda: “Allah yang lebih berhak untuk
kamu jadikan malu daripada manusia.” 234
Dari Aisyah Ra. Dia berkata: “Aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw.
dalam satu bejana (kedua tangan kami bersilangan pada bejana tersebut). Beliau
berlomba denganku (untuk mendapatkan air) sehingga aku berkata: “Biarkan
aku, biarkan aku”. Siti Aisyah berkata: “Pada waktu itu dalam keadaan
junub”.239
َ َ
ُ ّ صل ّى الل
ه ّ ِ ِ ل ع َلَى ع َهْد ِ النَّب
َ ي ُ ِ ل كُنَّا نَعْز
َ جابِر قَا
َ ن
ْ َع
َ ٍ ع َلَيه و
ُ ِ ن يَنْز
ل ُ م وَالْقُْرآ
َ ّ سل
َ َ ِ ْ
Dari Jabir ra. ia berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl di masa Nabi SAW sedang
al-Qur’an masih terus turun.” 240
َ ِ م فَبَلَغَ ذَل َ ل ع َلَى عَهد رسول اللَّه صلَّى الل َّه ع َلَيه و
َّ ِ ك نَب
ي َ ّ سل
َ َ ِ ْ ُ ِ ِ َُ َ ِ َْ ُ ل كُنَّا نَعْز
َ جابِرٍ قَا
َ ن
ْ َع
َ َ ع َلَيه و َّ ِ * الل
م يَنْهَنَاْ َ م فَل
َ ّ سلَ َ ِ ْ ُ ّ صل ّى الل
ه َ ه
ِ
“Kami biasa melakukan ‘azl di zaman Nabi SAW, maka setelah hal itu sampai
kepada Nabi SAW, beliau tidak melarang kami.” 241
240
HR. Al-Bukhari & Muslim
241
HR. Muslim
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 89
Diriwayatkan juga, bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW
lantas ia berkata:
ُما يُرِيد
ُ َ َ م
َ ُ ل وأنَا أريد ِ ح ْ َن ت
َ َ َ
ْ ل ع َنْهَا وَأنَا أكَْرهُ أُ ِ ة وَأَنَا أَع ْز ً َ جارِي َ ن ل ِي َّ ِ ل الل َّهِ إ َ سو ُ يَا َر
َل كَذ َبت َيهود ِلَو أ َراد الل ّه ْ َ
ُ َ َ ْ ُ َُ ْ َ َ صغَْرى قَا ُّ موْءُودَة ُ الَ ل َ ن العَْز َ ّ ثأ َ ُ ن الْيَهُود َ ت
ُ ِّحد َّ ِ ل وَإ
ُ جا َ ِ الّر
َ َ
ُ َصرِف
ه ْ َن تْ تأ َ ْستَطَع ْ ما ا َ ه ُ َخلُق ْ َن ي ْ أ
Diantara masalah yang sering terjadi dalam hubungan suami istri ialah
menyangkut masa haid istri, sehingga para suami terkadang mengeluh
keti-ka nafsu birahinya sedang tinggi sementara istri sedang keluar darah
haid atau nifas, dan menunggu istrinya berhenti haid.
Sebenarnya, hal ini tidak perlu terjadi, karena Istri yang sedang keluar
darah, tidak najis dan tidak perlu dijauhi sebagaimana pemahaman orang
Ya-hudi yang mengusir wanita haid dari rumahnya karena dianggap najis.
Rasulullah menyatakan suami boleh menggauli istrinya sebagaimana bi-
asa, dan yang dilarang itu hanya menjima’ pada faraj-nya sebagaimana
sabdanya:
اصنعوا كل شيء الّ الجماع
243
"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima')."
Larangan berjima’ ini sifatnya ta’abbudi, maka tetap dilarang (haram)
memasuk penis pada vagina istrinya, walaupun suami memakai kondom.
Na-mun, Istri yang sedang haid dianjurkan mengguna-kan kain penutup
farjinya (sejenis pembalut wanita) agar ketika suami mencumbunya tidak
terbawa naf-su menjima’ pada vaginanya.
َ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَمَرَهَا رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ َوسَلّم: ْعنْهَا قَالَت
َ ُّحدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ ال
َ
* َفتَ ْأتَزِرُ بِإِزَارٍ ُثمّ ُيبَاشِرُهَا
Aisyah berkata: “Salah seorang dari kami jika sedang haid, dan Rasulullah SAW
berhajat kepadanya, maka ia mengenakan kain penghalang kemudian beliau men-
cum-bunya.”244
242
HR. Ashabussunan
243
HR. Muslim & Abu Dawud
244
HR. Al-Bukhari, Muslim & Ashabusunan
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 90
ْضطَجِعَةٌ مَعَ رَسُولِ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ فِي الْخَمِيلَةِ إِذ ْ ُ َب ْينَمَا َأنَا م: ْعنْهَا قَالَت
َ ُّحدِيثُ أُمّ سَلَمَةَ رَضِيَ الَ
ستِ قُلْتُ نَعَمْ فَ َدعَانِي
ْ ِضتِي َفقَالَ لِي رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ َأنَف َ حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَ ْذتُ ِثيَابَ حِي
ِلْنَاءِ ا ْلوَاحِد
ِ طجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيلَةِ قَالَتْ وَكَانَتْ هِيَ وَرَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ يَ ْغتَسِلَنِ فِي ا َضْ فَا
* ِجنَابَة
َ ْمِنَ ال
Ummu Salamah berkata: “Ketika aku berbaring (ber-cumbuan) dengan Rasulul-
lah SAW dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, maka aku turun untuk mengam-
bil pakaian haid-ku, lalu beliau bertanya: “Engkau sedang haid ?” “ya !” Jawab-
ku. Kemudian ia memanggilku kembali dan bercumbu dalam satu selimut dengan
memakainya.” Ia berkata, bahwa ia dan Rasulullah SAW mandi berdua dalam
satu bejana dalam keadaan junub.245
Pertama
َ َ َ
ِل الل ّه
ِ سو َ ت فَْر
ُ ج َر ْ ما نَظ َرت أو ما رأي َ َت ْ َ ة قَال َ ِ ن ع َائ
َ ش ْ َع
ُ ُ َى الل َّه ْ ع َُلَيه ْ و َسل َّ َم ق
ّط ّ
َ َ َ ِ ْ ُ صل
َ
Dari Aisyah Ra. berkata; “Aku tidak melihat aurat Rasulullah SAW sedikitpun.”
1. Riwayat Thabrani 246 dari jalan Abu Nu’aim dan al-Khatib. Pada san-
adnya ada rawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Halabi, ia
itu pendusta dan penipu. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab “al-Lisan”
menyebutkan hadits ini adalah hadits yang paling batil.
2. Pada jalan lain diriwayatkan Ibnu Majah247 dan Ibnu Sa'd 248 dan pada
sanadnya ada rawi yang disebut Maula Aisyah (bekas budak milik
Aisyah) dan ini majhul (tidak dikenal), karena itu Al-Bushairy
menyatakan dalam “Az-Zawa-id” sanadnya dla'if (lemah).
245
HR. Al-Bukhari, Muslim & Ashabusunan
246
dalam kitab Ash-Shagier hal. 27
247
I:226 & 593
248
VIII:136
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 91
3. Riwayat Abi Syaih dalam Akhlaqu an-Nabi SAW 249 Pada sanadnya ada
rawi bernama Abu Shalih, dia itu lemah dan Muhammad bin Qa-sim
al-Asadi, dia tercela dan pendusta.
Ibnu 'Urwah berkata: "Makruh melihat farji karena Aisyah berkata; "Aku
tidak melihat farji Ra-sulullah SAW" Menurut Al-Albany, ia telah me-
nyembunyikan kelemahan sanad hadits ini. Hadits ini dibantah dengan
hadits shahih sebelumnya yang menjelaskan tentang mandi junubnya
Aisyah de-ngan Rasulullah SAW, maka riwayat ini batil.
Kedua
"Apabila salah seorang diantara kamu mendatangi istri-nya maka tutupilah dan
janganlah keduanya bertelan-jang seperti telanjangnya dua keledai liar."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah 250 dari Utbah Bin Abdis Silmy.
Pada sanadnya ada rawi bernama Al-Ahwash Bin Hakim, ia dla'if. Al-
Bushairy memandangnya cacat. Al-Walid Bin Al-Qasim Al-Hamdany,
Ibnu Ma'in dan yang lainnya mendlaifkan rawi hadits ini, dan Ibnu Hib-
ban ber-komentar; "Hadits ini infirad (hanya satu jalan) dan tidak ada yang
seperti hadits ini pada riwayat tsiqat (kuat), maka tidak bisa dijadikan huj-
jah."
Dengan alasan di atas, Al-'Iraqy dalam "Takhrij Al-Ihya"251 menyatakan
sanad hadits ini dla'if. An-Nasa-i meriwayatkan hadits ini dalam "'Asyra-
tun Nisa”252 dan ringkasannya dalam "Al-Fawa-id Al-Muntaqah.253 Juga
Ibnu 'Adi254 dari Abdullah Bin Sarjas, lalu An-Nasa-i berkata; "Ha-dits ini
munkar dan benar bahwa Ibnu Abdullah (salah seorang rawi hadits ini)
adalah dla'if.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya,255 Abdurraz-zaq256 dari Abi Qilabah
secara marfu' dan hadits ini mursal. At-Thabrani meriwayatkannya,257
Ahmad Bin Mas'ud dalam "Ahadits"nya,258 Al-'Uqaily dalam "Ad-
249
hal. 251
250
I:592
251
II:46
252
I:79:1
253
X:13:1
254
II:49 & 201
255
I:70/7
256
VI:194/10467
257
III:78:1
258
39/1-2
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 92
قيل وما الرسول ؟,ل تقعن أحدكم على امرأته كما تقع البهيمة ليكن بينهما رسول
قال القبلة و الكلم
Ketiga
"Apabila salah seorang diantara kamu berjima de-ngan istrinya atau jariyahnya
maka janganlah meli-hat farjinya karena akan menimbulkan buta."
Hadits ini maudlu' (palsu) sebagaimana pandangan Imam Abu Hatim Ar-
259
433
260
I:156
261
VII:193
262
VI:194/10470 & 10469
263
HR. Ad-Daelami dalam Musnad Al-Firdaus & aL-Baihaqy
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 93
Razi dan Ibnu Hibban dan diikuti oleh Ibnul Jauzi, Abdul Haq dalam
"Ihkam"nya,264 Ibnu Daqiqil 'Ied dalam "Al-Khulashah"265 ia menjelaskan
kecacatannya dalam "Al-Ahadits Adl-Dla'ifah Wal Maudlu'ah Wa Atsa-
ruhas Sayyi Fil Ummah”:195.
Dalam sanad hadits ini ada rawi yang ber-nama Baqiyyah, menurut Ibnu
Hibban dia itu se-orang yang suka meriwayatkan dari rawi-rawi lain yang
suka berbuat dusta, sedangkan Baqiyah sendiri adalah seorang yang suka
berbuat tadlis (Kesamar-an). Ibnu Jauzi telah memasukkan hadits ini
dalam bagian hadits-hadits palsu.
Keempat
264
I:143
265
II:118
266
lihat, Kado Pernikahan Buat Generasiku:125
267
Hujjatullah al-Balighah III:134
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 94
DAFTAR PUSTAKA
• Al-Qur’anul Karim
• Team Sakhr, CD Mausu’ah Al-Hadits Asy-Syarif, Kutubut Tis’ah, Jed-
dah.
• Subhan Nurdin, Kado Pernikahan Buat Generasiku, Ash-Shiddiq Press,
Bandung, 1998.
• H.U. Saifuddin ASM, Bahtera Pernikahan, Yadia, Bandung, 1993
• Yazid dan Qasim Koho (Alm), Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu,
PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1992
• Muhammad Nashruddin al-Albani, Adabu al-Zafaf, Maktab al-Islami,
Beirut, 1989
268
Silahkan merujuk pada kitab "Al-Fathu" I:307.
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 95
1 Interaksi dengan
Non Muslim
Menurut Islam
(Tanggapan atas pandangan Dr. Alwi Shihab
tentang Ucapan Selamat Natal & Mendo’akan Non Muslim)
I. MUQADDIMAH
269
QS.Ash-Shaf:8
270
HR. Abu Dawud
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 97
Setidaknya ada beberapa alasan Dr. Alwi Shi-hab berfatwa bolehnya seor-
ang muslim mengucap-kan selamat natal atau mendo’akan non muslim
yang saya simak pada Acara Ramadhan “Renung-an Alwi Shihab,” Jum’at
1 Januari 1999 malam:
Islam adalah ajaran para Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia
dan berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat.
271
HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry
272
QS. Ali Imran:57
273
lihat QS. Al-Anbiya:107 & Saba:28
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 99
penanam buah, hama itu tidak terasa asing lagi, sehingga mereka dapat
menanggulanginya segera agar buah-buahnya terselamatkan. Akan tetapi
ge-nerasi yang baru tumbuh di tengah-tengah kita tidak mendapatkan
perlindungan dan penjagaan yang memadai. Karena itu, mereka dengan
mudah ditelan wabah moral, sosial dan politik. Dan setelah mereka tum-
buh dewasa, mereka lebih cenderung kepada hal-hal yang tercela.274
Ajaran dari para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad pada as-
alnya sama mengajarkan tauhid kepada Allah swt. dan menentang
kemusyri-kan dan kezaliman. Namun, sepeninggal mereka, para pen-
gikutnya –termasuk pemimpin agamanya, banyak melakukan penyimpan-
gan ajaran tauhid tersebut karena hawa nafsu dan kesenangan dunia-wi.
Firman Allah:
“Maka apakah kamu berharap agar mereka itu akan mengikuti kamu, padahal se-
sungguhnya telah ada sebagian mereka yang mendengar firman Allah, kemudi-an
mereka merubahnya sesudah mereka mengerti, sedang-kan mereka mengetahui.”
275
“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan, dia berkata: “Sesungguhnya aku
datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu se-
bagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertaqwalah kepada Al-
lah dan taatilah aku. Sesung-guhnya Allah, Dialah Tuhan kamu, maka sembah-
lah Dia; ini adalah jalan yang lurus. maka berselisihlah golongan-golongan (yang
terdapat) di antara mereka; lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
zalim, yakni siksaan hari yang pedih (kiamat).”276
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya
seraya berkata: “Aduhai seandainya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kitanya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan
itu teman akrab(ku). Sesung-guhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an
ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syetan itu tidak mau
menolong manusia.”277
lam. Mereka menyimpang karena beramal tanpa ilmu dan berilmu tanpa
iman dan amal, sehingga mereka mempertahankan tradisi kemusyrikan
yang telah ada sejak setan menolak perintah Allah untuk sujud kepada
Adam. Kemudian mereka mengikuti dan melestarikan tradisi nenek moy-
angnya sampai ke tingkat para rahib atau pendeta yang dikultuskan oleh
pengikutnya. Allah SWT menyatakan;
“Mereka (orang-orang kafir) menjadikan ulama-ula-ma mereka dan pendeta-pen-
deta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan juga al-Masih Ibnu Maryam,
padahal tidaklah mereka diperintahkan Tuhan, melain-kan agar menyembah ke-
pada Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, Maha suci Ia dari apa yang
mereka sekutukan.”278
Lebih spesifik lagi, kemusyrikan yang dilaku-kan kaum Yahudi dan
Nashrani ialah menganggap Allah beranak atau menitis pada manusia.
Firman Allah:
“Dan berkatalah orang-orang Yahudi “Uzair itu anak Allah” sedangkan orang-
orang nashrani mengata-kan “Al-Masih itu anak Allah.” Yang demikian itu ada-
lah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka, meniru-kan orang-orang kafir
dahulu (sebelumnya). Dibinasakan Allah akan mereka. Bagaimana mereka itu
dapat dipa-lingkan.”279
Perilaku kemusyrikan paling sesat yang dilaku-kan Yahudi dan Kristen ia-
lah menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dan menganggap Allah ter-
diri dari unsur-unsur makhluk. Allah berfirman:
“Sungguh telah kufur orang yang berkata, bahwa Allah itu ketiga dari tiga, pada-
hal tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang tunggal.”280
Maka, pola tradisi yang dilakukan oleh orang-orang musyrik termasuk
Yahudi dan Kristen akan terus diyakini oleh pengikutnya bahkan dipropa-
gan-dakan dengan cara-cara dan missinya sampai Allah memadamkan
makar mereka.
Para pengikut Rasulullah pun tidak akan luput dari propaganda
mereka, sebagaimana predik-si Rasulullah :
“Akan datang di kalangan umatku sekelompok kaum yang terjangkit berbagai
macam aliran (yang bersumber dari) hawa nafsu, sebagaimana penyakit anjing
gila menjangkiti penderitanya. Maka tidak ada satupun aliran darah dan bagian
tubuhnya kecuali telah dimasuki semuanya. Demi Allah wahai sekalian bangsa
278
QS. At-Taubah:21
279
QS. At-Taubah : 30
280
QS. Al-Maidah:73
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 101
Arab, kalau kamu sekalian tidak melaksanakan apa yang dibawa oleh Muhammad
, tentu orang-orang selain kamu yang lebih berhak untuk melaksanakannya.”281
Untuk mengantisipasi tradisi kemusyrikan ter-sebut, Rasulullah
sangat hati-hati menanam-kan ketauhidan dan ibadah. Misalnya, suatu
hari Rasulullah menjumpai seorang khatib yang sedang berpidato dan
mengatakan: “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan kepada utusan-
Nya, ia akan mendapat petunjuk. Tetapi barangsiapa yang durhaka kepada
keduanya, maka ia akan sesat. Men-dengar ucapan tersebut , Rasulullah
langsung menegurnya; “Seburuk-buruk ucapan ialah ucapan-mu yang
terakhir, jangan kau katakan: “Barangsia-pa yang durhaka kepada ke-
duanya,” melainkan ka-takanlah: “Barangsiapa yang durhaka kepada Al-
lah dan kepada rasul-Nya, maka ia akan sesat.”
Rasulullah bersabda: “Jangan kalian menyanjungku seperti kaum Nasrani
menyanjung Isa Bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkan-lah
Abdullah atau Rasulullah.” 282
Kondisi Perang (Darul Harb) dan Kondisi Damai (Darul Islam) & Hak-
hak Golongan Non Muslim Dzimmi dalam naungan Islam
281
HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim dalam al-Mustadrok
282
HR. Al-Bukhari dari Umar ra.
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 102
“Dan seandainya kau mengikuti hawa nafsu mere-ka setelah datang ilmu kepada-
mu, tentunya kau akan menjadi golongan orang-orang yang zalim.” 288
Secara Aqidah atau prinsip keyakinan dalam bertauhid dan beribadah, Is-
lam sangat tegas dan je-las menyatakan tidak ada istilah toleransi. Seba-
gai-mana prinsip interaksi dengan non muslim dalam firman Allah QS.
Al-Kafirun 1-6:
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku ti-dak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan ka-mu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sem-bah, dan kamu tidak per-
nah (pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu,
dan untukkulah agamaku.”
Umat kristianipun sebenarnya punya prinsip tidak ada toleransi dalam
masalah akidah atau keyakinan ketuhanan, sebagaimana tersebut dalam
Al-Kitab surat kiriman Yahya kedua, yaitu II Yahya 1:10,11 yang berbunyi:
“Jikalau barang seorang datang kepadamu dan membawa pengajaran lain dari-
pada itu, janganlah kamu terima dia masuk ke dalam rumahmu dan jangan mem-
beri salam kepadanya. II. Karena barangsiapa yang memberi salam kepadanya, ia
itu sama bersalah di dalam perbuatannya yang jahat itu.
Maka, dengan prinsip dasar tersebut, ketegas-an sikap seorang muslim
akan diwujudkan dalam perilaku atau interaksi mu’amalah dan tidak
sampai melebihi batas loyalitas akidah dan ibadah.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian menjadikan orang-
orang Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung, sebagian mereka menjadi
pelindung sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan
mereka sebagai pelindung, maka dia menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya
Allah tidak akan menunjukkan kaum yang zalim.”289
Adapun dalam interaksi masalah sosial kema-syarakatan, kita dibolehkan
bergaul dalam batas-batas yang dihalalkan dan tidak menyimpang dari
prinsip mu’amalah secara Islam. Firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil dengan mereka
(yang kafir) yang tidak memerangimu dan tidak mengusir kamu dari negerimu,
untuk berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil terhadap mereka, sesung-
288
QS. 2:120
289
QS. Al-Maidah:51
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 105
guhnya Allah itu suka kepada orang-orang yang berbuat keadilan. Sesungguhnya
Allah melarang kamu untuk bergaul dengan mereka apabila mereka memerangi
kamu dalam dan mengusir kamu dari negeri kamu serta nyata pengusirannya
terhadap kamu, untuk menjadi mereka sebagai pemimpin; barangsiapa yang men-
jadikan mereka sebagai pemimpin, itulah disebut orang-orang yang zalim
(aniaya).”290
290
QS. Al-Mumtahanah:8-9
291
QS. Al-Maidah:5
292
QS. Al-An’am:211
293
QS. Al-Baqarah:221
294
QS. Al-Mumtahanah:10
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 106
295
HR. Al-Bukhari
296
HR. Muslim
297
HR. Muslim
298
HR. Al-Bukhari
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 107
“Tidak boleh Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun untuk
orang-orang musyrik wa-laupun mereka itu kaum kerabat yang dekat, setelah
jelas untuk mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka.”300
Menurut Al-Qasimi, memohonkan ampun untuk non muslim adalah
menyalahi ketentuan Allah.301 Tetapi mendo’akan agar mereka men-jadi
orang Islam, menjadi orang shaleh atau agar mereka mendapat hidayah,
tentu tidak dilarang, sebagaimana Nabi pernah mendo’akan kaum
Daus ALLOHUMMA IHDI DAUSAN (Ya Allah, berilah hidayah kepada
kaum Daus.” 302
Dari Anas, “seorang anak Yahudi sakit, kemudian Nabi datang men-
jenguknya lallu duduk dekat kepalanya dan bersabda: “Masuk Islamlah !”
Anak itu memandang bapaknya yang ada di dekat kepalanya, lalu
bapaknya berkata; “turutilah Abal Qasim (Rasulullah )” maka iapun
masuk Islam, kemudian Nabi berdiri sambil mengucapkan; ALHAM-
DULILLAHILLADZI ANQADZAHU BI MINANNAR (Segala puji milik
299
QS. At-Taubah:84
300
QS. At-Taubah:113
301
Tafsir Al-Qasimi VIII:114
302
Al-Bukhari
303
HR. Al-Hakim
304
HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa-i
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 108
dan hari akhir maka janganlah ia duduk di satu hidangan yang disuguhkan
padanya minuman keras.”311
Adapun mengundang non muslim untuk meng-hadiri acara tertentu,
tidak ada nash yang mela-rangnya, artinya boleh (mubah).
Allah berfirman: “Janganlah kalian berkumpul bersama orang-orang yang
zalim, nanti api neraka akan menyentuhmu.”312
311
HR. Ahmad, An-Nasa-i, At-Tirmidzi dan Hakim
312
QS. Hud:113
313
HR. Ahmad & At-Tirmidzi, Al-Halal Wal Haram:131
314
HR. At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi V:197
315
HR. Al-Bukhari II:95 Fathu VI:158
316
Muttafaq Alaih
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 110
supaya kalian saling mencintai dan hendak-lah kalian saling bersalaman, niscaya
akan hilang uneg-uneg dari hati kalian.” 317
317
HR. Ibnu Asakir
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 111
ginjil keliru dalam penentuan kelahiran Isa dan berten-tangan dengan data
dan ensiklopedi ilmiah yang telah diakui dunia Internasional. Bisakah kita
perca-yai berita lainnya yang lebih prinsipil, jika dalam masalah ini saja
sudah keliru ? Maha benar Allah dengan firman-Nya: “Sebagian dari orang
Yahudi itu ada yang mengubah kalimah-kalimah dari tempat-tempatnya.”318
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Aku menyaksi-kan penderitaan yang menimpa
Rasulullah seperti yang terjadi pada para nabi terdahulu yang mendapat
tantangan dari kaumnya. Beliau mengusap darah di wajahnya dan berdo’a : AL-
318
QS.4:46
319
HR. Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro IX:234
320
Mukhtashar Tib nabawi, As-Sayuthi:21
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 112
IV. PENUTUP
I. MUQADDIMAH
Mengamati kondisi ummat beragama di negeri kita akhir-akhir ini
sungguh membuat kita meng-usap dada. Berbagai issu berbau SARA
menjadi pe-micu berbagai bentrokan dan meresahkan masyara-kat. Um-
mat Islam yang mayoritas menjadi terpo-jokkan dibuatnya, bahkan berba-
gai teror dan an-caman tidak sedikit yang mengganggu ketenangan kaum
muslimin dalam beribadah. Masjid-masjid menjadi sasaran penghancuran
dan perusakan. Para kiayi dan tokoh agama tak luput dari teror dan anca-
man. Siapa yang menjadi provokator, hanya Allah Yang Maha Tahu dan
Yang Maha Kuasa untuk membalas dan membuat makar yang lebih dah-
syat kepada mereka. Benarlah apa yang diisya-ratkan Allah dalam firman-
Nya:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya
meskipun orang-orang kafir benci.” 321
Sekilas latar belakang di atas dapat kita jadi-kan pertimbangan untuk
memaklumi munculnya pandangan kontroversial sekitar masalah ucapan
se-lamat natal atau toleransi, daripada menuduh seca-ra emosional bahwa
hal itu sekedar ketakutan dan kekhawatiran belaka. Namun rasanya tidak
adil jika pandangan sepihak tersebut disaksikan sekian juta pemirsa kaum
muslimin, apalagi yang awam dalam pemahamannya tentang konsep in-
teraksi antara penganut agama, sehingga bisa saja menjurus pada
pengaburan akidah dan tauhid umat Islam yang mengakibatkan ummat
Islam kehilangan ‘Izzah dan harga dirinya. Rasulullah memprediksik-
an pe-nyebabnya :
“Ada satu kemungkinan akan tiba saatnya mereka (para munafikin dan go-
longan anti Islam mendapat kesempatan) berkumpul mengepung kamu sekalian
seperti para undanngan berkumpul menyerbu hidangannya. Seorang shahabat
bertanya, Apakah karena kita (umat Islam) pada masa itu sedikit jumlahnya
(minoritas). Rasulullah menjawab: Tidak ! jumlah kamu saat itu besar (may-
oritas), namun kamu seperti timbunan sampah yang dibawa air bah. Pada saat
itu Allah meng-hilangkan dari dada lawan kamu rasa hormat dan segan terhadap
kamu dan menempatkan pada hati kamu rasa lemah dan hina (wahn). Seorang
shahabat bertanya; “Ya Rasulullah, apakah wahn itu ?” Rasulullah men-
jawab: “Penyebab wahn itu ialah gila dunia dan anti akhirat (mati).” 322
Sebagaimana Dr. Alwi Shihab –dalam topik ini- mengungkapkan bah-
wa, mungkin saja pan-dangan saya mengandung unsur kebenaran dan
tidak mustahil pandangan yang lain juga ada benar-nya, maka saya men-
coba menanggapi pandangan-nya yang kontroversial bahkan dengan
pendapat kebanyakan ulama yang diwakili oleh MUI dalam fatwanya.
Dan saya tambahkan, bahwa kebenaran dari manusia –setinggi apapun
321
QS.Ash-Shaf:8
322
HR. Abu Dawud
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 114
323
HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry
324
QS. Ali Imran:57
325
lihat QS. Al-Anbiya:107 & Saba:28
326
1993:116
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 116
gan ajaran tauhid tersebut karena hawa nafsu dan kesenangan dunia-wi.
Firman Allah:
“Maka apakah kamu berharap agar mereka itu akan mengikuti kamu, pada-
hal sesungguhnya telah ada sebagian mereka yang mendengar firman Allah,
kemudi-an mereka merubahnya sesudah mereka mengerti, sedang-kan mereka
mengetahui.” 327
“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan, dia berkata: “Sesungguhnya
aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepada-
mu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertaqwalah kepada
Allah dan taatilah aku. Sesung-guhnya Allah, Dialah Tuhan kamu, maka sem-
bahlah Dia; ini adalah jalan yang lurus. maka berselisihlah golongan-golongan
(yang terdapat) di antara mereka; lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang
yang zalim, yakni siksaan hari yang pedih (kiamat).”328
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tan-
gannya seraya berkata: “Aduhai seandainya (dulu) aku mengambil jalan ber-
sama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kitanya aku (dulu) tidak men-
jadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesung-guhnya dia telah menyesatkan aku
dari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syetan itu
tidak mau menolong manusia.”329
Akar Sejarah Golongan Non Muslim (Ahli Kitab, Yahudi, Nasrani,
Musyrikin)
Menurut Al-Qur’an, kaum Nasrani dan Yahu-di merupakan kaum
yang telah menyimpang dari ajaran Allah dan para Rasul-Nya yaitu ajaran
Islam. Mereka menyimpang karena beramal tanpa ilmu dan berilmu tanpa
iman dan amal, sehingga mereka mempertahankan tradisi kemusyrikan
yang telah ada sejak setan menolak perintah Allah untuk sujud kepada
Adam. Kemudian mereka mengikuti dan melestarikan tradisi nenek moy-
angnya sampai ke tingkat para rahib atau pendeta yang dikultuskan oleh
pengikutnya. Allah SWT menyatakan;
“Mereka (orang-orang kafir) menjadikan ulama-ula-ma mereka dan pen-
deta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan juga al-Masih Ibnu
Maryam, padahal tidaklah mereka diperintahkan Tuhan, melain-kan agar
menyembah kepada Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, Maha suci Ia
dari apa yang mereka sekutukan.”330
Lebih spesifik lagi, kemusyrikan yang dilaku-kan kaum Yahudi dan
Nashrani ialah menganggap Allah beranak atau menitis pada manusia.
Firman Allah:
“Dan berkatalah orang-orang Yahudi “Uzair itu anak Allah” sedangkan or-
ang-orang nashrani mengata-kan “Al-Masih itu anak Allah.” Yang demikian itu
327
QS.2:75
328
QS. Az-Zukhruf: 63-64
329
QS.25:27-29
330
QS. At-Taubah:21
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 117
331
QS. At-Taubah : 30
332
QS. Al-Maidah:73
333
HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim dalam al-Mustadrok
334
HR. Al-Bukhari dari Umar ra.
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 118
335
HR. Abu Dawud dalam Kitab Jihad
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 119
336
QS. Al-Baqarah:217
337
Al-Baqarah:120
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 120
“Katakanlah, Hai ahli Kitab, mengapa kamu ing-kari ayat-ayat Allah, pada-
hal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan ?” Katakanlah, “Hai ahli
Ki-tab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang
telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyak-
sikan ?” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” 338
“Kebanyakan dari ahli kitab hendak memurtadkan kamu jadi kafir setelah
kamu beriman karena kedengkian dari diri-diri mereka.”339
Toleransi Aqidah dan Toleransi Mu’amalah
“Dan seandainya kau mengikuti hawa nafsu mere-ka setelah datang ilmu
kepadamu, tentunya kau akan menjadi golongan orang-orang yang zalim.” 340
Secara Aqidah atau prinsip keyakinan dalam bertauhid dan
beribadah, Islam sangat tegas dan je-las menyatakan tidak ada istilah tol-
eransi. Sebagai-mana prinsip interaksi dengan non muslim dalam firman
Allah QS. Al-Kafirun 1-6:
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku ti-dak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan ka-mu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sem-bah, dan kamu tidak
pernah (pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu, dan untukkulah agamaku.”
Umat kristianipun sebenarnya punya prinsip tidak ada toleransi
dalam masalah akidah atau keyakinan ketuhanan, sebagaimana tersebut
dalam Al-Kitab surat kiriman Yahya kedua, yaitu II Yahya 1:10,11 yang
berbunyi:
“Jikalau barang seorang datang kepadamu dan membawa pengajaran lain
daripada itu, janganlah kamu terima dia masuk ke dalam rumahmu dan jangan
memberi salam kepadanya. II. Karena barangsiapa yang memberi salam kepadan-
ya, ia itu sama bersalah di dalam perbuatannya yang jahat itu.
Maka, dengan prinsip dasar tersebut, ketegas-an sikap seorang
muslim akan diwujudkan dalam perilaku atau interaksi mu’amalah dan
tidak sampai melebihi batas loyalitas akidah dan ibadah.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung, sebagian mereka menjadi
pelindung sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan
mereka sebagai pelindung, maka dia menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya
Allah tidak akan menunjukkan kaum yang zalim.”341
Adapun dalam interaksi masalah sosial kema-syarakatan, kita dibole-
hkan bergaul dalam batas-batas yang dihalalkan dan tidak menyimpang
dari prinsip mu’amalah secara Islam. Firman Allah:
338
QS. Ali Imran 98-99
339
QS. Al-Baqarah:109
340
QS. 2:120
341
QS. Al-Maidah:51
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 121
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil dengan
mereka (yang kafir) yang tidak memerangimu dan tidak mengusir kamu dari
negerimu, untuk berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil terhadap mereka,
sesungguhnya Allah itu suka kepada orang-orang yang berbuat keadilan. Sesung-
guhnya Allah melarang kamu untuk bergaul dengan mereka apabila mereka
memerangi kamu dalam dan mengusir kamu dari negeri kamu serta nyata pen-
gusirannya terhadap kamu, untuk menjadi mereka sebagai pemimpin; barang-
siapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, itulah disebut orang-orang
yang zalim (aniaya).”342
♦ Sikap Muslim dalam Kasus Interaksi dengan Non Muslim
12. Makanan Sembelihan Non Muslim
Makanan atau sembelihan non muslim yang dihalalkan ialah yang
tidak ada sangkut paut-nya dengan upacara ibadah mereka. Namun,
makanan atau sembelihan dalam rangka upa-cara ibadat mereka
hukumnya haram karena termasuk yang tidak karena Allah. Firman-Nya
“Dan makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal ba-gi kamu, demikian
pula makanan kamu halal bagi mereka.” 343
“Janganlah kamu makan dari sembelihan yang ti-dak disebutkan nama
Allah, karena sembelihan yang serupa itu merupakan satu kejahatan.”344
Dari Aisyah ra. bahwa Nabi pernah membeli makanan dari seorang
yahudi dengan pembayaran ditunda sampai waktu tertentu dan menggadaikan
baju besi kepadanya.347
15. Ucapan Selamat (berdo’a)
Kaum muslimin dilarang mendahului salam dan ucapan selamat
lainnya kepada non muslim, berdasarkan hadits :
Dari Ali ra berkata: Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu
mendahului orang Yahudi dan nasrani dengan ucapan salam, dan apabila kamu
berjumpa dengan mereka maka desaklah mereka ke tempat yang tersempit.”348
Adapun jika mereka memulai salam atau ucapan selamat lainnya,
maka jawablah; “Kembali, untukmu saja.”
Dari Anas, para shahabat pernah bertanya kepada Nabi : “Jika ahli
kitab memberi salam kepada kita, bagaimana kita menjawabnya ?” Sabda Nabi
: “Katakanlah: WA’ALAIKUM “Untukmu saja” 349
Adapun jika bercampur muslim dan non mus-lim dalam satu ma-
jlis, boleh kita memulai sa-lam yang diperuntukkan bagi golongan muslim
saja.
Dari Usamah bin Zaid, bahwa nabi pernah menunggang keledai
sampai melalui satu majlis yang terdapat kaum muslimin, orang musyrik,
penyembah berhala dan Yahudi juga ada Abdullah bin Ubai bin Salul dan Abdul-
lah bin Rawahah, Nabi memberi salam kepada mereka.”350
16. Mendo’akan Bersin/Belasungkawa untuk Non Mus-lim/Mengurus
kematian non muslim
Kematian non muslim bukan merupakan musi-bah bagi orang Is-
lam. Bukan termasuk melaksa-nakan hak kecuali kepada sesama muslim.
Maka, pengurusannya hanya pada aspek kema-nusiaan/sosial saja, tidak
menshalatkan atau mendo’akannya.
“Dan janganlah engkau shalat (mendo’akan) sese-orang dari mereka
yang mati selama-lamanya (mati kafir) dan jangan pula engkau berdiri di atas
kubur-nya (shalat di atas kuburan) untuk mendo’akannya, karena sesungguhnya
mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya dan mati sedangkanmereka melewati
batas.” 351
“Tidak boleh Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
untuk orang-orang musyrik wa-laupun mereka itu kaum kerabat yang dekat, sete-
lah jelas untuk mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka.”352
Menurut Al-Qasimi, memohonkan ampun untuk non
muslim adalah menyalahi ketentuan Allah.353 Tetapi mendo’akan agar
347
HR. Al-Bukhari
348
HR. Muslim
349
HR. Muslim
350
HR. Al-Bukhari
351
QS. At-Taubah:84
352
QS. At-Taubah:113
353
Tafsir Al-Qasimi VIII:114
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 123
mereka men-jadi orang Islam, menjadi orang shaleh atau agar mereka
mendapat hidayah, tentu tidak dilarang, sebagaimana Nabi pernah
mendo’akan kaum Daus ALLOHUMMA IHDI DAUSAN (Ya Allah, beri-
lah hidayah kepada kaum Daus.” 354
Rasulullah juga pernah mendo’akan Umar Bin Khattab se-
belum ia masuk Islam: ALLOHUMMA A’IZZIL ISLAM BI UMAR (Ya Al-
lah, perkuat Islam dengan Umar)355
Dari Burdah dari ayahnya, ia berkata: “adalah seorang Yahudi bersin di
samping Nabi , ia berharap Nabi akan mendo’akannya YARHA-
MUKALLAH (Semoga Allah merahmatimu), namun ternyata Nabi hanya
mengucapkan: YAHDIKUMULLAH WA YUSLIH BALAKUM. (Semoga Allah
memberi hidayah kepadamu dan memperbaiki bencanamu).” 356
Maka, jika non muslim bersin, ucapkanlah sebagaimana Rasulullah
mencontohkan, walaupun ia tidak mengucapkan hamdalah.
Dari Anas, “seorang anak Yahudi sakit, kemudian Nabi datang
menjenguknya lallu duduk dekat kepalanya dan bersabda: “Masuk Islam-
lah !” Anak itu memandang bapaknya yang ada di dekat kepalanya, lalu
bapaknya berkata; “turutilah Abal Qasim (Rasulullah )” maka iapun
masuk Islam, kemudian Nabi berdiri sambil mengucapkan; ALHAM-
DULILLAHILLADZI ANQADZAHU BI MINANNAR (Segala puji milik
Allah Yang telah menyelamatkannya dengan sebabku dari ancaman api
neraka).” 357
17. Membangun tempat Ibadah
Seharusnya seorang muslim mengajak mereka yang telah sesat
dan menyekutukan Allah termasuk Yahudi dan Kristen agar kembali ke-
pada ketauhidan yang juga diajarkan oleh Nabi Isa AS. sebagaimana fir-
man Allah:
“Katakanlah; “Hai ahli kitab, marilah kepada kali-mat yang adil antara
kami dan kamu yaitu jangan-lah kita menyembah melainkan Allah semata, dan
janganlah kita menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dan janganlah sebagian dari
kita jadikan lagi sebagai Tuhan-tuhan selain Allah.” 358
Allah menegaskan :
“Dan janganlah kamu saling menolong dalam dosa dan permusuhan.”359
18. Mengundang & Menghadiri Undangan Non Muslim
Menghadiri undangan dari siapapun –baik muslim maupun non
muslim, hukum asalnya adalah wajib, sebagaimana Rasulullah ber-
sabda: “Apabila salah seorang dari kamu diun-dang dalam walimah, hendaklah
354
Al-Bukhari
355
HR. Al-Hakim
356
HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa-i
357
HR. Abu Dawud 3095-III/185
358
QS. Ali Imran:64
359
QS. Al-Maidah:2
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 124
368
Muttafaq Alaih
369
HR. Ibnu Asakir
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 126
370
QS.4:46
371
HR. Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro IX:234
372
Mukhtashar Tib nabawi, As-Sayuthi:21
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika - 127
***