You are on page 1of 14

MANAJEMEN NIAT Dua orang melakukan sholat, orang pertama meraih keridhoaan Alloh sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan

orang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Alloh karena nifak dan riyanya. Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Nabi shallallahu alaihi wasallam sudah mengingatkan hal ini di dalam sabda beliau: Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhori, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin Al-Khaththab] Sesungguhnya suatu amal akan diterimanya di sisi Alloh jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Alloh akan melihat hati manusia, apakah ikhlas, dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Alloh tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. (HR. Muslim, no. 2564) Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Alloh kepada seluruh manusia, sebagaimana firmanNya: Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. 98:5) NIAT DALAM KEBAIKAN Termasuk rohmat dan anugerah Alloh adalah bahwa Dia telah menulis kebaikan hamba hanya karena keinginan berbuat kebaikan. Sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan hal ini di dalam hadits sebagai berikut: Sesungguhnya Alloh menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis satu keburukan saja. [HR. Bukhori, no. 6491; Muslim, no. 131] NIAT DALAM KEBURUKAN Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Alloh. Namun jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakroh) bertanya: Wahai Rosululloh, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu. [HR. Bukhori, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakroh] Di dalam hadits lain, Rosululloh shallallahu alaihi wasallam memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau bersabda: Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Alloh sebagai pencuri. [HR. Ibnu Majah, no. 2410; syaikh Al-Albani berkata: Hasan Shohih]

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakanoleh Nabi shallallahu alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini: : : Dari Abu Kabsyah Al-Anmari rodhiyallohu anhu, bahwa dia mendengar Rasululloh sholallohu alaihi wassallam bersabda: Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Robbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Alloh). Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu). Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Alloh). Hamba yang Alloh tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu). Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama. (Hadits Shohih Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Majah, no: 4228; dan lainnya. Dishohihkan Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no: 3406 dan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557; Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253) Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Alloh. Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi, karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik. Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershodaqoh dengan uang curian atau korupsi. Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan. Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin, demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam . Al-hamdulillahi robbil alamiin. ~###~ HAKIKAT DAN TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA UNTUK APA KITA DICIPTAKAN DI DUNIA INI? Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, para sahabat dan yang mengikutinya dengan baik hingga hari pembalasan. Masih ada segelintir orang yang muncul dalam dirinya pertanyaan seperti ini, bahkan dia belum menemukan jawaban dari pertanyaan ini hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Untuk tujuan apa sih, kita diciptakan di dunia ini?, demikian pertanyaan yang selalu muncul dalam benaknya. Lalu sampai-sampai dia menanyakan pula, Kenapa kita harus beribadah? Sempat ada yang menanyakan beberapa pertanyaan di atas kepada kami melalui pesan singkat yang kami terima. Semoga Allah memudahkan untuk menjelaskan hal ini. Manusia Tidak Dibiarkan Begitu Saja

Tidak ada yang sia-sia dalam perbuatan Allah. Termasuk ketika Dia menciptakan kita semua. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang yang terlena dengan fitnah dunia. Allah Taala berfirman : Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja? (Al Qiyamah:36) Berikut penjelasan para ulama tafsir tentang ayat di atas. Syaikh Abdurrahman As Sadi rahimahullah menjelaskan : maksudnya (mereka mengira) tidak diperintah dan tidak dilarang, tidak diberi pahala dan tidak disiksa. Ini merupakan persangkaan yang batil dan menyangka bahwa Allah tidak (mencipta) sesuai dengan hikmah. (Taisir Karimir Rahman, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi rahimahullah) Syaikh Abu Bakar Al Jazaairy rahimahullah menjelaskan : maksudnya (mereka mengira) dibiarkan begitu saja sia-sia tanpa diberi beban syariat di dunia dan tidak dihisab dan diberi balasan di akherat.( Aysarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Al Jazaairy rahimahullah) As Sadi rahimahullah menjelaskan : maksudnya (mereka mengira) manusia tidak akan dibangkitkan. Mujahid, Syafii, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahumullah menjelaskan : maksudnya (mereka mengira) manusia tidak diperintah dan tidak dilarang. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan dari pendapat-pendapat tersebut : Ayat ini mencakup dua keadaan (di dunia dan di akherat). Manusia tidak dibiarkan sia-sia di dunia dengan tidak diperintah dan tidak dilarang. Begitu pula mereka tidak dibiarkan sia-sia di alam kubur. Mereka diberi perintah dan larangan di dunia, dan mereka dikumpulkan (dan dibangkitkan) di hadapan Allah di hari akherat. Yang dimaksud dalam ayat ini penetapan adanya janji Allah sekaligus bantahan bagi orang-orang menyimpang, orang orang yang bodoh, seta para penentang yang mengingkari hal-hal tersebut.( Tafsir Al Quran Al Adzhim, Imam Ibnu Katsir rahimahullah) Dalam ayat lain Allah Taala juga berfirman : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Al Mukminun:115). Dari artikel Kita Tidak Diciptakan Sia-Sia Muslim.Or.Id by null Saudaraku ... Inilah Tujuan Engkau Hidup Di Dunia Ini Allah Taala sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Quran apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka lembaran-lembaran Al Quran dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Taala berfirman, Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56) Saudaraku ... Jadi, Allah tidaklah membiarkan kita begitu saja. Bukanlah Allah hanya memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan hanya dengan tujuan seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada tujuan besar di balik itu semua yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya. Allah Taala berfirman, Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS. Al Muminun: 115). Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan, Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya[?] (Madaarijus Salikin, 1/98) Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Taala berfirman, Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS. Al Qiyamah: 36).

Imam Asy Syafii mengatakan,

(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?. Ulama lainnya mengatakan, (Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan? (Lihat Madaarijus Salikin, 1/98) Bukan Berarti Allah Butuh pada Kita, Justru Kita yang Butuh Beribdah pada Allah Saudaraku, setelah kita mengetahui tujuan hidup kita di dunia ini, perlu diketahui pula bahwa jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, bukan berarti Allah butuh pada kita. Sesungguhnya Allah tidak menghendaki sedikit pun rezeki dari makhluk-Nya dan Dia pula tidak menghendaki agar hamba memberi makan pada-Nya. Allah lah yang Maha Pemberi Rizki. Perhatikan ayat selanjutnya, kelanjutan surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Taala berfirman, ) 75( )75( Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. Adz Dzariyat: 57-58) Jadi, justru kita yang butuh pada Allah. Justru kita yang butuh melakukan ibadah kepada-Nya. Saudaraku ... Semoga kita dapat memperhatikan perkataan yang sangat indah dari ulama Robbani, Ibnul Qoyyim rahimahullah tatkala beliau menjelaskan surat Adz Dzariyaat ayat 56-57. Beliau rahimahullah mengatakan,Dalam ayat tersebut Allah Taala mengabarkan bahwa Dia tidaklah menciptakan jin dan manusia karena butuh pada mereka, bukan untuk mendapatkan keuntungan dari makhluk tersebut. Akan tetapi, Allah Taala Allah menciptakan mereka justru dalam rangka berderma dan berbuat baik pada mereka, yaitu supaya mereka beribadah kepada Allah, lalu mereka pun nantinya akan mendapatkan keuntungan. Semua keuntungan pun akan kembali kepada mereka. Hal ini sama halnya dengan perkataan seseorang, Jika engkau berbuat baik, maka semua kebaikan tersebut akan kembali padamu. Jadi, barangsiapa melakukan amalan sholeh, maka itu akan kembali untuk dirinya sendiri. (Thoriqul Hijrotain, hal. 222) Jelaslah bahwa sebenarnya kita lah yang butuh pada ibadah kepada-Nya karena balasan dari ibadah tersebut akan kembali lagi kepada kita. Apa Makna Ibadah? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Dalam ibadah itu terkandung mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Allah. Bahkan dalam ibadah terkandung segala yang Allah cintai dan ridhoi. Titik sentral dan yang paling urgent dalam segala yang ada adalah di hati yaitu berupa keimanan, mengenal dan mencintai Allah, takut dan bertaubat pada-Nya, bertawakkal pada-Nya, serta ridho terhadap hukum-Nya. Di antara bentuk ibadah adalah shalat, dzikir, doa, dan membaca Al Quran. (Majmu Al Fatawa, 32/232) Tidak Semua Makhluk Merealisasikan Tujuan Penciptaan Ini Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam. Pertama adalah irodah diniyyah, yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan sholeh. Namun orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, namun amalannya dicintai dan diridhoi. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisir. Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, namun Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridhoi. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridhoi kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56, Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat: 56)

Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al Fatawa, 8/189) Dengan Tauhid dan Kecintaan pada-Nya, Kebahagiaan dan Keselamatan akan Diraih Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepadaNya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah). Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata. (Miftaah Daaris Saaadah, 2/120) Kami memohon kepada Allah, agar menunjuki kita sekalian dan seluruh kaum muslimin kepada perkataan dan amalan yang Dia cintai dan ridhoi. Tidak ada daya untuk melakukan ketaatan dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan yang haram melainkan dengan pertolongan Allah. . Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.rumaysho.com http://muslim.or.id/aqidah/kita-tidak-diciptakan-sia-sia.html ~ ### ~ KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU (AGAMA) I. Pendahuluan Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Dalam Al Quran, Allah SWT berfirman: Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. (QS. Az Zumar (39) : 9). Allah SWT menolak menyamakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, sebagaimana Allah menolak menyamakan keburukan dengan kebaikan, orang buta dengan orang melihat, cahaya dengan kegelapan, naungan dengan hawa panas, penghuni neraka dengan penghuni surga, orang-orang beriman dengan orang-orang kafir dan orang-orang bertaqwa dengan orang-orang berdosa. Hal ini menunjukkan, bahwa kedudukan orang berilmu terhadap orang bodoh adalah seperti kedudukan cahaya terhadap kegelapan. II. Keutamaan Ilmu Ayat yang pertama kali diturunkan Allah Taala dalam Al Quran adalah surat Al Alaq : 1-5. Di dalamnya Allah Taala menyebutkan apa saja yang telah Dia anugerahkan kepada manusia seperti nikmat pengajaran apa yang tidak mereka ketahui, Allah Taala menyebutkan di dalamnya karunia-Nya yaitu pengajaran-Nya, dan mengutamakan manusia dengan pengajaran yang Dia berikan kepada mereka. Ini menjadi bukti kemuliaan ilmu dan pengajaran. Sesungguhnya manusia itu berbeda dari semua binatang yang ada dengan ilmu, akal dan pemahaman yang diberikan secara khusus kepadanya. Jika ia tidak mempunyai ilmu, akal dan pemahaman, maka yang tersisa padanya adalah kesamaan antara dirinya dengan seluruh binatang, yaitu sifat kebinatangan. Terhadap orang seperti itu, manusia tidak malu kepadanya dan tidak berhenti dari kejahatannya kendati orang tersebut ada di tengah-tengah mereka dan melihat mereka. Allah SWT menampakkan keutamaan Adam as. daripada malaikat adalah karena ilmu, sehingga Allah menyuruh para malaikat agar sujud kepada Adam as. Keutamaan ilmu yang paling nyata adalah bahwa ilmu merupakan sarana untuk bertaqwa kepada Allah, dimana dengan taqwa manusia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah

yaitu surga kebahagiaan abadi. Abu Musa ra. berkata: Bersabda Nabi SAW: Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada saya bagaikan hujan yang turun ke tanah, maka sebagian ada yang subur (baik) dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan serta rumpun yang banyak sekali. Dan ada pula tanah yang keras menahan air, hingga berguna untuk minuman dan penyiram kebun tanaman; dan ada beberapa tanah hanya keras-kering tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh orang pandai di dalam agama Allah dan mempergunakan apa yang diberikan Allah kepadaku lalu mengajar, dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang telah ditugaskan kepadaku. (HR. Bukhari Muslim) III. Klasifikasi Ilmu 1. Ilmu yang diwajibkan untuk setiap Individu (Fardhu Ain) a. Ilmu pengetahuan tentang prinsip keimanan: Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhir, Qodo dan Qodhar. b. Ilmu pengetahuan tentang syariat-syariat Islam: Wudhu, Sholat, Zakat, Puasa, Haji. c. Ilmu pengetahuan tentang hal yang diharamkan/dihalalkan: Babi, Riba, Judi, Bangkai, Darah. d. Ilmu tentang kemasyarakatan: perdagangan, Pemerintahan, Administrasi Niaga. 2. Ilmu yang diwajibkan untuk Kelompok (Fardhu Kifayah) Jika ada satu atau beberapa orang dari kelompok jamaah telah memiliki ilmu dan melaksanakannya, maka yang lainnya tidak lagi dituntut untuk melaksanakannya. Namun jika tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu tersebut dan tidak melaksanakannya, maka semua orang berdosa, terutama pemimpin mereka (ulil amri), contoh: ilmu kedokteran, ilmu kebidanan, ilmu jenazah, ilmu falak, ilmu komputer dan perkembangannya, dll. 3. Ilmu yang Tercela Dikatakan tercela karena ilmu itu membawa kemudharatan bagi orang itu sendiri atau orang lain, contoh: ilmu tenung, sihir, santet, pelet, paranormal, peramal, dll. KEUTAMAAN Allah Taala berfirman, Allah akan meninggikan orangorang beriman diantara kamu yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat (QS Al Mujadalah 11) Sesungguhnya orang orang yang takut kepada Allah diantara hambahambaNya adalah orang orang yang berilmu (ulama) (QS Faathir 28) Katakanlah, Adakah sama orangorang yang mengetahui dengan orangorang yang tidak mengetahui (QS. Az Zumar : 9) Rasulullah ShallallaHu alaiHi wa sallam bersabda, Thalabul ilmi fariidhatun alaa kulli muslimin yang artinya Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiih Jaamiush Shaghir no. 3809) Hadits yang mulia ini menjelaskan dengan tegas kewajiban menuntut ilmu agama bagi setiap muslim yang telah baligh dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa ilmu agama itu hanya bisa didapatkan dengan cara belajar/at talim, diterangkan pula pada hadits berikut, DariAbu Hurairah, Rasulullah ShallallaHu alaiHi wa sallam bersabda, Innamaal ilmu bit taalum wal hilmu bit tahallum yang artinya Hanyalah ilmu itu didapatkan dengan cara mempelajarinya dan hanyalah sikap bijak itu diperoleh dengan cara usaha untuk

bersikap bijak (HR. al Khathib di dalam at Tarikh IX/127, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash Shahiihah no. 342) Serta menuntut ilmu agama merupakan salah satu sarana kemudahan untuk mencapai surga sebagaimana Rasulullah ShalallaHu alaiHi wa sallam sabdakan dari Abu Hurairah, Wa man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ilman sahhalallahu lahuu thariiqan ilal jannah yang artinya Dan barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga (HR. Muslim) Dijelaskan juga melalui sebuah hadits yang mulia bahwa orang orang yang menuntut ilmu agama kemudian ia memahaminya secara baik, maka mereka itulah orang orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Taala. Dari Muawiyah, Rasulullah ShalallaHu alaiHi wa sallam bersabda, Man yuridillahi bihi khairan yufaqqihu fiddin yang artinya Barangsiapa dikehendaki oleh Allah menjadi baik, maka Dia memberikan kefahaman pada masalah agama (HR. al Bukhari dan Muslim) Pada hadits lain dari Abu Darda, Rasulullah ShalallaHu alaiHi wa sallam bersabda, Sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayapnya kepada pencari ilmu sebagai keridhaan atas apa yang ia perbuat, dan sesungguhnya penghuni langit dan bumi sampai ikan ikan di laut pun akan memintakan ampun bagi seorang yang berilmu (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan). Lalu apa perbedaan orang yang berilmu dan ahli ibadah ?, Rasulullah ShalallaHu alaiHi wa sallam bersabda, Dan keutamaan seseorang yang berilmu atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas semua bintang bintang dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi, dan sesungguhnya nabi tidak mewariskan dinar, tidak juga dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambilnya berarti ia mendapatkan bagian yang banyak (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan) Ada suatu kaidah besar di dalam agama Islam yaitu berilmu terlebih dahulu sebelum berkata dan beramal, sebagaimana Imam al Bukhari memberikan bab tersendiri tentang kewajiban menuntut ilmu dalam Kitab Shahihnya yaitu Bab Ilmu lebih dahulu sebelum perkataan dan perbuatan. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala, Maka ketahuilah sesungguhnya tidak ada satu pun Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah (QS. Muhammad : 19) Al Hafizh Ibnu Hajar dalam menafsirkan kaidah di atas mengatakan, Berkata Ibnul Munir, Yang menjadi perkataan di atas ialah bahwa ilmu menjadi syarat sahnya perkataan dan perbuatan. Maka tidaklah dianggap keduanya itu kecuali dengan ilmu. Maka ilmu itu didahulukan dari keduanya. Karena sesungguhnya ilmu itu yang mensahkan niat (yang niat itu sendiri) mensahkan amal (Fathul Baari Kitabul Ilmi bab 10) Sufyan bin Uyainah rahimahullah, seorang tabiin besar, juga berkata setelah membaca ayat tersebut,

Tidakkah engkau mendengar sesungguhnya Dia memulai dengan ilmu, Dia berfirman, Ketahuilah, kemudian setelah itu Dia memerintahkannya beramal (HR. Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliyaa juz 7 hal. 305) Bahkan Allah Taala melarang dengan tegas berbicara tanpa ilmu, firman-Nya, Dan janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. (Karena) sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati semuanya akan ditanya (QS. Al Israa : 36) Berkata Imam Syaukani, Sesungguhnya ayat ayat ini menunjukkan atas tidak bolehnya beramal tanpa ilmu (Fathul Qadir juz 3 hal. 227-228) Karena itulah ahli ilmu atau ulama di dalam Islam menempati posisi yang mulia sebagaimana yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, Kecintaan kepada ulama adalah agama (Al Faqih wal Mutafaqqih 1/182 oleh Al Khatib) Dan jika ilmu datang dari ulamaulama yang sudah tua maka umat berada dalam kebaikan. Ibnu Masud berkata, Sesungguhnya kalian selalu dalam kebaikan selama ilmu berada pada orang orang yang tua dari kalian. Jika ilmu berada pada yang muda dari kalian, maka yang muda akan membodohkan yang tua (Az Zuhd 815 oleh Abdullah bin Mubarak). Umar bin Khaththab juga berkata, Kerusakan agama adalah jika ilmu datang dari orang yang muda, karena dia akan ditentang oleh yang tua, dan kebaikan manusia jika ilmu datang dari yang tua karena ia akan diikuti oleh yang muda (Jami Bayanil Ilmi 1055 dengan sanad yang hasan) Maka para ulama yang sudah tua wajib dicintai lahir dan batin, dan layak dimintai fatwa tentang perkaraperkara yang insidental dan masalahmasalah yang sifatnya umum. Namun ulama yang sudah tua pun memiliki kriteria yang khusus, Imam Ahmad berkata, Kalau bukan ahli hadits maka aku tidak tahu lagi siapa mereka , Al Qadhy Iyadh berkata mengomentari perkataan Imam Ahmad ini, Ahmad memaksudkan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan orang yang menyakini madzab ahlul hadits (Syarh Nawawi 13/67) Ulama itu adalah ahli hadits (dalam pengertian yang khusus), para ulama rabbaniyyin, para pemuka jamaah yang mana kita selalu diperintahkan untuk berpegang teguh dengannya dan kita diperingatkan agar tidak berpisah dengan mereka. Dan merekalah ulama yang dikenal dengan ketegaran dan kekokohan langkah mereka di atas gelombang syubhat dan fitnah. Akhirnya hendaklah kita selalu berdoa kepada Allah Taala agar Dia memberikan dan menganugerahkan kita ilmu yang bermanfaat yang mana dengan ilmu yang bermanfaat itu kita diberikan keselamatan dan kemudahan dalam menjalani kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. AllaHumma innii as-aluka ilman naafian wa rizqan thayyiban wa amalan mutaqabbalan yang artinya Ya Allah, aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat dan rizki yang baik serta amalan yang diterima (HR. Ibnu Majah) ~ ### ~

ISLAM, IMAN DAN IHSAN Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syariat, Marifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan marifat sudah tidak lagi terbebani aturan syariat; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam? Islam Mencakup 3 Tingkatan Rosululloh shollallahu alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Maka Umar menjawab, Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu. Nabi pun bersabda, Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian. (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Taliq Syarah Arbain hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan. Tingkatan Islam Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Taliq Syarah Arbain hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalanamalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Tingkatan Iman Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho dan qodar; yang baik maupun yang buruk. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Taala, Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian. (Al Maidah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman (Taliq Syarah Arbain hlm. 17). Tingkatan Ihsan Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu. (Taliq Syarah Arbain hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin. Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mumin yang lain, dan orang yang mumin itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain (At Tauhid li shoffil awwal al aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63) Muslim, Mumin dan Muhsin Oleh karena itulah para ulama muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mumin pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mumin, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mumin dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Taala telah berfirman, Orang-orang Arab Badui itu mengatakan Kami telah beriman. Katakanlah Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: Kami telah berislam. (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64) Kesimpulan Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syariat, Marifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabiin maupun tabiut tabiin; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syari adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Taala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak. (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mumin. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Marifat untuk meninggalkan syariat. Wallohu alam. Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Dari artikel Islam, Iman dan Ihsan Muslim.Or.Id by null ~ ### ~ OBAT HATI Obat Penyakit Hati dan Sempitnya Dada Saudaraku, berikut kami nukilkan beberapa sebab dan sarana pengobatan yang sangat bermanfaat bagi berbagai penyakit hati, sekaligus penyembuh yang sangat ampuh untuk menghilangkan kegoncangan jiwa. Semoga kita bisa mengamalkannya secara jujur dan penuh keikhlasan sehingga kita bisa mendapatkan manfaat darinya berupa kebahagiaan hidup dan ketenangan hati. Aamiin.. 1. Mengikuti petunjuk, memurnikan tauhid, dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja, sebagaimana kesesatan dan syirik itu merupakan faktor terbesar bagi sempitnya dada. 2. Menjaga iman yang Allah sematkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya dan juga amal shalih yang dilakukan seseorang. 3. Mencari ilmu syari yag bermanfaat. Setiap ilmu syari seseorang bertambah luas, maka akan semakin lapang pula hatinya. 4. Bertaubat dan kembali melakukan ketaatan kepada Allah yang Maha Suci, mencintai-Nya dengan sepenuh hati, serta menghadapkan diri kepada-Nya dan menikmati ibadah kepada-Nya.

5. Terus menerus berdzikir kepada-Nya dalam segala kondisi dan tempat. Sebab dzikir mempunyai pengaruh yang sangat menakjubkan dalam melapangkan dan meluaskan dada, menenangkan hati, serta menghilangkan kebimbangan dan kedukaan. 6. Berbuat baik kepada sesama makhluk sebisa mungkin. Sebab, seseorang yang murah hati lagi baik adalah manusia yang paling lapang dadanya, paling baik jiwanya dan paling bahagia hatinya. 7. Mengeluarkan berbagai kotoran hati dari berbagai sifat tercela yang menyebabkan hatinya menjadi sempit dan tersiksa, seperti dengki, kebencian, iri, permusuhan, dan kedhaliman. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shalallahualaihi wasalam pernah ditanya tentang sebaik-baik manusia, maka beliaupun menjawab, Setiap orang yang bersih hatinya dan selalu benar atau jujur lisannya. Kemudian mereka para sahabat berkata, mengenai jujur atau benar lisannya,kami sudah mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya ? Beliau menjawab, yaitu seseorang yang bertakwa dan bersih, yang tidak terdapat dosa pada dirinya, tidak dholim, tidak iri, dan juga tidak dengki. [1] 8. Keberanian dalam membela kebenaran. Orang yang berani mempunyai dada yang lebih lapang dan hati yang lebih luas. 9. Meninggalkan sesuatu yang berlebihan dalam memandang, berbicara, mendengar, bergaul, makan, dan tidur. Meninggalkan hal itu semua merupakan salah satu faktor yang dapat melapangkan dada, menyenangkan hati, dan menghilangkan keduakaan dan kesedihan. 10. Menyibukkan diri dengan amal atau ilmu syari yang bemanfaat karena hal tersebut dapat menghindarkan hati dari hal-hal yang menimbulkan keraguan hati. 11. Memperhatikan kegiatan hari ini dan tidak perlu khawatir terhadap masa yang akan datang serta tidak sedih terhadap keadaan yang terjadi pada masa-masa lalu. Seorang hamba harus selalu berusaha dengan sungguh-sungguh dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, baik dalam hal agama maupun dunia. Juga memohon kesuksesan kepada Rabb-Nya dalam mencapai maksud dan tujuan serta memohon agar Dia membantunya dalam mencapai tujuan tersebut. Ini akan dapat menghibur dari keduakaan dan kesedihan. 12. Melihat kepada orang yang ada di bawah dan jangan melihat kepada orang yang ada di atas dalam afiat (kesehatan dan keselamatan) dan rizki serta kenikmatan dunia lainnya. 13. Melupakan hal-hal tidak menyenangkan yang telah terjadi pada masa lalu, sehingga tidak larut memikirkannya. 14. Jika tertimpa musibah maka hendaknya berusaha meringankan agar dampak buruknya bisa dihindari, serta berusaha keras untuk mencegahnya sesuai dengan kemampuannya. 15. Menjaga kekuatan hati, tidak mudah tergoda serta tidak terpengaruh angan-angan yang ditimbulkan oleh pemikiran-pemikiran buruk, menahan marah, serta tidak mengkhawatirkan hilangnya hal-hal yang disukai. Tetapi menyerahkan semuanya hanya kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, serta memohon ampunan dan afiat kepada Allah. 16. Menyandarkan hati hanya kepada Allah seraya bertawakal kepada-Nya. Berhusnudzan kepada Allah, Rabb Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sebab, orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan dipengaruhi oleh kebimbangan dan keraguan. 17. Seseorang yang berakal menegetahui bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang bahagia dan tenang. Karena kehidupan itu singkat sekali, karena itu, jangan dipersingkat lagi dengan adanya berbagai kesedihan dan memperbanyak keluhan. Karena justru hal itu bertolak belakang dengan kehidupan yang benar dan sehat. 18. Jika tertimpa suatu hal yang tidak menyenangkan hendaknya ia membandingkannya dengan berbagai kenikmatan yang telah dilimpahkan kepadanya, baik berupa agama maupun duniawi. Ketika orang itu membandingkannya maka akan tampak jelas kenikmatan yang diperolehnya jauh lebih banyak dibandingkan musibah yang dia alami. Disamping itu, perlu kiranya ia membandingkan antara terjadinya bahaya di masa depan yang ditakutkan dengan banyaknya kemungkinana keselamatan. Karena kemungkinan yang lemah tidak mungkin mengalahkan kemungkinan yang lebih banyak dan kuat. Dengan demikian akan hilanglah rasa sedih dan takutnya.

19. Mengetahui bahwa gangguan dari orang lain tidak akan memberikan mudharat atau bahaya kepadanya, khususnya yang berupa ucapan buruk, tatapi hal itu justru akan memberikan mudharat kepada diri mereka sendiri. Hal itu tidak perlu dimasukkan ke dalam hati dan tidak perlu dipikirkan, sehingga tidak akan membahayakannya. 20. Mengarahkan pikirannya terhadap hal-hal yang membawa manfaat bagi dirinya, baik dalam urusan agama maupun dunia. 21. Hendaklah dia tidak menuntut terima kasih atas kebaikan yang dilakukannya, kecuali mengharapkan balasan dari Allah. Dan hendaklah dia mengetahui bahwa amal yang dia lakukan, pada hakekatnya merupakan muamalah (jalinan) dengan Allah, sehingga tidak mempedulikan terima kasih dari orang terhadap apa yang dia berikan kepadanya. Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih. (QS. Al-Insan:9) 22. Memperhatikan hal-hal yang bermanfaat dan berusaha untuk dapat merealisasikannya, serta tidak memperhatikan hal-hal yang buruk baginya, sehingga otak dan pikirannya tidak disibukkan olehnya. 23. Berkonsentrasi pada aktivitas yang ada sekarang dan menyisihkan aktivitas yang akan datang, sehingga aktivitas yang akan datang kelak dikerjakan secara maksimal dan sepenuh hati. 24. Memilih dan berkonsentrasi pada aktivitas yang bermanfaat, dengan mengutamakan yang lebih penting. Hendaklah ia memohon pertolongan pada Allah, kemudian meminta pertimbangan orang lain, dan jika pilihan itu telah sesuai dengan kemantapan hatinya, maka silahkan diamalkan dengan penuh tawakal pada Allah. 25. Menyebut-nyebut nikmat Allah dengan memujinya, baik yang dhahir maupun yang batin. Sebab, dengan menyadari dan menyebut-nyebut nikmat Allah, maka Dia akan menghindarkan dirinya dari kebimbangan dan kesusahan. 26. Hendaklah bergaul dan memperlakukan pasangan (suami maupun istri) dan kaum kerabat serta semua orang yang mempunyai hubungan secara baik . jika menemukan suatu aib, maka jangan disebarluaskan, tetapi lihat pula kebaikan yang ada padanya. Dengan cara ini, persahabatan dan hubungan akan terus terjalin dengan baik dan hati akan semakin lapang. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah bersabda, Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci mukmin perempuan (istri) seandainya dia membenci suatu akhlaknya, maka dia pasti meridhai sebagian lainnya. (HR. Muslim) 27. Doa memohon perbaikan semua hal dan urusan. Dan doa paling agung berkenaan dengan hal itu adalah : Allahumma ashlihlii diinii lladzii huwa ishmatu amrii, wa ashlihlii dunyaya llatii fiihaa maasyii, wa ashlihlii akhirotii llatii fiihaa maadii, wajalilhayaata ziyaadatan lii fii kulli khair, wajalil mauta raahatan lii min kulli syarr. (HR. Muslim) Ya Allah perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini penambah kebaikan bagiku dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejelekan. Demikian juga dengan doa berikut ini : Allahumma rahmataka arjuu falaa takilnii ilaa nafsii thorfataainin wa ashlihlii syanii kullahu, laa ilaha illa anta. Ya Allah hanya rahmatMu aku berharap mendapatkannya. karena itu, jangan Engkau biarkan diriku sekejap mata (tanpa pertolongan atau rahmat dariMu). Perbaikilah seluruh urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau 28. Jihad di jalan Allah. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah shalallualaihi wassalam, Berjihadlah di jalan Allah, karena jihad di jalan Allah merupakan pintu dari pintu-pintu surga, yang dengannya Allah menyelamatkan dari kedukaan dan kesedihan.

Sumber : Doa dan Wirid, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, Pustaka Imam Syafii. Artikel Muslimah.or.Id [1] Lafal hadits tersebut berbunyi, : : Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bersih hatinya dan selalu benar atau jujur lisannya. Kemudian mereka para sahabat berkata, mengenai jujur atau benar lisannya, kami sudah mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya? Beliau menjawab, Yaitu seseorang yang bertakwa dan bersih, yang tidak terdapat dosa pada dirinya, tidak dholim, tidak iri, dan juga tidak dengki. HR. Ibnu Majah 4216 dan Ibnu Asakir (17/29/2). Syaikh Albani berkata, Hadits ini memiliki sanad yang shahih dan rijal yang tsiqat (terpercaya). (As-Silsilah Ash-Shaihah no.948, Maktabah Asy-Syamilah-red) ~ ### ~ SPIRITUALITAS TENAGA MEDIS MUSLIM (SISI LAIN PENGABDIAN TENAGA KESEHATAN) Ini ada sedikit pengantar dari saudara kita di FK Univ.Brawijaya,, Tafadhol direnungkan dan dikembangkan.. *Nervus Vagus adalah nervus ke 10 syaraf cranial yang berarti pengembara. Nervus ini terdiri dari syaraf sensorik dan motorik, mengembara dan singgah di Fossa Jugular bercabang meningeal dan auricular, Mampir di leher bercabang menjadi pharyngeal, laryngeal superior, laryngeal recurrent, Cardiac Superior tidak lupa masuk ke thorak dan bercabang lagi menjadi cardiac inferior, bronchial anterior, bronchial posterior, esophageal lantas melanjutkan menggembara ke abdomen bercabang menjadi ramus gastricus, celiac, hepatic.. Selalu memberikan warna dalam setiap persinggahannya. Layaknya tenaga kesehatan dengan perjalanan hidup yang panjang. Tenaga Kesehatan sebuah profesi yang telah kita pilih di dunia ini, kenapa? Dan untuk apa? Ketika kita menjadi mahasiswa kedokteran. Awalnya betapa senangnya ketika kita tahu, bahwa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya telah memilih kita sebagai mahasiswanya. Rasa bangga bercampur semangat yang membara berkecambuk dalam diri kita. Kita disibukkan dengan menghafal, menghafal, dan menghafal. IP menjadi sebuah orientasi bagi kita. Apalagi kalau kita memikirkan IP yang menjadi tuntutan orang tua kita. Bingung memikirkan apakah kita mampu jadi tenaga kesehatan yang hebat? Belum lagi memikirkan biaya SPP bulanan yang tak henti-hentinya membebani orang tua? Masih sempatkah kita memikirkan agama ini? Masih adakah waktu untuk mambaca ayat ayat Al-Quran? Siapakah yang adzan subuh ini? Masih sempatkah mengurus masjid, sejadah? Adakah yang merelakan waktu untuk membina adik- adik kita ? Setelah kita lulus sebagai tenaga kesehatan dengan ijazah di tangan dan masa depan yang menanti, kita lagi lagi dibingungkan untuk melakukan apa? Terjeratlah kita dalam rutinitas tenaga kesehatan. Memikirkan bagaimana bisa mencari uang sebanyak banyaknya untuk mengganti biaya kuliah yang sudah keluar. Belum lagi mencari pendamping hidup, kita dijenuhkan dengan kondisi keuangan yang belum mapan. Masih sempatkah kita mengunjungi tetangga yang hidup dalam kemelaratan? Masih ingatkah kita dengan nasib pasien- pasien yang menyedihkan? Adakah celah waktu disela-sela rutinitas untuk mengabdi pada masyarakat? Inikah yang kita cari? sebuah akhir dari cerita tenaga kesehatan dalam egosentris. Hanya memikirkan dirinya, lupa untuk apa Tuhan mencipatkannya? Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu (QS : 51 : 56)

Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.(QS : 22 : 77) Dan katakanlah : bekerjalah kamu, maka Allah dan rasulNya serta orang-orang mu`min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS : 9 : 105) Berbicara tentang karakter tenaga kesehatan, maka tidak dapat kita pisahkan dengan karakter seorang muslim pada umumnya. Ingatlah kawan, kita adalah seorang muslim yang kebetulan menjadi tenaga kesehatan, bukanlah tenaga kesehatan yang kebetulan muslim. Allah telah menjelaskan tugas kita sebagai seorang muslim dalam Al-Maidah ayat 54 dan Al-Mukmin ayat 16. Profesi kita juga menuntut kita untuk akan tanggung jawab sebagai tenaga kesehatan, sesuai dalam Al-Maidah ayat 32. Di bumi Allah ini selalu ada kesempatan untuk mengabdi, dimanapun, kapanpun, untuk siapapun. Hal itu ditentukan dari apakah kita mau mengambil kesempatan itu. Allah memberikan kita sebuah tawaran dalam QS. As-Shaf ayat 10 dan 11. Wahai orang orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Ash-Shaf 10) (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rosulya dan berjihad dijalan Allah dengan harta danjiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui. (Ash-Shaf 11) Profesi tenaga kesehatan adalah sebuah kesempatan besar untuk menerima tantangan Allah, sangat dekat dengan manusia, mudah menelusup diketiak nelayan nelayan kumuh, mudah menyentuh kaki pengemis, mudah mengayun ayun bayi di posyandu, seperti nervus vagus mengembara di tubuh manusia, memberikan warna, dan memberika pengabdian untuk kebaikan. Gamal *afwan, sedikit menggunakan istilah kedokteran

You might also like