You are on page 1of 51

1

SKRIPSI
Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar

Diajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan Pendidikan S1 Keperawatan pada Pogram studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin OLEH : ST.SYAHRIYANI C1 21 08 551

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

ABSTRAK
St.Syahriyani, Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perub ahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar 2009 dibimbing oleh Yuliana Syam dan Tuti Seniawati (vii + 43 halaman + 7 lampiran). Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan pengobatan (Smeltzer, 2001).Teknik relaksasi merupakan metode yang dapat dilakukan terutama pada pasien yang mengalami nyeri, merupakan latihan pernafasan yang menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri, ansietas dan ketegangan otot. Dari hasil survey sementara yang dilakukan oleh peneliti Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar, umumnya perawat tidak melakukan teknik relaksasi pada pasien yang mengalami nyeri khususnya pasien post operasi apendiktomi karena perawat hanya melaksanakan instruksi dokter berupa pemberian analgetik. Sehingga pasien masih mengalami gangguan rasa nyaman nyeri pada saat reaksi analgetik telah hilang. Penelitian ini bertujuan diketahuinya pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi. Dengan desain penelitian adalah pra eksperimen (One group pre and post test design). Populasi penelitian ini berjumlah 31 orang dan sampel diambil dengan teknik Accidental sampling dengan jumlah sampel 15 penderita. Data yang diambil berupa data sekunder dan data primer dengan instrument penelitian adalah lembar observasasi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan Intensitas nyeri responden sebelum pemberian teknik sebelum pemberian teknik relaksasi yang nyeri ringan 3 orang (20,00%), nyeri sedang 8 orang (53,33%) dan nyeri berat 4 orang (26,67%). Dan Setelah diberi teknik relaksasi terjadi perubahan intensitas nyeri yaitu dari nyeri sedang ke nyeri ringan sebanyak 7 orang (46,67%) dan dari nyeri berat ke nyeri sedang sebanyak 2 orang (13,33%). Hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan nilai p = 0,003 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan ada pengaruh pemberian teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi di ruang perawatan bedah RSU TK II Pelamonia Makassar. Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan Pemberian teknik relaksasi berpengaruh terhadap perubahan intensitas nyeri post operasi apendiktomi. Untuk itu peneliti menyarankan agar perawat yang bertugas di RSU TK II Pelamonia Khususnya di Ruang Perawatan Bedah untuk melaksanakan teknik relaksasi dalam mengatasi nyeri. Kata Kunci : Teknik relaksasi, intensitas nyeri, post operasi apendiktomi Daftar Pustaka : 14 (1995-2009)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN .... ii ABSTRAK....... iii KATA PENGANTAR............................................................................................ iv DAFTAR ISI....... v DAFTAR TABEL....... vii DAFTAR LAMPIRAN.............. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Rumusan Masalah......... C. Tujuan Penelitian ................. D. Manfaat Penelitian .... BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang intensitas nyeri .................. B. Tinjauan Umum tentang teknik relaksasi ....... C. Tinjauan umum tentang apendisitis............ ................................. D. Pengaruh Teknik relaksasi terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi .......................................... BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN A. Kerangka Konsep Penelitian . B. Hipotesis Penelitian .................................................................... BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian B. Tempat dan Waktu Penelitian.................................. C. Populasi dan Sampel ... D. Alur Penelitian ........................................................................... 28 28 28 30 24 26 27 7 17 19 5 5 6

E. Variabel pemikiran ........................... F. Defenisi operasionel dan kriteria obyektif.................................. G. Instrumen penelitian ................................................................... H. Pengolahan dan Analisis Data ....................................... I. Etika Penelitian .......................................................................... BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Hasil Penelitian ............................ .................................... B. Pembahasan. C. Keterbatasan Penelitian...............................................................

31 31 32 32 33

34 36 41

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan....... B. Saran..... 42 42

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Untuk mengimbangi pesatnya perkembangan IPTEK dibidang kesehatan serta tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin tinggi menuntut upaya penyelenggaran kesehatan yang lebih bermutu. Profesi keperawatan diupayakan untuk memenuhi pelayanan kearah kesatuan upaya peningkatan (promotive), pencegahan (preventive), penyembuhan (curative), dan pemulihan

(rehabilitative) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Menanggapi hal itu, proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan equilibrium fisiologi pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien dalam kembali kefungsi optimalnya dengan cepat, aman dan senyaman mungkin (Smeltzer, 2001). Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Nyeri bersifat subyektif dan tidak ada individu yang mengalami nyeri yang sama. Untuk itu perawat perlu mencari pendekatan yang paling efektif dalam upaya pengontrolan nyeri (Potter, 2005). Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa

pemeriksaan

diagnostik,

pembedahan

dan

pengobatan.

Nyeri

sangat

mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2001). Salah satu ketakutan terbesar klien bedah adalah nyeri, padahal nyeri setelah pembedahan adalah hal yang normal. Untuk itu perawat perlu memberikan informasi pada klien dan keluarga klien tentang terapi yang tersedia untuk menghilangkan nyeri diantaranya latihan relaksasi. Klien harus mengetahui lamanya waktu yang diperlukan obat untuk bekerja dan seringkali tidak semua rasa tidak nyaman tersebut bisa hilang sama sekali dengan menggunakan obat analgetik (Potter, 2005). Banyak klien bedah yang sering menghindarkan minum obat penghilang rasa nyeri karena takut menjadi ketergantungan. Namun sebagian besar dosis obat dan interval yang dibutuhkan antara waktu pemberianya tidak cukup besar sehingga dapat menimbulkan ketergantungan. Untuk itu perawat harus mendorong klien menggunakan analgetik seseuai dengan kebutuhan (Potter, 2005). Penatalaksanaan nyeri post operasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara farmakologis dan non farmakaologis. Menangani nyeri secara farmakologis dilakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. Sedangakan tindakan non farmakologis salah satunya adalah dengan memberikan teknik relaksasi pada pasien post operasi ( Smeltzer, 2001). Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu,

banyak aktivitas keperawatan nonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya

mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan-tindakan tersebut merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit (Smeltzer, 2002). Teknik relaksasi merupakan metode yang dapat dilakukan terutama pada pasien yang mengalami nyeri, merupakan latihan pernafasan yang menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri, ansietas dan ketegangan otot. Teknik relaksasi perlu diajarkan bebarapa kali agar mencapai hasil yang optimal dan perlunya instruksi menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri. Penelitian Tunner dan Jansen (1993), Almatsier dkk (1992) dalam Smeltzer, (2001), menyimpulkan bahwa relaksasi otot skletal dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri hal ini dibuktikan pada penderita nyeri punggung bahwa teknik relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien pasca operasi. Penelitian Lorenzi, (1991) Miller & Perry,(1990) dalam Smeltzer, (2002), telah menunjukkan bahwa teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri pasca operasi, hal ini terjadi karena relatif kecilnya peran otot-otot skletal dalam nyeri pasca operasi atau kebutuhan pasien untuk melakukan tekhnik relaksasi agar efektif. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Juanda (2006)

setelah

dilakukan

perlakuan

pada kelompok

eksperimen

post

operasi

apendektomi terdapat penurunan tingkat nyeri yang sangat signifikan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan teknik relaksasi yang cukup efektif. Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju dari pada negara berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasarwarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, (Harnawatia, 2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar jumlah pasien yang menderita apendicitis akut dan yang mendapat tindakan apendiktomi yang tahun 2007 sebanyak 293 pasien dan meningkat pada tahun 2008 sebanyak 378 pasien. Selain itu pula apendisitis merupakan kasus terbanyak dari kasus bedah pencernaan lainya. Untuk itu perlunya perhatian khusus baik pada saat pra operasi maupun post operasi apendiksitis terutama dalam hal meminimalkan intensitas nyeri serta komplikasinya. Dari hasil survey sementara yang dilakukan oleh peneliti Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar, umumnya perawat tidak melakukan

teknik relaksasi pada pasien yang mengalami nyeri khususnya pasien post operasi apendiktomi karena perawat hanya melaksanakan instruksi dokter berupa pemberian analgetik. Sehingga pasien masih mengalami gangguan rasa nyaman nyeri pada saat reaksi analgetik telah hilang Mengingat betapa pentingnya pentingnya penatalaksanaan tindakan nonfarmakologis dalam perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar. B. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah ada Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar ? . C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum. Diketahuinya pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar.

10

2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi sebelum teknik relaksasi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar b. Diketahuinya perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi setelah teknik relaksasi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar c. Diketahuinya pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : 1. Bahan masukan kepada pihak RSU TK II Pelamonia Makassar, terutama kepada bidang keperawatan bedah dalam meningkatkan kualitas pelayanan

keperawatan dengan memberikan teknik relaksas untuk perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi. 2. Bahan masukan bagi masyarakat dalam menambah pengetahuan masyarakat tentang pentingnya teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri khususnya pada pasien post operasi apendiktomi. 3. Bahan acuan bagi peneliti peneliti selanjutnya, khususnya Institusi Universitas Hasanuddin Fakultas Kedokteran Jurusan Keperawatan tentang pengaruh tekhnik relaksasi terhadap teknik relaksasi dengan perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi

11

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Umum tentang intensitas nyeri 1. Definisi nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2001). Intensitas nyeri gambaran seberapa parah nyeri ysng dirasakan individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah menggunkan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2006). 2. Klasifikasi Menurut Smeltzer (2001), nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Nyeri akut Nyeri akut biasanya awitannya tiba tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau

12

cedera telah terjadi. Hal ini menarik perhatian pada kenyataan bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadi penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. b. Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tetap dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi signal yang sangat penting bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri kronis biasanya menjadi masalah dengan sendirinya. 3. Mekanisme Neurofisiologik nyeri Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem noniseptik. Sensivitas dari komponen sistem noniseptik dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara

13

individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain. Lebih jauh lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada suatu waktu tetapi tidak pada waktu lain. Sebagai contoh, nyeri akibat artritis kronis dan nyeri pascaoperatif sering terasa lebih parah pada malam hari (Smeltzer, 2002). Salah satu neuromodulator nyeri adalah endorfin (morfin endogen), merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh yang terdapat pada otak, spinal dan traktus gastrointestinal yang memberi efek analgesik, pada saat neuron nyeri perifer mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis antara nyeri perifer dan neuron yang menuju ke otak tempat seharusnya untuk substansi nyeri, pada saat tersebut endorfin akan memblokir lepasnya substansi nyeri tersebut (Tamsuri Anas, 2007). 4. Faktor faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan sensivitas Nyeri. Menurut Smeltzer, (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah : a. Pengalaman masa lalu Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan

berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding dengan orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut

14

individu tersebut terhadap peristiwa yang menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu menerima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannya yang tidak adekuat. Sekali individu mengalami nyeri berat, individu tersebut hanya mengetahui seberapa berat nyeri itu dapat terjadi. Sebaliknya, individu yang tidak pernah mengalami nyeri hebat tidak mempunyai rasa takut terhadap nyeri itu. Cara seseorang berespons terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan bulan atau bertahun tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya dapat menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan cepat dan dengan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri di masa mendatang dan mampu mentoleransi lebih baik.

15

b. Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit untuk memisahkan suatu sensasi. Paice (1991) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian limbik yang diyanikini mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada stabil. Klien yang mengalami cedera atau menderita penyakit kritis, seringkali

mengalami kesulitan dalam mengontrol rasa cemasnya sehingga dapat menimbulkan masalah dalam penetalaksanaan nyeri (Potter, 2005). Meskipun umum diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pasca operatif. Namun ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Sebagai contoh, pasien yang telah mendapatkan pengobatan kanker payudara 2 tahun yang lalu dan sekarang mengalami nyeri pinggang dan merasa takut bahwa nyeri tersebut merupakan indikasi dari metastasis. Dalam kasus ini ansietas dapat meningkatkan peningkatan nyeri. Ansietas

16

yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Sebagai contoh, seorang ibu yang dirawat dengan komplikasi akibat kolisistektomi dan cemas tentang anak anaknya dapat menyerap lebih sedikit nyeri ketika ansietas mengenai anak anaknya meningkat. c. Budaya Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo dan Flaskerut, 1991) Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan nyeri diberbagai kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri (Potter, 2005). Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya etnik mempengaruhi persepsi nyeri (Zatzick dan Dimsdale, 1990). d. Usia Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-nak dan lansia

17

bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Nyeri bukan bagian dari proses penuaan yang tidak dapat dihindari. Pada lansia yang mengalami nyeri, perlunya dilakukan pengkajian,

diagnosis, dan penatalaksanaan secara efektif. Namun, individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat

mereka merasakan nyeri. Karena lansia telah hidup lebih lama , mereka kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami kondisi patologis yang menyertai menyertai (Potter, 2005) Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Cara lansia berespons terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara berespons orang berusia lebih muda. Atau nyeri pada lansia mungkin dialihkan jauh dari tempat cedera atau penyakit. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit (misal, diabetes), tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri. Bila diberikan kesempatan untuk menggunakan sendiri analgesik pascaoperatif, lansia menunjukkan keberhasilan peredaan nyeri dengan dosis opioid yang lebih kecil

18

e. Efek Plasebo Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk tablet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya. Plasebo umumnya terdiri atas gula,larutan salin normal, dan atau air biasa. Karena plasebo tidak memiliki efek farmakologis, obat ini hanya memberikan efek dikeluarkannya produk ilmiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden, sehingga menimbulkan efek penurunan nyeri (Tamsuri, 2006). Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan efek positif. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden. Efek ini merupakan respons fisiologis sejati yang dapat diputar-balik oleh nalokson, suatu antagonis narkotik. 5. Pengukuran Skala Nyeri. Skala nyeri dapat diukur dengan menggunakan cara sebagai berikut :

0 1 Keterangan : 0

10

: Tidak Ada nyeri

1-3 : Nyeri ringan 4-6 : Nyeri sedang

19

7-10 : Nyeri berat (Wasis, 2008 ) a. Nyeri ringan umumnya memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi b. Nyeri sedang atau moderat memiliki karakteristik : Peningkatan frekuensi pernafasan, Peningkatan tekanan darah, Peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil. c. Nyeri berat memiliki karakteristik : Muka pucat, Otot mengeras, Penurunan frekuensi nafas dan tekanan darah, Kelelahan dan keletihan Karakteristik nyeri : 10 Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien. Nilai 9, 8, 7 Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan aktifitas yang bisa dilakukan. Nilai 6 Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk Nilai 5 Nyeri seperti tertekan atau bergerak. Nilai 4 Nyeri seperti kram atau kaku. Nilai 3 Nyeri seperti perih atau mules. Nilai 2 Nyeri seperti meliiti atau terpukul. Nilai 1 Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan Nilai 0 Tidak ada nyeri (Potter,2005) 6. Penilaian skala nyeri secara obyektif Penilaian nyeri secara obyektif (obyektif Tool for Measuremant of pain) diambil dari W. Chambers and Prince (Juanda,2006), dimana terdiri dari sembilan item penilaian yaitu : perhatian, ansietas, verbal, respirasi, suara, nausea, muskuloskletal, ketegangan otot dan ekspresi wajah. Dengan nilai

20

pengukuran 1-9 : tidak ada nyeri, 10-18 : Nyeri ringan, 19-27 :nyeri sedang, 2836 : nyeri berat dan 37-45 : nyeri berat sekali. Untuk penilaian respon pasien terhadap nyeri dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1 Penilaian intensitas nyeri secara obyektif (obyektif Tool for Measuremant of pain)
ITEM

5
Hampir sepenuhnya tertuju pada nyeri, sangat sulit dialihkan Sangat tegang, mudah marah dan hawatir Ada nyeri yang sangat hebat Respirasi sangat jelas Berteriak atau menangis tersedug muntah Sangat gelisah Sangat tegang Bermuka masam

4
Lebih memperh atikan nyeri, agak sulit dialihkan Tegang, mudah marah dan hawatir Ada nyeri hebat Ada respirasi Merintih dengan keras Mengatak an ingin muntah gelisah tegang mengerut

3
Sebagian perhatian pada nyeri, mudah dialihkan Agak tegang, mudah marah dan hawatir Agak nyeri Agak respirasi Merintih dengan lembut Perasaan sakit perut Agak gelisah Agak tegang Agak mengerut

2
Sedikit perhatian pada nyeri, mudah dialihkan Sedikit tegang, mudah marah dan hawatir Sedikit nyeri Sedikit respirasi Mengeluh dengan lembut Merasa mual Sedikit gelisah Sedikit tegang Sedikit mengerut

1
Tidak ada perhatian terhadap nyeri, gampang dialihkan. Tidak tegang, tidak mudah marah dan hawatir Tidak ada nyeri Respirasi normal Berbicara dengan tekanan normal Tidak merasa mual Tenang Relaks Tidak mengerut

PERHATIAN

ANSIETAS

VERBAL

RESPIRASI

SUARA

NAUSEA MUSKOLOS KLETAL KETEGANG AN OTOT EKSPRESI WAJAH

21

B. Tinjauan Umum Tentang Teknik Relaksasi 1. Pengertian Teknik relaksasi adalah suatu tekhnik merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri (Smeltzer, 2001). Teknik relaksasi merupakan metode yang dapat dilakukan terutama pada pasien yang mengalami nyeri kronis, merupakan latihan pernafasan yang menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri, ansietas dan ketegangan otot. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai pembebasan fisik dan mental dari tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri. Kemampuannya dalam melakukan relaksasi fisik dapat menyebabkan relaksasi mental. Relaksasi dapat memberikan efek secara langsung terhadap fungsi tubuh seperti : a. Penurunan tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan. b. Penurunan konsumsi oksigen oleh tubuh. c. Penurunan ketegangan otot. d. Meningkatkan kemampuan konsentrasi . e. Menurunkan perhatian terhadap stimulus lingkungan (Tamsuri, 2006) Teknik relaksasi merupakan tindakan pereda nyeri non invasif, teknik relaksasi yang teratur dapat bermanfaat untuk mengurangi keletihan dan

ketegangan otot yang dapat meningkatkan kualitas nyeri (Smeltzer, 2001) Indikasi dari pemberian teknik relaksasi :

22

a. Teknik relaksasi dapat dilakukan pada pasien yang mengalami stress psikologis (Smeltzer, 2001 : 136). b. Teknik relaksasi efektif dilakukan pada pasien-pasien yang mengalami nyeri kronis ataupun pasca operasi (Smeltzer, 2001 : 233). 2. Teknik Teknik relaksasi sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Ambil posisi senyaman mungkin pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan lahan dan nyaman, irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (Hirup perlahan-lahan, dua, tiga) dan ekshalasi (Hembuskan perlahan-lahan, dua, tiga). Pada saat perawat mengajarkan tekhnik ini, akan sangat membantu bila menghitung bersama dengan pasien pada awalnya (Tamsuri, 2006). Latihan relaksasi meliputi kombinasi latihan pernafasan yang

terkontrol dan latihan kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Klien mulai latihan bernafas dengan berlahan dan menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat berlahan dan dada mengembang penuh ( Potter, 2005). Supaya teknik relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi individu dan kerja sama. Teknik relaksasi diajarkan hanya pada saat klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang akut, hal ini dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasiembuat latihan menjadi

23

tidak efektif. Perawat perlu menjelaskan teknik relaksasi secara rinci dan menjelaskan sensasi umum yang klien alami (nyeri). Perawat bertindak sebagai pelatih, mengarahkan klien dengan berlahan melalui tahap-tahap latihan. Lingkungan harus bebas dari keributan atau stimulus lain yang mengganggu. Klien dapat duduk dikursi yang nyaman atu berbaring ditempat tidur (Potter,2005). Apabila klien merasa terganggu atau menjadi tidak nyaman, maka perawat hendaknya menghentikan latihan terebut. Apabila klien tampak mengalami kesulitan dan mengalami relaksasi hanya pada sebagian tubuh, maka perawat memperlambat kemajuan latihan dan berkonsentrasi pada bagian tubuh tubuh yang tegang. Klien juga harus menmgetahui sejak awal bahwa latihan ini dapat dihentikan setiap waktu. Dengan melakukan latihan, klien dapat dengan segara melakukan latihan dengan mandiri ( Potter, 2005). C. Tinjauan Umum Tentang Apendisitis 1. Pengertian a. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2008). b. Apendisitis adalah peradangan pada verformisis apendiks (Danis Difa, 2003). 2. Penyebab

24

a. Apendisitis terjadi akibat apendiks terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekalit (masa keras dari feses), tumor atau benda asing, dapat juga terjadi akibat infeksi virus, bakteri atau jamur (Smeltzer, 2001). b. Apendiks biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma (Mansjoer, 2008). 3. Klasifikasi Klasifikasi apendisitis terbagi kedalam 3 jenis yaitu : a. Apendisitis akut terbagi atas : apendisitis akut fokalis atau segmentalis yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal, apendisitis purulenta difusi yaitu apendisitis dimana terdapat tumpukan nanah b. Apendisitis kronis dibagi atas apendisitis kronis fokalis atau parsial yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal, apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua. c. Apendisitis perporata : perforasi apendiks yang akan mengakibatkan peritonitis yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat dengan menyebar ke seluruh area, perut menjadi tegang, nyeri tekan. 4. Patofisiologi Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam

terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen, akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus (Smeltzer, 2001).

25

Apendiks biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma, obstuksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks memiliki keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa, pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium (Mansjoer, 2008). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan mengakibatkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding apendiks, peradangan yang timbul akan meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisiti supuratif akut, bila kemudian aliran darah arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan

gangren, stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa, bila dinding tersebut telah rapuh dan pecah disebut apendisitis perforasi (Mansjoer, 2008). 5. Manifestasi klinis Manifestasi klinis yang di temukan pada apendisitis adalah nyeri pada kuadran bawah, biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri lokal bila dilakukan tekanan, nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepas) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak

26

tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal, bila ujungnya ada pada pelviks tanda-tanda ini hanya dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal, nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum, nyeri pada saat berkemih menunjukkan ujung apendiks berada dekat kandung kemih atau ureter, dapat terjadi kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi (Smeltzer, 2001). Pada kasus apendisitis akut gejala yang permulaan adalah nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilkus, diikuti oleh anoreksia, neusia dan muntah gejala-gejala ini berlangsung 1 atau 2 hari dan dalam beberapa jam bergeser ke kuadran kanan bawah (Sylvia dan Wilson,1995). Gejala perkembangan klasik dari gejala anoreksia (hampir semua mengalami), nyeri peumbilikal konstan derajat sedang dengan pergeseran 4-6 jam menjadi nyeri tajam pada kuadran kanan bawah selanjutnya dapat terjadi muntah yang diikuti dengan konstipasi atau diare terutama pada anak-anak (Schwartz, 2001). 6. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan leukosit 10.00020.000/ml dengan peningkatan jumlah notrofil. Pemeriksaan urine juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih, pada kasus akut tidak dibolehkan melakukan barium enema, sedangkan pada apendisitis kronis tindakan ini dibenarkan, pemeriksaan USG dilakukan bila terjadi infiltrat apendikularis (Mansjoer, 2008).

27

7. Komplikasi Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi 10% sampai 32%, insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia, perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri, gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer, 2001). Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umu atau terjadi abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti. Bila terjadi abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina (Mansjoer, 2008). 8. Penatalaksanaan Apendiktomi adalah eksisi pada apendiks yang mengalami peradangan atau apendiks vermiforsis (Danis Difa, 2003). Penatalaksanaan apendisitis adalah dengan tindakan pembedahan.

Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan, analgesik dapat diberikan pada setelah diagnosa ditegakkan (Smeltzer, 2001).

28

D. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri pada pasien post operasi Nyeri yang dirasakan klien bedah meningkat seiring dengan

berkurangnya pengaruh anastesi. Klien lebih menyadari lingkungannya dan lebih sensitif terhadap rasa nyaman. Area insisi mungkin menjadi satu-satunya sumber nyeri. Secara signifikan, nyeri dapat memeperlambat pemulihan (Potter,2005). Nyeri akut dapat menyebabkan denyut jantung, tekanan darah dan frekuensi pernafasan meningkat (Potter, 2005). Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada saat nyeri. Teknik relaksasi dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat maupun sakit. Klien post operasi yang menggunakan teknik relaksasi dengan berhasil mengalami beberapa perubahan fisiologis seperti : penurunan nadi, tekanan darah dan pernafasan, Penurunan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot, penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan kesadaran global, kurang perhatian terhadap stimulus lingkungan (Potter, 2005). Penelitian Tunner dan Jansen (1993), Almatsier dkk (1992) dalam Smeltzer, (2001), menyimpulkan bahwa relaksasi otot skletal dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri hal ini dibuktikan pada penderita nyeri punggung bahwa tehnik relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri.

29

Pada pasca operasi. Pasien ditempatkan pada posisi senyaman mungkin, posisi in mengurangi ketegangan pada insisi organ abdomen yang membantu mengurangi nyeri (Smeltzer, 2001). Penelitian Lorenzi, (1991) Miller & Perry,(1990) dalam Smeltzer, (2002), telah menunjukkan bahwa tekhnik relaksasi dapat menunjukkan menurunkan nyeri pasca operasi dengan efektif, hal ini terjadi karena relatif kecilnya peran otot-otot skletal dalam nyeri pasca operasi atau kebutuhan pasien untuk melakukan tekhnik relaksasi agar efektif. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Juanda(2006) setelah dilakukan perlakuan pada kelompok eksperimen post operasi apendektomi terdapat penurunan tingkat nyeri yang sangat signifikan.Hal ini dikarenakan pelaksanaan teknik relaksasi yang cukup efektif.

30

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN A. Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian adalah hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang akan diteliti.

V. Bebas Tekhnik relaksasi

V. Terikat Intensitas Nyeri pada Post Op App

Faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan intensitas nyeri : 1. Pengalaman masa lalu 2. Ansietas 3. Usia 4. Efek plasebo Ket : Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Berdasarkan kerangka konsep diatas, tindakan apendiktomi dapat menyebabkan nyeri post operasi. Bila mana diberikan teknik relaksasi apakah

intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi mengalami perubahan (menurun atau meningkat).

31

B. Hipotesis Penelitian Hipotesis Alternatif (H1) Ada pengaruh tekhnik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar

32

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan desain penelitian adalah pra eksperimen (One group pre and post test design) yaitu penelitian yang menggunakan satu kelompok subyek, pengukuran di lakukan sebelum dan setelah perlakuan (Saryono,2008), yaitu pengaruh teknik relaksasi terhadap dengan perubahan intensitas nyeri dan kemudian menganalisis pengaruh teknik relaksasi dengan perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar O> (X) > O

B. Waktu Dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada 16 November sampai 29 November 2009. 2. Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan yang menjadi obyek penelitian

(Notoatmodjo, 2002:79).

33

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang telah menjalani tindakan apendiktomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar dengan rata-rata kunjungan perbulan pada Tahun 2008 adalah 31 penderita 2. Sampel a. Sampel Sampel adalah adalah wakil dari populasi yang diteliti. Sampel dari penelitian ini adalah pasien post operasi apendiktomi sebanyak 15 orang. b. Teknik pengambilan sampel Sampel dalam penelitian ini diambil dengan tekhnik pengambilan sampel yaitu Accidental Sampling, yaitu dengan mengambil sampel Pasien yang telah menjalani tindakan apendiktomi selama penelitian berlangsung c. Kriteria sampel a. Kriteria inklusi sampel : 1. Pasien yang telah menjalani tindakan apendiktomi hari pertama selama penelitian berlangsung 2. Pasien yang mengalami reaksi analgetiknya telah hilang/ 6 (enam) jam setelah pemberian analgetik dan belum mendapatkan analgetik lagi. 3. Usia 15-54 tahun 4. Pasien yang dalam keadaan relaks 5. Bersedia menjadi sampel b. Kriteria ekslusi sampel : 1. Pasien yang menjalani tindakan apendiktomi hari ke dua dan seterusnya selama penelitian berlangsung

34

2. Mengalami tindakan apendiktomi dengan komplikasi 3. Usia <15 Tahun dan >54 Tahun. 4. Pasien yang tidak mempunyai pengalamnan masa lalu tentang nyeri post operasi 5. Pasien yang mendapat terapi plasebo 6. Tidak bersedia menjadi sampel D. Alur Penelitian
Mengurus surat ijin penelitian

Kelompok Sampel yang dikehendaki sesuai dengan kriteria inklusi

Memberikan Lembar persetujuan untuk menjadi responden dan mengajarkan teknik relaksasi sebanyak 3 kali

Pre test intensitas nyeri dengan menggunakan lembar observasi penilaian intensitas nyeri

Melaksanakan teknik relaksasi bersama pasien setelah 6 jam post operasi apendiktomi

Post test perubahan intensitas nyeri dengan menggunakan lembar observasi penilaian intensitas nyeri

Analisa data dengan menggunakan uji Wilcoxon signed range test untuk melihat pengaruh variabel independen

Interpretasi data dan pembahasan

Kesimpulan dan saran

35

E. Variabel Pemikiran 1. Variabel Independen (bebas) Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap menentukan variabel terikat (Saryono, 2008), adapun varibel bebas dalam penelitian ini adalah Teknik relaksasi 2. Variabel Dependen (terikat) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Saryono, 2008), adapun varibel terikat dalam penelitian ini adalah Perubahan Intensitas nyeri pada Post Operasi Apendiktomi F. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif Penelitian ini meliputi beberapa variabel, yaitu teknik relaksasi, nyeri, perubahan intensitas nyeri dan apendiktomi dimana masing-masing mempunyai defenisi variabel : 1. Teknik relaksasi adalah Suatu cara yang dapat digunakan untuk merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri, berupa menarik nafas dengan frekuensi lambat inhalasi (hirup,dua,tiga) dan ekshalasi (hembuskan,dua,tiga). Dilakukan pada saat 6 (enam) jam setelah pemberian analgetik dan pasien mulai merasakan nyeri.Teknik relakasasi ini dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. 2. Perubahan intensitas nyeri yang dimaksud adanya perubahan intensitas nyeri yang dirasakan pasien setelah dilakukan prosedur teknik relaksasi sebanyak 3 (tiga) kali. Yang diukur dengan mengunakan Penilaian nyeri secara obyektif (obyektif Tool for Measuremant of pain) diambil dari W. Chambers and Prince.

36

Kriteria obyektif : 1. Menurun jika : Dari nyeri berat (skor 28-35) menjadi nyeri sedang (skor 1927), nyeri ringan (skor 10-18) atau tidak ada nyeri (skor 1-9). 2.Meningkat jika : Dari nyeri ringan (skor 10-18) menjadi nyeri sedang (skor 19-27) atau nyeri berat (skor 28-35). G. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa Penilaian nyeri secara obyektif (Obyektif Tool for Measuremant of pain) diambil dari W. Chambers and Prince (Juanda,2006) untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri pada pasien post Operasi apendektomi Di Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar sebelum dan sesudah intervensi relaksasi dilakukan. H. Pengolahan dan Analisis Data a. Koding Pertama-tama menberi kode dikanan lembar observasi. Pengisian berdasarkan pelaksanaan setiap indikator yang diamati pada responden tersebut. b. Editing Editing dilakukan untuk meneliti setiap item penilaian. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap pelaksanaan indikator yang diteliti. Hal ini dilakukan dilapangan. c. Skoring Skoring yaitu memberi skor data yang telah dikumpulkan, bila tidak ada nyeri (skor 1-9), nyeri ringan (skor 10-18), nyeri sedang (skor 19-27), nyeri berat (skor 28-36), nyeri sangat berat (skor 37-45),

37

d. Tabulasi Data Tabulasi data merupakan kelanjutan dari pengkodean pada proses pengolahan dalam hal ini setiap data tersebut dikoding kemudian ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk distribusi frekuensi. e. Analisa Data Analisis data dengan menggunakan uji statistik signed I. Etika Penelitian Etika penelitian bertujuan untuk melindungi hak-hak subyek. Dalam penelitian ini, peneliti menekankan masalah etika yang meliputi antara lain : 1. Informed consent Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi, bila subyek menolak, maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek. 2. Anonimility (Tanpa Nama) Untuk Menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberi kode 3. Confidentiality Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian. Non parametrik Wilcoxon

38

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 15 responden post operasi apendiktomi pada tanggal 18 November sampai 29 November 2009 Di Ruang perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar. Dengen menggunakan desain penelitian adalah pra eksperimen (One group pre and post test design) yaitu penelitian yang menggunakan satu kelompok subyek, pengukuran di lakukan sebelum dan setelah pemberian teknik relaksasi. Penilaian nyeri dilakukan secara obyektif (Obyektif Tool for Measuremant of pain). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling jumlah sampel 15 setelah data terkumpul kemudian data diolah dan disajikan dalam tabel distribusi frekwensi dari variabel yang telah diteliti,kemudian dilakukan analisa terhadap variabel tersebut. Adapun data hasil penelitian ini sebagai berikut : 1. Analisis Univariat Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi meliputi umur dan jenis kelamin. Berdasarkan data demografi respoden diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden berumur 15-24 tahun sebanyak 9 orang (60,00%). Dari segi jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah perempuan sebanyak 11 orang (73,33%). Hal ini dapat dilihat pada tabel sebagi berikut :

39

Tabel .2 Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi Pasien Post Operasi Apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar

Karakteristik Umur 15-24 Tahun 25-44 Tahun 45-54 Tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Sumber : Data Primer 2. Analisis Bivariat

n 9 4 2

% 60,00 26,67 13,33

4 11 15

26,67 73,33 100,00

Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah intensitas nyeri, dimana akan dilihat distribusi variabel tersebut sebelum dan sesudah pemberian teknik relaksasi. Intensitas nyeri responden sebelum pemberian teknik relaksasi nyeri sedang 3 orang (20,00%), nyeri sedang 8 orang (53,33) dan nyeri berat 4 orang (26,67%) dan setelah diberi teknik relaksasi terdapat perubahan yaitu dari nyeri sedang ke nyeri ringan 7 orang (46,67%) dan dari nyeri berat ke nyeri sedang 2 orang (13,33%). Dari hasil uji statistik non parametrik Wilcoxon dengan nilai kemaknaan/signifikan p= 0,003 (p<0,005) maka dapat disimpulkan ada pengaruh pemberian teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi di ruang perawatan bedah RSU TK II Pelamonia Makassar. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

40

Tabel .3 Distribusi rata-rata intensitas nyeri responden menurut pengukuran pada saat sebelum pemberian teknik relaksasi dan sesudah pemberian teknik relaksasi pada Pasien Post Operasi Apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar
Intensitas nyeri n

Intensitas nyeri post test

n %

Perubahan intensitas nyeri (Mean)

kumulatif
n %

Value
Pre test

Nyeri ringan Nyeri sedang

3 20,00 8 53,33

Nyeri ringan Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri sedang Nyeri berat

3 20,00 7 46,67 1 6,67 2 13,33 2 13,33 15 100,00

2,67 6,50

10 66,67 3 20,00
0,003

Nyeri berat Jumlah

4 15

26,67 100,00

3,25

2 15

13,33 100,00

Sumber : Data Primer 2009 B. Pembahasan 1. Analisa Univariat Berdasarkan data demografi respoden diperoleh gambaran bahwa sebagian besar responden berumur 15-24 tahun sebanyak 9 orang (60,00%). Dan dari segi jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah perempuan sebanyak 11 orang (73,33%). Hal ini sesuai dengan data epidemologi bahwa apendisitis akut, meningkat pada masa pubertas dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2. 2. Analisa Bivariat Berdasarkan tabel 2 distribusi frekwensi di atas dari 15 responden pasien post operasi apendiktomi yang menjadi sampel penelitian dan telah

41

dilakukan pengukuran intensitas nyeri menggunakan penilaian nyeri (obyektif tool for meassurenmant of pain) yang terdiri dari 9 item yaitu : perhatian, ansietas, verbal, respirasi, suara, nausea, muskuloskletal, ketegangan otot dan ekspresi wajah diperoleh intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi sebelum pemberian teknik relaksasi yang nyeri ringan 3 orang (20,00%), nyeri sedang 8 orang (53,33%) dan nyeri berat 4 orang (26,67%). Perbedaan tingkat nyeri yang dipersepsikan didapatkan karna kemampuan sikap individu dalam merespon dan mempersepsikan nyeri yang dialami. Kemampuan mempersepsikan nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama (apendisitis, sebagai contoh)mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain. Lebih jauh lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada suatu waktu tetapi tidak pada waktu lain. Sebagai contoh nyeri akibat artritis kronis dan nyeri pasca operasi sering terasa lebih parah pada malam hari. Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri bersifat subyektif dan tidak ada individu yang mengalami nyeri yang sama. Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan, jika seseorang terpapar dengan nyeri, maka respon fisiologis tubuh yang timbul antara lain : peningkatan frekwensi pernafasan untuk menyediakan oksigen yang lebih banyak, peningkatan denyut jantung untuk transpor oksigen lebih besar

42

kedalam jarinagan tubuh, vasokontriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat untuk memindahkan suplai darah dari perifer keorgan viseral, otot, dan otak. Peningkatan ketegangan otot, mual dan muntah,dan lain-lainya. Sedangkan prilaku yang tampak berupa meringis, menangis, menjerit dan lainnya. Dan Setelah diberi teknik relaksasi dari 15 responden didapatkan terjadi perubahan intensitas nyeri yaitu dari nyeri ringan sebanyak 3 orang (20,00%) dimana rata-rata perubahannya (mean) 2,67. Tetapi perubahan ini tidak semua pada ke sembilan item penilaian nyeri. Dimana rata-rata perubahan terjadi pada sistem respirasi responden, yang tadinya sedikit respirasi dan setelah diberi teknik relaksasi respirasinya kembali normal. Sedikitnya perubahan yang terjadi akibat kurangnya konsentrasi yang dimiliki oleh responden karna banyaknya pengunjung yang datang dan pasien dirawat di ruang bangsal. Padahal untuk mendapatkan hasil yang efektif, teknik relaksasi harus dilaksanakan dengan konsentrasi penuh dari responden itu sendiri. Selain itu pula nyeri ringan agak sulit dinilai, karna hampir mendekati kekeadaan normal. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Potter, 2005 agar teknik relaksasi dapat efektif, maka diperlukan partisipasi individu, konsentrasi dan lingkungan harus bebas dari keributan atau stimulus yang mengganggu.

43

Setelah diberi teknik relaksasi yang terdiri dari nafas abdomen, dengan frekwensi lambat yang terlebih dahulu responden diberi posisi yang nyaman dan responden dapat memenjamkan kedua matanya. Dari 15

reponden didapatkan perubahan nyeri dari nyeri sedang kenyeri ringan sebanyak 7 orang (46,67%) dan 1 orang (6,67%) masih berada dalam kategori nyeri sedang. Tetapi jika dilihat dari mean rata-rata 6,85 dari ke 8 responden tersebut semua responden mengalami perubahan hanya pada 1 responden hanya mengalami sedikit perubahan yaitu hanya pada item verbal dan nausea saja. Hal ini dikarenakan klien berada diruang perawatan bangsal sehingga banyaknya pengunjung keluarga pasien lain yang mengganggu konsentrasi klien dalam melakukan teknik relaksasi, sehingga hasilnya tidak efektif. Sedangkan pada ke 7 responden lainya dirawat diruang perawatan kelas 1 sehingga lingkungan sangat mendukung pelaksanan teknik relaksasi berjalan dengan baik, responden dapat berkonsentrasi karena lingkungan yang nyaman. perubahan. Dari 15 responden didapatkan 4 orang (26,67%) nyeri berat dan setelah diberi teknik relaksasi terjadi perubahan ke nyeri sedang dimana ratarata perubahannya (mean) 3,25. 2 responden mengalami perubahan yang cukup baik hal ini dikarenakan responden mampu melaksanakan teknik relaksasi dengan baik meskipun rasa nyeri berat yang dirasakan mereka tetap mampu berkonsentrasi. Sedangkan 2 responden lainya hanya terjadi sedikit Pada penilaian intensitas nyeri hampir keseluruhan item terjadi

44

perubahan intensitas nyeri hal ini disebabkan responden tidak mampu mentoleransi nyeri tersebut sehingga kemampuan konsentrasi klien kurang. Adanya Perbedaan toleransi nyeri ini karena bahwa setiap individu memiliki cara pandang terhadap nyeri berbeda-beda Klien tidak mau mengungkapkan nyeri yang dirasakan atau menyembunyikannya karena klien malu dikatakan lemah . Dari hasil uji statistik non parametrik Wilcoxon dengan nilai kemaknaan/signifikan p = 0,003 (p<0,005) maka dapat disimpulkan ada pengaruh pemberian teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi di ruang perawatan bedah RSU TK II Pelamonia Makassar. Adanya pengaruh teknik relaksasi ini terhadap intensitas nyeri hal ini karenakan, teknik relaksasi merupakan merupakan latihan pernafasan yang memberikan efek langsung terhadap fungsi tubuh yaitu : penurunan tekanan darah, nadi dan frekuensi pernafasan, penurunan konsumsi oksigen oleh tubuh, penurunan ketegangan otot, meningkatkan kemampuan berkonsentrasi, menurunkan perhatian terhadap stimulus lingkungan (nyeri). Dalam sistem transmisi nyeri terdapat interaksi antara serabut A-Beta dan Serabut A delta, Serabut C didalam subtansia Gelatinosa. Pada subtansia Gelatinosa inilah dapat terjadi perubahan, modifikasi dan mempengaruhi apakah sensasi nyeri tersebut diteruskan ke otak atau akan dihambat. Jika terdapat implus yang ditransmisikan oleh serabut A-Beta karena adanya stimulus diantaranya pemberian teknik relaksasi, akan menghambat implus dari serabut A-Delta dan serabut C ke arah Subtansia Gelatinosa sehingga

45

sensasi nyeri

yang dibawa oleh A-Delta dan Serabut C akan berkurang

bahkan tidak diantarkan keotak. Selain itu pula relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada saat nyeri (Potter, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian penelitian Tunner dan Jansen (1993), Almatsier dkk (1992) dalam Smeltzer, (2002), yang menyimpulkan bahwa relaksasi otot skletal dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri hal ini dibuktikan pada penderita nyeri punggung bahwa tehnik relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri. Hal yang sama dikemukakan didukung juga penelitian Lorenzi, (1991) Miller & Perry,(1990) dalam Smeltzer, (2001), telah menunjukkan bahwa tekhnik relaksasi dapat menunjukkan menurunkan nyeri pasca operasi dengan efektif, hal ini terjadi karena relatif kecilnya peran otot-otot skletal dalam nyeri pasca operasi atau kebutuhan pasien untuk melakukan tekhnik relaksasi agar efektif. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Juanda(2006) setelah dilakukan perlakuan pada kelompok eksperimen post operasi apendektomi terdapat penurunan tingkat nyeri yang sangat signifikan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan teknik relaksasi yang cukup efektif.

46

C. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat keterbatasan peneliti yaitu dari segi waktu penelitian. Dimana penelitian ini dilakukan bersamaan dengan waktu perkuliahan sehingga berkurangnya waktu untuk bertemu klien. Sehingga kurangnya terbina hubungan saling percaya antara peneliti dengan klien.

47

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar maka dapat disimpulkan: 1. Intensitas Nyeri pasien post operasi apendiktomi sebelum pemberian teknik relaksasi tertinggi pada intentesitas nyeri sedang. 2. Intensitas nyeri pasien post operasi apendiktomi setelah pemberian teknik relaksasi terdapat perubahan intensitas nyeri tertinggi pada intensitas nyeri sedang ke nyeri ringan.. 3. Ada pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada

pasien post operasi apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar. Hasil ini sesuai dengan uji statistik Wilcoxon

didapatkan nilai p = 0,0003 (P < 0,05) artinya ada pengaruh pemberian teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi di ruang B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan: 1. Bagi perawat yang bertugas di Ruang Perawatan Bedah RSU TK II Pelamonia Makassar agar meningkatkan perannya dalam pelaksanaan asuhan

keperawatan pada pasien yang mengalami nyeri untuk melaksanakan teknik

48

relaksasi dalam mengatasi nyeri. 2. Bagi pihak RSU TK II Pelamonia Makassar khususnya di Ruang Perawatan Bedah agar meningkatkan pelayaanan khususnya pelayanan keperawatan pada pasien post operasi. 3. Bagi masyarakat agar senantiasa mengikuti program pelaksanaan teknik relaksasi dalam mengurangi intensitas nyeri khususnya pada nyeri post operasi. 4. Bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan variabel penelitian yang terkait dengan penelitian ini.

49

DAFTAR PUSTAKA Danis Difa. 2003. Kamus Istilah Kedokteran. Jakarta : Gita Media Press. http://harnawatia.wordpress.com/2008/03/27/askep-apendisitis/ Juanda.2006. Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri post operasi apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSD Gorontalo. Makassar. Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta Potter, Patricia A. 2005.Buku ajar Fundamental : Konsep, proses dan praktek. Edisi 4 . Jakarta. EGC. Riyanto,Agus. 2009.Pengolahan data dan analisis data kesehatan.Jogjakarta.Muha Medika. Saryono. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan, Penuntun Praktis Bagi Pemula. Jokjakarta : Mitra Cendikia Offset. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip- Prinsip Ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta : Buku kedokteran EGC. Sylvia dan Wilson. 1995. Paotfisiologi, Konsep klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : Buku kedokteran EGC. Smeltzer, Suzanne C . 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol 2. Jakarta : Buku kedokteran Smeltzer, Suzanne C . 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol 2. Jakarta : Buku kedokteran Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta : Buku kedokteran EGC.

50

SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN (INFORMED CONCENT)

Setelah saya mendengarkan maksud dan tujuan dari penelitian ini, maka saya dengan sadarb menyatakan: bahwa saya bersedia menjadi responden dalam penelitian ini yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin dengan Judul : Pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri poet operasi apendiktomi di ruang perawatan RSU TK II Pelamonia Makassar. Tanda tangan saya dibawah ini, sabagai bukti kesediaan saya menjadi responden tanpa adanya paksaan dari siapa pun.

51

Lampiran 3 LEMBAR OBSERVASI

Tanggal Usia

: :

Jenis kelamin :

TINGKAT NYERI
1-9 9-18 19-27 28-36 37-45

WAKTU DIOBSERVASI
X Y

KET : 1-9 9-18 : Tidak ada nyeri : Nyeri ringan X : Sebelum Treatmant Y : Setelah Treatmant

19-27 : Nyeri sedang 28-36 : Nyeri berat 37-45 : Nyeri sangat berat

You might also like