You are on page 1of 10

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI ANTIKONVULSI NAMA : Margaret Dwi Forta Nailui Ramadhilla Doni Kurniawan

Noval Saputra Intan Purnamasari Trie Kurnia Waldini Cut Alina Zahra Siti Aniroh Susita Ariani Maya Sari Bungsu : EKSTENSI 121524087 121524103 121524128 121524072 121524091 121524064 121524053 121524159 121524162 121524057

PROGRAM

KELOMPOK/HARI : VI / SENIN ASISTEN : Rahmadani Fitria

TGL PERCOBAAN : 08 APRIL 2013

LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI DEPARTEMEN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FAKULTAS FARMASI USU MEDAN 2012

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebelum obat-obat antiseizure ditemukan dan dikembangkan, pengobatan terhadap epilepsy terdiri dari trephining (penerjemah:suatu metode tradisional dengan perlakuan pada daerah tertentu dari tubuh dengan tujuan membuang darah yang dianggap sebagai penyakit tertentu), cupping (penerjemah metode tradisional dengan menggunakan gelas yang diletakkan terbalik pada permukaan tubuh kemudian dipanasi sedemikian rupa sehingga sejak zaman dahulu, yang dipercayai dapat memperbaiki sumbatan yang terjadi) dan pemberian tanaman yang berasal dari ekstrak tanaman dan hewan. Pada tahun 1857 Sir Charles Locock melaporkan keberhasilan penggunaan kalium bromide dalam pengobatan yang disebut sebagai catamenial epilepsy. Pada tahun 1912 phenobarbital digunakan pertama kali epilepsy dan 25 tahun kemudian analog Phenobarbital dipelajari kegunaannya sebagai anti konvulsan. Pada tahun 1938 dibuktikan bahwa phenytoin ternyata efektif terhadap seizure eksperimental pada kucing. Kira-kira 1% penduduk dunia menderita epilepsi, gangguan neorologis no 2 yang paling banyak terjadi setelah stroke. Meskipun terapi standar dapat mengendalikan seizure bagi 80% pasien, jutaan orang di Amerika serikat sendiri ada 500 ribu) penderita epilepsy yang tak terkendalikan Seizure merupakan episode yang berlangsung dalam waktu tertentu dari difungsi otak yang disebabkan oleh letupan-letupan (discharges) dari neuron-neuron serebral penyabab seizure banyak sekali dan meliputi seluruh penyakit saraf mulai dari infeksi,neoplasma hingga cedera kepala (Forter,2002). Epilepsi secara fisiologik, merupakan suatu gejala akibat lepasnya elektrik yang berlebihan dan priodik dari neuron cerebellum yang dapat timbulkan hilangnya kesadaran gerakan involunter,fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisikis(Wibowo,2001).

1.2 Tujuan Percobaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Antikonvulsi (antikejang) digunakan untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsy (epileptic seizure) dari bangkitan non-epileepsi. Bromida, obat pertama yang digunakan untuk terapi epilepsi telah ditinggalkan karena ditemukannya berbagai antiepilepsi baru yang efektif. Fenitoin (difenillhidantion), sampai saat ini masih tetap merupakan obat utama epilepsi, khususnya untuk bangkitan parsial dan bangkitan umum tonik klonik. Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda. Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif,terjadi disuatu focus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksimal.fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsangan disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. Letupan depolarisasi dapat terjadi didaerah korteks. Penjalaran yang terbatas didaerah korteks akan menimbulkan bangkitan parsial misalnya epilepsi fokal Jackson; letupan depolarisasi tersebut dapat menjalar ke area yang lebih luas dan menimbulkan konvulsi umum (epilepsi umum;generalized epilepsi). Letupan depolarisasi diluar korteks motorik antara lain dikorteks motorik antara lain korteks sensorik, pusat subkortikal, menimbulkan gejala aura prakonvulsi antara lain adanya penghiduan bau wangi-wangian, gangguan proksimal terhadap kesadaran/kejiwaan; selanjutnya penjalaran ke daerah korteks motorik menyebabkan konvulsi. Berdasarkan tempat asal letupan depolarisasi, jenis bangkitan dan penjalaran depolarisasi, jenis bangkitan dan penjalaran depolarisasi tersebut, dikenal berbagai bentuk epilepsi. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik(Utama,2008). Obat-obat yang bekerja secara selektif pada absence seizure dapat diidentifikasi melalui skrining pada hewan coba, dengan menggunakan nilai ambang seizure klonik akibat pemberian pentylentetrazol pada mencit atau tikus putih atau mencit muatan menunjukkan adanya episode seperti absence seizure (yang disebut letargik,stargazer,atau tottering mutants). Sebaliknya, uji maximal electroshock (MES,kejut elektrik maksimal) dengan penekanan terhadap fase ekstensor tonik, mengidentifikasi obat-obat seperti

phenytoin,carbamazepine dan lamotrigine yang aktif terhadap seizure tonik klonik umum atau seizure parsial kompleks. Obat-obat antiseizure yang ada sekarang sudah cukup memberikan pengendalian seizure yang memadai pada dua pertiga pasien. Pada anak-anak, beberapa sindroma seizure yang parah berkaitan dengan kerusakan otak progresif sangat sulit diobati. Pada orang dewasa, beberapa fokal seizure resisten terhadap pengobatan. Beberapa terutama didalam lobus temporalis memerlukan pembedahan(Porter,2002). Mekanisme kerja antiepilepsi terbagi atas 2 mekanisme penting yang itu: 1. Mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epilepton didalam fokus epilepsi. 2. Mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron yang normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Mekanisme kerja lain yang sampai saat ini belum banyak diketahui secara jelas hanya dikatakan bahwa berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak terutama mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja sebagai anti epilepsi(Munaf,1994). Obat-obat antiseizure mempunyai banyak kemiripan sifat-sifat farmakok-inetik meskipun sifat-sifat kimianya dan strukturnya agak berbeda. Meskipun banyak dalam senyawa-senyawa sedikit larut ini yang sedikit larut,absorbsi biasanya baik, dengan 80-100% dari dosis mencapai sirkulasi. Bioavailabilitas oral dari phenytoin berbeda-beda dari produk ke produk, dengan kecepatan dan jumlah absorpsi yang bergantung pada formulasi. Kecuali phenytoin, benzodiazepine, valproic acid dan tiagabine, obat-obat antiseizure tidak terkait kuat dengan protein plasma. Kosentrasi benzodiazepine dan tiagabine terlalu rendah untuk mempengaruhi ikatan obat-obat lain. Prinsip mekanisme kerja obat-obat antiseizure meliputi kanal ion yang dioperasikan oleh perubahan voltase serta fungsi sinaps inhibitorik da eksitatorik. Kanal Na+ yang bergantung pada perubahan tegangan listrik memasuki suaatu keadaan tidak aktif setelah terjadi suatu potensial aksi. Perpanjangan keadaan tidak aktif ini perpanjangan keadaan refrakter dianggap sebagai suatu mekanisme utama dari phenytoin, carbamazepine dan lamotrigine; juga merupakan mekanisme yang mendasari efek dari Phenobarbital,valproate dan topiramate. Fenomena ini berkaitan dengan penekanan aktivitas rangsangan yang berulang dan cepat (repetitive firing) pada neuron yang terisolasi dan proteksi terhadap kejut elektrik maksimal (maximal electroschock) pada binatang percobaan dan fokal seizure pada manusia.

Arus Ca2+ nilai ambang rendah (arus Ca2+ tipe-T) telah terbukti berperan mengatur respons oskilatori didlam neuron talamus. Pengurangan arus ini oleh ethosuximide atau dimethadione dianggap dapat menjelaskan efek dari senyawa-senyawa seizure absen (absen seizure). Efek-efek pada sinaptik telah dicari bagi obat-obat antiseizure. Penguatan inhibisi yang dilakukan oleh GABA dapat dihasilkan melalui berbagai cara, antara lain meliputi kerja langsung pada kompleks kanal ion klorida reseptor GABA (seperti dengan benzodiazepine, barbiturate dan mungkin juga topiramate) atau kerja pada ambilan kembali (reuptake) atau metabolism GABA (seperti dengan gabapentine, tiagabine, dan vigabatrin). Mekanisme ini memberikan proteksi terhadap seizure umum (generalized seizure) dan seizure fokal. Pengurangan dari neurotransmisi glutamatergik eksitatorik secara potensial sangat penting; penyakatan reseptor AMPA kemungkinan besar berperan dalam menentukan efek dari Phenobarbital dan topiramate, penyakatan reseptor NMDA kemungkinan besar berperan dalam menentukan efek dari remacemide, suatu obat yang masih dalam

penelitian(Porter,2002). Pada dasarnya, epilepsi dibagi menjadi 3 golongan yaitu: I. Bangkitan umum primer (epilepsi umum) terdiri dari: 1. Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal) 2. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences) 3. Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences),bangkitan tonik, bangkitan klonik,bangkitan atonik, bangkitan infatil (spasme infatil) II. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau fokal) 1. Bangkitan parsial sederhana a. Berasal dari lobus motor frontal(tonik,klonik,tonik klonik,jacsonians b. Berasal dari somatosensoris (visual, auditorik,

olfaktorius,gustatorius,vertiginosa) c. Autonom d. Psikis murni 2. Bangkitan parsial kompleks, misalnya epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis) 3. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum III. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II). Akan dibahas juga tentang kejang demam status epileptikus.

Disamping sebagai antiansietas,sebagian golongan obat benzodiazepine bermanfaat sebagai antikonvulsi,khususnya untuk epilepsi. Diazepam dapat dianggap sebagai prototip benzodiazepine. Khasiat benzodiazepin lebih nyata terhadap konvulsi pentilentetrazol dari pada konvulsi ranjatan listrik maksimal. Diazepam IV merupakan obat terpilih untuk status epileptikus di pihak lain, peranan pemberian per oral dalam terapi epilepsi belum dapat disimpulkan secara konklusif. Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren,misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonikf fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik. Untuk mengatasi bangkitan status epiletikus pada orang dewasa, disuntikan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tegang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. sedangkan pada anak-anak dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,150,3 mg/kgBB selama 2 menit dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 8090% pasien bangkitan rekuren. Walaupun diazepam telah sering digunakan untuk mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat dipastikan kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain, seperti barbiturat atau anastetik umum untuk ini masih diperlukan satu uji terkendali perbandingan efektifitas. Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan diazepam IV ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disamping ini dapat terjadi depresi napas sampai henti napas,hpotensi,henti jantung dan kantuk. Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari bangkitan epilepsi, tanpa menggangu fungsi normal SSP agar pasien dapat dijalankan dengan berbagai cara, dan sebaliknya dengan mempertahankan pedoman berikut: (1) melakukan pengobatan kausal kalau perlu dengan pembedahan; umpamanya pada tumor serebi; (2) menghindari faktor pencetus suatu bangkitan,umpamanya minum alcohol, emosi, kelelahan fisik maupun mental; dan (3) penggunaan antikonvulsi/antiepilepsi(Utama,2008) Beberapa dari benzodiazepine memiliki aktivitas antiepilepsi. Klonazepam dan klorazepat digunakan untuk pengobatan kronik, sedangkan diazepam adalah obat pilihan dalam pengobatan akut status epileptikus. Klonazepam menekan serangan yang berasal dari fokus epileptogenik dan efektif pada serangan absence dan mioklonik, tetapi terjadi juga

toleransi. Klorazepate efektif pada serangan parsial juga digunakan bersama dengan obatobat lain. Diantara semua obat-obat antiepilepsi, benzodiazepin adalah yang paling aman dan paling sedikit efek samping. Semua benzodiazepine memiliki sifat sedatif, mengantuk, somnolen dan kelelahan dapat terjadi pada dosis yang lebih tinggi, demikian juga ataksia, dizziness dan perubahan tingkah laku. Depresi pernapasan dan penekanan jantung bias terjadi jika diberikan secara intravena pada keadaan akut(Mycek,2001). Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH, dengan satu derivatnya yang diketahui menghambat pembelahan kuman teberkolosis, yakini iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksik untuk manusia. Pada uji hewan, ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat dibandingkan stretomisin. Isoniazid dapat menembus kedalam sel dengan mudah. Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, diantaranya efek pada lemak, biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikrobakterium. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangnya rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang teresektrasi oleh metanol dari mikrobakterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap obat kedalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif(Istiantro,2008) Kebutuhan akan tidur dapat dianggap sebagai suatu perlindungan dari organisme untuk menghindari pengaruh yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Tidur yang baik, cukup dalam dan lama, adalah mutlak untuk regenerasi sel-sel tubuh dan memungkinkan pelaksanaan aktivitas pada siang hari dengan baik. Efek terpenting yang mempengaruhi kualitas tidur adalah penyingkatan waktu menidurkan, perpanjangan masa tidur dan pengurangan jumlah periode terbangun pusat tidur diotak (sumsum lanjutan) mengatur fungsi fisiologis ini sangat penting bagi kesehatan tubuh. Pada waktu tidur,aktivitas saraf parasimpatis meningkat, dengan efek penyempitan pupil (myosis), perlambatan pernafasan dan sirkulasi darah (bronchokonstiksi dan menurunnya kegiatan jantung) serta stimulasi aktivitas saluran cerna dan menguatan

perilstatik dan sekresi getah lambung usus(Tjay,2007). Aksi GABA mungkin dapat ditingkatkan melalui berbagai cara seperti: 1. Menambah pelepasannya dari akhiran saraf atau blockade degradesinya 2. Adanya efek inhibisi yang terus menerus pada lokasi reseptor GABA

3. Menaikan efek penyesuaian GABA pada saluran klorida Beberapa obat bahkan dikaitkan langsung dengan serangan atau bangkitan kejang seperti misalnya: 1. Amantadin mempunyai efek pada susunan saraf pusat yang merugikan, yang mungkin berpengaruh jelek pada penderita epilepsi. Karena itu tidak dipakai pada penderita epilepsi. 2. Kontrasepsi oral: menyebabkan juga retensi air yang dapat menyebabkan presipitasi serangan epilepsi. 3. Antidepresan trisiklik dapat menimbulkan serangan seperti epilepsi,terutama pada dosis besar serangan menyerupai grand mal. 4. Reserpin merendahkan nilai ambang kejang dan memperpendek latensi

serangan(Wibowo,2001).

BAB III METODE PERCOBAAN


3.1 Alat a. Spuit 1 ml b. Oral sonde c. Restrainer mencit d. Stopwatch 3.2 Bahan a. Isoniazid b. Diazepam c. NaCl 0,9 % d. Air suling e. CMC-Na 1%

3.3 Hewan uji Hewan uji yang digunakan Mencit usia 2-3 bulan

3.4 Prosedur percobaan a. Hewan ditimbang, dicatat dan ditandai pada ekornya b. Dihitung dosis dengan pemberian: Mencit 1 Mencit 2 Mencit 3 : kontrol CMC-Na dosis 1% secara intraperitonial : Diazepam 0,5% dosis 20mg/kgBB secara intraperitonial : Diazepam 0,5% dosis 25 mg/kgBB secara intraperitonial

c. Diamati gejala yang terjadi pada mencit d. Setelah satu jam kemudian mencit diinjeksikan dengan isoniazid 1% dosis 250 mg secara subkutan,lalu diamati onset konvulsi (awal mula kejang), durasi proteksi selama 2 jam dan jumlah kematian selama 2 jam e. Dibuat grafik perlakuan vs waktu untuk setiap parameter.

You might also like