You are on page 1of 8

NO. 2/TH.

I/MARET - JULI 2006


NO. 2/TH. I/MARET - JUNI 2006

„ ISI
N AWALA
„
„
„
„
Tajuk
Fokus
Riset
hal.1
hal.1
hal.2
Wawancara Khusus
THE WAHID INSTITUTE Seeding Plural and Peaceful Islam
hal.3
„ Kolom hal.5
„ Penerbitan „ FOKUS
hal.6
„
„
Pustaka
Aktivitas
hal.7
hal.8 PILKADA BERMASALAH,
„ TAJUK SIAPA YANG SALAH?
MASALAH DALAM
PILKADA BERMASALAH

T
ak salah jika kita menilai bahwa
sebagian besar Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) selalu
bermasalah. Salah satu sumber masalah
yang paling banyak ditemukan adalah
data pemilih yang belum baik dan
akurat.
Biang keladi lainnya adalah elite
politik yang tidak mau mengakui
kekalahan. Namun yang paling fatal
justru ada di tingkat regulasi pilkada. Gus Dur rajin melakukan pendidikan politik
Memang, terlalu banyak masalah dalam rakyat walau tanpa bendera dan spanduk
hajatan demokrasi lokal yang digagas
terburu-buru itu. Walau demikian kita
harus terus mengawasi, agar petinggi
yang dihasilkan pilkada tetap
. dok . Wahid Institute

mengutamakan kepentingan publik di USAI peringatan Hari Pendidikan Nasional di Alun- Umar dan gudang PT Sembilan Sembilan milik
daerahnya, seperti melayani kebutuhan Alun Tuban, Rabu (2/5/2006), Bupati Tuban suaminya, Ali Hasan. Keduanya ludes di tangan
dasar penduduk di bidang pekerjaan, terpilih periode 2006-2011, Haeny Relawati massa. Harta Ali lainnya, dua SPBU dan kediaman
pendidikan, dan kesehatan. langsung diserbu wartawan. Haeny di Jalan KH Agus Salim turut jadi sasaran
Dalam Nawala edisi II ini, the WAHID Haeny yang muncul untuk kali pertama di muka walau tak sampai dibakar.
Institute mengulas tentang akar masalah publik pasca kerusuhan pilkadaTuban, terus dicecar Biang Kisruh Pilkada
dalam pilkada dengan contoh kasus para kuli disket. Namun ia enggan menanggapi Tak hanya di Tuban, pilkada di beberapa daerah
beberapa daerah. Juga, riset kami pertanyaan seputar kemenangannya pada Pilkada juga meninggalkan masalah (Lihat: Tabel Pilkada
menghasilkan kategorisasi 27 April 2006 yang menyisakan tragedi.
‘penyelesaian’ sengketa yang diambil Bermasalah di Berbagai Daerah). Bentuknya tidak
daerah-daerah tersebut.
Malah Haeny bergegas masuk ke Jaguar warna tunggal.Ada yang rusuh.Ada juga yang menempuh
merah hati dengan Nomor Polisi S 1 HA. jalur hukum. Meski berbeda, pilkada bermasalah
Untuk itu, terima kasih kami Sebelumnya, pelat nomor itu biasa terpasang di memiliki pemicu yang sama.
sampaikan kepada Jaringan Pendidikan mobil dinas Bupati Tuban, Nissan Terrano, yang
Pemilih untuk Rakyat dan Center for Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Electoral Reform yang telah
habis dibakar massa di parkiran Pendapa Krida yang dinilai tidak netral menjadi salah satu
memperkaya Nawala ini. Manunggal, Sabtu (29/4/2006). penyebabnya. Komisi ini dianggap sering bermain
Selain mobil dinas, massa yang tidak puas atas mata dengan para calon.Terutama kepala daerah
kemenangan Haeny juga merusak sejumlah mobil yang sedang menjabat, sebagaimana terjadi di
mewah yang berada di rumah dinas calon bupati Sukoharjo, JawaTengah. KPUD Sukoharjo bahkan
incumbent yang diusung Partai Golkar ini. Antara dituntut untuk dibubarkan karena dinilai berpihak
lain, Range Rover bernopol B 8038 FZ, Toyota kepada pasangan calon bupati (cabup) Bambang
Alphard G bernopol L 2560 HP, dan VW Riyanto- calon wakil bupati (cawabup) Muhammad
Caravelle bernopol H 7439. Sebelumnya, massa Thoha. Untuk memenangkan pasangan itu, KPUD
Kritik dan Saran: juga meluruk kantor Komisi Pemilihan Umum Sukoharjo dituduh menggelembungkan jumlah
Jl. Taman Amir Hamzah No 8 KabupatenTuban dan membakar bangunan utama pemilih di sejumlah tempat pemungutan suara.
Jakarta 10320, Indonesia pendopo kabupaten tersebut. Juga mencetak tambahan 10.000 lembar surat
Phone: +62 21-3928233, Bakal rumah Haeny yang sedang dibangun di suara sehari menjelang pencoblosan.
3145671|Fax: +62 21-3928250
Email: info@wahidinstitute.org |
www.wahidinstitute.org
atas lahan empat hektare di Jalan Letda Sucipto
pun tak luput dari amuk massa. Begitu juga
hartanya yang lain, Hotel Mustika di Jalan Teuku
Begitu pula di Tana Toraja. Forum Komunikasi
Mahasiwa Toraja (FKMT) se-Indonesia menilai
penyelenggara pemilu di daerah itu bermasalah.
1
R EDAKTUR AHLI : Y ENNY ZANNUBA WAHID , A HMAD SUAEDY | S IDANG R EDAKSI : R UMADI , G AMAL F ERDHI , N URUL H UDA M AARIF , S UBHI AZHARI | R EDAKTUR PELAKSANA : N URUN N ISA
D ESAIN : WIDHI C AHYA
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

Sambungan: Pilkada Bermasalah... Di Kaur misalnya. Cabup yang kalah ditengarai menggerakkan massa
“KPUD Toraja tidak pernah mengeluarkan: 1. Daftar Pemilih untuk menolak pasangan bupati terpilih, Saukani Saleh-Warman
Sementara (A1): 2. Daftar Pemilih Tambahan (A2). KPUDTanaToraja Suardi. Massa yang marah melakukan perusakan sejumlah fasilitas
justru mengeluarkan daftar pemilih tetap (A3) berulang sampai tiga pemerintahan daerah hasil pemekaran wilayah Bengkulu itu. Polisi
(3) kali. Hal ini melanggar PP No 6 Tahun 2005 Pasal 16, 19, 20 dan pun bertindak. Cabup dan cawabup yang kalah,Yusirwan Wanie dan
PP No 17 perubahan PP No 6 tahun 2005 tentangTahap Pelaksanaan Sahlan Sirad pun ditetapkan sebagai tersangka.
Pilkada,” demikian rilis berjudul Kronologi Kisruh PilkadaTanaToraja Partai politik (parpol) yang menjadi kendaraan kandidat juga tak
yang disebarkan FKMT, Kamis (14/7/2005). bisa cuci tangan dari noda masalah pilkada. Parpol dinilai tidak
Selain KPUD, Panwas (Panitia Pengawas) pilkada juga urun masalah mendidik massa untuk cerdas politik. “Apa yang mereka lakukan?
dalam proses pilkada. Mestinya menjadi wasit pertandingan pilkada, Cuma kampanye. Mereka mengatakan yang terbenar. Hanya itu,
mereka malah ogah memperingatkan atawa memberi kartu merah belum sampai melakukan pendidikan politik yang murni,” ungkap
saat salah satu pemain pilkada ‘melanggar’ pemain yang lain. Seperti Direktur Eksekutif CETRO Hadar N. Gumay (lihat: Sudah
Panwas yang menutup mata dalam pilkada di Tuban, menjadi salah Waktunya Diperkenalkan Direct Democracy yang Sejati).
satu alasan massa mengamuk. Insiden di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, bulan Mei 2005 dapat
“Panwas tidak menggubris pelanggaran Pilkada seperti politik uang, dijadikan pelajaran berharga atas hal ini. KPUD Manggarai menolak
dan pemalsuan nominal pemilih, dan masih banyak lagi pola-pola pendaftaran calon dari PDI-P karena batas waktu pendaftaran calon
pelanggaran yang secara telanjang disaksikan oleh orang yang paling bupati sudah lewat. Karena tidak puas, pengurus partai berlambang
awam proses pilkada sekalipun,” ungkap peneliti Yayasan Tantular banteng gemuk ini pun meminta izin berdemo damai.Tapi, petugas
Malang, Paring Waluyo Utomo yang mengamati Pilkada Tuban. menemukan senjata tajam di tangan sejumlah massa. Bahkan,
Demikian pula dengan para kandidat kepala daerah. Mereka sering beberapa di antaranya dalam keadaan mabuk. Di depan Kantor KPUD
tidak siap kalah. Alih-alih menerima hasil pilkada dengan legowo, di Ruteng, ibukota Manggarai, massa PDI-P itu pun bentrok dengan
ketidakdewasaan mereka justru membuat pilkada berdarah-darah. polisi. Akibatnya, empat anggota Polres Manggarai terluka, yakni

„ RISET

Pilkada Bermasalah dan Cara Penyelesaiannya


KEKERASAN MASSA
Sukohardjo (Jawa Tengah) Peristiwa
1 Bambang Riyanto-M. Toha (PDIP) Sekitar 300-an orang menolak hasil pemilihan bupati Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka membakar pintu gerbang kantor KPUD dan merobohkan
2 Djowo Semito Admodjo-Joko Timbul Wiyono (Golkar) pintu gerbang kantor DPRD setempat.
3 Sugeng Purwoko-Tjipto Soebadi (PAN, P. Demokrat, PKPI, Mereka menuntut KPUD Sukoharjo dibubarkan karena ada indikasi KPUD curang guna memenangkan pasangan Bambang Riyanto-Muhammad
PBB) Thoha.
4 Bambang Margono-H. Pardjoko (PKS, PP) Di antaranya, penggelembungan jumlah pemilih di sejumlah tempat pemungutan suara, mencetak tambahan 10.000 lembar surat suara sehari
menjelang pencoblosan.

Kaur Selatan, (Bengkulu)


1 Saukani Saleh-Warman Suardi (PDIP, PKPB, Partai Ribuan massa yang menolak hasil pilkada membakar hampir seluruh gedung pemerintahan, Lima gedung di antaranya DPRD, kantor Dinas
Pelopor, PPD, dan PKPI) Kimpraswil, KUA, kantor Camat Kaur Selatan, Pemkab Kaur, habis dibakar oleh massa yang beringas. Massa menolak hasil pilkada yang
2 Sastra Abdurahman dan Mulyadi Usman (Koalisi Parpol) memenangkan pasangan Saukani Saleh dan Warman Suardi sebagai bupati dan wakil bupati terpilih.
Mereka menuntut pembatalan hasil perhitungan suara pemilihan yang dimenangkan Saukani Saleh-Warman Suardi. Yusirwan Wanie dan Sahlan
Sirad (keduanya calon wakil bupati), Mukarto, dan Yusnadi ditetapkan sebagai tersangka setelah aparat penyidik melakukan interogasi
3 Yusirwan Wanie dan Arjun Tahuri (Partai Golkar) mendalam, mendengarkan keterangan saksi, serta mencermati rekaman video demonstrasi
4 Yusdi ZT dan Samsu Hermanto (PAN dan PSI)
5 Zulkifli Salam dan Sahlan Sirad (PKB, PPP, PBB, PBR,
PNIM)
Tuban (Jawa Timur)
1 Haeny Relawati-Lilik Soehardjono (Partai Golkar) Terdapat “suara bermasalah" yang dinilai kubu pasangan Noor Nahar Hussein-Go Tjong Ping (Nonstop) sebagai menggelembung dan menyusut
2 Noor Nahar Hussein (PKB)-Go Tjong Ping (PDIP) hingga 65.845 suara dan mengakibatkan keduanya dikalahkan oleh duet Haeny Relawati-Lilik Soehardjono (Heli). Juga disinyalir terdapat isu
rasial, di mana Go Tjong Ping adalah WNI keturunan Tionghoa. Imbasnya, pada 29 April 2006, terjadi aksi anarkis oleh ribuan orang yang tidak
puas dengan hasil pilkada di Kabupaten Tuban, Jatim. Mobil dinas dan sejumlah mobil mewah kepunyaan bupati serta bangunan utama pendapa
kabupaten 'Krido Manunggal' dibakar. Mereka juga merusak dan membakar beberapa properti milik pribadi Bupati Haeny Relawati RM dan
keluarganya. Juga Hotel Mustika dan gudang 99 serta kendaraan pribadi milik suaminya. Go Tjong Ping kemudian ditetapkan menjadi tersangka

JALUR HUKUM
Mappi (Papua)
1 Fabianus Kamkopimu-Stevanus E Esole (PDIP-PPD) Berdasar hasil penghitungan suara, KPUD setempat memutuskan dan menetapkan pasangan Fabianus Kamkopimu-Stevanus E Esole sebagai
pemenang. Penetapan keputusan itu dilakukan pada 15 Juli 2005. Pasangan itu memperoleh 10.933 suara. Di pihak lain, pasangan Aminadab-
2 Aminadab Yumame- Stefanus Kaisma (PSI-Partai Pelopor) Stevanus dalam pilkada tersebut hanya memperoleh 10.823 suara. Karena tak puas dan merasa adanya kekurangan suara yang tidak masuk
hitungan, maka pasangan yang kalah ini pun mengajukan gugatan ke PT Jayapura. Selanjutnya PT Jayapura mengeluarkan putusan pada 11
Agustus 2005. Amar putusannya adalah mengabulkan gugatan dari Aminadab dan membatalkan keputusan KPUD Kabupaten Mappi.
Dipenuhinya gugatan Aminadab itu oleh PT Jayapura karena adanya surat suara sebanyak 215 yang dianggap sah dengan disertai klarifikasi
panwas. Setelah itu, KPUD Mappi mengajukan PK ke Mahkamah Agung, dan ditolak. Kasus ini sebelumnya dikonsultasikan oleh KPUD Mappi ke
DPR RI, Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI

Depok (Jawa Barat)


1 Badrul Kamal (Partai Golkar)-Syihabuddin Ahmad (PKB) Tim Badrul Kamal, pesaing Nur Mahmudi dalam pilkada depok, semula meminta pengadilan membatalkan penetapan KPUD Depok atas
kemenangan Depok. Dasarnya, tuduhan adanya kecurangan dan politik uang.
Pasangan Nurmahmudi yang memenangkan pilkada dengan selisih suara hampir 26 ribu, dinyatakan kalah oleh PT Bandung tanggal 8 Agustus
2 Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra (PKS) 2006. Pasangan Badrul Kamal- Syihabuddin Ahmad yang didukung Partai Golkar diputuskan mendapatkan 269.551 suara, sedangkan pasangan
Nurmahmudi-Yuyun yang didukung PKS hanya mendapatkan 204.828 suara padahal suara hasil penghitungan KPUD Depok adalah Nurmahmudi-
Yuyun dengan 232.610 suara dan pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin yang hanya memperoleh 206.781 suara. Namun kemudian PK dari pihak
KPUD Depok diterima oleh MA. Nur Mahmudi akhirnya ditetapkan sebagai Walikota terpilih Depok periode 2006-2011

TUNDA
Seram Bagian Barat (Maluku Tengah)
1 Subeno-Natanel Elake (Partai Golkar) Karena belum mencapai mayoritas 25% + 1, pilkada di Seram ini diulang di mana pasangan Yakobis Puttileihalat-La Kadir (23,04 %) bersaing
2 Yakobis- Puttileihalat-La Kadir (PKPB) ketat dengan duet Subeno-Natanel Elake (22,89 %). Subeno diklaim oleh panwas berijazah SLTA palsu dan juga Yakobis sebagaimana
dilaporkan Dinas Pendidikan Maluku. Subeno terbukti bersalah sehingga didiskualifikasi. Posisinya digantikan oleh Abdul Jabar Abdul-Julius
3 Abdul Jabar Abdul-Julius Makaruku
Makaruku setelah pilkada putaran 2 ini ditunda berkali-kali.

2
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

Sambungan: Pilkada Bermasalah... politik yang mengitari daerah tersebut. Ini amat beresiko terhadap
Kabag Ops, AKP Agus Nggana, Kasat Samapta, Ipda Donce kesuksesan pilkada, apalagi jika dihelat di daerah yang baru saja
Fernandez, BripdaYefta Tafoi dan Bripda Kamilus S. Niron. mengalami pemekaran.
Selain KPUD, Panwas dan para kandidat, Depdagri (Departemen Namun, hal ini dibantah oleh Depdagri. “Daerah pemekaran calon
Dalam Negeri) juga bertanggungjawab atas pesta demokrasi tingkat potensial konflik akan menjadi prioritas Depdagri. Mendagri telah
lokal yang tidak berjalan sesuai harapan. Analis politik pada CBS meminta gubernur-gubernur menyelesaikan masalah ini,” aku Dirjen
(Centre for Bureaucracy Studies) Jakarta Moh. Samsul Arifin, dalam Otonomi Daerah Depdagri Progo Nurdjaman.
salah satu tulisannya di koran Jawa Barat menilai Depdagri terkesan Potensi konflik ini bertambah parah jika dibumbui dengan
sangat ngotot menyelenggarakan pilkada mulai Juni 2005. Seolah- intimidasi dalam bentuk isu ras sebagaimana kasus Tuban. Sebelum
olah mereka dikejar tenggat. “Semakin cepat pilkada dilaksanakan meletus konflik pasca pilkada, merebak isu rasial untuk
berarti jalannya roda pemerintahan daerah akan lancar dan efektif. mendiskreditkan cawabup GoTjong Ping, pasangan cabup Noor Nahar
Yang digembar-gemborkan Depdagri adalah dari sekitar 181 propinsi Hussein yang menjadi rival politik pasangan Haeny Relawati-Lilik
dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada, mayoritas sudah Soehardjono. “Di kalangan graasroot berhembus isu jangan pilih Cina
rampung persiapannya,” tegasnya. untuk memimpin Tuban. Atau jangan pilih Cina karena dia tidak
Pada posisi ini, Depdagri kurang sensitif dengan daerah-daerah dikhitan. Isu ini memang konyol kelihatannya, namun bagi kalangan
yang memiliki kendala spesifik berdasarkan karakter dan kapasitas grassroot, terutama di desa-desa cukup efektif untuk menimbulkan
tertentu. “Daerah (pemerintah kabupaten dan KPUD) diiming- kebencian laten terhadap WNI keturunan Tionghoa,” ungkap Paring
imingi semacam reward tertentu baik berupa dukungan dan fasilitas, W. Utomo.
agar sanggup menyelenggarakan pilkada tepat waktu,” ungkap Isu agama juga mengundang bencana. Di Tasikmalaya dan Muna
Samsul. (Sulawesi Tenggara) muncul fatwa untuk menjegal lawan. “Di sana,
Ia menambahkan, situasi tersebut cenderung memunculkan ada pemuka agama yang membuat fatwa masuk neraka jika
masalah baru. KPUD potensial mengabaikan kondisi batin dan psiko- masyarakat memilih pasangan calon tertentu,” tutur Lukman Budiman

„ WAWANCARA KHUSUS

“SUDAH WAKTUNYA DIPERKENALKAN


DIRECT DEMOCRACY YANG SEJATI”
Hadar N. Gumay, Direktur Eksekutif CETRO

Permasalahan pilkada tidak hanya pada sebelum dan saat pelaksanaan. Banyak kepala daerah terpilih
terbongkar ‘belangnya’ justru usai hajatan demokrasi itu. Mengatasinya, dengan direct democracy
sejati. Berikut pernyataan Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (CETRO) Hadar Navis Gumay
kepada Nurun Nisa dari the WAHID Institute.

Apa penyebab dominan dari pilkada yang bermasalah?


Semua proses pilkada harus kita kembalikan kepada peraturan atau
Paling dasar ada dua hal. Pertama, mengenai aturan. Sejak awal UU
UU yang ada. Dalam proses ini, memang harus ada content demokrasi
No. 32 yang mengatur tentang pilkada sudah menimbulkan kontroversi.
yang harus berjalan. Masyarakat diberi kesempatan yang cukup untuk
Waktu itu ada upaya judicial review oleh kami dan beberapa NGO juga
punya informasi siapa sebetulnya para calon.Tidak ditekan untuk memilih
KPU daerah. Menurut kami, pilkada itu adalah pemilu. Sementara
orang-orang tertentu. Bebas memilih dan tidak dengan permainan uang.
sekarang ini, pemerintah dan DPR menganggap pilkada bagian dari
Dengan kondisi demikian, yang harus kita pegang adalah hasil suara
pemerintahan daerah. Dengan definisi seperti itu, maka penyelesaian
itu.
sengketa proses dan hasil-nya diberikan kepada Mahkamah Agung (MA),
Mengapa banyak pilkada hanya menghasilkan pasangan
bukan Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi, di sini ada peraturan yang
kepala daerah terpilih dengan suara di bawah 50%?
sejak awal sudah salah kaprah. Selain itu, ketika diserahkan kepada MA
Pilkada kita memiliki memiliki sistem 2 putaran, tetapi 2 putaran yang
dan didelegasikan ke PT, hakim-hakim itu tidak siap untuk menyelesaikan
aneh. Ini karena mayoritas mutlak tidak dijamin, sementara 2 putaran
sengketa ini, karena pemahaman-pemahaman yang kurang; tentang apa
di banyak negara bertujuan untuk mendapatkan (pemenang, red.)
dan bagaimana menyelesaikan suatu sengketa tentang hasil pemilihan.
mayoritas mutlak, seperti sistem pemilihan presiden kita yaitu 50%
Yang kedua, kekurangmatangan para elit politik yang bertarung di
plus satu.
pilkada. Karena tidak puas dengan hasil-hasil dan sudah kadung terlalu
Tetapi inilah produk kongkalikong partai politik, fraksi, politisi kita,
rugi, terus kalah, mulailah mengancam, mendorong, ngompor-
dan pemerintah. Dulu waktu UU ini dibahas, kami mengusulkan, jangan
ngomporin sehingga jadi keributan. Saya melihatnya di kasus Tuban,
begitu. Dua putaran, harus berani kita. Karena tujuannya adalah kita
Kaur, dan Sulsel.
harus punya pimpinan yang betul-betul mendapat dukungan besar,
Apakah soal agama, etnis atau ekonomi juga menjadi faktor legitimasinya tinggi. Ternyata diterapkan di UU No. 32 seperti itu,
pemicu kerusuhan pilkada? hanya 25% plus satu. Itu kecil sekali. bagian yang perlu kita usulkan
Kalau kita bicara persoalan pilkada, maka kita bicara aturan-aturan untuk diperbaiki.
dan proses pelaksanaan proses pilkada itu sendiri. Nah, bahwa kalau Sebenarnya, pernah kita usulkan dengan agak mengalah, yakni ‘sekurang-
ada orang, masyarakat atau kelompok masyarakat yang menganggap kurangnya 40%’. Tapi kalau kurang dari itu, harus ke putaran dua.
seorang calon mempraktekkan masalah korupsi, nepotisme, dan Waktu itu, mereka bilang; “Wah, nanti, biayanya terlalu tinggi kalau
sebagainya itu akhirnya harus dibuktikan dalam pilihannya di dalam sampai putaran kedua”
TPS. Jadi dalam proses ini, dengan asumsi bahwa proses pemilihan itu Apakah legitimasi yang rendah itu menjadi penyebab
demokratik, maka hasil dari perhitungan suara itulah yang menentukan.
3
terjadinya kerusuhan pasca pilkada?
Kita harus menerima itu. Jadi, fakor-faktor lainnya tidak bisa kita kait-
Kita perlu memilih antara suatu proses election dengan proses pelanggaran
kaitkan.
UU di luar itu. Kalau memang masyarakat merasa ada pelanggaran yang
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

Sambungan: Pilkada Bermasalah... pemenang, tidak demikian dengan pilkada. Seperti termaktub dalam
Tadjo, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 95
Rakyat (JPPR). ayat (2) PP No. 6Tahun 2005, pemenang cukup memiliki suara 25 %
Simbol agama juga sering dipakai untuk menyuap. Ketika pilkada plus satu. Juga tidak diharuskannya pilkada putaran kedua, seperti
sudah dekat, banyak calon kepala daerah berbondong-bondong halnya pemilihan presiden.
menyumbang ke mushala serta membagikan jilbab dan kitabYasin. Kenapa? Alasannya sangat pragmatis; demi efisiensi pendanaan
“Ini terjadi di Asahan, Kendal, dan Jember,” ungkap Lukman. sebagaimana diungkapkan Hadar N. Gumay, saat dia mengajukan
Selain itu, simbol agama bisa menjadi alat penekan kepala daerah RUU Pemerintahan Daerah. “Kami pernah mengusulkan kepada
yang sedang menjabat, seperti yang terjadi di Banyuwangi. “Jika DPR, dengan agak mengalah, sebanyak 40%. Sekurang-kurangnya
masa yang memakai simbol agama berhasil menggulingkan kepala 40%.Tapi kalau kurang dari itu, harus ke putaran dua.Tetapi di UU
daerah, ini akan dipakai di daerah lain,” ujar Koordinator JPPR Adung No. 32 ini kan hanya 25% plus 1? Itu kecil sekali.” Hadar melanjutkan,
Abdul Rochman. “waktu itu mereka (DPR, red) bilang; ‘Wah, nanti, biayanya terlalu
Di samping itu, premanisme juga menjadi momok Pilkada tinggi kalau sampai putaran kedua”.
sebagaimana terjadi di Bandar Lampung. “Di Kota Bandar Lampung, Alternatif
kepala desa diintimidasi oleh para preman agar mendukung kandidat Lalu bagaimana mengatasi pilkada bermasalah ini? Ada beberapa
tertentu”, tutur Lukman. alternatif yang patut disimak. Pertama, soal teknis. Mau tidak mau,
Apalagi money politic. Taktik busuk ini seperti lazim dipakai. “Di UU No.32 mesti direvisi terutama menyangkut pemisahan rezim
Sumenep, Muna, Asahan, Sidoarjo, dan Sukabumi, calon-calon pemerintahan dan rezim pemilu. Yang berlaku selama ini, urusan
ketahuan membagikan uang kontan Rp 20-50 ribu kepada para pilkada adalah urusan berdua; KPUD dan Pemda. Depdagri bahkan
pemilih,” tambah Lukman. membentuk badan bernama desk pilkada untuk urusan ini. Bukannya
Legitimasi Tak Berarti efektif, keduanya seringkali malah tumpang tindih.
Legitimasi publik merupakan masalah laten dalam pilkada. Dalam Kedua, menyangkut problem non teknis. Ini terkait kepuasan rakyat
periode Juni 2005-Mei 2006, mayoritas kepala daerah terpilih atas kandidat terpilih, dapat diperkenalkan sistem baru, sebagaimana
mendapat dukungan yang sangat rendah dari masyarakat daerahnya. di Hadar N. Gumay. Bentuknya adalah direct democracy yang
“Berdasarkan pemantauan kami di 226 pilkada, 153 kepala daerah sebenarnya, di mana rakyat memiliki hak inisiatif untuk mengajukan
atau 67,70 persen terpilih dengan mendapatkan suara di bawah 51 keberatan kepala daerah terpilih. Dengan kata lain, bila sang kepala
persen,” papar Adung Abdul Rochman saat seminar evaluasi satu tahun daerah tak cakap memimpin, ia dapat diturunkan (di-recall) tanpa
pilkada di Jakarta, Rabu (28/6/2006). menunggu masa jabatannya khatam lima tahun.Tentu, setelah diadakan
Hal itu mengakibatkan legitimasi kepala daerah terpilih kurang referendum atau semacam jajak pendapat terlebih dahulu dengan
kuat, sehingga beresiko dipermasalahkan lawan politiknya. Padahal memakai prosedur tertentu.
keadaan ini secara tidak langsung disebabkan oleh regulasi pilkada itu Kini, usulan di atas menunggu diwujudkan. Bila tidak, perbaikan
sendiri. Jika Undang- Undang Pemilu mengharuskan pasangan capres kesejahteraan rakyat yang dijanjikan pilkada langsung jangan harap
dan cawapres merebut suara 50% plus satu agar dapat menjadi menjadi kenyataan.
[] Nurun Nisa, Gamal Ferdhi

Sambungan: Sudah Waktunya ..... (berhadapan) dengan aturan yang tidak jelas. Atau karena permainan
dilakukan, harus diajukan ke mekanisme yang ada. Misalnya pengadilan. politik saja, ketika kelompok tertentu saja tidak puas, seorang kepala
Pemilihan kepala daerah harus dinyatakan dengan surat suara. Jika daerah itu ingin dijatuhkan di tengah jalan, seperti kasus pilkada
tidak puas, ‘saya tidak mau memilih dia”. Itu satu-satunya jalan yang Banyuwangi. Jadi kita menghindari suatu permainan politik semata. Di
harus kita lakukan. sini rakyat membuat semacam petisi. Jika sudah memenuhi syarat,
Di sinilah, terjadi proses pendidikan pemilih secara khusus, pendidikan diajukan referendum. Lalu dia harus jatuh, di-recall. Gubernur Califor-
politik secara luas. Itu yang harus ditingkatkan betul, kaitannya dengan nia jatuh di tengah jalan dengan prosedur ini, lalu digantikan oleh
KPU. UU yang ada tidak berani mengatakan bahwa KPU bertanggung Arnold Schwarzenegger.
jawab atau punya kewajiban untuk melakukan pendidikan pemilih. Kemarin sebetulnya sudah ada perdebatannya waktu menyusun, seingat
Bahasanya masih menyebarkan informasi tentang tahapan saya, UU tentang Pemilu. Ada banyak pertanyaan, masyarakat yang
penyelenggaraan pemilihan. Lagi-lagi, karena partai politik tidak mau mana? Konstituen yang mana? Bagaimana bisa kita bilang itu
kehilangan perannya. Tapi apa yang selanjutnya parpol lakukan? Cuma konstituennya yang dulu memilih dia dan sekarang tidak? Berapa
kampanye. Parpol menganggap dirinya yang terbenar. Hanya itu. Belum persennya? Apa mekanismenya? Tanda tangankah? Dan seterusnya.
sampai melakukan pendidikan politik yang murni. Khawatir nanti akan ada chaos. Tapi dengan banyaknya kasus
Jadi, saya kira, di dalam UU Pemilu ke depan dan juga UU No. 32 perlu ketidakpuasan pemilih, baiknya diatur teknisnya dengan segera. Ini
diperbaiki. Perlu disebutkan secara tegas bahwa KPU berkewajiban sebetulnya sedang diterapkan di Thailand. Di Jepang punya. Di Amerika
melakukan pendidikan pemilih sehingga ada institusi yang bertanggung tentu. Banyak negara Eropa yang baru berdemokrasi, seperti Switzer-
jawab sekaligus bisa kita tuntut kalau mereka tidak mengerjakannya. land.
Dan kemudian, kalau dalam perjalanannya, sebagian besar masyarakat Ada KPUD yang berkonsultasi ke Depdagri karena masalah
itu melihat calon terpilih ini sudah tidak pantas menjabat, atau mereka pilkada. Apakah di sini menunjukkan bahwa rezim pemilu
merasa salah pilih atau tertekan ketika mencoblos satu pasangan calon, dan rezim pemerintah belum dipisahkan?
atau si terpilih nyata-nyata tidak bisa memberikan kemajuan bagi
Memang betul. Jadi dengan UU No. 32 ini, sebetulnya pilkada itu di
daerahnya dan dianggap sudah mengibuli masyarakat, sementara pilkada
bawah rezim pemerintah. Ini yang sebetulnya harus dibenahi. Misalnya
masih 5 tahun lagi, mungkin sekarang sudah waktunya kita mengenalkan
saja, untuk apa pemerintah mengeluarkan PP yang menjadi pedoman
sistem yang sering disebut direct democracy.
bagi KPU sebagai penyelenggara. Penyelenggara yang seharusnya mandiri,
Direct democracy, bisa dijelaskan lebih lanjut? malah berpedoman kepada PP. Pemerintah, enteng saja bilang, karena

4 Demokrasi langsung, istilahnya, cuma suka disalahpahami. Direct de-


mocracy sejati ini melalui tahapan inisiatif, referendum, melalui recall.
Mungkin sudah saatnya kita perkenalkan sistem-sistem itu, daripada
UU No. 32 yang disusun bersama DPR, mengatakan itu.
Termasuk di dalamnya adalah pemutakhiran data pemilih sampai ke
tingkat RT, seperti tertulis di peraturan Mendagri berupa Daftar Potensi
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

„ KOLOM
PROBLEMA SATU TAHUN PILKADA
Adung A. Rochman, Koordinator Nasional JPPR

SELAMA satu tahun ini telah berlangsung setahun pilkada ini berkaitan dengan daftar pemilih. Termasuk dapat
pemilihan kepala daerah secara langsung dipahami pula mengapa angka partisipasi masyarakat dalam pilkada
(pilkada) di 251 daerah. Pilkada, sebagai mengalami penurunan dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
momentum lanjutan dari pemilihan Sebagai ilustrasi, di Kota Cilegon diperkirakan 56 ribu orang
langsung presiden dan wakil presiden, kehilangan hak pilih; di Sumatera Barat hanya 1,7 juta dari 2,98 juta
sesungguhnya telah membuka peluang bagi warga yang menggunakan hak pilih, sebagian besar karena tidak terdaftar;
setiap individu untuk memilih pemimpin di Kendal sebanyak 130 ribu warga tidak mencoblos karena tidak
daerah mereka secara langsung, tanpa melalui perwakilan. Secara teoritis, mendapat kartu pemilih. Pada akhirnya pendataan pemilih yang kacau
Pilkada memberi ruang yang luas bagi publik untuk berpartisipasi dalam ini dijadikan alasan bagi kandidat yang kalah untuk menggugat keabsahan
menentukan pejabat publik di daerah. proses atau hasil pilkada, seperti yang terjadi di Pilkada Kota Depok.
Dalam prakteknya, Pilkada sepanjang setahun ini belum sepenuhnya Persoalan lain adalah munculnya konflik yang disulut oleh
mengarah pada idealitas tadi. Meskipun pemilihan di Indonesia telah ketidakpuasan atas pencalonan dan penetapan kepala daerah. Konflik
menunjukkan hal yang positif di mana rakyat dapat memilih secara seringkali terjadi di internal partai politik saat penentuan bakal calon,
bebas di TPS dan semakin rendahnya manipulasi penghitungan suara di baik yang bersifat horisontal -antar pengurus daerah papol- maupun
tingkat desa dan kecamatan (PPS dan PPK), namun Pilkada masih vertikal (antara pengurus daerah dengan pengurus pusat parpol atau
menyisakan masalah yang tidak kecil. Pengalaman Jaringan Pendidikan antara pengurus daerah parpol dan pengurus di bawahnya. Selain itu,
Pemilih untuk Rakyat (JPPR) selama ini menunjukkan setidaknya ada KPUD sering menjadi sasaran protes dan kemarahan jika bakal calon
6 masalah yang menonjol dalam Pilkada, yaitu yang menyangkut hak tertentu tidak diloloskan karena berbagai sebab. Yang luput dari
memilih, pencalonan dan penetapan calon kepala daerah, akses informasi pengamatan media massa selama ini adalah bahwa proses pencalonan
dan kampanye, kinerja KPUD, kinerja Panwaslih dan aturan hukum kepala daerah sama sekali tidak melibatkan masyarakat umum. Proses
yang tidak tegas, dan kedewasaan berpolitik elite politik. pencalonan terlalu didominasi oleh elite partai politik lokal atau pusat.
Satu tahun Pilkada ditandai dengan banyaknya warga yang kehilangan Bahkan, anggota partai pun gagal untuk mengontrol elite partainya.
hak pilihnya, sebagai akibat dari buruknya sistem administrasi Pada konteks ini rakyat dalam posisi menerima apa adanya “menu” yang
kependudukan maupun sistem pendataan pemilih di Indonesia. Ragam disiapkan oleh partai politik.
yang muncul dari fakta ini adalah banyak warga tidak didaftar atau Akses informasi terhadap pilkada dan program kandidat merupakan
tidak diberi kartu pemilih atau tidak diundang untuk datang ke TPS. problem tersendiri dalam Pilkada. Sosialisasi yang dilakukan oleh KPUD
Hal ini berakibat ditolaknya warga saat ingin mencoblos atau timbul tentang proses, jadual dan mekanisme Pilkada masih terbatas. Begitu
keengganan warga untuk menggunakan hak pilihnya dalam pilkada. pula dengan kampanye kandidat yang dibatasi oleh masa kampanye
Karena itu bisa dipahami mengapa muncul banyak protes sepanjang yang pendek dan cenderung monolog. Hal ini nampak sekali terutama

Sambungan: Sudah Waktunya .....

Pemilih Pilkada, yang kemudian diberikan ke Dinas Pendudukan dan accountable kepada para pemilihnya.
Pencatatan Sipil (Dispencapil). Baru ke KPUD untuk dirapikan lagi. Kemudian dia juga lebih aspiratif, selain persoalan permainan uang
Namun pemerintah tidak menjalankan fungsinya dengan baik soal ini. dalam pemilihan berkurang, dan seterusnya itu. Jadi kamipun masih
Kemudian, desk pilkada bikinan pemerintah pada prakteknya tidak percaya ini. Tentu, dengan asumsi bahwa pemilihan langsungnya betul-
berjalan, sementara dananya ya. Mereka punya 5 peran gede-gede: betul berjalan secara demokratis dan jurdil.
sosialisasi, supervisi, monitoring, evaluasi, advokasi. Buat apa? Padahal Kalau setelah ia terpilih kemudian tidak responsif, saya kira akan konyol.
yang namanya sosialisasi dan supervisi adalah peran KPU. Evaluasi dan Karena logikanya, dipilih secara langsung berarti harus lebih memelihara
monitoring, tugas panwas. Advokasi juga persoalan ke panwas, ke MA. kepercayaan. Kecuali, ada penyimpangan-penyimpangan. Misalnya saja,
Ke depan, ini tidak perlu. Pemerintah kita mempunyai banyak urusan dewan DPRD yang begitu dominan melakukan kontrol yang bukan
lain yang harus dibereskan. didasarkan kepada satu kondisi masyarakat yang ada, tetapi lebih
Biarkanlah yang namanya pemilihan ini, entah pemilihan presiden, subyektif dan lebih kepada political interest-nya. Ini bisa merepotkan
legislatif, kepala daerah, itu diurus oleh KPU yang di dalam konstitusi memang.
sudah jelas; KPU nasional tetap dan mandiri. (Rezim) election yang Sejauh ini, adakah pilkada yang ideal dengan kecurangan-
bekerja. Jadi, yang penting kita punya satu penyelenggara, satu wasit kecurangannya relatif lebih sedikit?
yang betul-betul mandiri, independen, dan non partisan. Pilkada yang ideal saya kira pilkada-pilkada yang menghasilkan orang-
Di negara lain sistem seperti ini lancar. Di Inggris, yang sudah terbukti orang alternatif, bukan incumbent, walaupun ia dicalonkan dari partai
neutrality-nya dalam sejarah. Mau ganti PM sekarang dari Demokrat yang cukup besar, dan yang memang dasarnya bukan partai besar yang
atau Buruh, tidak berpengaruh bagi birokrasi bawahnya. Kita tidak pasti selama ini kita pasti (anggap) salah. Sumbar misalnya, bisa jadi
bisa disamakan dengan mereka. Gantinya saja, makan waktu sekian contoh di level propinsi.
bulan. Nanti asmen, sekjen, dirjennya ganti. Semua dibawa dari Sedang level kabupaten itu, Depok. Kabupaten ini bisa di-handle dengan
pasukannya masing-masing. damai sesuai dengan aturan yang ada. Tetapi mungkin karena
Dengan perubahan sistem seperti tadi, apakah calon terpilih keberuntungan Depok sendiri yang dekat dengan Jakarta; banyak pihak
bisa menjadi pemerintah yang responsif, aspiratif, dan ac- bisa ikut langsung dan banyak media-media yang bisa selalu ikut
countable? menyoroti (kasus ini). Tetapi tidak demikian dengan daerah-daerah yang
Ini yang harus kita buktikan. Argumentasi kenapa dulu kami sangat
aktif mendorong perubahan sistem dari tak langsung menjadi langsung,
adalah karena nanti calon terpilih atau pemimpin terpilih akan lebih
di pelosok (Indonesia Timur, red.). Jadi seharusnya, bisa di banyak
tempat. Jadi bukan hanya Depok yang karena nempel dengan Jakarta,
misalnya. Kan tidak adil juga, rasanya. []
5
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

Sambungan: Problema Satu Tahun .....


saat berlangsungnya Pilkada di 138 daerah di bulan Juni 2005. kecurangan dalam Pilkada yang dilaporkan oleh masyarakat atau
Penyebabnya adalah sempitnya waktu yang dimiliki oleh KPUD kontestan tidak ditindaklanjuti dengan cepat dan baik oleh Panwaslih.
maupun pasangan calon untuk melakukan sosialisasi dan kampanye, Kondisi ini diperparah dengan aturan hukum Pilkada yang tidak
minimnya dukungan pendanaan dan tiadanya media alternatif untuk tegas atau terlalu ringan dalam memberikan sanksi kepada pelaku
mengkomunikasikan informasi pilkada maupun program kandidat. pelanggaran atau kecurangan dalam Pilkada. Hal ini mengakibatkan
Temuan JPPR di 3.293 TPS pada Pilkada sepanjang Januari hingga Juni pelaku pelanggaran atau kecurangan tidak gentar dengan sanksi yang
2006 menunjukkan, bahwa 21,8% TPS tidak terdapat informasi apapun ada. Bahkan seorang kepala desa di Jawa Timur terang-terangan
dari KPUD di lokasi-lokasi TPS mengenai cara pencoblosan, alur menganggap enteng sanksi yang ada jika dibandingkan buah politik
pemungutan suara dan program kandidat. Fenomena ini tentu berbeda yang akan dipetiknya. Apalagi batas waktu bagi Panwaslih untuk
sekali dengan saat diselenggarakannya Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. pengkajian laporan pelanggaran atau kecurangan hanya dibatasi 7 hari
Sejauh ini, dukungan internasional terhadap program-program voter in- sejak laporan tersebut diterima Panwaslih. Belum lagi faktor rendahnya
formation dan voter education pada Pilkada sangat minim. Demikian pula kesadaran masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran atau
kegiatan-kegiatan voter education yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga kecurangan kepada Panwaslih turut memperburuk penegakan hukum
masyarakat jauh berkurang jika dibandingkan pada pemilu sebelumnya. dalam Pilkada. Masyarakat lebih memilih mendiamkan peristiwa
Selain hal di atas, yang perlu dikritisi lagi adalah kinerja penyelenggara pelanggaran atau kecurangan, daripada melaporkannya kepada
dan pengawas Pilkada. Ada kecenderungan KPUD dalam Panwaslih karena mereka tidak ingin menghadapi resiko yang akan
menyelenggarakan Pilkada tidak independen karena ketidakmandirian terjadi. Atau karena adanya rasa frustasi terhadap penegakan hukum
keuangan. Menurut Ketua KPUD Kab. Malang,Andry Dewanto Ahmad, berdasarkan pengalaman mereka selama ini.
KPUD-KPUD seringkali harus “berkompromi” dengan eksekutif dan Setahun Pilkada ini juga dicoreng oleh peristiwa kerusuhan dan konflik
DPRD untuk meloloskan anggaran Pilkada. Di samping itu, sorotan di berbagai daerah, dua di antaranya yang terbesar adalah di Kaur
terhadap netralitas KPUD juga cukup mengemuka. Temuan JPPR Bengkulu dan Tuban Jawa Timur. Kerusuhan di Kaur yang terjadi pada
menunjukkan bahwa ada banyak kasus yang mengarah pada 25 Juli 2005 dipicu oleh rasa tidak puas atas penyelesaian kasus dugaan
ketidaknetralan KPUD. Salah satunya adalah keterlibatan salah satu “money politics” dan hasil Pilkada. Sedikitnya 10 ribu massa digerakkan
KPUD di Jawa Barat yang melakukan mobilisasi dukungan pemilih oleh pasangan calon yang kalah untuk berunjuk rasa dan berakhir dengan
untuk kandidat incumbent dan dalam merekayasa daftar pemilih. kerusuhan. Dalam kerusuhan ini, massa merusak kantor DPRD, kantor
Dipertanyakannya kinerja KPUD ini tak lepas dari minimnya KPUD, aula kantor Pemda, ruang kerja Bupati, gedung Bupati, KUA,
persiapan yang dilakukan KPUD dan tiadanya supervisi yang cukup kantor Dinas Kimpraswil dan rumah dinas Ketua DPRD.
dari KPU maupun Depdagri. UU 32/2004 yang mengamputasi Sementara itu, kerusuhan di Tuban yang terjadi pada 29 April 2006
kewenangan KPU dalam Pilkada ini juga punya implikasi yang tidak dilakukan oleh ribuan massa dengan keterlibatan elite politik lokal.
ringan terhadap tingkat kemandirian dan akuntabilitas KPUD dalam Amuk massa menghanguskan kantor KPUD, pendapa kabupaten, mobil
menyelenggarakan Pilkada. KPUD memiliki kewenangan yang luas dinas dan hotel, serta merusak rumah kediaman Bupati dan SPBU.
dalam Pilkada, tetapi rentan terhadap intervensi pihak lain seperti Kerusuhan di Tuban awalnya dipicu oleh ketidakpuasan atas hasil Pilkada
eksekutif dan DPRD. Ironisnya, tidak ada mekanisme yang memenangkan incumbent Bupati. Kasus Tuban nampaknya lebih
pertanggungjawaban yang jelas atas kerja-kerja KPUD dalam rumit dibandingkan Kaur, karena faktor pemicunya tidak tunggal dan
penyelenggaraan Pilkada paska keputusan Mahkamah Konstitusi. semata terkait dengan proses atau hasil Pilkada. Kasus Tuban disinyalir
Sebelumnya, UU 32/2004 mengatur pertanggungjawaban KPUD merupakan akumulasi dari persoalan yang menumpuk dan dirasakan
kepada DPRD dan paska keputusan MK pertanggungjawaban KPUD oleh masyarakat Tuban selama ini.
dilakukan kepada publik, tanpa ada kejelasan siapa dan bagaimana Selain dua kasus kerusuhan di atas, setidaknya masih ada 15 daerah
mekanisme pertanggungjawabannya. lainnya yang mengalami konflik disertai kekerasan. Sesungguhnya ada
Kritik yang sama juga diarahkan kepada panitia pengawas pemilihan benang merah yang menghubungkan kerusuhan dan konflik di berbagai
(Panwaslih). Banyak pihak menilai Panwaslih mandul dalam daerah ini, yaitu rendahnya tingkat kedewasaan berpolitik para elite
menjalankan fungsinya. Proses pembentukan Panwaslih yang biasanya lokal. Kerusuhan atau konflik terjadi karena ketidaksiapan mereka untuk
terlambat, sistem organisasi dan kerja yang belum tertata rapih, dukungan menghadapi kekalahan. Dalam kasus Kaur dan Tuban di atas nampak
pendanaan yang minim dan independensi Panwaslih yang dipertanyakan sekali adanya keterlibatan elite lokal dalam menggerakkan massa untuk
karena keanggotaan institusi ini yang diangkat oleh DPRD—yang melakukan tindakan anarkhis. Walhasil, kedewasaan berpolitik elite
notabene adalah orang-orang partai—membuat Panwaslih tidak berperan lokal ini masih menjadi problem tersendiri dalam proses demokratisasi
banyak dalam Pilkada. Akhirnya, banyak kasus pelanggaran dan di tingkat lokal di Indonesia. Wallahu a’lam.

„ PENERBITAN
Kala Fatwa Jadi
Penjara
xxix + 264 hlm
Maret, 2006

Buletin Agama
dan Keyakinan
Dalam RKUHP
edisi 1- 4

6 Silakan menghubungi Redaksi Nawala Jl.Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320, Telp: 021-3928233, 3145671, Faks: 021-3928250
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

„ PUSTAKA
Berebut (Demokrasi) Lokal
Judul Buku : Desentralisasi, Globalisasi dan
SEMENJAK kebijakan desentralisasi digulirkan, masyarakat In- Demokrasi Lokal
donesia memasuki babak baru dalam berdemokrasi. Kebijakan Penulis : Jamil Gunawan [et.al]
ini diyakini mampu membawa perubahan yang lebih baik. Penerbit : LP3ES
Sebab, warga daerah kini bebas untuk mengatur Tahun Terbit : April 2005
kehidupannya setelah sekian lama tak berkutik di bawah Jumlah Halaman : xxvi+445 halaman
rezim tiranik. Jika dulu ketakukan dalam menentukan
pilihan, kini mereka merdeka memilih jalan. Kalau dulu selalu pemerintahan ala Orde Baru yang cenderung Jawa
dikontrol dan diawasi, sekarang mereka ditantang untuk mandiri. sentris. Setelah sekian lama terbungkam atas nama
Muncullah slogan: kini era lokal, bukan lagi era global. penyeragaman, identitas ini menyeruak ke permukaan.
Sebagai contoh adalah kembalinya Sumatra Barat ke Nagari,
Sekilas, kondisi ini memang meyakinkan.Warga daerah bisa menikmati Kabupaten Tana Toraja ke Lembang, dan beberapa daerah di
hasil jerih payah mereka sendiri tanpa harus ‘dibagi’ dengan daerah lain. Kalimantan Barat yang tengah berjuang kembali ke pemerintahan Binua.
Mereka otonom mengurus kehidupan sosial-politiknya tanpa intervensi
penguasa (pusat). Iming-iming kesejahteraan terpampang di depan mata. Berbagai kenyataan terus mendera masyarakat lokal.Akibatnya, segregasi
Tapi, benarkah desentralisasi mampu mewujudkan asa masyarakat yang sosialpun tak terhindarkan. Penegasan eksistensi kelas sosial tak
gegap gempita? terbendung lagi. Kasus Madura tepat untuk menggambarkan fenomena
ini. Di Madura, kelas menengah yang selama rezim Orde Baru tidur
Secara teoritik memang demikian. Kebijakan ini diberlakukan sebagai nyenyak mulai menggeliat. Pemainnya adalah kaum pedagang, intelektual
ganti kebijakan sentralistik yang sekian lama memakan korban dan dan kiai. Semenjak otonomi diberlakukan, kelas menengah ini saling
hanya menguntungkan segelintir orang. Desentralisasi diharapkan bisa bergulat. Kelas yang tadinya berkutat pada aktivitas masing-masing,
mempromosikan demokrasi lokal, menghargai identitas yang beragam, kini menjadi rezim politik yang haus kekuasaan.
memperbaiki kualitas layanan publik yang relevan, membangkitkan
potensi, prakarsa dan partisipasi masyarakat lokal. Dan, harus diakui, desentralisasi memang hanyalah alat. Hasil yang
dicapai sangat tergantung pada siapa yang menggunakan alat tersebut.
Namun, transisi desentralisasi juga membawa dampak yang tidak enak. Hasilnya akan baik dan maksimal ketika diarahkan untuk menciptakan
Diam-diam, ia menjadi aktor pendorong munculnya rezim tirani baru masyarakat demokratis di tingkat lokal. Sebaliknya, ia menjadi bumerang
yang kejam. Bukan hanya menggeser rezim pusat ke daerah, tapi juga ketika tidak mampu dimanfaatkan dan hanya menyulut perang. Karena
(terkadang) menciptakannya. Pertarungan politik di daerahpun kian itu, hendaknya partisipasi masyarakat lokal untuk mengisi desentralisasi
tajam. Di sinilah, beban politik masyarakat daerah menjadi tambah ini perlu dilakukan. Pendampingan dan pengawalan mewujudkan
runyam. demokrasi lokal ini juga perlu diupayakan.
Beragam kasus kontroversial muncul. Apalagi ketika persoalan Nah, buku betajuk ‘Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal’
kontroversial itu dilembagakan. Contoh riil adalah Peraturan Daerah ini mengetengahkah dinamika desentralisasi dan demokrasi lokal
berdasarkan Syariat Islam (disingkat Perda Syariat). Meski didebat tersebut. Ditulis oleh para aktivis dan peneliti lokal menjadikan buku
berkali-kali karena mengusung sektarianisme baru atas nama agama, setebal 445 halaman ini kaya akan data dan analisa yang mendalam.
tetap saja kelompok pro Perda itu tak bergeming. Malah menganggap Sekaligus mendobrak kebekuan kekosongan juru bicara lokal. Sebab,
Perda tersebut sangat demokratis karena sesuai dengan aspirasi warga. selama ini, seringkali yang muncul adalah orang pusat yang bicara atas
Tak jelas, apakah hal ini benar adanya. Toh banyak yang menolaknya. nama daerah. Buku ini layak dibaca oleh para pegiat LSM, pengamat
Nampak sekali aspirasi warga hanya menjadi tameng semata. politik dan mahasiswa.
Soal lain adalah bangkitnya identitas lokal sebagai bentuk ‘perlawanan’ M. Khoirul Muqtafa, Kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
(JPPR)

Hukum Kriminal Islam dalam Negara Modern


MENGIRINGI Negara-negara merdeka di berbagai belahan Judul Buku : Crime and Punishment in Islamic
dunia Muslim, bangkit pula hukum kriminal Islam (jinayat) Law, Theory and Practice from the Sixteenth to
dari tidur panjang. Di zaman penjajahan Barat dimana the Twenty-first Century
diterapkan pula hukum Barat, maka hukum Islam ditidurkan. Penulis : Rudolph Peters
Penerbit : Cambridge, Cambridge University
Rudolph Peters, penulis buku ini mencoba mengkaji teori-teori Press, 2005
klasik dan penarapannya di zaman itu serta kebangkitan kembali Halaman : 219 halaman
di era Negara bangsa modern di dunia Islam.
Di beberapa Negara Muslim, terjadi tolak angsur antara hukum kriminal
Islam dan hukum kriminal Barat yang berlaku di Negara itu. Sementara rasa aman.Tetapi sayangnya, banyak penguasa Muslim
hukum kriminal Islam merespon aspirasi modern, maka hukum Barat yang tidak sabar dan tidak kreatif sehingga hukum kriminal
merespon tuntutan hukum kriminal Islam. Salah satu unsur penting Islam diterapkan begitu saja tanpa ada proses kreatif. Ini misalnya
dalam aspirasi modern adalah masalah hak asasi manusia. Karena faktor dilakukan oleh Zia ul Haq di Pakistan dan Jafar Numairi di Sudan.
sejarah, maka hukum kriminal Islam belum mengadopsi prinsip hak
asasi manusia (HAM). Diperlukan kajian serius dan kesabaran untuk Penerapan hukum kriminal Islam serta merta dengan mengabaikan
mengadopsi prinsip HAM ke dalam hukum kriminal Islam sebelum aspirasi masyarakat telah menimbulkan kerugian besar. Di Sudan pada
diterapkan (hlm. 174-185). masa Jafar Numairi banyak orang miskin jadi korban, misalnya dipotong
tangannya karena mencuri. Mereka tidak tertolong dari kemiskinannya
Sesungguhnya secara prinsip, hukum kriminal Islam memberikan melainkan malah semakin terpuruk. Negara itu pun tidak berhasil keluar
sumbangan yang baik terhadap hukum kriminal modern jika ia
diperkenalkan dengan cara kreatif dan disesuaikan dengan aspirasi
masyarakat modern. Ia bisa ikut melindungi masyarakat dan memberikan
dari kemiskinan dan keterbelakangan hingga sekarang, dan ancaman
perang saudara selalu mengintai. (Ahmad Suaedy) 7
NO. 2/TH. I/MARET - JULI 2006

AKTIVITAS

Pengajar Universitas Deakin Australia Prof Sue Yenny Wahid dan Paul Wolfowitz saat Peresmian Jumpa pers Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan
Kenny (kiri) & Dr Julian Barbara (kanan) dalam Toko Buku dan Café 8 yang berada di lingkungan menyikapi kekerasan atas nama Islam di Kantor
diskusi “Multikulturalisme: Menggali Pengala- Kantor the WAHID Institute 12/4/2006 TWI Rabu (23/5/2006).
man Australia” Jumat 17/3/2006

Kelompok Kompas-Gramedia (KKG) memberi Bedah Buku terbitan TWI: Kala Fatwa Jadi
Pengacara dan kolumnis Malaysia Karim Raslan bantuan buku senilai 10 juta rupiah & cek sebesar Penjara di Gedung PBNU 6/6/2006
dan Editor Desk Wilayah harian The Nation, Don 10 juta rupiah untuk perpusatakan TWI
Pathan berbicara pada diskusi ‘Thaksin Clamored,
Influence to Moslem Movement Dynamics in Phatani,
South Thailand’. Senin (20/3/2006)

Dialog intelektual muda Islam dengan Staf


22 rohaniawan Protestan mengikuti Kelas Islam Kedubes Australia tentang pluralisme Indonesia
dan Pluralisme yang digelar TWI dengan Crisis di TWI 15/6/2006
Center Gereja Kristen Indonesia. Workshop ini
Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz berdialog berlangsung tiap Jumat dalam 8 pertemuan
dengan sejumlah agamawan muslim di Kantor
The Wahid Institute Jl. Taman Amir Hamzah No.
8 Matraman, Jakarta, Rabu (12/4/06).

Yenny Wahid menyerahkan Blueprint Rumah


Transisi bagi Korban Gempa Jogja dan Jateng di
Bantul, Rabu (14/6/2006).
Baca. Suplemen The Wahid

8 Institute di Majalah GATRA


"Menyemai IslamYang Damai"
Pada Minggu ke-4 tiap bulan.

You might also like