Buletin the WAHID Institute
Agama dan Keyakinan dalam R–KUHP
Alamat Redaksi: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320 Indonesia. Telp: +62 21–3928233, 3145671 Faks: +62 21–3928250
E–mail: info@wahidinstitute.org. Web: www.wahidinstitute.org ; www.gusdur.net
Pengantar Redaksi
Sebagian besar kasus penodaan
agama yang telah diadili di Pengadilan
Negeri sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dan terpidana sudah
menjalani hukuman. Meski begitu,
kasus-kasus itu tetap perlu untuk
didiskusikan kembali. Pertanyaan
dasarnya adalah: perbuatan apa yang
bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana penodaan agama? Nah, kasus-
kasus yang diuraikan dalam edisi
sebelumnya sedikit bisa menjawab:
Itulah yang dimaksud penodaan
agama dalam peradilan di Indonesia.
Edisi ini merupakan komentar dan
analisis singkat dari berbagai kasus
penodaan agama yang sudah divonis
pengadilan. Analisis ini bertujuan
untuk melihat apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan penodaan agama
dalam praktiknya, dan bagaimana
peristiwa-peristiwa itu mencuat men-
jadi kasus penodaan agama. Dari
refleksi kasus-kasus itu, kita akan
mendapat bayangan dan mempunyai
bahan untuk memberi penilaian atas
materi revisi Rancangan KUHP,
terutama menyangkut Bab VII
tentang Penodaan Agama dan Kehi-
dupan Beragama. Bunyi selengkapnya
Bab VII Rancangan KUHP itu akan
dijabarkan pada edisi berikutnya.
Dew an R
Dewan edaksi: Yenny Zannuba
Redaksi:
Wahid, Ahmad Suaedy,
Rumadi, Moqsith Ghazali
Redaktur: Gamal Ferdhi, Subhi
Azhari, Nurul Maarif, Nurun Nisa
Desain: Widhi Cahya
Kerjasama The Wahid Institute—Yayasan TIFA
Penodaan Agama dalam Praktik
Peradilan (Bagian III)
K
asus-kasus penodaan agama seperti telah diuraikan dalam
dua edisi sebelumnya, bisa memperjelas tentang apa
sebenarnya yang dimaksud penodaan agama. Bukan saja soal
definisi, tapi juga bagaimana aparat penegak hukum dan masyarakat
menghayati istilah ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dan sudah
divonis pengadilan sebagai perbuatan menodai agama, akan
membentuk cara pandang masyarakat tentang penodaan agama ini.
Dari peristiwa-peristiwa itu, ada beberapa catatan yang patut
diangkat. Catatan ini semata-mata untuk memberikan perspektif
kepada pembaca bahwa penodaan agama sangat ditentukan oleh
pembacaan penguasa. Berikut ini catatan-catatan yang bisa diangkat:
Pertama, kasus-kasus penodaan agama senantiasa terkait dengan
agama apa (siapa) yang dinodai. Artinya, untuk mengatakan telah
terjadi kasus penodaan agama pasti mengandaikan agama apa yang
dinodai. Problem lain segera muncul, siapa yang berhak mengatakan
agama tertentu telah dinodai atau tidak.
Hal ini sangat mendasar, karena masing-masing orang mempunyai
standar sensitifitas yang berbeda tentang agamanya. Ada orang yang
gampang tersinggung dan mudah merasa agamanya dinodai, dan ada
yang tidak tersinggung meski agamanya dikritik. Bahkan,
menafsirkan agama tidak seperti kebanyakan orang, bisa juga
dianggap menodai agama, bila sifat oversensitive itu dikedepankan.
Secara yuridis formal, pengambil keputusan untuk memvonis adanya
penodaan agama adalah hakim. Namun semua orang tahu, bahwa
hukum dan hakim tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Apalagi
dalam masalah agama, hakim seringkali merasa tidak punya “otoritas”
dalam bersikap dan membuat penafsiran. Akhirnya, otoritas hakim
untuk menvonis kasus pengadilan agama disandarkan pada “otoritas”
tokoh agama yang mewakili cara pandang tertentu.
Kedua, karena masalah di atas, maka suara mainstream seringkali
diambil sebagai referensi kebenaran. Kebenaran berasal dari suara
mayoritas. Tidak ada kebenaran dari suara minoritas. Landasan
pandangan itu ada dalam sebuah doktrin: ‘alaikum bi al-sawâd al-a’dham
(hendaklah kamu mengikuti pendapat mayoritas). Doktrin ini
semakin kuat dengan adanya hadits: lâ tajtami’u ummatî ‘alâ dhalâlatin
(umatku tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan). Dari doktrin
inilah, dalam hukum Islam dikenal konsep Ijmâ’ (konsensus ulama)
yang menjadi standar kebenaran.
No. 5/Agustus 2006
Penodaan Agama dalam
Praktik Peradilan (Bagian III)
Kita tahu bahwa mayoritas - minoritas bukanlah
kondisi yang muncul secara tiba-tiba. Suara
mayoritas bukan tidak mungkin merupakan hasil
rekayasa. Dalam konteks penodaan agama, jika
hakim hanya mendasarkan vonisnya pada suara
mayoritas, jelas merupakan sesuatu yang
membahayakan. Karena akan membuka peluang
adanya penyeragaman agama di satu sisi, dan
menindas cara pandang non-mainstream di sisi lain.
Padahal, dalam sejarah gerakan Islam,
pembaharuan selalu diawali dari pikiran-pikiran
yang bisa jadi tidak populer pada masanya. Karena
itu, perlu kehati-hatian membaca pandangan yang
mengatasnamakan mayoritas.
Ketiga, kasus pengadilan penodaan agama
senantiasa melibatkan massa. Pengerahan massa
dilakukan bukan saja untuk menyuarakan aspirasi,
tapi untuk menimbulkan kesan bahwa apa yang
disuarakan adalah pendapat mayoritas. Tekanan ini
pada akhirnya diharapkan mempengaruhi
keputusan hakim. Akhirnya, klaim penodaan
agama bukanlah masalah hakikat dari kebenaran
agama itu sendiri, tapi lebih karena tekanan massa,
masalah mayoritas-minoritas, yang dibungkus
dengan otoritas penafsiran agama.
Suka atau tidak, demikianlah realitasnya.
Keresahan masyarakat yang sering dijadikan dasar
untuk mengadili seseorang dalam kasus penodaan
agama, juga bukan dalam arti yang sebenarnya.
Keresahan masyarakat tidak selalu karena spontan,
tapi karena dibuat agar resah.
Keempat, bila seseorang sudah dituduh melakukan
penodaan agama, apalagi sudah masuk proses
peradilan, orang tersebut sulit untuk mendapat
putusan bebas, apalagi jika tekanan massa kuat.
Kalaupun tidak terbukti melakukan penodaan
agama, maka akan dicarikan pasal lain, yang
penting masuk penjara. Hal ini terjadi dalam kasus
Yusman Roy yang dituduh melakukan penodaan
agama karena melakukan praktik shalat dwi
bahasa (Arab dan Indonesia). Dalam proses
pengadilan, Yusman Roy tidak terbukti melakukan
tindak pidana penodaan agama, namun karena
desakan massa yang begitu kuat maka ada kesan,
yang penting Yusman Roy dimasukkan penjara
sehingga ia dijerat dengan pasal perbuatan tidak
menyenangkan.
Hal ini bisa dibandingkan dengan kasus
penodaan agama yang dituduhkan kepada Teguh
Santosa, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online.
Teguh dituduh jaksa penuntut umum melakukan
penodaan agama karena memasang kartun dari
media Jyllands-Posten Denmark yang melecehkan
Nabi Muhammad. Teguh akhirnya diputus bebas
oleh hakim dan tidak terbukti melakukan penodaan
agama seperti yang dituduhkan. Putusan bebas ini
tidak lepas dari absennya desakan massa dalam
kasus ini. Bahkan kelompok-kelompok Islam yang
biasanya gemar melakukan desakan juga tidak
tergerak untuk berdemonstrasi mendesak akan sang
pemred dihukum. Di sini terkesan, jaksa lebih
“fundamentalis” dari gerakan “fundamentalis Is-
lam” sendiri. Kemungkinan besar Teguh Santosa
akan dijebloskan ke penjara jika gerakan massa
ngotot “mengawal” kasus ini.
Kelima, khusus menyangkut kasus Lia Eden,
pertanyaan yang harus segera dijawab adalah agama
apa yang dinodai? Sebagian orang Islam
mengatakan bahwa ajaran Lia Eden telah menodai
agama Islam. Lia Eden bilang dia adalah Jibril yang
mendapat wahyu dari Tuhan, seorang anggotanya
dikatakan reinkarnasi Nabi Muhammad, dan
sebagainya. Sampai di sini belum terasa ada
penodaan terhadap Islam, meskipun orang
mungkin mengatakan bahwa membawa-bawa
nama Jibril dan Nabi Muhammad tidak dalam
posisi “sewajarnya” adalah bentuk penodaan
terhadap Islam. Lia Eden sendiri mengatakan
bahwa dia tidak memeluk agama, tapi percaya pada
Tuhan. Karena itu tidak tepat kalau ajaran-
ajarannya itu dikatakan menodai Islam. Ajaran-
ajaran Lia Eden tidak bisa diletakkan dalam
konteks penafsiran tentang Islam, sehingga
ajarannya tidak bisa dilihat dengan menggunakan
kacamata Islam. Kalau Lia mengaku tidak
beragama, mengapa Islam, merasa dinodai? Kalau
Lia merasa Jibril datang kepadanya, mengapa Is-
lam merasa terhina? Ini sungguh aneh.
Keenam, kasus-kasus yang telah divonis sebagai
penodaan agama hampir seluruhnya merupakan
wilayah perbedaan tafsir atas agama. Maka hal ini
terkait dengan jaminan kebebasan berpikir, dan di
sisi lain terkait dengan kebebasan mengekspresikan
pikiran itu.
Karena itu, putusan atas penodaan agama dengan
sendirinya merupakan tafir juga. Karena
merupakan tafsir, maka kasus penodaan agama
senantiasa melibatkan pemegang “otoritas”
penafsir agama, yang biasanya berbentuk lembaga-
lembaga agama. Bila terjadi kriminalisasi atas
pemikiran keagamaan seseorang, maka dunia
internasional akan mencatat bahwa tingkat
kebebasan beragama di Indonesia nilainya rendah.
Hal ini tentu akan membawa dampak buruk bagi
Indonesia dalam pergaulan dunia.
(RD & GF)