You are on page 1of 13

Sydenham's Chorea Sydenham's chorea adalah suatu kelainan pergerakan yang dicirikan dengan gerakan involunter yang ireguler,

cepat, dan mendadak dari otot wajah, leher, badan, lengan atas, dan lengan bawah. Temuan tambahan lainnya meliputi hilangnya tinus otot (hipotonia), kelemahan otot, dan gangguan emosional dan perilaku, terutama perilaku obsesif-kompulsif. Sydenham;s chorea sering terjadi pada anak-anak atau remaja di bawah usia 5-15 tahun setelah demam rematik akut (acute rheumatic fever (ARF)). ARF adalah suatu penyakit indlamasi yang umum ditemukan setekan infeksi tenggorok oleh bakteri streptokokus (misalnya, streptokokus hemolitik-grup A). Pada pasien dengan Sydenhams chorea, gangguan gerakan ini terjadi secara bertahap, progresif, dan memburuk selama beberapa minggu hingga 1 bulan. Temuan lainnya bervariasi, mulai dari inkoordinasi ringan hingga gangguan konduksi gerakan volunter yang berat pada beberapa kelompok otot yang berperan dalam proses berbicara, pergerakan lengan, berjalan, dan aktivitas sehari-hari. Pada beberapa pasien, Sydenhams chorea dapat sembuh sendiri, biasanya secara spontan dalam waktu 9 bulan hingga 2 tahun (sekitar 50% pasien); oleh karena itu, terapi obat sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungional berat karena chorea yang parah.

Sejarah Sydenhams chorea pertama kali dibahas dalam literatur medis pada tahun 1686 oleh Thomas Sydenham. Kelainan ini juga disebut dengan

St. Vitus' dance Chorea akut Chorea minor Rheumatic chorea

Gejala / Tanda Sydenhams chorea merupakan komplikasi neurologis dari infeksi streptokokus galur tertentu (misalnya, streptokokus beta-hemolitikus grup A). gejala awalnya adalah nyeri tenggorok (faringitis) yang diikuti oleh demam rematik mendadak (akut) sekitar 1-5 minggu kemudian. Periode bebas gejala antara faringitis dan onset ARF disebut dengan periode laten. ARF adalah suatu penyakit inflamasi (sequelae) yang mengikuti infeksi streptokokus grup A yang mengenai beberapa jaringan dan organ, seperti sendi, kulit, jaringan ikat di bawah kulit (jaringan sub cutan), jantung, dan otak. Gejala dan tanda yang ditemukan dapat bervariasi antar pasien. Sebagai contoh, pada 20% kasus, Sydenhams chorea hanyalah satu-satunya manifestasi ARF; sedangkan pada kasus yang lain Sydenhams chorea adalah gejala akhir dari ARF, setelah gejala-gejala berikut ini:

Demam, gejala awal yang umum pada ARF Pembengkakan dan inflamasi (artritis) pada minimal satu sendi yang dicirikan dengan nyeri (arthralgia), nyeri tekan, rasa hangat dan warna kemerahan pada regio sendi yang terkena. Artritis dan demam adalah gejala yang paling sering ditemukan pada ARF. Tanpa terapi (seperti obat anti inflamasi), artritis dapat mengenai beberapa sendi dengan cepat dengan onset yang hampir bersamaan. Karena artritis umumnya bermigrasi dari satu sendi ke sendi lainnya, kondisi ini disebut dengan poliartritis migratori. Sendi tungkai, seperti lutut dan tumit, umumnya terkena lebih dahulu, diikuti dengan area lain seperti pergelangan tangan dan siku. Sendi jari tangan, jari kaki, atau tulang belakang juga dapat terkena. Karena nyeri yang sangat hebat pada sendi yang terkena, anak-anak mungkin datang dengan sangat gelisah hanya karena adanya pakaian, selimut, atau sprei yang menutupi sendi yang terkena.

Inflamasi jantung (karditis). Meskipun sering terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan demam dan artritis, karditis umumnya tidak menimbulkan

gejala (asimptomatik). Telah dilaporkan bahwa sekitar 80% pasien Sydenhams chorea memiliki lesi pada jantungnya. Karditis yang berhubungan dengan ARF dapat terjadi pada regio jantung manapun (pankarditis), yang meliputi o o o Lapisan dalam jantung (endokardium) Lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung yang tebal (myokardium) Fibrous sac (perikardium) di sekitar jantung dan pembuluh darah utama, yang meliputi regio paling dalam (lapisan viseral) yang melekat dengan permukaan jantung (epikardium).

Ruam-ruam kulit (erythema marginatum) yang tidak gatal (non pruritik) yang dicirikan dengan makula berwarna kemerahan yang sementara, terutama di badan dan memudar di bagian tengahnya. Ruam-ruam kulit ini dapat ditemukan pada awal penyakit, dan dapat tetap ada atau mengalami rekurensi meskipun gejala lainnya telah menghilang. Hal ini umumnya hanya terjadi pada pasien dengan karditis.

Nodul sub cutam atau struktur seperti nodul yang keras dan kecil di dalam kulit dari berbagai sendi, seperti siku, lutut, dan tulang belakang. Seperti erythema marginatum, temuan yang jarang terjadi ini hanya ditemukan pada pasien yang menderita karditis. Nodul sub cutam cenderung muncul setelah minggu pertama penyakit dan biasanya menghilang dalam 1 hingga 2 minggu. Gerakan chorea dan gangguan emosional atau perilaku juga dapat timbul

pada penderita ARF, umumnya terjadi 1 hingga 6 bulan (atau lebih) setelah onset penyakit. Namun rata-rata interval waktunya adalah sekitar 8 minggu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sydenhams chorea dapat terjadi sendiri atau sebagai komplikasi dari penyakit yang lain. Meskipun beberapa pasien Sydenhams chorea tidak memiliki gejala ARF yang lain, evaluasi diagnostik yang cermat dapat

menemukan adanya murmur jantung. Pada beberapa pasien (30%) chorea terjadi bersamaan dengan poliartritis migratori. Pada beberapa pasien, gerakan chorea terjadi secara akut dan mendadak. Pada beberapa pasien, gejala timbul secara bertahap dan tersembunyi, seringkali berlangsung selama berminggu-minggu sebelum pasien datang ke dokter. Pada mayoritas anak, gerakan yang ireguler dan involunter ini awalnya mucul seperti kegelisahan, seperti kesulitan menulis. Beberapa gangguan emosional dan perilaku dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu sebelum onset terjadinya chorea. Anak-anak umumnya menjadi gelisah, agresif, atau sangat emosional. Gerakan chorea pada Sydenhams chorea terdiri dari gerakan cepat, ireguler, dan tidak terkontrol yang menghilang saat tidur dan bertambah berat saat stres, lelah, sangat senang, atau faktor-faktor yang lain. Bila bertambah parah, gerakan ini akan bersifat bellistik. Kedua sisi tubuh umumnya terkena (bilateral). Namun, pada 20% pasien, gerakan involunter yang abnormal mungkin unilateral atau hanya pada satu sisi tubuh (hemichorea). Area yang terkena mungkin adalah elompok otot dan lengan atas dan lengan bawah, badan, wajah, dan leher. Banyak pasien juga mengeluhkan kelemahan otot. Gangguan yang terjadi cukup bervariasi, mulai dari inkoordinasi ringan saat melakukan gerakan volunter tertentu hingga gangguan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, yang dapat mengakibatkan kecacatan yang signifikan. Sebagai contoh, gangguan neuromuskular pada Sydenhams chorea adalah gerakan chorea, tonus otot yang lemah, dan/atau kelemahan otot yang dapat menimbulkan hal-hal berikut ini:

Facial grimacing Perburukan tulisan tangan yang signifikan (pada anak usia sekolah) Kesulitan berpakaian, makan, dan berjalan Gangguan bicara (dysarthria) Temuan yang lain

Sydenhams chorea juga mungkin menimbulkan gejala penurunan tonus otot, rigiditas otot, atau kekakuan otot dan resistensi gerak, yang mengakibatkan kecacatan berat. Di masa lalu, kasus-kasus yang sangat berat (sekitar 1.5% pasien) disebut dengan chorea paralitik, karena tonus otot yang sangat lemah. Untungnya, terdapat terapi untuk mengobati chorea. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Sydenhams chorea seringkali berhubungan dengan gangguan emosional dan perilaku. Umumnya, anak-anak yang terkena memiliki perilaku obsesif-kompulsif, yang dicirikan oleh aksi yang repetitif atau ritual (kompulsi) sebagai respons terhadap pemikiran atau impuls yang persisten (obsesi). Pada beberapa kasus, juga dapat ditemukan gangguan emosional atau perilaku yang lain, seperti: Peningkatan iritabilitas Perubahan mood yang sering dan reaksi emosional yang berlebihan (emosi yang labil), seperti episode menangis yang tidak terkontrol Perilaku yang tidak sesuai dengan usianya Kebingungan Mudah terganggu, impulsif, dan peningkatan aktivitas motorik yang abnormal (hiperaktivitas tanpa perhatian)

Psikosis transien Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perjalanan penyakit ini bervariasi

antar pasien. gejala yang timbul cenderung tidak diketahui sebelumnya dan memburuk dalam beberapa minggu hingga bulan (biasanya sekitar 2-4 minggu), dan menghilang secara bertahap dalam 3-6 bulan. Namun, pada beberapa kasus, dapat terjadi gejala sisa dari chorea dan gangguan perilaku. Selain itu, pada 20% pasien, Sydenhams chorea dapat mengalami rekurensi, biasanya dalam 2 tahun setelah onset yang pertama. Rekurensi juga sering terjadi selama kehamilan pada wanita yang menderita ARF pada masa kanak-kanak. Rekurensi ini juga berhubungan

dengan pemberian obat tertentu (misalnya kontrasepsi oral yang mengandung estrogen; fenitoin, agen anti konvulsan).

Usia pada saat onset / Epidemiologi Acute rheumatic fever (ARF) jarang ditemukan di Amerika Serikat dan lebih sering ditemukan di negara yang sedang berkembang. Frekuensi ARF menurun secara dramatis di AS dan Eropa Barat pada tahun 1960 dan 1970. Penurunan insiden penyakit ini di negara maju dipengaruhi oleh pemberian terapi antibiotik awal dan rutin untuk mengatasi infeksi streptokokus. Namun, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, frekuensi ARF meningkat di AS baru-baru ini. sebagai contoh, sebuah wabah terjadi di Pennsylvania pada tahun 1990 dan di Ohio dan Utah pada tahun 1980, karena infeksi streptokokus grup A. selain itu, 2 wabah juga terjadi di populasi kemiliteran AS pada pertengahan hingga akhir tahun 1980. Meskipun alasan munculnya wabah ini tidak diketahui, peneliti mengemukakan bahwa mungkin galur streptokokus yang lebih virulen telah kembali ke AS. Di negara yang belum berkembang, ARF merupakan masalah kesehatan yang besar. Hampir 50% operasi jantung di Brazil dilakukan untuk memperbaiki lesi jantung rematik. Di masa lalu, Sydenhams chorea terjadi pada hampir 50% pasien yang menderita ARF. Namun laporan terbaru menunjukkan bahwa Sydenhams chorea terjadi pada 26% pasien ARF. Sydenhams chorea dua kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, terutama pada usia pubertas. Beberapa peneliti menyatakan bahwa hormon seks (yaitu hormon estrogen pada wanita) memegang peranan dalam terjadinya sindroma ini. Sydenhams chorea sering terjadi pada anak-anak atau remaja berusia 5-15 tahun. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sekitar 20% pasien mengalami rekurensi, terutama dalam 2 tahun pertama setelah episode awalnya. Rekurensi sering terjadi pada masa kehamilan pada wanita yang menderita ARF selama masa kanak-kanak. Rekurensi juga berhubungan dengan terapi tertentu,

seperti kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan obat antikonvulsan, fenitoin.

Penyebab / Patofisiologi ARF adalah reaksi inflamasi lambat yang terjadi karena adanya infeksi bakteri streptokokus (streptokokus beta-hemolitikus grup A). selain faktor herediter, beberapa faktor lingkungan, termasuk kondisi tempat tinggal yang terlalu ramai dan malnutrisi, juga meningkatkan resiko terjadinya infeksi streptokokus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa peneliti menemukan bahwa hormon seks (hormon estrogen pada wanita) berperan dalam terjadinya Sydenhams chorea. Oleh karena itu, wanita lebih sering terkena daripada pria, terutama pada usia pubertas. Rekurensi juga berhubungan dengan terapi estrogen atau kehamilan. Mekanisme dasar dari terjadinya ARF belum diketahui. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh gangguan reaksi imun dimana antibodi yang dihasilkan oleh tubuh melawan sel tubuh sendiri. Menurut teori ini (disebut dengan mimikri autoimun), protein asing (antigen) dari bakteri tertentu sangat mirip dengan protein tubuh; sebagai akibatnya, sistem imun manusia tidak dapat membedakan kedua protein tersebut sehingga terkadi respons autoimun. periode bebas gejala antara hilangnya nyeri tenggorok (faringitis) dan onset gejala ARF juga mendukung teori mekanisme imun yang abnormal yang menyebabkan kerusakan jaringan. Selain itu, para ahli menyatakan bahwa Sydenhams chorea dapat disebabkan oleh respons autoimun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein streptokokus atau antigen tertentu (protein M streptokokus) dapat menginduksi produksi antibodi dalam tubuh (antibodi antineuronal) yang berreaksi silang dengan sel tubuh sendiri di regio otak tertentu. (protein M dari streptokokus grup A mengandung rangkaian asam amino yang sama dengan protein dalam jaringan manusia). Terlebih lagi, beberapa peneliti telah mendeteksi antibodi tertentu (antibodi immunoglobulin G[IgG]) pada anak-anak dengan Sydenhams chorea yang

berinteraksi dengan protein selular (antigen neuronal) di dalam basal ganglia, seperti nukleus kaudatus dan nukleus sub thalamikus). Basal ganglia merupakan kumpulan sel berpasangan yang terletak di dalam otak dan memegang peranan penting dalam mengawali dan mengatur gerakan tubuh. Dalam penelitian yang lain, peneliti menemukan bahwa selama serangan akut, 80% pasien ARF memiliki antibodi terhadap cardiolipin (antibodi anti cardiolipin). Cardiolipin adalah suatu campuran lemak (fosfolipid) yang terletak di membran dalam mitokondria dan membran sel bakteri. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara prosentase pasien dengan antibodi ini yang mengalami dan tidak mengalami Sydenhams chorea. Seperti yang telah dikelaskan di atas, Sydenhams chorea disebabkan oleh respons autoimun atau inflamasi yang dimediasi oleh antibodi di basal ganglia. Para ahli menyatakan bahwa pencitraan dapat memberikan informasi tambahan mengenai patofisiologi dari Sydenhams chorea. Sebagai contoh, pencitraan ini dapat menunjukkan peningkatan metabolisme yang abnormal (hipermtabolisme) di regio tertentu di otak. Hal ini mencerminkan terjadinya proses autoimun. Positron emission tomography (PET) Sydenhams choreaan dapat menunjukkan adanya peningkatan metabolisme glukosa di dalam basal ganglia (seperti striatum). Temuan ini berkebalikan dengan penyakit Huntington dan chorea yang herediter, dimana PET menunjukkan penurunan metabolisme glukosa dan oksigen. Selain itu, pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari pasien Sydenhams chorea menunjukkan pembesaran ukuran3 struktur mayor dari basal ganglia, yaitu nukleus kaudatus, globus pallidus, dan putamen. Hal ini menunjukkan adanya proses inflamasi.

Diagnosis Diagnosis Sydenhams chorea dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena penyakit awalnya (faringitis) dapat terjadi 6 bulan sebelum onset chorea, banyak pasien yang tidak ingat akan adanya riwayat infeksi

streptokokus. Selain itu, mungkin tidak ada bukti terjadinya infeksi streptokokus grup A. bukti dari terjadinya infeksi streptokokus grup A meliputi:

Peningkatan kadar antibodi terhadap streptokokus (misalnya antistreptolysin O [ASO] atau antibodi anti streptokokus yang lain) di dalam darah. Meskipun 80% pasien ARF memiliki kadar ASO yang tinggi, banyak penderita Sydenhams chorea yang memberikan hasil negatif.

Hasil kultur tenggorok yang positif. Peningkatan laju endap darah / erythrocyte sedimentation rate (ESR).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, chorea dapat disertai dengan gejala atau tanda ARF yang lain. Tidak ada gambaran klinis atau pemeriksaan laboratorim tunggal yang dapat menegakkan diagnosis ARF secara pasti. Adanya gambaran klinis tertentu, disebut kriteria Jones, menunjukkan kemungkinan terjadinya ARF. Kriteria Jones yang terbaru (direvisi oleh Amerivan Heart Association pada tahun 1992) meliputi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor meliputi poliartritis migratori, karditis, erythema marginatum, nodul sub cutan, dan chorea. Kriteria minor meliputi demam, nyeri sendi (arthralgia), dan hasil pemeriksaan laboratorium yang meliputi:

Peningkatan ESR Peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) dalam darah. Kadar CRP meningkat sebagai respons terhadap inflamasi. Seperti ESR, CRP juga dapat digunakan untuk menyesuaikan dosis obat anti inflamasi.

Pemanjangan interval P-R pada EKG, yang merupakan mencerminkan aktivitas listrik otot jantung (myokardium). Ini merupakan temuan non spesifik dimana EKG menunjukkan sedikit keterlambatan kontraksi dari atrium dan ventrikel jantung.

Para ahli menyatakan bahwa beberapa pasien dapat didiagnosis dengan ARF tanpa memenuhi kriteria tersebut di atas. Perkecualian dari kriteria Jones adalah pada pasien dengan:

Chorea (Sydenham's chorea), jika kemungkinan penyebab chorea yang lain telah disingkirkan

Karditis onset lambat tanpa kemungkinan penyebab yang lain.

Selain itu, rekurensi ARF harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat demam rematik atau penyakit katup jantung rematik dan riwayat infeksi streptokokus dengan i kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Diagnosis Sydenhams chorea umumnya ditegakkan berdasarkan

karakteristik gejala dan tanda, serta anamnesa yang lengkap.pemeriksaan klinis yang bersifat dianostik meliputi tanda-tanda yang berhubungan dengan chorea, seperti ketidakmampuan untuk mempertahankan protrusi lidah atau adanya "relapsing grip" (atau "milking sign"), yang diketahui dengan meminta pasien untuk menggenggam tangan pemeriksa. Penderita Sydenhams chorea akan menggenggam secara erat dan longgar secara bergantian. Pada beberapa pasien, diperlukan pemeriksaan neurologis tertentu dengan pencitraan, seperti MRI. Pada penderita Sydenhams chorea, hasil EEG umumnya tidak normal, menunjukkan perlambatan pola gelombang otak yang ireguler. MRI juga mungkin menunjukkan pembesaran ukuran basal ganglia. Apabila terdapat kecurigaan akan Sydenhams chorea, diperlukan

pemeriksaan jantung lengkap untuk memastikan atau menyingkirkan kemungkinan keterlibatan jantung. Pemeriksaan ini meliputi penilaian suara jantung dan paru dengan stetoskop untuk mendeteksi murmur jantung yang disebabkan oleh perubahan aliran darah melalui katup jantung. Foto X-ray mungkin menunjukkan pembesaran jantung (kardiomegali), yang sering ditemukan pada penderita karditis. Selain itu, teknik yang lebih sensitif dapat dilakukan untuk merekam aktivitas listrik

jantung (elektrokardiografi) dan untuk mengetahui struktur jantung melalui gelombang suara (echocardiografi). Hal ini dapat membantu dokter dalam mendeteksi dan mengetahui karakteristik gangguan struktur atau fungsi jantung. Diagnosis banding dari Sydenhams chorea adalah chorea karena systemic lupus erythematosus (SLE) atau chorea post infeksi yang lain (terutama infeksi virus). Kemungkinan yang lain adalah chorea familial, paparan terhadao toksin, penggunaan obat-obatan, lesi pada sistem saraf pusat, atau kondisi lain yang memiliki gejala dan tanda yang sama.

Pengobatan Terapi antibiotik yang adekuat untuk anak-anak dengan infeksi streptokokus dapat membantu mencegah onset serangan acute rheumatic fever (ARF). Terapi preventif (misalnya profilaksis primer) yang dilakukan sekitar 1 minggu setelah onset nyeri tenggorok karena streptokokus (faringitis) dapat mencegah onset ARF. Manajemen ARF pada anak-anak meliputi membatasi aktivitas normal dan memberi penisilin secara oral atau injeksi intramuskular atau terapi antibiotik yang lain. Para ahli menyatakan bahwa terapi antibiotik harus diberikan pada semua pasien ARF sejak diagnosis ditegakkan, karena infeksi streptokokus sulit dikonfirmasi karena adanya periode laten, terutama pada pasien Sydenhams chorea. Terapi tertentu dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan/atau inflamasi, tergantung dari tingkat keparahan inflamasi sendi (artritis) dan inflamasi jantung (karditis). Pada pasien artritis, terapi yang diberikan meliputi kodein atau salisilat, seperti aspirin atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemberian terapi salisilat sebelum diagnosis ditegakkan mungkin mencegah timbulnya poliartritis migratosi klasik, sehingga dapat membingungkan diagnosis. Oleh karena itu, para ahli menyarankan agar terapi agen anti inflamasi awal diberikan setelah gejala klinis tampak jelas atau diagnosis dapat ditegakkan. Pasien dapat diberi kodein atau agen yang lain untuk mengobati artritis

yang menyakitkan. Pemberian aspirin atau salisilat pada anak-anak dapat menyebabkan sindroma Reye yang jarang ditemukan namun dapat berakibat fatal. Pada pasien dengan gagal jantung dan gejala karditis yang signifikan, dibutuhkan terapi kortikosteroid seperti prednisone. Namun, pasien dengan karditis tingan tanpa tanda-tanda gagal jantung dapat diberi terapi salisilat saja. Pada pasien yang diberi terapi salisilat, fungsi liver dan darah lengkap harus dimonitor secara rutin untuk mendeteksi kemungkinan toksisitas salisilat, yang dicirikan dengan nyeri kepala, laju pernapasan yang cepat (takipneu), muntah, iritabilitas, penurunan kadar gula darah (hipoglikemia), dan/atau temuan yang lain. Terapi steroid harus diberikan dalam dosis dan durasi yang terbatas untuk menurunkan resiko efek samping. Selain itu, terapi juga tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba; dosisnya harus diturunkan secara bertahap. Bersamaan dengan penurunan dosis steroid, dokter menyarankan pemberian salisilat untuk mencegah rebound gejala-gejala inflamasi. Terapi salisilat dapat dilanjutkan selama 2-4 minggu setelah terapi steroid dihentikan. Pada pasien gagal jantung, terapi yang diberikan meliputi diuretik untuk membantu mengeluarkan cairan yang berlebihan; obat-obatan tertentu untuk menguatkan kontraksi jantung (glikosida jantung, seperti digitalis); dan istirahat total. Jika terapi tersebut tidak efektif, mungkin diperlukan operasi untuk memperbaiki kerusakan katup jantung atau untuk melebarkan katup yang menyempit dengan menggunakan kateter balon (valvuloplasty). Karena Sydenhams chorea dapat menghilang secara spontan dan tidak menimbulkan gangguan fungsional yang signifikan, bantak ahli yang menyatakan bahwa terapi dengan obat tertentu seperti dopamine blocker harus dihindari, kecuali jika chorea menimbulkan kecacatan yang signifikan yang dapat mencederai pasien. antagonis dopamine, seperti agen antipsikotik haloperidol (Haldol) atau pimozide (Orap), memiliki efek samping yang berat, seperti tardive dyskinesia. Terapi lini pertama dengan obat antikonvulsan valproate sodium (Depakene) dapat bermanfaat bagi pasien Sydenhams chorea. Pimozide umumnya diberikan pada pasien yang tidak berrespons terhadap valproate atau memiliki gejala yang berat

(misalnya, chorea paralitica). Jika kedua pilihan ini gagal, langkah selanjutnya adalah pemberian terapi immunomodulasi, steroid, IgG IV atau plasmapheresis. Para ahli menyatakan bahwa pasien dengan ARF atau Sydenhams chorea harus diberi terapi untuk mencegah rekurensi demam rematik. Terapi preventif (profilaksis sekunder) yang dapat diberikan meliputi injeksi penisilin intramuskular (benzathine penicillin G) setiap 21 hari, penisilin oral harian, atau terapi obat antibakteri oral harian dengan sulfadiazine atau erythromycin (jika obat yang lain tidak dapat diberikan). Beberapa peneliti menyatakan bahwa terapi profilaksis harus diberikan seumur hidup untuk pasien ARF atau chorea. Peneliti yang lain menyarankan agar terapi diberikan setelah serangan akut selama 5 hari atau hingga usia 18 tahun. Terapi ini harus lebih lama pada pasien dengan penyakit katup jantung rematik atau pasien yang memiliki resiko reinfeksi yang tinggi (misalnya pada pasien yang tinggal di tempat yang ramai, pemberi layanan kesehatan, guru, dan lain-lain). Peneliti yang lain menyatakan bahwa profilaksis sekunder harus diberikan seumur hidup pada pasien yang memiliki resiko infeksi bakteri yang tinggi pada katup jantung dan pelapis rongga jantung (endokarditis).

You might also like