You are on page 1of 41

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FITOKIMIA PROGRAM STUDI FARMASI FMIPA UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI II PERCOBAAN III UJI PENETAPAN KADAR SARI DAN KADAR ABU SAMPEL TUMBUHAN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendra L.) PRAKTIKUM LAPANGAN ASAL DESA BRAMBAN KECAMATAN PIANI KABUPATEN TAPIN KALIMANTAN SELATAN

Disusun oleh : Kelompok XVI (Enam belas) Lisa Karlina Halim J1E111003 M. Iqbal Fadilah Muslimah Nadia Lutfhiana Shofia Annisa J1E111012 J1E111006 J1E111033 J1E111213

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2013

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI II

PERCOBAAN III UJI PENETAPAN KADAR SARI DAN KADAR ABU SAMPEL TUMBUHAN KAYU PUTIH (Melaleuca leucadendra L.) PRAKTIKUM LAPANGAN ASAL DESA BRAMBAN KECAMATAN PIANI KABUPATEN TAPIN KALIMANTAN SELATAN

KELOMPOK XVI Mengetahui, Asisten Nilai Laporan Awal Nilai Laporan Akhir

(Abshar Fariz) Tanggal : 8 Mei 2013 Tanggal : 14 Mei 2013

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Di Indonesia pengobatan tradisional sudah berlangsung sejak dahulu, dan obat tradisional telah digunakan meluas secara turun temurun. Umumnya obat tradisional digunakan untuk pencegahan, pengobatan, dan menambah daya tahan. Dalam sistem kesehatan nasional, obat tradisional digunakan di samping obat modern dan sarana kesehatan lain. Tanaman masih merupakan sumber utama dalam pencarian obat baru. Oleh sebab itu pemanfaatan bahan tanaman masih merupakan prioritas untuk diteliti mengingat bahan obat-obatan dari tanaman mempunyai keuntungan tersendiri yaitu toksisitasnya rendah, mudah diperoleh, murah harganya dan kurang menimbulkan efek samping (Voigt,1995). Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini memberikan banyak perubahan dalam beberapa hal di kehidupan manusia, salah satunya dalam hal kesehatan dan pengobatan penyakit. Farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari cara pengenalan ciri-ciri atau karakteristik obat yang berasal dari bahan alam. Oleh karena itu farmakognosi sangat penting bagi penemuan zat berkhasiat baru yang terkandung dalam tanaman. Dengan demikian kita dapat memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati yang sangat berlimpah di Indonesia (Depkes RI. 1982). Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat. Obat tradisional dan tanaman obat banyak digunakan masyarakat menengah ke bawah terutama dalam upaya preventif, promotif dan rehabilitatif. Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa penggunaan tanaman obat atau obat tradisional relatif lebih aman dibandingkan obat sintesis. Walaupun demikian bukan berarti tanaman obat atau obat tradsional tidak memiliki efek samping yang merugikan, bila penggunaannya kurang tepat. Agar penggunaannya optimal, perlu diketahui informasi yang memadai tentang

kelebihan dan kelemahan serta kemungkinan penyalahgunaan obat tradisional dan tanaman obat. Dengan informasi yang cukup diharapkan masyarakat lebih cermat untuk memilih dan menggunakan suatu produk obat tradisional atau tumbuhan obat dalam upaya kesehatan ( Katno & Pramono, 2002). Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan cara coba-coba, secara empiris, orang purba mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun temurun disimpan dan dikembangkan, sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat, sebagaimana pengobatan tradisional jamu di Indonesia. Obat nabati digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas dan efek yang sering kali berbeda-beda tergantung dari, antara lain, asal tanaman dan cara pembuatannnya (Tjay & Rahardja, 2002). Penetapan kadar sebagai salah satu proses standarisasi simplisia harus dilakukan karena adanya senyawa kimia yang dikandung dalam simplisia tersebut. Bahan baku obat dalam tumbuhan liar tentu tidak dapat dijamin kandungan kimianya selalu konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara panen). Kandungan senyawa kimia yang bertanggung jawab terhadap respon biologis terhadap manusia harus mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi ( jenis dan kadar ). Oleh karena itu penetapan karakterisasi suatu simplisia dan ekstrak perlu dilakukan guna menjamin bahwa bahan suatu produk obat tradisional dapat diketahui mutunya. Untuk mendapatkan suatu senyawa dalam bahan alam perlu dilakukan ekstraksi. Sifat-sifat senyawa alami yang sangat komplek tentunya memerlukan suatu keterampilan khusus untuk mendapatkan senyawa sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu indikator dalam penetapan tersebut dapat dilihat dalam persen kadar sari yang ditetapkan (Depkes RI. 1982). 1.2 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah untuk melakukan pengujian kadar sari pada ekstrak tanaman dari daun kayu putih (Melaleuca leucadendra L.)

yang larut dalam air-kloroform dan yang larut dalam etanol dan untuk menetapkan kadar abu total, kadar abu tidak larut asam dan kadar abu larut air pada tanaman kayu putih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Uraian Bahan 2.1.1 Tanaman Kayu Putih

Gambar 1. Tumbuhan Kayu Putih (Melaleuca leucadendra L.)

2.1.1.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi ilmiah tanaman kayu putih : Kerajaan : Plantae (Tumbuhan)

Sub kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super divisi Divisi Sub divisi Kelas Sub kelas Ordo Familia Genus : Spermatophyta (Menghasilkan biji) : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : -

: Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil) : Roside : Myrtales : Myrtaceae (suku jambu-jambuan) : Melaleuca

Spesies

: Melaleuca leucadendra L.

(Plantamor, 2012). 2.1.1.2 Deskripsi Tanaman Tanaman kayu putih memiliki pohon yang tingginya 10 m sampai 20 m, pepagan berkeping-keping tidak teratur. Daun berbentuk jorong atau lanset, panjang 4,5 cm sampai 15 cm, lebar 0,75 cm sampai 4 cm, meruncing di bagian pangkal atau agak bulat. Daun atau kulit jika memear berbau kayu putih. Perbungan berbentuk mayang, berambut atau tidak berambut; kelopak bunga berbentuk mangkok, panjang 1,5 mm sampai 2,5 mm; mahkota bunga telur, panjang 2 mm sampai 3 mm, berkelenjar minyak berwarna kuning; tangkai sari bergabung 5 helai sampai 9 helai, panjang 5 cm sampai 10 cm; panjang tangkai putik 7 mm sampai 10 mm. Buah berbentuk lonceng, panjang 2,5 mm sampai 3 mm, lebar 3mm sampai 4 mm (Depkes RI, 1978). 2.1.1.3 Kandungan Kimia Kandungan daun kayu putih yaitu minyak atsiri, sineol 50% - 65%, pinen, limonene, dan dipenten (Depkes RI, 1978). 2.1.1.4 Khasiat dan Kegunaan Berdasarkan informasi dari masyarakat daun kayu putih ini berkhasiat sebagai obat pegel linu dan dapat menghangatkan otot yang cara penggunaannya daun lurus digerus atau ditumbuk halus kemudian dioleskan pada bagian yang sakit. Khasiat dari daun kayu putih adalah sebagai stomakikum dan spasmolitikum (Depkes RI, 1978). Selain

itu juga daun kayu putih dapat menimbulkan efek analgetik (Tuhu dkk, 2007). Secara empirik, daun kayu putih berkhasiat untuk menghilangkan bengkak dan nyeri (analgetika). Khasiat lain dari daun kayu putih antara lain untuk sakit radang usus, diare, reumatik, asma, radang kulit ekzema, insomnia, dan sakit kepala. Pengobatan dapat dilakukan dengan meremas daun kayu putih lalu diletakkan pada bagian tubuh yang sakit atau dapat juga dilakukan dengan meminum rebusan daun kayu putih ini (Hariana, 2006). 2.2 Metode Ekstraksi Ekstraksi berasal dari kata extrahere, to draw out, menarik sari yaitu suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal. Umumnya zat berkhasiat tersebut dapat ditarik, namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan ekstrasi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidak berfaedah, agar lebih mudah dipergunakan dan disimpan dibandingkan simplisia asal, serta tujuan pengobatannya lebih terjamin (Maulida, 2010). Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan berbeda yang dapat bercampur, biasanya air dan yang lainnya pelarut organik. Ekstraksi cair-cair merupakan proses yang umum digunakan, baik itu skala laboratorium maupun skala industri. Beberapa tujuan ekstraksi dan destilasi pada umumnya adalah untuk mengambil sebagian atau seluruh zat tertentu yang ada dalam bahan tanaman adalah untuk memudahkan dalam pengaturan bentuk sediaan, dosis atau takaran yang tepat, mudah dalam penyimpanan, praktis dalam penyajian dan menjaga keawetan bahan tersebut untuk jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan dalam bentuk bahan mentah (Depkes RI, 1982).

Mengingat umumnya zat-zat berkhasiat dalam simplisia terdapat dalam keadaan tercampur, diperlukan cara penarikan dan cairan penarik tertentu (tunggal/ campuran), yang kelak dapat menghasilkan bermacammacam preaparat galenik sesuai dengan pengolahannya. Suhu penarikan juga sangat mempengaruhi hasil penarikan. Untuk menentukan cairan penarik mana yang dipergunakan, harus diperhitungkan betul-betul dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain: 1. Kelarutan zat-zat menstrum 2. Tidak merusak zat-zat berkhasiat atau akibat-akibat lain yang tidak dikehendaki 3. Harga yang murah 4. Jenis preparat yang akan dibuat (Maulida, 2010) Cairan penarik yang baik adalah yang dapat melarutkan zat-zat berkhasiat tertentu, tetapi zat-zat yang tidak berguna tidak terbawa serta. Pada umumnya alkaloid, damar, serta minyak-minyak memiliki kelarutan yang lebih baik dalam pelarut organik daripada dalam air, tetapi sebaliknya garam-garam alkaloid, glukosida, zat-zat lendir, serta sakarida memiliki kelarutan yang lebih baik dalam air (Maulida, 2010). Salah satu cairan penarik yang lazim digunakaan adalah etanol. Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, tidak sebanyak air dalam melarutkan berbagai jenis zat; oleh karena itu lebih baik dipakai sebagai cairan penarik untuk sediaan galenik yang mengandung zat berkhasiat tertentu. Umumnya etanol adalah pelarut yang baik untuk alkaloid, glukosida, damar-damar, serta minyak atsiri, tetapi tidak untuk jenis gom, gula, serta albumin. Etanol juga menyebabkan enzim-enzim tidak bekerja, termasuk peragian, serta mengahalangi pertumbuhan jamur serta sebagian besar bakteri sehingga disamping sebagai cairan penyari, juga berguna sebagai pengawet (Maulida, 2010). Pemikiran metode ekstraksi senyawa bukan atom dipergunakan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah

melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu pelarut yang kepolarannya menengah (diklor metan atau etilasetat) kemudian pelarut yang bersifat polar (etanol atau etanol) (Depkes RI, 1995). Maserasi merupakan suatu metode ekstraksi yang digunakan untuk memperoleh senyawa kimia dari suatu sampel dengan cara perendaman menggunakan pelarut yang sesuai. Maserasi ini digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengembang dalam penyari, tidak mengandung benzoin dan stirak. Cairan penyari ini berupa air, etanol dan air-etanol. Keuntungan cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan untuk

kelemahannya waktu pengerjaan lama dan penyarian kurang sempurna (Sastroamidjojo, 2001). Proses dengan cara maserasi sangatlah menguntungkan dalam proses isolasi senyawa bahan alam karena dengan teknik ini pada sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding sel serta membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik serta ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan pelarut tersebut. Secara umum pelarut etanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam (Sastroamidjojo, 2001). 2.3 Penetapan Kadar Sari Kadar sari larut air dan etanol merupakan pengujian untuk penetapan jumlah kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam air (kadar sari larut air) dan kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam etanol (kadar sari larut etanol). (Depkes RI, 2000). Metode penentuan kadar sari digunakan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang terekstraksi dalam pelarut dari sejumlah simplisia. Penentuan kadar sari juga dilakukan untuk melihat

hasil dari ekstraksi, sehingga dapat terlihat pelarut yang cocok untuk dapat mengekstraksi senyawa tertentu. Prinsip dari ekstraksi didasarkan pada distribusi zat terarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling campur (Ibrahim,2009).

2.3.1 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Air Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5 g serbuk dengan 100 ml air kloform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1977). Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 500 mg serbuk dengan 100 ml air kloform P selama 24 jam kadar seperti tertera pada monografi menggunakan labu bersumbat sambil sekalisekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian diamkan. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal dasar rata yang telah ditara diatas tangas air hingga kering, panaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1979). Mengeringkan serbuk (4/18) di udara, memaserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 mL air kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Menyaring lalu menguapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, memanaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Mehitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Kadar sari larut air = (Krisyanela, 2013). x 100%

2.3.2 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Etanol Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol (95%), uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1977). Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 500 mg serbuk dengan 100 ml etanol selama 24 jam kadar seperti tertera pada monografi menggunakan labu bersumbat sambil sekali-sekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian diamkan. Saring cepat

dengan mencegah etanol menguap, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal dasar rata yang telah ditara diatas tangas air hingga kering, panaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1979). Mengeringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 mL etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan

menghindarkan penguapan etanol (95%), uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Kadar sari larut etanol = (Krisyanela, 2013). x 100%

Pada penentuan kadar sari larut air, simplisia terlebih dahulu dimaserasi selama 24 jam dengan air. Sedangkan pada penentuan kadar sari larut etanol, simplisia terlebih dahulu dimaserasi selama 24 jam dengan etanol (95 %). Hal ini bertujuan agar zat aktif yang ada pada simplisia dapat terekstraksi dan tertarik oleh pelarut tersebut. Ketika penentuan kadar sari larut air, simplisia ditambahkan kloroform terlebih dahulu, penambahan kloroform tersebut bertujuan sebagai zat antimikroba atau sebagai pengawet. Karena apabila pada saat masrasi hanya air saja, mungkin ekstraknya akan rusak karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba atau dikhawatirkan terjadi proses hidrolisis yang akan merusak eksatrak sehingga menurunkan mutu dan kualitas dari ekstrak tersebut. Sementara pada penentuan kadar sari larut etanol tidak ditambahkan kloroform, karena etanol sudah memiliki sifat antibakteri jadi tidak perlu ditambahkan kloroform (Giantoro, 2013). 2.4 Penetapan Kadar Abu Penetapan kadar abu adalah sisa pembakaran sempurna bahan organik (residu yang tidak menguap bila suatu bahan dibakar dengan cara tertentu). Secara kimia abu dapat didefinisikan sebagai oksida logam dan bahan-bahan lain yang tidak dapat dibakar. Dalam kaitan dengan simplisia, abu merupakan indikator derajat kebersihan penanganan simplisia. Secara alami didalam simplisia terdapat logam. Logam-logam ini merupakan komponen hara tumbuhan yang dapat merupakan komponen molekul penting dalam reaksi biokimiawi tumbuhan. Logam-logam tersebut merupakan abu fisiologis. Sebagian besar abu fisiologis ini larut air. Pada saat penyiapan, simplisia dapat terkotaminasi oleh tanah, pasir, dsb. Pasir merupakan senyawa silikat yang tidak terbakar. Senyawa silikat ini tidak larut asam, sehingga merupakan komponen penyusun abu tidak larut asam. Oleh karena itu, kadar abu dalam simplisia harus ditentukan untuk melihat kadar senyawa pengotor yang terkandung di dalamnya. Bila kadar abu simplisia

melebihi persyaratan yang ditentu maka simplisia tersebut tidak boleh digunakan untuk bahan baku pembuatan jamu (Anas, 2012). Timbang saksama 2,5 g simplisia uji yang telah digerus, masukkan kedalam krus plating atau krus silikat, ratakan. Pijarkan hati-hati hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini arang tidak dapat hilang, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring P. Pijarkan sisa dan kertas dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap simplisia yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1979). Lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang seksama, masukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan flitrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1977). Dua gram simplisia ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus porselen yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian dipijarkan perlahanlahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, diaduk, disaring melalui kertas saring bebas abu. Kertas saring beserta sisa penyaringan dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap berat ekstrak, dan dinyatakan dalam % b/b. Kadar abu = (Krisyanela, 2013). 2.4.1 Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida P selama 5 menit, saring melalui penyaring kaca masir atau kertas saring P, cuci dengan air panas, pijarkan hingga x 100 %

bobot tetap. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam (Depkes RI, 1979). Abu yang telah diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 mL asam klorida encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1977). Didihkan abu yang diperoleh seperti yang tertera pada penetapan kadar abu dengan 25 ml asam klorida 3 N selama 5 menit, kumpulkan bagian tidak larut pada krus kaca masir yang telah ditara/kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dan timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam, dalam %, dihitung terhadap bobot contoh yang digunakan (Depkes RI, 1982). Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 ml asam klorida ancer P selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, disaring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, dipijarkan hingga bobot tetap dan ditimbang. Dihitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (berta simplisia) yang dinyatakan dalam % b/b . Kadar abu tidak larut asam = (Krisyanela, 2013). 2.4.2 Penetapan Kadar Abu Yang larut Dalam Air Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml air selama 5 menit, saring melalui penyaring kaca masir atau kertas saring P, cuci dengan air panas, pijarkan hati-hati selama 15 menit, kemudian pijarkan pada lebih kurang 450C hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap simplisia yang dikeringkan di udara (Depkes RI, 1979). x 100 %

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan dengan 25 mL air selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut, saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas dan dipijarkan selama 15 menit pada suhu tidak lebih dari 450oC, hingga bobot tetap, timbang. Perbedaan bobot sesuai dengan jumlah abu yang larut dalam air. Hitung kadar abu yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1977).

BAB III METODE PENGERJAAN

3.1

Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut : 1. Aluminium Foil 2. Batang pengaduk 3. Cawan porselen 4. Corong kaca 5. Erlenmeyer 250ml 6. Furnace/ ney vulkan 7. Gelas beker 250ml 8. Gelas ukur 100ml 9. Kertas saring 10. Lampu spiritus 11. Maserator 12. Neraca analitik 13. Oven 14. Penjepit kayu 15. Pipet tetes 16. Sendok tanduk 17. Vial / pot salep 3.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut: 1. Air panas 2. Aquadest 3. Etanol 95% 4. Kloroform P

5. Larutan HCl encer 6. Sampel serbuk daun kayu putih Melaleuca leucadendra L.) 3.2 Cara Kerja 3.2.1 Uji kadar sari ekstrak 3.2.1.1 Penetapan kadar sari larut air 5 g serbuk kering daun kayu putih - dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml air-kloroform - ditambahkan ke dalam erlenmeyer dimaserasi selama 24 jam -6 jam pertama diaduk dan dibiarkan 18 jam. Ekstrak cair - disaring 20 ml filtrat - dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah ditara - diuapkan ad kering - dipanaskan dalam oven pada suhu 70C selama 15 menit hingga bobot tetap - dihitung kadar sari yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Hasil

3.2.1.2 Penetapan kadar sari larut etanol 5 g serbuk kering daun kayu putih - dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml etanol - ditambahkan ke dalam erlenmeyer dimaserasi selama 24 jam -6 jam pertama diaduk dan dibiarkan 18 jam. Ekstrak cair - disaring cepat 20 ml filtrat - dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah ditara - diuapkan ad kering - dipanaskan dalam oven pada suhu 70C selama 15 menit hingga bobot tetap - dihitung kadar sari yang larut dalam etanol terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Hasil

3.2.2 Uji Kadar Abu 3.2.2.1 Uji Penetapan Kadar Abu Total 2 mg serbuk daun kayu putih - Diletakkan di atas cawan porselin - Dimasukkan dalam furnance

sampai arang habis - Didinginkan - Ditimbang - Dihitung kadar abu Hasil

Jika arang tidak habis - Ditambah air panas - Disaring dengan kertas saring - Dimasukkan filtrat pada furnance - Ditimbang - Dihitung kadar abu Hasil

3.2.2.2 Penetapan Kadar Abu yang Larut Dalam Air Abu (hasil penetapan kadar abu) - Dimasukkan dalam tabung reaksi 5 ml aquadest - Ditambahkan - Didihkan dengan spritus selama 5 menit Bagian yang tidak larut

- Dikumpulkan - Disaring denngan kertas saring - Dicuci dengan air panas - Ditimbang Kertas saring - Dimasukkan dalam cawan porselin - Dimasukkan dalam oven 70% selama 15 menit - Dimasukkan dalam furnance - Dihitung kadar abu yang larut dalam air Hasil

3.2.2.3 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Dalam Asam Abu (hasil penetapan kadar abu) - Dimasukkan dalam tabung reaksi 5 ml HCl encer - Ditambahkan - Didihkan dengan spritus selama 5 menit Bagian yang tidak larut - Dikumpulkan - Disaring denngan kertas saring - Dicuci dengan air panas - Ditimbang Kertas saring -

- Dimasukkan dalam cawan porselin - Dimasukkan dalam oven 70o selama 15 menit - Dimasukkan dalam furnance - Dihitung kadar abu yang larut dalam air Hasil

BAB IV PERLAKUAN DAN HASIL

4.1

Hasil Pengamatan 4.1.1 Penetapan Kadar Sari Tabel 1. Kadar Sari Larut Air-Kloroform No. Perlakuan
1. Hasil Keterangan

Menimbang sampel daun kayu putih

Berat sampel = 5 gram.

2.

Memasukan sampel ke dalam wadah

3.

Menambahkan pelarut sebanyak 100 ml dan mengaduknya Menutup sampel dengan ditambahkan aluminium foil, didiamkan selama 1 hari Menyaring ekstrak sampel tanaman.

Pelarut yang digunakan adalah air-kloroform

4.

Didiamkan selama 1 hari

5.

Diperoleh bobot filtrat = 112,4 gram

6.

Menimbang cawan perselen dengan menggunakan timbangan analiti

Diperoleh berat cawan sebesar = 265,7 gram

7.

Memasukan sampel kedalam cawan porselin yang telah ditimbang Filtrat dalam cawan porselen diuapkan di water bath

Diperoleh berat cawan + filtrat =378,1 gram

8.

Di dapatkan ekstrak kental

9.

Memanaskan filtrat kembali kedalam oven hingga diperoleh bobot tetap Menimbang ekstrak hasil pemanasan

Temperatur oven 700C selama 15 menit

10.

Diperoleh bobot tetap ekstrak sebesar = 1,6 gram

Tabel 2. Kadar Sari Larut Etanol No. Perlakuan


1. Hasil Keterangan

Menimbang sampel daun kayu putih

Berat sampel = 5 gram.

2.

Memasukan sampel ke dalam wadah

3.

Menambahkan pelarut sebanyak 100 ml dan mengaduknya

Pelarut yang digunakan adalah Etanol

4.

Menutup sampel dengan ditambahkan aluminium foil, didiamkan selama 1 hari Menyaring ekstrak sampel tanaman.

Didiamkan selama 1 hari

5.

Diperoleh bobot filtrat = 73,2 gram

6.

Menimbang cawan perselen dengan menggunakan timbangan analiti Memasukan sampel kedalam cawan porselin yang telah ditimbang Filtrat dalam cawan porselen diuapkan di water bath

Diperoleh berat cawan sebesar = 140,8 gram

7.

Diperoleh berat cawan + filtrat = 214 gram

8.

Di dapatkan ekstrak kental

9.

Memanaskan filtrat kembali kedalam oven hingga diperoleh bobot tetap Menimbang ekstrak hasil pemanasan

Temperatur oven 700C selama 15 menit

10.

Diperoleh bobot tetap ekstrak sebesar = 1,5 gram

4.1.2 Hasil Pengamatan Kadar Abu Tabel 3. Kadar Abu Total Bagian yang Diamati Berat serbuk simplisia ditimbang, dimasukkan dalam cawan porselin yang sebelumnya telah ditimbang Serbuk seberat 2 gram Berat cawan kosong 71,6 gram Gambar Keterangan

Memasukkan ke dalam furnace dengan temperatur 500C

Didinginkan,

kemudian

cawan Didapatkan berat sebesar 71,65 gram

porselin ditimbang.

Bagian abu yang tidak larut dikumpulkan dan disaring

Setelah disaring dicuci dengan air panas dan di timbang Didapatkan berat abu sebesar 0,05 gram

Tabel 4. Kadar Abu Larut dalam Air Bagian yang Diamati Abu dari kadar abu total dibagi dua dan ditimbang Berat sebesar 0,02 gram Terdapat bagian yang tidak larut air Gambar Keterangan

Menambahkan 5 ml akuades dan mendidihkan dengan pembakar bunsen selama 5 menit.

Bagian yang tidak larut disaring dengan kertas saring. Diambil bagian yang tidak larut Memasukkan dalam oven dengan suhu 70C selama 15 menit

Memasukkan dalam furnace Menimbang berat abu sisa pemijaran Didapatkan berat abu sebesar 0,02 gram

Tabel 5. Kadar Abu Larut Tidak Larut dalam Asam Bagian yang Diamati Abu dari kadar abu total dibagi dua dan ditimbang Menambahkan 5 ml HCL dan mendidihkan dengan pembakar bunsen selama 5 menit. Terdapat bagian yang tidak larut air Berat sebesar 0,02 gram Gambar Keterangan

Bagian yang tidak larut disaring dengan kertas saring. Diambil bagian yang tidak larut

Memasukkan dalam oven dengan suhu 70C selama 15 menit

Memasukkan dalam furnace Menimbang berat abu sisa pemijaran Didapatkan berat abu sebesar 0,02 gram

4.2

Perhitungan 4.2.1 Penetapan Kadar Sari Tabel 6. Hasil Pengamatan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air-Kloroform Bagian yang diamati Berat sampel Berat cawan Hasil Pengamatan 5 gram 265,7 gram

Berat cawan + filtrat yang diuapkan 267,3 gram (ekstrak) Berat filtrat yang diuapkan (ekstrak) Kadar Sari larut dalam air
Rendemen kadar sari larut air

1,6 gram 32 %

Berat ekstrak 100% Berat sampel 1,6g 100% 32% 5g

4.2.2 Penetapan Kadar Abu Tabel 7. Hasil Pengamatan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol Bagian yang diamati Berat sampel Berat cawan Hasil Pengamatan 5 gram 140,8 gram

Berat cawan + filtrat yang diuapkan 142,3 gram (ekstrak) Berat filtrat yang diuapkan (ekstrak) Kadar Sari larut dalam etanol
Rendemen kadar sari larut etanol

1,5 gram 30 %

Berat ekstrak te tap 100% Berat sampel

1,5g 100% 30 % 5g

4.1.2 Penetapan Kadar Abu Tabel 8. Hasil Pengamatan Penetapan Kadar Abu Bagian yang Diamati Berat sampel sebelum dipijarkan Berat abu + cawan porselin Berat abu yang didapat 0,05 gram 71,65gram Hasil Pengamatan 2 gram Gambar

Perhitungan : Diketahui : Berat serbuk simplisia Berat abu yang didapat Ditanya Jawab : Rendemen kadar abu =
berat abu berat sebuk simplisia

=2g = 0,05 g

: Kadar abu dan kadar abu yang larut dalam air ?

0,05 g 100% 2g

= 2,5 % Tabel 9. Hasil Pengamatan Penetapan Kadar Abu Larut Air Bagian yang Diamati Berat sampel sebelum dipijarkan Berat abu + cawan porselen Berat abu yang didapat Berat abu awal = 0,02 Berat abu sisa = 0,02 Perhitungan : Diketahui : Berat serbuk simplisia =2g Berat abu awal-berat abu sisa = 0,02 0,02 g =0g Ditanya Jawab : Rendemen kadar abu yang larut dalam air =

Hasil Pengamatan 2 gram

Gambar

71,62 gram

: Kadar abu larut dalam air ?

berat abu yang tersisa berat abu awal


0g 100% 0,02 g

= 0% Tabel 10. Hasil Pengamatan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Bagian yang Diamati Berat sampel sebelum dipijarkan Berat abu + cawan porselen 140,82 gram Hasil Pengamatan 2 gram Gambar

Berat abu yang didapat

Berat abu awal = 0,02 gram Berat abu sisa = 0,02 gram

Perhitungan : Diketahui : Berat serbuk simplisia =2g Berat abu awal-berat abu sisa = 0,02 0,02 g = 0 g Ditanya Jawab : Rendemen kadar abu yang tidak larut asam =

: Kadar abu larut dalam air ?

berat abu yang tersisa berat abu awal


0g 100% 0,02 g

= 0%

BAB V PEMBAHASAN

Percobaan kali ini telah dilakukan ekstraksi untuk menentukan kadar sari pada sampel simplisia. Percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui persen kadar sari dari daun kayu putih yang larut dalam air maupun yang larut dalam etanol. Adapun sampel simplisia yang digunakan yakni dari simplisia hasil praktek lapangan dengan nama daerah setempat (Rantau) yakni daun kayu putih. Tanaman tersebut dipercaya masyarakat sekitar berkhasiat sebagai obat pegel linu dan dapat menghangatkan otot yang cara penggunaannya daun kayu putih digerus atau ditumbuk halus kemudian dioleskan pada bagian yang sakit. Menurut Depkes RI, 1978, tanaman kayu putih berkhasiat sebagai stomakikum dan spasmolitikum. Sedangkan menurut Hariana, 2006 secara empirik, daun kayu putih berkhasiat untuk menghilangkan bengkak dan nyeri (analgetika). Khasiat lain dari daun kayu putih antara lain untuk sakit radang usus, diare, reumatik, asma, radang kulit ekzema, insomnia, dan sakit kepala. Pengobatan dapat dilakukan dengan meremas daun kayu putih lalu diletakkan pada bagian tubuh yang sakit atau dapat juga dilakukan dengan meminum rebusan daun kayu putih ini. Selain itu juga menurut Tuhu dkk, 2007 daun kayu putih dapat menimbulkan efek analgetik. Kandungan daun kayu putih yang diyakini mempunyai efek analgetik adalah terpineol. Senyawa ini dapat tersari dengan baik menggunakan penyari etanol. Dengan demikian dalam ekstrak etanol mengandung terpineol yang memadai untuk menimbulkan efek analgetik Cara untuk mendapatkan ekstrak pada percobaan ini, dilakukan maserasi. Seperti pada prosedur percobaan dan pustaka (MMI), proses maserasi dimulai sehari sebelum praktikum. Hal ini untuk mendapatkan hasil maksimal dari proses maserasi tersebut. Prinsip kerja maserasi adalah dengan bahan pelarut melarutkan komponen dalam sel dengan menembus dinding sel tumbuhan. Membran sel yang mengering, mengkerut di dalam simplisia mula-mula harus diubah kondisinya sehingga memungkinkan bahan pelarut masuk ke bagian dalam sel. Kemudian menarik zat aktif keluar dan terlarut dalam pelarut. Keuntungan dari metode ektraksi maserasi ini adalah peralatannya sederhana. Sedangkan kerugiannya

antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahanbahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin serta kemungkinan simplisia jenuh dengan pelarut. Prosedur maserasi sendiri digunakan untuk penentuan kadar sari karena maserasi merupakan teknik ekstraksi yang praktis dan cukup akurat hasilnya. Pada larutan maserasi tidak dilakukan pengocokan, namun hanya direndam saja dengan pelarut. Pelarut yang digunakan adalah etanol dan air- kloroform P dengan perbandingan 10:1, yang dibuat dengan cara mencampurkan 10 bagian air dari total campuran 500 ml sebanyak 454,55 ml dan 1 bagian klorofrofm P dari total campuran 500 ml sebanyak 45,45 ml. Alasan memakai campuran air-kloroform P karena jika hanya menggunakan air saja, pelarut ini sangatlah polar sifatnya dan jika ditambah dengan kloroform P maka kepolarannya akan berkurang karena klorofm bersifat tidak polar sehingga akan mampu menarik zat atau sari yang bersifat semi polar. Pengerjaannya dilakukan dengan cara merendam serbuk akar daun kayu putih kering sebanyak 5 gram selama 24 jam agar hasil yang dilakukan lebih maksimal. Hal ini dikarenakan jika maserasi dilakukan hanya sebentar maka hasil yang didapat tidak begitu baik karena air tidak sepenuhnya terserap oleh simplisia dan untuk waktu 24 jam dianggap cukup untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang baik pada percobaan kali ini. Setelah 24 jam larutan simplisia disaring untuk memisahkan ampas simplisia dari cairan pelarut yang telah bercampur dengan zat aktif dari simplisia. Untuk pelarut etanol dan air-kloroform P disaring biasa dengan kertas saring. Campuran disaring cepat, untuk menghindari penguapan yang terlalu banyak. Jika pelarut lebih banyak menguap maka dikhawatirkan perbandingan pelarut dan zat simplisia akan tidak seimbang. Cairan hasil penyaringan atau filtrat dipanaskan untuk menguapkan pelarutnya. Penguapan ini menggunakan pemanasan langsung yakni alat penguap sederhana. Pelarut diuapkan seluruhnya hingga didapatkan ekstrak kental. Untuk kadar sari yang larut dalam etanol dan kadar sari yang larut dalam air-kloroform P beratnya adalah 1,5 gram dan 1,6 gram. Ekstrak kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 70C selama 15 menit kemudian dikeluarkan, didinginkan dan ditimbang. Hal ini dilakukan berulang kali hingga berat konstan

atau tetap. Dalam percobaan ini ekstrak yang didapat perlu dimasukkan kedalam oven 70oC, hal ini dilakukan untuk mendapatkan ekstrak yang benar-benar kental dan menghindari terjadinya pembentukan ekstrak yang salah. Dimana jika temperatur yang terlalu rendah maka akan terbentuk ekstrak padat dan jika temperatur lebih dari 70oC maka akan terbentuk ekstrak cair. Tujuan penimbangan dilakukan berulang kali ini adalah untuk mendapatkan berat kering dari ekstrak. Berat kering ekstrak yang didapatkan masing-masing untuk ekstrak dengan pelarut air dan etanol yaitu sebesar 1,6 gram dan 1,5 gram. Hal yang perlu dipertimbangkan pada proses pengeringan yakni jangan dilakukan pada suhu cukup tinggi karena dapat merusak ekstrak dan berakibat berkurangnya massa yang didapatkan. Perhitungan kadar sari setelah diuapkan dari masingmasing untuk ekstrak dengan pelarut air dan etanol yakni sebesar 32 % dan 30 %. Kadar sari yang diperoleh untuk ekstrak dengan pelarut air dan etanol yakni sebesar 32 % dan 30 %, dimana rendemen ini kurang dari 100 %, hal ini dapat dipengaruhi oleh ketelitian praktikan dalam menjalankan prosedur percobaan baik dalam hal penimbangan bahan sampai pengaturan suhu pada saat pengeringan. Namun, walaupun terdapat beberapa kesalahan, tetap dapat kita simpulkan bahwa tumbuhan daun kayu putih ini ekstraksi untuk mendapatkan sari dari simplisianya lebih baik menggunakan pelarut air dari pada pelarut etanol dari simplisia yang digunakan. Selanjutnya dilakukan uji kadar abu pada suatu sampel. Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar abu dalam suatu sampel, mengetahui senyawasenyawa mineral yang terkandung dalam suatu simplisia kering dan untuk menentukan kadar bahan asing dalam suatu sampel. Sampel yang digunakan pada percobaan ini hanya berupa simplisia kering, yaitu simplisia dari tumbuhan kayu putih, bagian yang digunakan adalah bagian daunnya dari tanaman tersebut. Alasan penggunaan simplisia kering ini adalah karena bahan yang digunakan pada percobaan kali ini berupa serbuk, dimana serbuk itu sendiri dibuat dari simplisia kering dan jika kita membuat serbuk tersebut dari simplisia basah maka untuk mendapatkan bahan dalam bentuk serbuk itu sendiri sedikit susah. Oleh karena itu pada percobaan kali ini diambil serbuk yang dibuat dari simplisia kering. Prinsip dari percobaan ini adalah bahan (serbuk simplisia) dipanaskan pada temperatur

dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sehingga tertinggal unsur mineral dan senyawa anorganik yang terkandung di dalamnya. Penetapan kadar abu kali ini dilakukan percobaan sesuai petunjuk MMI sebagai acuannya. Kadar abu yang larut air itu pada pengerjaan dididihkan dengan air dan yang tidak larut dalam asam dididihkan menggunakan HCl encer. Sampel yang diujikan pada kadar abu yang larut air dan yang yang tidak larut dalam asam diambil dari abu yang dihasilkan dari penetapan kadar abu. Pertama-tama kita membuat abu yang nantinya digunakan untuk pengujian pada kadar abu yang larut air dan yang yang tidak larut dalam asam. Penetapan kadar abu itu diambil sebanyak 2 g serbuk yang sudah serbuk kemudian diletakkan diatas cawan porselen. Kemudian dimasukkan kedalam furnance dengan temperatur 500oC sampai arang habis. Temperatur yang digunakan pada percobaan kali ini memang sangat tinggi karena ditujukan untuk mendapatkan abu, dimana abu itu didapat dari sisa hasil pembakaran. Pembakaran itu sendiri membutuhkan temperatur yang tinggi dan jika temperatur yang digunakan tidak begitu tinggi misalnya 100oC, maka perlakuan tersebut bukan suatu pembakaran tetapi pemanasan. Fungsi dari pendinginan sebelum ditimbang adalah untuk mempermudah proses

pengangkatan saat ingin melakukan penimbangan, karena jika tidak didinginkan bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diingikan, misalnya jatuhnya cawan porselen karena praktikan tidak kuat menahan panas saat ingin melakukan penimbangan. Oleh karenanya dibutuhkan proses pendinginan. Kemudian abu ditimbang dan dihitung kadar abunya. Jika arang masih ada ditemukan maka dilakukan penambahan air panas dan disaring dengan kertas saring, setelah itu kertas saring bersama arang yang masih ada dimasukkan kedalam furnance kembali sampai didapat abu yang tidak mengandung arang lagi. Kita dapat mengetahui hasil yang didapat apakah sudah baik atau belum dengan melihat hasil tersebut, dimana pada hasil tersebut tidak terdapat lagi bara api berwarna merah menyala. Selanjutnya timbang dan hitung kembali kadarnya. Dalam perlakuan ini arang harus sampai habis, hal ini dikarenakan jika arangnya tidak sampai habis hal ini menandakan bahwa mineral yang terkandung dalam simplisia tersebut masih tidak sepenuhnya terbakar. Sehingga abu yang didapat hanya sebagian dari mineral saja. Oleh karena itu, diperlukan agar seluruh arang habis agar seluruh mineral atau zat

anorganik yang terdapat dalam simplisia tersebeut dapat menjadi abu seluruhnya dan dari abu tersebut dapat diketahui berbahaya atau tidaknya simplisia tersebut dilihat dari besarnya kadar abu yang diperoleh. Besar kadar abu total diperoleh sebesar 2,3236%. Abu yang didapat kemudian diuji pertama-tama dengan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dengan cara mendidihkannya dengan HCl sebanyak 5 ml HCl encer selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan kadar abu melalui difusi pelarut terhadap dinding sel sehingga isi sel akan keluar secara osmosis dari sel. Penambahan HCl encer tersebut berfungsi untuk mengetahui kelarutan dari simplisia tersebut di dalam HCl encer. Adanya bagian yang tidak larut dalam asam kemudian dikumpulkan dan disaring dengan kertas saring menggunakan air panas untuk pencucian. Pencucian dengan air panas ini bertujuan untuk lebih memurnikan atau menghilangkan bagian yang tidak larut asam tersebut dari pengotor, misalnya didalamnya masih ada bagian yang larut asam. Kemudian bagian tersebut bersama dengan kertas saring dimasukkan kedalam oven dengan temperatur 70oC selam 15 menit. Selanjutnya hasil tersebut dimasukkan kedalam furnance sampai didapat abu yang baik dan kemudian didinginkan lalu ditimbang sampai dengan bobotnya tetap. Bobot tetap dimaksudkan bahwa 2 kali penimbangan berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang ditimbang. Penimbangan dilakukan setelah zat dikeringkan lagi selama 1 jam. Setelah semua itu selesai, kemudian dihitung kadar abunya yang tidak larut dalam asam tersebut. Dari hasil percobaan didapatkan bobot abu yang tidak larut dalam asam sebesar 0,02 gram dari bobot abu yang digunakan yaitu sebanyak 0,02 gram. Sehingga besarnya kadar abu yang tidak larut dalam asam sebesar 0 %. Perlakuan yang selanjutnya yang diberikan terhadap kadar abu sebelumnya yang mekanisme kerjanya tidak jauh berbeda dengan penetapan abu yang tidak larut dalam asam adalah penetapan kadar abu yang larut dalam air. Cara kerjanya adalah dengan mengambil abu dari hasil penetapan kadar abu kemudian didihkan dengan 5 ml air selama 5 menit. Penambahan air tersebut berfungsi untuk mengetahui kelarutan dari simplisia tersebut di dalam air. Adanya bagian yang tidak larut dalam air kemudian dikumpulkan dan disaring dengan

kertas saring menggunakan air panas untuk pencucian. Kemudian bagian tersebut bersama dengan kertas saring dimasukkan kedalam oven dengan temperatur 70oC selam 15 menit. Seharusnya penyaringan dilakukan melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, namun karena keterbatasan alat maka penyaringan yang dilakukan hanya melalui kertas saring biasa. Krus kaca masir merupakan krus kaca bening berdasar kaca berpori, porinya berukuran 3 sampai 15 mikron, dipakai untuk mengeringkan endapan berupa koloid pada suhu di bawah 100oC. Selanjutnya hasil tersebut dimasukkan kedalam furnance sampai didapat abu yang baik dan kemudian didinginkan lalu ditimbang sampai dengan bobotnya tetap. Bobot tetap dimaksudkan bahwa 2 kali penimbangan berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang ditimbang. Penimbangan dilakukan setelah zat dikeringkan lagi selama 1 jam. Setelah semua itu selesai, kemudian dihitung kadar abunya yang tidak larut dalam asam tersebut. Dari hasil percobaan didapatkan bobot abu yang larut dalam air sebesar 0,02 gram. Sehingga besarnya kadar abu yang larut dalam air sebesar 0 %. Dalam penetapan kadar abu ini alat yang gunakan adalah furnance, kerja alat ini seperti alat pembakar dengan tenaga listrik dan memiliki temperatur tinggi bertujuan untuk membakar suatu sampel yang ingin dijadikan abu, alat ini memiliki temperature yang dapat kita atur sesuai yang kita inginkan sehingga pembakaran sampel lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan pembakaran secara manual. Adapun persyaratan simplisia menurut literatur Depkes RI, 1978 halaman 61 adalah sebagai berikut : Kadar abu. Tidak lebih dari 6,4% Kadar abu yang tidak larut dalam asam. Tidak lebih dari 0,9% Kadar sari yang larut dalam air. Tidak kurang dari 15,8% Kadar sari yang larut dalam etanol. Tidak kurang dari 18,5% Untuk penetapan kadar sari larut dalam air dan larut dalam etanol telah menunjukkan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil yang didapat lebih dari hasil untuk literatur, yaitu untuk kadar sari larut dalam air 32% > 15,8% dan untuk kadar sari larut dalam etanol 30% > 18,5%. Dan untuk penetapan kadar abu juga menunjukkan hasil yang baik. Dimana hasil yang didapat tidak melebihi hasil

pada literatur, penetapan kadar abu total sebesar 2,3236% < 6,4%. Sedangkan untuk penetapan kadar abu yang tidak larut asam menunjukkan hasil yang baik yaitu 0% < 0,9%. Penetapan kadar sari adalah metode kuantitatif untuk jumlah kandungan senyawa dalam simplisia yang dapat tersari dalam pelarut tertentu. Penetapan ini dilakukan untuk simplisia yang tidak memiliki cara yang memadai baik kimia atau biologi untuk penentuan bahan aktifnya. Dimana dari hasil yang didapat pada percobaan kali ini menunjukkan bahwa sudah banyak senyawa kimia dari simplisia uji yang dapat tersari baik pada penetapan kadar sari larut dalam etanol maupun larut dalam air. Penentuan kadar abu merupakan metode pengukuran kadar abu terhadap yang dipanaskan pada temperatur tertentu dimana senyawa organik dan turunanya terdestruksi dan menguap sehingga yang tertinggal hanya unsur mineral dan anorganik dengan tujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Dari hasil yang didapat pada penetapan kadar abu dan kadar abu yang tidak larut asam menunjukkan bahwa kandungan mineral dari simplisia tersebut masih dapat dianggap dalam batasan aman seperti yang telah dijelaskan pada bagian paragraf sebelumnya berturut-turut <6,4% dan <0,9.

BAB VI PENUTUP

6.1

Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah: 1. Tumbuhan yang digunakan untuk penetapan kadar sari dan penetapan kadar abu adalah tumbuhan kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) berupa daun yang telah diserbuk. 2. Proses ekstraksi yang dilakukan untuk mendapatkan ekstrak daun kayu putih adalah dengan maserasi yang dilakukan 1x24 jam sebelum praktikum dilakukan.
3. Bobot ekstrak dengan pelarut air-kloroform dan etanol setelah penguapan

sebesar 1,6 g dan 1,5 g, serta persen kadar sari sebesar 32% dan 30%. 4. Kadar abu total, kadar abu yang larut dalam air dan kadar abu yang tidak larut dalam asam secara berturut-turut yaitu sebesar 2,3236%, 0% dan 0%. 5. Hasil yang didapat dibandingkan dengan literatur menunjukkan hasil yang baik yaitu untuk kadar sari larut dalam air 32% >15,8% dan untuk kadar sari larut dalam etanol 30% > 18,5%. 6. Pada penetapan kadar abu menunjukkan hasil yang baik, yaitu sebesar 2,32326% < 6,4%. Sedangkan untuk penetapan kadar abu yang tidak larut asam menunjukkan hasil yang juga tidak baik, yaitu 0% < 0,9%. 6.2 Saran Hendaknya lebih ditingkatkan lagi penelitian yang sifatnya

berhubungan dengan obat tradisional, sehingga obat tradisonal asli indonesia ini lebih dapat berkembang, daripada obat sintesis.

DAFTAR PUSTAKA

Anas. 2013. Penetapan Kadar Sari Dan Kadar Abu. http//:melaleuca-laucadendra.blogspot.com/2012/05/penetapan-kadarsari-dan-kadar-abu.html?m=1 Diakses tanggal 1 Mei 2013. Depkes RI. 1977. Materia Medika Indonesia Jilid I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia Jilid II. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes RI. 1982. Sistem Kesehatan Nasional. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Pembuatan Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Giantoro. 2013. Penetapan Kadar Sari Dalam Pelarut Tertentu. http://ogygoesgiantoro.blogspot.com/2013/02/penetapan-kadar-saridalam-pelarut.html. Diakses tanggal 1 Mei 2013. Hariana, D. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri II. Penerbit Swadaya. Jakarta. Ibrahim. 2009. Ekstraksi. Sekolah Farmasi ITB. Bandung. Katno dan S. Pramono. 2002. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Krisyanella. 2010. Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Serta Isolasi Senyawa Aktif Antibakteri dari Daun Karamunting (Rhodomyrtus tomentosa (W.Ait) Hassk).Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Maulida, D. 2010. Ekstraksi antioksidan ( likopen ) dari buah Tomat dengan menggunakan solven campuran, N heksana, aseton, dan etanol. Universitas Diponegoro. Semarang. Plantamor. 2012. Informasi Spesies. http://www.plantamor.com/index.php?plant=2180 Diakses tanggal 1 Mei 2013.

Sastroamidjojo, S. 2001. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta. Thomas, A. N. S. 1992. Tanaman Obat Tradisional. Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tjay, T. H dan K. Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Elex Media Komputindo. Jakarta. Tuhu, P. F. S, Purwantiningsih, dan A. S. Wahyuni. 2007. Efek Analgetika Ekstrak Etanol Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron L.) pada Mencit Jantan. Pharmacon. Vol 8 (2). Halaman 42 Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi Ke-5. Gadjah Mada University Press. Jakarta.

You might also like