Professional Documents
Culture Documents
Pendekar akti pemegang Gandhiwa itu kini berdiri di tengah-tengah medan pertarungan, tegak kokoh seperti gunung Himawat. Pasukan Saindhawa yang tadi telah melarikan diri menghimpun kekuatan kembali serta mencoba menyerang serempak dengan hujan panah yang luar biasa lebat. Tetapi kali ini Arjuna sudah menguasai posisi di medan itu, karena itu dengan mudah ia menghalau serangan-serangan ulangan itu. Sambil tertawa, Arjuna lalu berkata kepada pasukan penyerang itu. Suaranya halus, tetapi mengandung kekuatan yang teramat dahsyat, sehingga terasa menembus hati insan yang mendengarkannya : Wahai para Katriya nan gagah! Apakah kalian sudah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghancurkan diriku? Yakinkah kalian akan mampu menundukkan aku ini? Apakah kalian sudah siap menghadapi
bencana yang sedang menghadang kalian? Lihatlah! semuanya! Aku akan menghadapi kekuatan kalian senjata Melumpuhkan
kalian itu! Semangat kalian berkobar-kobar dalam pertempuran, tetapi berpikirlah sejenak! Kalian Arjuna yang memang memaksa kesombongan sangat aku kalian marah untuk itu! mendapat menghancurkan
keroyokan seperti itu. Tetapi bagaimana pun juga, ia masih ingat pesan-pesan kakaknya, yang dalam setiap pertarungan terasa masih terngiang di telinganya. Adikku, jangan sekali-kali adikku sampai salah tangan dan membunuh para Katriya yang menghalangi tugas adinda! Tundukkanlah mereka, tetapi jangan sampai terjadi pertumpahan darah! Arjuna masih menghadapi berpuluh-puluh dari yang pasukan yang mengepungnya Kemarahannya segala bergelora penjuru. ditekannya
dengan mengenangkan nasihat kakaknya, raja Yudhihira. Aduhai, aku harus bertindak sedemikian rupa, agar semua nasihat raja menjadi kenyataan! Para penyerang itu tidak boleh sampai tewas! demikian ia berpikir. Lalu ia berdiri tegak siap siaga. Setelah itu ia berseru kepada para katriya Saindhawa yang sedang meluap-luap kemarahannya itu : Hai! Aku peringatkan kalian sekali lagi! Peringatanku ini untuk kepentingan ini, kalian apalah juga! sukarnya Dengan aku senjataku
menghancurkan kalian seluruhnya, tetapi aku tidak akan melakukan hal sekejam itu! Sekarang aku harus mengetahui siapa-siapa di antara kalian yang mau menyerah dan menyatakan takluk! Mereka itu akan kuselamatkan! Yang ingin menyerah supaya meletakkan senjata dan datang ke mari mendekatiku agar dapat aku melindungimu! Awas, mereka yang bertindak
sebaliknya, seketika akan berhadapan dengan bencana mengerikan! Peringatan itu tidak dihiraukan. Karena itu segera Arjuna dengan itu menyemburkan demikian pula. panah-panahnya Pasukan
dahsyat. Arjuna sangat marah. Lawannyapun Saindhawa menghujankan ribuan anak panah menghunjam ke arah Arjuna. Tetapi dengan tenangnya Arjuna menangkis serangan itu dengan panah-panah juga. Ribuan anak panah hancur berkepingkeping, meskipun panah yang dipergunakan oleh pihak lawan itu buatannya sangat istimewa, bersayap bulu burung Kaka dan kecepatannya bagaikan kilat! Sepucuk panah musuh berhadapan dengan sepucuk panah Arjuna dan semua panah musuh itu jatuh berguguran tak berdaya menembus tangkisan Arjuna. Pihak lawan itu mengetahui bahwa Dhanajaya orangnya yang bertanggung jawab atas kematian
rajanya, Jayadratha. Itulah sebabnya mereka pantang menyerah. Panah-panah itu kemudian disusul dengan lemparan-lemparan pisau terbang dan lembing. Tetapi tak sebuahpun dari senjatasenjata itu yang sempat menyentuh kulit Arjuna. Semuanya jatuh berantakan sebelum mengenai sasarannya. Akhirnya, kemarahan Arjuna sudah tidak tertahankan lagi. Dipilihnya panah-panah besar dan langsung disemburkan ke arah lawan. Panah yang berat itu menghantam mereka dengan batangnya, tanpa menembus korban sasarannya ragu dan Melihat banyak kehebatan pula yang senjata ini, banyak dari antara penyerang itu menjadi ragumenyingkir menjauhkan diri dari hantaman panah luar biasa yang tak pernah meleset itu. Namun masih saja dari antara mereka yang mencoba maju menyerang, tetapi lebih banyak lagi yang berdiri terpaku, tidak tahu apa yang hams dilakukan, hal
ini menimbulkan kekacauan diantara mereka. Mereka berselisih pendapat dengan suara riuh rendah. Perintah maju dan mundur bersimpang siur. Kekalutan itu menimbulkan suara seperti lautan bergolak tak teratur. Arjuna mempergunakan kesempatan ini untuk lebih memperhebat serangan-serangannya, membidik mereka satu demi satu, dihantamnya dengan panah besar hingga yang terkena jatuh pingsan. Kuda tunggangan merekapun rupa-rupanya sampai sudah lelah dan ini lebih memudahkan lagi bagi Dhanajaya menghantam mereka pingsan. Pada saat itulah permaisuri Dusala, putri raja Dhtarra datang bergegas ke tengahtengah medan pertempuran dengan membawa serta cucunya. Anak kecil yang dibawa serta itu adalah putra dari Surata anak Jayadratha. Mereka mengendarai kereta dan langsung menuju ke tempat Arjuna berdiri. Dia tidak
tahan menyaksikan prajurit-prajurit Saindhawa yang sombong itu dihajar oleh Arjuna. Di hadapan Dhanajaya ia bersimpuh dan menangis sedih. sambil Arjuna meletakkan senjatanya yang dan dapat mengangkat saudara sepupunya itu berdiri menanyakan apakah dilakukan untuk membantunya. Permaisuri itu berkata : Wahai pahlawan pujaan bangsa Bharata, anak yang kubawa serta ini satusatunya putra dari saudara sepupu paduka. Ia datang untuk menyatakan hormatnya kehadapan paduka. Pandanglah dia O pahlawan perkasa! Mendapat keterangan itu, Arjuna lalu bertanya : Dimanakah Surata, ayah anak ini? Permaisuri itu menjawab : O dia sudah tiada! Dia sudah meninggal karena menanggung sedih setelah ayahnya tewas dalam pertempuran itu. Dia mengetahui bahwa ayahnya, raja Jayadratha sudah tewas di tangan paduka. Dia sangat sedih
mengenangkan ayahnya itu sehingga sejak saat itu jatuh sakit. Dan beberapa hari yang lalu, setelah mendengar khabar bahwa paduka memasuki wilayah kerajaan ini selaku pengawal kuda yang dikurbankan Inilah itu ia jatuh pingsan anak dan yang menghembuskan nafasnya yang penghabisan. sekarang satu-satunya ditinggalkannya, yang sekarang menghadap paduka untuk memohon perlindungan paduka! Setelah mengucapkan kata-kata itu, permaisuri putri Dhtarra itu lalu menangis tersedu-sedan sedih sekali. Arjuna berdiri terpaku dan termangu. Kepalanya tunduk. Sesaat kemudian, permaisuri yang juga saudara sepupunya itu berkata : Pandanglah hamba ini, pandanglah anak kecil ini! Wahai pahlawan Kuru, kasihani kami dan hapuskanlah permusuhan itu,
permusuhan dengan kakanda Duryodhana itu. Juga permusuhan dengan Jayadratha yang berhati jahat itu. Hambapun sudah mendengar berita bahwa seorang pahlawan besar Parkit putra Abhimanyu telah lahir di istana paduka. Dan di sini, telah lahir pula anak ini, putra Surata anak hamba. Hamba menghadap paduka di sini, dengan memperkenalkan anak yang tidak berdosa ini serta memohonkan ampun atas perbuatan para Katriya bangsa Saindhawa. Anak dari musuh besar paduka telah datang menghadap untuk menyembah paduka. Ia menginginkan perdamaian dengan paduka! O pendekar perkasa, perkenankan kami memohon perdamaian itu. Semoga paduka menaruh belas kasihan kepada anak yang semua keluarganya sudah tewas, dan ia sendiri tidak mengetahui apapun juga tentang kemarahan kesemuanya paduka! itu! Hentikanlah Lupakan
perbuatan jahat kakeknya yang memang jahat itu, dan kasihanilah anak bayi ini! Arjuna berdiri terpaku, wajahnya suram menunjukkan kesedihan yang teramat sangat. Pikirannya melayang-layang mengenangkan Gndhr dan raja Dhtarra. Kemudian ia sadar, tersentak dan berkata : Ah, Duryodhana yang jahat itu telah menyebabkan semuanya ini terjadi! Dia yang tamak dan sombong itu! Dialah yang mendorong aku melakukan pembunuhan di antara sanak keluarga sendiri! Banyak sekali sanak saudaraku yang telah kuantar sendiri ke alam Yama! Setelah mengucapkan kata-kata itu, Arjuna lalu menghibur saudara sepupunya serta menyerukan perdamaian! Dipeluknya saudaranya dengan kasih sayang dan disuruhnya kembali ke istana. Dusalapun menyerukan kepada pasukan Saindhawa untuk menghentikan
pengepungan memerintahkan
terhadap kepada
Arjuna mereka
dan agar
menghormati Prtha yang datang berkunjung itu. Permaisuri yang cantik itu lalu kembali ke istana. Setelah semua kembali ke tempat masing-masing, Arjuna melanjutkan perjalanannya mengikuti kuda yang dilepas itu kemanapun kuda itu melangkahkan kakinya untuk mencari makanannya. Ia terus saja mengikuti kuda itu, seperti Pinaka di jaman purba, yang tidak pernah berhenti mengejar rusa buruannya sampai jauh ke angkasa!