Professional Documents
Culture Documents
Kuda itu terus mengembara dari satu kerajaan terpaksa ke kerajaan lain. kekuasaan Dalam dan pengembaraannya itu, tidak jarang Arjuna memperlihatkan kebijaksanaannya. Pada suatu saat, kuda itupun memasuki wilayah kerajaan Maipra. Yang menjadi raja Maipra pada waktu itu tidak lain dari putra Arjuna sendiri, Wabhruwahana. Mengetahui Arjuna datang, ia segera menyambutnya dengan penuh kehormatan. Raja itu mengelu-elukan Arjuna dengan diiringkan oleh para Brhmaa dan tidak ketinggalan membawa sebuah kereta yang penuh dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan. Melihat cara raja muda ini menyambut dirinya itu, Arjuna melotot marah dan berkata : Hai raja, anakku! Aku datang ke kerajaan ini selaku pengawal kuda kurban untuk menyempurnakan
upacara
yang
diselenggarakan
oleh
raja
Yudhihira! Selaku seorang Katriya, ananda mestinya menghadang dan bertempur dengan diriku! Perbuatan ananda ini sangat memalukan, tidak sesuai dengan sifat seorang Katriya! Hai, engkau anak bodoh! Ketahuilah bahwa engkau telah menghina martabat kepahlawanan para Katriya yang lain. Karena engkau tidak melakukan kewajiban selaku seorang Katriya! Aku ini datang bukan untuk minta disambut dengan segala kemegahan ini! Aku datang untuk bertempur dengan engkau. Tidak menyangka kalau engkau memiliki sifat perempuan seperti ini! Kamu picik! Apabila aku datang ketempat ini tanpa memegang senjata di tanganku ini, bolehlah engkau menyambut diriku sebagaimana penyambutan yang kau lakukan sekarang ini, O kamu manusia busuk! Ulupi, isteri Arjuna, putri raja Ular tidak tahan mendengar penghinaan
Arjuna yang ditujukan kepada putranya sendiri itu. Ia menyelinap menyelusup ke dalam tanah dan muncul kembali di tempat kejadian itu. Dia melihat anak tirinya berdiri membisu, kepalanya tunduk, malu dan sedih. Sikap raja yang masih muda ini sangat dicela oleh Arjuna yang menghendaki agar anaknya itu mau bertempur menghadapi dirinya. Ulupi yang cantik itu lalu mengucapkan kata-kata berikut, kata-kata tentang kewajiban dan kebenaran, ditujukan kepada Wabhruwahana, yang sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan perihal kebenaran dan kewajiban itu. Ketahuilah hai anak muda, bahwa aku ini juga ibumu sendiri, bernama Ulupi putri dari raja ular! Aku menganjurkan kepadamu O raja, agar melakukan apa yang dikehendaki oleh ayahmu itu, karena dengan demikian ananda akan
mendapatkan pahala kebaikan serta berkah dari perbuatan itu. Hadapilah ayahmu itu! Pahlawan besar bangsa Kuru, ayahmu itu menghendaki agar ananda melawannya bertanding! Lawanlah! Pasti ayahanda paduka itu akan merasa puas terhadap dirimu O raja! Demikian itulah raja Wabhruwahana dibakar semangatnya oleh ibunya. Akhirnya diputuskan untuk memenuhi kehendak ayahnya. Meskipun masih muda, raja ini bukanlah seorang pengecut. Ia seorang raja perkasa, dan nampak cemerlang setelah mengenakan busana perangnya, dengan topi pelindung yang bersinar gemerlapan. Kereta perang yang dikendarainya bersenjata lengkap dan kuda penariknya bergerak dengan kecepatan laju luar biasa, melesat secepat pikiran. Rodaroda kereta itu kokoh dengan upakara kuat dihiasi perhiasan berwarna keemasan beraneka ragam bentuknya. Bendera kebesarannya sudah
berkibar dengan megahnya, berlukisan seekor singa disulam dengan benang emas. Demikian raja Wabhruwahana yang tampan itu maju bertempur melawan ayahnya. Dhanajaya. Raja muda itu melaju ke lapangan tempat kuda kurban itu sedang memakan rumput dan langsung penangkap memerintahkan kuda untuk kepada ahli-ahli menangkapnya.
Dhanajaya memandang, dan setelah dilihatnya kuda hitam nan perkasa itu berhasil ditangkap, ia merasa gembira. Dengan berdiri di tanah Arjuna menghalang-halangi putranya yang duduk di atas kereta ingin menembus rintangan. Pada suatu saat meluncurlah panah-panah berbisa seperti ribuan ekor ular sedang memperebutkan mangsanya. Terjadilah pertarungan seru antara ayah dan anak. Dan masing-masing sudah bertekad untuk menguji kekuatan masingmasing. Karena itu pertarungan itu berkembang
menjadi pertarungan yang teramat dahsyat, bagaikan pertarungan di antara para sura di jaman kuna. Panah dibalas panah, keterampilan keduanya selalu seimbang. Bagaimana pun diusahakan, panah-panah yang ribuan banyaknya itu hanya sempat saling bentur di udara untuk kemudian berguguran di tanah berkeping-keping. Pada suatu kesempatan, Wabhruwahana, sambil tertawa, melepaskan sebuah panah yang menyambar teramat dahsyat dan menghantam bahu Arjuna dan menancap! Panah itu menembusi tubuh Arjuna bagaikan seekor ular yang masuk ke liang semut. Dan panah itu tidak sekedar melukainya, racun yang dikandungnya meresap masuk ke dalam darah. Arjuna tersentak berdiri kaku, busur panahnya dipergunakan untuk menopang tubuhnya yang mulai terasa limbung. Tubuhnya gemetar, dan nafas kehidupan seakan-akan telah
meninggalkan dirinya. Tetapi ia tetap bertahan dan setelah tenaganya yang memang hebat itu dirasakan pulih kembali, iapun berkata memuji kehebatan putranya : Engkau sungguh hebat O putraku! Engkau gagah O putra Citrgada! Aku puas dengan ketangguhanmu itu! Tetapi sekarang, terpaksa aku mempergunakan panah ini kembali. Nah, bersiaplah anakku! Kuharap engkau tidak mengundurkan diri! Dhanajaya lalu menyemburkan ribuan anak panah, melesat berdesing-desing dari senjata Gandhiwa itu. Tetapi Wabhruwahana sudah mempersiapkan diri, mempergunakan senjata penangkis khusus. Senjata penangkis itu juga berupa panah yang berujung besar, Dengan panah-panah itu, mampulah ia membendung hujan panah dari arah Arjuna yang ternyata sangat dahsyat bagaikan petir menyambar-
nyambar. Panah-panah yang berbenturan itu menimbulkan ledakan-ledakan nyaring dan kepingan-kepingannya berterbangan di udara dan jatuh ke tanah. Sebuah panah melesat dari busur Gandhiwa itu dengan kecepatan halilintar dan menyambar tiang bendera tanda kebesaran Wabhruwahana yang terpasang di bahagian depan kereta. Bendera yang berkibar megah, yang tiangnya kokoh bagaikan pohon tala, terpotong menjadi dua. Ledakan kedua terjadi dan ambruklah kuda penarik kereta raja itu. Raja muda itu turun dari keretanya dan ternyata ia marah sekali. Dengan pekikan nyaring melengking dan menyeramkan ia menyerbu ayahnya. Arjuna sebenarnya sudah sangat puas menyaksikan kehebatan putranya itu. Tetapi entah mengapa, ia terus saja menghantam putranya dengan panah-panah saktinya. Pada waktu itu Wabhruwahana bahkan menduga,
tentulah tenaga ayahnya sudah sangat lemah karena pengaruh racun yang menjalar di tubuhnya. menghantam Karena itu ia panah ingin itu dan segera iapun menyelesaikan pertarungan dengan
bertubi-tubi.
Wabhruwahana melesat menyerbu dan dari jarak dekat ia menembakkan sebuah panah berbisa. Hantaman panah dari jarak dekat itu membuat Arjuna gugup dan tidak sempat mengelak maupun menangkis! Dada yang bidang itu ditembus dan ujung panah berbisa itu tepat melukai jantung Arjuna. Arjuna menahan rasa sakit yang teramat sangat, limbung dan terjerembab jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu, putra Citrgada pun kehilangan kesadaran dan terhempas jatuh. Ia kepayahan, dan lebihlebih lagi, terpukul bathinnya menyaksikan ayah yang sangat dikagumi itu jatuh tak sadar terkena panah yang dilepaskan olehnya itu. Sebenarnya,
ia sendiripun sudah penuh dengan luka-luka karena sambaran kepingan-kepingan panah Arjuna. Kini ia terjerembab, tertelungkup di tanah tidak jauh dari tempat ayahnya tergeletak. Setelah mendapat laporan bahwa suaminya tewas dan putranya pingsan, Citrgada bergegas menuju ke medan pertarungan. Ia mengendarai kereta kencana sambil tersedu-sedu menangis. Hatinya hancur dilanda kesedihan, tubuhnya gemetar. Di lapangan rumput itu dilihatnya suaminya memang telah tewas!