You are on page 1of 5

PENGARUH SIKAP DAN KERJA FISIK TERHADAP TEKANAN DARAH

Tujuan:

Membandingkan nilai tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri Membandingkan nilai tekanan darah saat istirahat dan sesudah kerja otot Melakukan pengukuran tekanan darah dengan cara palpasi

Alat yang digunakan: 1. Sfigmomanometer 2. Stetoskop

Cara Kerja: I. Pengukuran Tekanan Darah A. Brachialis pada Sikap Berbaring, Duduk dan Berdiri Berbaring terlentang 1. Suruhlah orang percobaan berbaring terlentang dengan tenang selama 10 menit. 2. Selama menunggu, pasanglah manset sfigmomanometer pada lengan atas orang percobaan. 3. Carilah dengan palpasi denyut a. brachialis pada fossa cubiti dan denyut a. radialis pada pergelangan tangan orang percobaan. 4. Setelah OP berbaring 10 menit, tetapkanlah kelima fase korotkoff dalam pengukuran tekanan darah OP tersebut. 5. Ulangilah pengukuran sub. 4sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan catalah hasilnya. Duduk 6. Tanpa melepaskan manset, OP disuruh duduk. Setelah 3 menit ukurlah lagi tekanan darah a. brachialisnya dengan cara yang sama. Ulangilah pengukuran sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan catatlah hasilnya. Berdiri 7. Tanpa melepaskan manset, Op disuruh berdiri. Setelah ditunggu 3 menit ukurlah lagi tekanan darah a. brachialisnya dengan cara yang sama. Ulangilah pengukuran sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata dan catatlah hasilnya. 8. Bandingkanlah hasil p[engukuran tekanan darah OP pada ketiga sikap yang berbeda di atas.

II. Pengukuran Tekanan Darah Sesudah Kerja Otot 1. Ukurlah tekanan darah a.brachilais OP dengan penilaian menurut metode baru pada sikap duduk (OP tak perlu yang sama seperti pada sub. I) 2. Tanpa melepaskan manset suruhlah Op berlari di tempat dengan frekuensi 120 loncatan / menit selama 2 menit. Segera setelah selesai, OP disuruh duduk dan ukurlah tekanan darahnya. 3. Ulangilah pengukuran tekanan darah ini tiap menit sampai tekanan darahnya kembali seperti semula. Catalah hasil pengukuran tersebut.

III. Pengukuran Tekanan Darah A. Brachialis dengan Cara Palpasi 1. Ukurlah tekanan darah a. brachialis OP pada sikap duduk dengan cara auskultasi (sub.I). 2. Ukurlah tekanan dara a. brachialis OP pada sikap yang sama dengan cara palpasi.

Hasil: Percobaan I Terlentang Fase


Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5

Percobaan I
110
Tidak terdengar

Percobaan II
110 100 90 76 60

Percobaan III
112
Tidak terdengar

Rata-rata
110.67 110 89.3 71.3 60

90 70 60

88 68 60

Duduk Fase
Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5

Percobaan I Percobaan II
100 90 80 70 60 78 66 58 100

Percobaan III
100

Rata-rata
100 90

Tidak terdengar 84 68 60

80.67 68 59.3

Berdiri

Fase
Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5

Percobaan I
100

Percobaan II
100

Percobaan III
100

Rata-rata
100

Tidak terdengar 80 70 60 88 72 60 90 74 60 86 72 60

Percobaan II Fase ke Tekanan Darah Mula-mula Menit 1 Menit 2 Setelah melakukan kerja otot Menit 3 Menit 4 Menit 5 Menit 6
1 100 139 130 130 120 120 100 2 93
Tidak terdengar Tidak terdengar

3 85 110 108 100 98 96 80

4 70 90 100 96 76 80 72

5 60 98 90 80 58 50 60

118
Tidak terdengar Tidak terdengar Tidak terdengar

Percobaan III Auskultasi : 120/90 Palpasi : 116 (hanya sistol saja)

Pembahasan: Para klinisi menentukan tekanan sistolik dan diastolic secara tidak langsung, biasanya dengan menggunakan cara auskultasi. Sebuah stetoskop diletakkan di atas arteri yang terdapat di area lipat siku (fossa cubiti), dan di sekeliling lengan atas dipasang sebuah manset tekanan darah yang digembungkan. Selama manset menekan lengan dengan tekanan yang terlalu kecil untuk menyumbat arteri brachialis, tidak aka nada bunyi yang terdengar dari arteri tersebut melalui stetoskop. Namun, bila tekanan dalam manset itu cukup besar untuk menyumbat arteri selama sebagian siklus tekanan arteri, bunyi akan terdengar pada setiap pulsasi. Bunyi-bunyi ini disebut bunyi korotkoff.

Dalam menentukan tekanan darah dengan cara auskultasi, tekanan dalam manset mulamula dinaikkan sampai di atas tekanan sistolik arteri. Selama tekanan manset lebih tinggi daripada tekanan sistolik, arteri brachialis akan tetap kolaps dan tidak akan nada darah yang mengalir ke dalam arteri yang lebih distal selama siklus penekanan. Oleh karena itu, tidak akan terdengar bunyi korotkoff di arteri yang lebih distal. Namun kemudian tekanan dalam manset secara bertahap dikurangi. Begitu tekanan di dalam manset turun dibawah tekanan sistolik, darah akan mulai mengalir melalui arteri yang terletak di bawah manset slama puncak tekanan sistolik, dan kita mulai mendengar bunyi berdetak dari arteri antekubiti yang sinkron dengan denyut jantung. Begitu bunyi ini mulai terdengar, nilai tekanan yang ditunjukkan oleh sfigmomanometer yang terhubung dengan manset kira-kira sama dengan tekanan sistolik. Bila tekanan dalam manset diturunkan lebih lanjut, terjadi perubahan kualitas bunyi korotkoff, kualitas detaknya menjadi berkurang dan bunyinya menjadi lebih berirama dan lebih kasar. Kemudian, akhirnya, sewaktu tekanan manset turun mencapai tekanan diiastolik, arteri tersebut tidak tersumbat lagi, yang berarti bahwa factor dasar yang menyebabkan timbulnya bunyi (yaitu semburan darah yang melewati arteri yang tertekan) tidak ada lagi. Oleh karena itu, bunyi tersebut menjadi redam dan kemudian menghilag seluruhnya setelah tekanan manset diturunkan lagi sebanya 5 sampai 10 milimeter. Kita mencatat tekanan pada sfigmomanometer ketika bunyi korotkoff berubah menjadi redam, nilai tekanan yang tercatat ini kurang lebih sama dengan tekanan diastolic. Cara auskultasi untuk menentukan tekanan sistolik dan diastolic tidak seluruhnya akurat, namun biasanya hanya berbeda 10 persen dari nilai yang diperoleh dengan pengukuran keteterisasi langsung dalam arteri.

Percobaan I Menurut teori, pada saat berbaring gaya gravitasi pada peredaran darah lebih rendah daripada berdiri karena tubuh dalam keadaan yang sama tinggi, sehingga jantung tidak perlu memberikan tekanan yang kuat agar darah sampai ke seluruh tubuh, berbeda dengan berdiri ataupun duduk, tekanan darah akan lebih tinggi karena adanya gravitasi menyebabkan jantung memompa darah lebih keras untuk melawan gaya gravitasi tersebut. Namun dalam percobaan kami, tekanan darah fase 1 korotkoff saat berbaring lebih tinggi daripada tekanan darah fase 1 korotkoff saat duduk atau berdiri. Hal ini mungkin terjadi karena OP kurang lama berbaring telentang. Sebelum waktu yang ditentukan cara kerja (10 menit), tekanan darah OP sudah

dihitung, padahal tubuhnya belum melakukan adaptasi terhadap perubahan posisi berbaring. Sebaliknya, saat duduk dan berdiri pun, sepertinya tubuh OP belum beradaptasi terhadap perubahan posisi tubuh, sehingga perbandingan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri berbeda dengan teori. Pada percobaan II, terlihat bahwa kerja otot mempengaruhi tekanan darah. Kerja otot menaikkan tekanan darah secara garis besar dan setelah istirahat, tekanan darah berangsur-angsur kembali normal. Tekanan darah yang tiba-tiba meninggi karena kerja otot secara perlahan menurun kembali, baik fase 1 sampai fase 5 (ada beberapa fase di mana tekanannya naik, bukannya berkurang). Perubahan tekanan dari rendah menjadi tinggi kemudian rendah kembali disebabkan karena kontraksi jantung yang semakin cepat. Saat terjadi gerakan, otot-otot memerlukan lebih banyak oksigen. Peningkatan tekanan arteri selama bergerak mengakibatkan area
motorik sistem saraf menjadi teraktivasi untuk bergerak, sistem pengaktivasi retikuler di batang otak juga ikut teraktivasi, yang melibatkan peningkatan perangsangan yang sangat besar pada area vasokonstriktor dan kardioakselerator pada pusat vasomotor. Keadaan ini akan meningkatkan tekanan arteri dengan segera untuk menyetarakan besarnya peningkatan aktivitas otot. Saat terjadi istirahat, maka pusat tersebut akan mengembalikan irama jantung seperti semula. Percobaan III dilakukan tanpa menggunakan stetoskop, dengan demikian tekanan darah yang didapat dengan cara palpasi hanya angka sistol. Saat berada pada tekanan sistol, denyut nadi akan terasa (dari tidak ada denyut nadi, menjadi teraba), sedangkan saat tekanan diastol terjadi sampai di bawah tekanan diastol, denyut nadi arteri radialis juga teraba, sehingga tidak dapat ditentukan di mana tekanan diastolnya. Karena nadi yang teraba pertama kali terasa lemah, tidak dapat secara akurat

menentukan kapan pertama kali denyut mulai teraba, sehingga nilai tekanan sistol yang didapat dengan cara palpasi lebih kecil daripada nilai yang didapat dengan cara auskultasi.

Kesimpulan: Tekanan darah dapat dicari dengan cara auskultasi dan palpasi. Sikap seseorang serta kerja otot yang dilakukan saat pengukuran berlangsung berpengaruh terhadap hasil yang didapat. Sikap berbaring akan menghasilkan tekanan darah yang lebih rendah dari duduk dan berdiri dan sesudah kerja otot, tekanan darah akan lebih tinggi sebelum akhirnya kembali ke tekanan darah mula-mula.

You might also like