You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan manusia tak terdapat seorang pun yang dapat hidup menyendiri terpisah dari kelompok manusia lain, kecuali dalam keadaan terpaksa dan sifatnya sementara waktu, sebab manusia memiliki hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok, sebagai hasrat untuk bermasyarakat. Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat merupakan komponen kesatuan hidup yang lahir dan batin yang dapat mendidik jiwa manusia dalam sebuah pergaulan hidup bersama di antara individu manusia. Hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang lahir berdasarkan kodrat alam. Manusia di mana-mana pada zaman apapun selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok, atau sekurang-kurangnya kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang yaitu suami-istri ataupun ibu dan anak. Hal tersebut merupakan sebuah realitas hidup bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain (human society).

ii

Pada zaman modern ini tidaklah mungkin bagi seorang untuk hidup secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari ataupun kerjasama dengan orang lain. Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi bawaan manusia, yang merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama lazim disebut masyarakat. Masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih yang hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan seorang dan yang lain saling mengenal dan mempengaruhi. Di Indonesia dari catatan Komisi Perlindungan Anak (Hermawan, 2003 : 45) terdapat 45.000.000 jiwa anak yang tidak memperoleh pendidikan yang layak bagi kemanusiaan, dan 35.000.000 jiwa anak-anak dieksploitasi melalui kerja paksa dan kekerasan anak oleh orang tua atau keluarga yang disharmonis. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak sejak tahun 2003 sampai 2006 terdapat 17.200 kasus di Indonesia mengenai kekerasan terhadap anak dan sekitar 15.300 kasus kekerasan terhadap anak banyak terjadi di lingkungan keluarga yang disharmonis dan 1.900 kasus terjadi kekerasan terhadap anak pada lingkup sekolah dan lingkungan masyarakat. Catatan Komisi Perlindungan Anak tersebut di atas angka kekerasan terhadap anak dapat terlihat cukup memprihatinkan dan peristiwa tersebut tidak tertutup kemungkinan juga dapat terjadi di wilayah hukum Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe.

ii

Kabupaten Konawe dalam proses perkembangannya diberbagai aspek masih dihadapkan pada berbagai persoalan baik persoalan pendidikan, kemiskinan maupun keamanan dan ketertiban. Hal tersebut telah mendorong kehidupan yang tidak wajar dalam pergaulan masyarakat sehingga melahirkan peningkatan kejahatan di kabupaten Konawe terutama mengenai kekerasan terhadap anak. Menurut catatan Asosiasi Perlindungan Anak Sulawesi Tenggara diperoleh keterangan awal penulis bahwa 11 kasus sejak tahun 2003 sampai 2006 telah terjadi kekerasan anak di wilayah hukum Kabupaten Konawe. Lebih lanjut hanya 8 kasus yang telah diproses secara hukum dan kebanyakan 8 kasus tersebut merupakan hasil laporan dari orang tua anak sendiri dalam hal ini ibu dari anak tersebut. Besarnya tingkat kekerasan terhadap anak di Kabupaten Konawe telah mendorong terciptanya kejahatan baru di lingkungan masyarakat yakni dengan adanya kejahatan kekerasan terhadap anak merupakan sebuah kejahatan yang lahir karena dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi yang lemah, tingkat pendidikan yang rendah serta sebagai akibat dari pergaulan bebas yang timbul dari pergaulan masyarakat yang diakibatkan oleh pengaruh modernisasi dan westernisasi yang tidak diimbangi dengan pola pembinaan sosial di dalam masyarakat. Gambaran tersebut di atas, merupakan kaji awal penulis dengan melihat dan menelaah secara obyektif terhadap peristiwa kekerasan terhadap anak yang

ii

terjadi saat ini di Indonesia maupun Kabupaten Konawe. Berdasarkan fenomena tersebut penulis memilih judul Tinjauan Kriminologis Kekerasan Terhadap Anak di Kabupaten Konawe. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang hendak dikaji adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya

kejahatan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Konawe ? 2. Bagaimana upaya penanggulangan kejahatan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Konawe ? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan

timbulnya kejahatan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Konawe. 2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan kejahatan

kekerasan terhadap anak Kabupaten Konawe. 1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan banding atau referensi bagi peneliti

selanjutnya yang relevan bagi penelitian ini.

ii

2.

Sebagai sumbangan pemikiran yang komprehensif, utuh dan menyeluruh dalam upaya menanggulangi kejahatan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Konawe.

3.

Sebagai tambahan pengetahuan bagi masyarakat dalam melihat fenomena kejahatan mengenai kejahatan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga.

4.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi kepada departemen dan instansi yang terkait terhadap pemecahan masalah kejahatan kekerasan terhadap anak Kabupaten Konawe.

ii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kriminologi Pengertian kriminologi menurut para pakar ilmu hukum memberikan definisi yang komprehensif dengan sudut pandang yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pola kajian dengan menggunakan analisis yang didasarkan pada subyek dan obyek suatu kejahatan. Secara etimologis menurut Soesilo (1985:1) mengemukakan bahwa kriminologi berasal dari kata crime yang berarti kejahatan dan logos artinya pengetahuan. Jadi kriminologi berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Beberapa pendapat mengenai pengertian dan definisi tentang kriminologi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: Menurut Bonger (Soesilo, 1985: 1) menyatakan: Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis dan kriminologi murni). Kriminologi teoritis adalah ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejalagejala dan mencoba menyelidiki murni atau kriminologi teoritis disusun kriminologi terapan.

ii

Selanjutnya

Bonger

(Topo

Santoso,

Eva

Achjanizulfa,

2001:1)

menyatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan umum yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Di lain pihak Wod (Topo Santoso, Eva Achjanizulfa, 2001:12) menyatakan bahwa: Istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan

yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya mengenai reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat. Berdasarkan Vrij (Sahetapy, 1992:8) mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perbuatan jahat, pertama-tama menangani apakah perbuatan jahat itu, tetapi selanjutnya juga mengenai sebab musabab dan akibat-akibatnya. Berdasarkan berbagai definisi yang dikemukakan di atas terdapat pula definisi yang membedakan kriminologi dalam arti luas dan kriminologi dalam arti sempit, definisi ini dikemukakan oleh Noach (Soesilo, 1985 : 2) : Kriminologi dalam arti kata luas yang terdiri dari kriminologi dalam arti luas dan kriminalistik. Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknis, sebagai alat untuk mengadakan pengajaran atau penyidikan perkara kejahatan secara teknis dengan menggunakan ilmu-ilmu alam kimia dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman (ilmu kedokteran forensik) ilmu alam kehakiman

ii

antara ilmu sidik jari (Dektiloskopi) dan ilmu kehakiman antara lain ilmu tentang keracunan (ilmu toksologi); dan Kriminologi dalam arti kata sempit kalau kita mempunyai kata kriminologi saja artinya kriminologi dalam arti kata sempit, kriminologi tidak termasuk di situ, kecuali kata istilah kriminologi dari lembaga kriminologi UI yang dibidangnya meliputi kriminologi dan kriminalistik. Kriminologi dalam arti sempit adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bentuk-bentu

penjelmaan sebab-sebab dan akibat-akibat dari kriminalitas (kejahatankejahatan dan perbuatan-perbuatan buruk). Mulyana W. Kusumah (1981:3) membagi ruang lingkup kriminalogi menjadi tiga aspek: Sosiologi hukum sebagai analisa ilmiah kondisi-kondisi berkembangnya hukum pidana; Etiologi kejahatan yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan; Penologi: menaruh perhatiannya pada upaya pengendalian kejahatan Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro (1982:2) memberikan pengertian kejahatan sebagai berikut: Kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan

ii

perbuatan atau tingka laku (baik aktif maupun pasif), yang dimulai oleh sebagian masyarakat, atau minoritas masyarakat sebagai perbuatan anti sosial, suatu pemerkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu. Manfaat dan Tempat Kriminologi Di Eropa pada umumnya beranggapan bahwa criminologi as a subsidiary or accessory sciences to criminal law. Bila ditelaah pertumbuhan kriminologi sebagaimana yang dikemukakan oleh (Simandjuntak 1981 : 8) maka dapat diketahui manfaat kriminologi, yaitu: Memperluas horizon pandangan pribadi Mempelajari kriminologi sebagai ilmu akan berguna memperkaya ilmu sehingga memperluas horizon pandangan tentang sesuatu masalah, terutama fenomena sosial. Kita menyadari sempitnya horizon sering membuat kita bersikap fanatik yang melahirkan sifat prejudice. Pengabdian sosial Memperkaya diri dalam lapangan ilmu ditujukan kepada kesejahteraan sosial dan ketertiban sosial, bukan untuk lart pour lart, tapi lart pour la vie. Mempelajari kriminologi seharusnya ditujukan membasmi kejahatan untuk kesejahteraan manusia. Semboyan lart pour la gu ere (perang) harus ditinggalkan.

ii

Mengembangkan ilmu Mendalami kriminologi juga ditujukan untuk pengembangan ilmu itu sendiri sehingga mendapat pengakuan dari ilmu lain sebagai ilmu yang otonom. Dalam mencari kedudukan dalam posisi ini sering ilmu mengalami kelesuan, demikianlah kriminologi dalam memperkenal- kan dirinya masih ada yang menganggapnya sebagai cabang sosiologi. Menurut Mannheim (Simandjuntak, 1981:11) telah minta perhatian agar Sociology of Criminal Law dibedakan daripada Criminology dan Sociological Jurisprudence, menyatakan tujuan ilmu masyarakat ini adalah menyelidiki susunan masyarakat dan macam-macam golongan serta lembagalembaganya, kedudukan dan pengaruhnya dan sikapnya dalam hubungannya dengan hukum pidana yang berlaku. Susunan, kedudukan serta kekuatan suatu golongan tertentu berpengaruh terhadap terjadinya suatu hukum pidana dan betapa aturan pidana itu berpengaruh kepada golongan-golongan ini. Pendapat tersebut di atas dipertegas oleh Sutherland (Simandjuntak, 1981 : 11) yang menganggap bahwa Sociology of Law sangat penting. Tetapi mengingat lapangan kriminologi sangat luas, kiranya perlu dipertimbangkan bahwa sosiologi hukum pidana dipisahkan dari kriminologi. Bila ditelaah lebih lanjut kedudukan kriminologi dalam arena ilmu pengetahuan, maka harus dilihat kelompok ilmu lebih dahulu. Para ahli

ii

(Simandjuntak 1981:13) membuat pengelompokan ilmu pengetahuan atas 3 bagian, yaitu : Ilmu sosial (social sciences), yakni kelompok ilmu pengetahuan yang meneliti hidup bersama manusia. Ahli-ahli memasukkan ilmu-ilmu pada kelompok ini ialah: ekonomi, antropologi, psikologi, sejarah, sosiologi. Ilmu pengetahuan kerokhanian (humanities, humaniora), yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari perwujudan spiritual kehidupan bersama. Dalam kelompok ini ialah: filsafat, kesenian, agama, ilmu bahasa. Ilmu pengetahuan alam (natural sciences), yakni kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala alam. Para ahli memasukkan biologi dan fisika. Menurut Bonger (Simandjuntak, 1981:15) kriminologi dalam arti sempit terdiri dari: Kriminologi teoritis yang meliputi sosiologi kriminal, antropologi Kriminal, neuro patologi kriminal. Kriminologi praktis yang meliputi hygiene kriminal, kriminalistik dan politik kriminal. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat dan tempat kriminologi merupakan sebuah bentuk kajian untuk melengkapi faedahfaedah mengenai ilmu kejahatan.

ii

Sebab Timbulnya Kejahatan Dalam perkembangan kriminologi, pembahasan mengenai sebab musabab kejahatan secara sistematis merupakan hal baru, meskipun sebenarnya hal tersebut telah dibahas oleh banyak ahli kriminologi. Teori tentang sebabmusabab kejahatan berubah menurut perkembangan zaman. Lombrosso (Siegel, 1983:156) mengemukakan yang selanjutnya dikenal dengan teori Lombrosso (Biological Theory) bahwa: Aliran kriminologi positif awal adalah aliran biologi awal, dikemukakan oleh Cesare Lombrosso di mana berdasarkan penelitian yakni bahwa beberapa orang memiliki ciri tertentu sejak lahir yang membuat mereka jahat Teori lain yang berhubungan dengan sebab-sebab kejahatan adalah teori kemauan bebas, teori ini berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu hidup dan filsafat, berpendapat bahwa manusia itu bebas untuk berbuat menurut kemauan dan bebas untuk menentukan pilihannya. Teori ini dinamakan teori Klasikal (Classical Theorie) oleh Siegel (1983:92) menyatakan: Pendekatan klasik terhadap penyebab kejahatan memuat sejumlah elemen dasar : Manusia dalam masyarakat memiliki kemauan bebas guna memilih penyelesaian kriminal ataupun penyelesaian permasalahan mereka Solusi kriminal mungkin lebih menarik dari solusi konvensional, hal ini karena biasanya tidak memerlukan upaya dengan tantangan berat

ii

Seorang manusia yang memiliki solusi kriminal dipengaruhi oleh reaksi sosial untuk bertindak demikian

Yang paling efisien untuk membuat pencegahan kejahatan adalah berupa hukuman yang cukup, guna menjadikan kriminal tidak dipilih. Dalam perkembangan selanjutnya teori Lombrosso mulai tampak

ketidaktepatan namun masih terdapat teori mempertahankan seperti teori The Mental Testers yang menitikberatkan kepada Feeble Minded sebagai ciri khas seorang penjahat yang dapat membedakan bukan penjahat, penganut utama teori orang tua menurut hukum-hukum kebaikan dari mental mengakibatkan orangorang bersangkutan tidak mampu menilai tingkah laku. Di samping teori-teori tersebut di atas masih terdapat teori-teori penyakit jiwa di mana kondisi kejiwaan seseorang yang membuat orang tersebut melakukan tindakan-tindakan kejahatan, sehingga penyakit jiwa termasuk penyebab kejahatan. Menurut Soesilo (1985:22-23) menyatakan bahwa : Teori-teori lain yang banyak ragamnya menyangkut penyimpangan akan kepercayaan kepada Tuhan, sehingga banyak perceraian dan anak-anak tidak segan lagi kepada orang tua, melupakan cita-cita luhur para pejuang, kelakuan orang tua yang tidak semestinya, sehingga memberi contoh yang tidak baik bagi anak-anaknya, contoh-contoh yang buruk dari film, televisi, dan radio, dansa, night club, dan lain-lain.

ii

Berdasarkan uraian di atas maka munculnya kejahatan sebagai akibat adanya pengaruh pergaulan bebas dan kehendak yang dipengaruhi oleh tujuan yang hendak dicapai di dalam masyarakat, serta dipengaruhi adanya pola-pola kepercayaan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat sebagai suatu perintah akan kepercayaan kepada Tuhan (Soesilo,1982 : 32). Berdasarkan pemikiran di atas untuk menjelaskan masalah penjahat, kejahatan serta reaksi sosial terhadap penjahat dan kejahatan di Indonesia, maka berikut ini penulis akan kemukakan beberapa teori penting dalam kriminologi yang berhubungan dengan sebab-sebab timbulnya kejahatan 1. Teori Differential Association Teori asosiasi diferensial yang dikemukakan oleh Sutherland terdiri atas 9 (sembilan) proposisi yaitu : 1. Seseorang yang delinkuen disebabkan karena akses dari pengertian yang lebih banyak dnilai sebagai pelanggaran undang-undang daripada pentaatan undang-undang yang berlaku. 2. Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan tersebut dapat bervariasi/ berubah-ubah dan perubahan tergantung pada frekuensi jangka waktu, masa lampau dan intensitas. 3. Proses mempelajari tingkah laku jahat melalui pergaulan dengan polapola kriminal dan anti kriminal meliputi semua mekanisme sebagaimana mempelajari yang lain.

ii

4.

Apabila tingkah laku kriminal adalah ekspresi dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang umum, tidak dapat dijelaskan oleh nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang umum tersebut. Hal ini disebabkan kelakuan yang tidak jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. Misalnya pencuri dan buruh yang jujur mereka bekerja untuk mendapatkan uang.

5.

Tingkah laku jahat itu dipelajari Sutherland menyatakan bahwa tingkah laku itu diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang jahat secara mekanis.

6.

Tingkah laku jahat itu dipelajari dari orang-orang lain dalam suatu proses interaksi.

7.

Bagian yang terpenting dari tingkah laku jahat dipelajari, diperoleh dalam kelompok pergaulan yang akrab.

2. Teori Transmissi Kebudayaan Teori ini dikembangkan oleh Clifford R.Shaw dan Henry D.Mac Kay sebagaimana dikemukakan oleh Kusumah (1984:39-43) yang menekankan pentingnya aspek pewarisan nilai-nilai dan norma-norma khususnya terhadap anak-anak yang tengah mengalami tahap proses sosialisasi. Efek kumulatif dari pewarisan nilai dan norma tersebut terlihat dari dua jenis data : Studi tentang pelanggaran yang mengungkapkan type delinkuen tertentu cenderung merupakan ciri wilayah-wilayah kota tertentu. Masing-

ii

masing menyangkut teknik-teknik yang diajarkan, ukuran-ukuran serta patokan-patokan perilaku tersendiri. Terbukti juga bahwa beberapa anggota kelompok delinkuen melakukan pelanggaran-pelanggarannya dengan disertai delinkuen yang lebih tua. Berdasarkan teori tersebut di atas telah jelas adanya suatu hubungan langsung antara kondisi yang terdapat dalam masyarakat setempat di kotakota dan angka laju berbeda dalam delinkuen dan kejahatan. Masyarakat setempat dengan angka rata-rata kejahatan yang tinggi mempunyai ciri-ciri sosial dan ekonomi yang berbeda dengan masyarakat setempat dengan angka laju kejahatan yang rendah. 3. Teori Kontrol Para teoritis kontrol memandang bahwa manusia merupakan mahluk yang memiliki moral yang murni. Oleh karena itu setiap individu bebas untuk berbuat sesuatu. Kebebasan ini akan membawa seseorang pada tindakan yang bermacam-macam. Tindakan ini lazimnya didasarkan pada pilihan : taat pada hukum atau melanggar aturan-aturan hukum. Tindakan yang dipilih didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang telah terbentuk. Seiring dengan perkembangan ilmu kriminologi terdapat beberapa teori yang menitik beratkan pada kondisi individu penjahat antara lain teori

ii

psikis, teori psikopati, teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki bakat yang di wariskan oleh orang tuanya. Pengertian Kejahatan Menurut tata bahasa, kejahatan adalah merupakan suatu kata jadian atau kata sifat berasal dari kata jahat yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an. Kata kejahatan sendiri adalah suatu kata benda yang berasal dari kata jahat yang menunjukkan orang yang melakukan delik itu atau subyek pelaku. Jadi kejahatan adalah suatu kata keterangan bahwa ada seseorang yang melakukan sesuatu hal. Menurut Ruth Coven (Mulyana W. Kusumah, 1952:30) mengemukakan bahwa: Kejahatan atau delik adalah suatu tindakan yang dilakukan orang karena gagal menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat di mana ketidaksesuaian norma-norma yang dianut masyarakat menjadi ukuran. Sebagaimana penulis kemukakan dalam uraian sebelumnya bahwa kriminologi membahas masalah kejahatan. Timbul sebuah pertanyaan sejauhmanakah suatu perbuatan/tindakan dikatakan sebagai kejahatan ? secara formal kejahatan dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh negara diberi pidana (misdaad is een ernstige anti sociale handeling, waar tegen de staat bewust reageert). Pemberian pidana terhadap suatu kejahatan dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu.

Keseimbangan yang terganggu itu adalah ketertiban masyarakat terganggu,

ii

masyarakat resah akibatnya penggangguan ini dianggap masyarakat anti sosial, di mana tindakan itu tidak sesuai dengan tuntutan itu masyarakat oleh karena

masyarakat bersifat dinamis, maka tindakan pun harus dinamis sesuai

dengan irama perubahan masyarakat. Berdasarkan pengertian-pengertian atau rumusan-rumusan tersebut maka kata kejahatan dalam artian bertentangan, tindakan salah, tidak pantas, melawan, menyalahi aturan-aturan dengan apa yang seharusnya bisa dihubungkan perbuatan kejahatan dengan perdagangan perempuan. Maka dapat dikatakan bertentangan dengan apa yang dilarang dan yang seharusnya oleh undang-undang yang terkait dengan perdagangan perempuan. Pengertian Anak Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002). Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan (Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Lembaran Negara No.32 Tahun 1979, Tambahan Lembaran Negara No.3143).

ii

Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. (Pasal 1 (6) Undang-Undang No.23 Tahun 2002). Anak penyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. (Pasal 1 (7) Undang-Undang No.23 Tahun 2002). Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. (Pasal 1 (9) Undang-Undang No.23 Tahun 2002). 2.5.1 Pengertian Kejahatan Kekerasan Menurut kamus bahasa Indonesia (Edisi 3, 2002) kejahatan kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barangbarang orang lain dengan secara paksa. Kata kekerasan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kata yang diterjemahkan dari kata violence yang berasal dari gabungan kata bahasa latin vis (daya, kekuatan) dan latus (membawa) jika diartikan kekerasan berarti membawa kekuatan.

ii

Untuk mencari rumusannya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka tidak akan dapat ditemui kata kekerasan yang berdiri sendiri, melainkan pasti disertai (didahului atau diikuti) kata-kata yang lain, misalnya pada Pasal 89 KUHP dan Pasal 170 KUHP. Pasal 89 KUHP memberikan pengertian melakukan kekerasan sebagai berikut yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Soesilo R. (1996 : 98) memberikan penjelasan Pasal 89 KUHP tersebut sebagai berikut : Melakukan kekerasan artinya : mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Penjelasan Pasal 89 KUHP tersebut, Soesilo berpendapat bahwa perbuatan mengancam orang dengan akan membuat orang itu pingsan atau tidak berdaya, tidak boleh disamakan dengan mengancam orang dengan kekerasan. Alasannya adalah bahwa pasal ini hanya menyatakan tentang

ii

melakukan kekerasan, bukan membicarakan tentang kekerasan atau ancaman kekerasan. Selanjutnya dalam Pasal 170 KUHP mengatur tentang perbuatan melakukan kekerasan secara bersama-sama yakni sebagai berikut: 1. Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selamalamanya 5 tahun 6 bulan. 2. Tersalah dihukum : a. Dengan penjara selama-lamanya 7 tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka b. Dengan penjara selama-lamanya 9 tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh c. Dengan penjara selama-lamanya 12 tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang. Dalam penjelasan Pasal 170 KUHP, Soesilo (1996:147) berpendapat bahwa perbuatan melakukan kekerasan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP mempunyai beberapa syarat, antara lain sebagai berikut : 1. Melakukan kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu, akan tetapi merupakan suatu tujuan.

ii

2.

Kekerasan itu harus dilakukan secara bersama-sama yaitu dilakukan oleh sedikitnya 2 orang atau lebih. Orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan tidak dapat dikenakan pasal ini.

3.

Kekerasan harus ditujukan kepada orang atau barang, termasuk hewan atau binatang.

4.

Kekerasan itu hanya dilakukan di muka umum atau di tempat-tampat umum dimana masyarakat umum dapat melihatnya. Pengertian kekerasan sangat luas dan banyak, tetapi pada prinsipnya

mengarah pada suatu pemahaman yakni adanya suatu perbuatan atau suatu tindakan yang menggunakan kekuatan, paksaan dan tekanan yang keras. Dari kata kekerasan dapat timbul pertanyaan; apakah semua kekerasan itu merupakan kejahatan?. Persoalan ini telah banyak dibicarakan oleh para ahli dan pada hakikatnya mengemukakan bahwa tidak semua kekerasan merupakan kejahatan. Oleh karena itu, tergantung dari apa yang menjadi tujuan dan akibat dari kekerasan itu sendiri, serta tergantung pula pada persepsi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan ideologi (Romli Atmasasmita, 1992 : 53). Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Anak Adapun yang menjadi instrumen dasar hukum yang digunakan dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan anak dalam sistem hukum formal di Indonesia yakni :

ii

1. Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 28 B ayat (2), dan Pasal 34 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Nomor 32 Tahun 1979, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143). 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29 dan Nomor 3277). 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835). 5. Pasal 80, 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Perlindungan Anak. 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 130 Concerning Minimum Age For Admission to Employment (Lembaran Negara Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835). 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886). 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.

ii

9. Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Anak Dalam Proses Perkara Persidangan Dalam Pengadilan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah hukum Kabupaten Konawe atas dasar pertimbangan bahwa kejahatan terhadap kekerasan anak yang terjadi di Kabupaten Konawe telah mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Kabupaten lain di wilayah hukum Sulawesi Tenggara. 3.2 Tipe Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yaitu dengan melihat, menganalisa, mengamati, dan mengkaji secara langsung mengenai kejahatan kekerasan anak yang pernah terjadi di Kabupaten Konawe. 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Penentuan populasi dalam penelitian ini akan berupaya bertindak selektif dalam mencari informan yang dapat memberikan informasinya. Yang dimaksud dengan populasi dalam penelitian ini adalah pelaku,

ii

korban dan aparat penegak hukum yang terkait dalam penelitian ini seperti pengadilan, POLRES, dan kejaksaan.

3.3.2 Sampel Sampel diambil dari populasi yang dianggap cukup representatif untuk mewakili keseluruhan populasi yaitu 3 orang korban, 2 atau 3 orang pelaku, 1 orang Hakim Pengadilan Konawe, 1 orang Kasat Reskrim POLRES Konawe, dan 1 orang Jaksa Penuntut Umum. 3.4 Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini diperlukan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder sebagai berikut: 1. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan pihak-pihak yang terkait seperti korban, pelaku, pihak kepolisian (POLRES) Konawe, Pengadilan Negeri Konawe dan Kejaksaan Negeri Konawe. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu dengan menelaah literatur, liputan, majalah, koran serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penulisan topik kajian penulis. 3.5 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data adalah :

ii

a.

Penelitian

kepustakaan

(Library

Research)

yaitu

data

dikumpulkan dengan cara menelaah beberapa literatur serta bacaan-bacaan lain dan bahan-bahan hukum yang masih relevan serta berhubungan dengan penelitian ini terkait dengan kejahatan kekerasan anak. b. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu data yang dikumpulkan dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data yang akurat. Adapun cara tersebut dilakukan dengan cara yaitu : 1) Wawancara (Interview), yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung terhadap para korban, pelaku, pihak kepolisian (Polres) Konawe, Pengadilan Negeri Konawe dan Kejaksaan Negeri Konawe terkait dengan kejahatan kekerasan anak. 2) Pengamatan (Observation), yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap korban dan pelaku kejahatan kekerasan anak. 3) Dokumentasi (Documentation) yaitu mengadakan pemotretan langsung terhadap sampel atau obyek yang diteliti. 3.6 Analisis Data Penulis dalam hal ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu gambaran penganalisaan data yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan dan menerangkan kenyataan obyektif penelitian yang didapat dari hasil observasi dan wawancara di lapangan. Dalam

ii

hal ini apa yang dinyatakan responden baik itu korban, pelaku, dan instansi yang khusus menangani persoalan kejahatan kekerasan anak, sehingga dapat diperoleh sebuah gambaran yang obyektif mengenai kenyataan yang ada terkait dengan kasus kejahatan kekerasan anak. Selanjutnya data informasi yang ada dikaji lebih lanjut sesuai dengan permasalahan yang ada secara deskriptif. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Perlakuan Khusus Terhadap Anak Dalam Proses Perkara Persidangan Dalam Pengadilan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action For The Elimination of The Woist Form of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak).

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Pengertian Kriminologi ..................................................................... 2.2 Manfaat dan Tempat Kriminologi .................................................... 2.3 Sebab Timbulnya Kejahatan ............................................................. 2.4 Pengertian Kejahatan ........................................................................ 2.5 Pengertian Anak ................................................................................ 2.6 Dasar-dasar Hukum Perlindungan Anak .......................................... BAB III METODE PENELITIAN ...............................................................

i ii 1 1 4 4 6 6 9 12 17 18 22 24

ii

3.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 3.2 Tipe Penelitian .................................................................................. 3.3 Populasi dan Sampel ......................................................................... 3.4 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 3.5 Tekhnik Pengumpulan Data .............................................................. 3.6 Analisis Data ..................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

24 24 24 25 25 26 27

ii

Metode Penelitian Administrasi

TINJAUAN KRIMINOLOGIS KEKERASAN TERHADAP ANAK DI KABUPATEN KONAWE

Oleh : ANDI DARMAWAN 205 101 006

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

ii

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS LAKIDENDE KONAWE 2008

ii

You might also like