You are on page 1of 17

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS Nama Pasien Jenis Kelamin Umur Alamat Pekerjaan Agama : An. A : Laki-laki : 4 Bulan : Masaran, Sragen :: Islam Nama Ibu Umur Pekerjaan : Ny.W : 34 Tahun : Ibu Rumah Tangga

B. ANAMNESIS Diberikan Oleh : Ibu Pasien 1. Keluhan Utama: Gatal dan Kemerahan di pipi Tanggal : 22 Oktober 2012

2. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan dirasakan sudah sejak 3 hari yang lalu, muncul merah-merah di kedua pipi. Menurut ibu pasien, awal muncul sudah sejak 1 bulan yang lalu, tiba-tiba kedua pipinya memerah. Anak tampak lebih rewel dan gelisah, pasien sering mengusp dan menggaruk pipinya terutama saat udara panas, berkeringat dan saat malam hari. Keluhan ini sudah pernah dilakukan pengobatan dan sembuh, akan tetapi setelah obat habis ruam merah di kedua pipi muncul kembali ditempat yang sama dan tidak ada penyebaran kebagian badan lain. Saat ini pasien mengkonsumsi ASI dengan tambahan bubur bayi milna dan tidak ada tambahan susu formula,

3. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat kehamilan : Tidak ada keluhan bermakna Riwayat kelahiran : Lahir di bidan, normal

Riwayat sakit serupa : pertama muncul keluhan serupa sejak umur 1 bulan.

4. Riwayat penyakit keluarga: Kakak penderita saat balita terdapat keluhan serupa yang sama Ibu memiliki alergi terhadap debu

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum: Tampak Rewel Kesadaran: Compos Mentis Tanda vital Nadi : 110 x/menit Respirasi: 24x/menit Status Dermatologis Venereologis: Pada pipi dextra et sinistra terdapat Makula dan patch eritem multipel bentuk tidak teratur sebagian tampak hiperpigmentasi.

DIAGNOSIS BANDING: 1. Dermatitis Atopik 2. Dermatitis Kontak Alergi 3. Dermatitis Kontak Iritan

PEMERIKSAAN PENUNJANG: Pemeriksaan tidak dilakukan Saran pemeriksaan: Pemeriksaan Laboratorik Serum total IgE Prick test Patch test

DIAGNOSIS

Dermatitis Atopik

TERAPI

Krim hidrokortison 1% , 5gr diberika 3x sehari

SARAN

Menggunakan obat secara teratur dan tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter. Segera membersihkan pipi setelah menyusui Menghindari dari suhu panas yang membuat anak berkeringat Selalu jaga kebersihan

PROGNOSIS : Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam : bonam : bonam : bonam

PEMBAHASAAN

A. Definisi Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

B. Etiologi Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa

predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009). Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk., 2001). faktor pencetus lain diantaranya Makanan Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Alergen hirup Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Judarwanto W., 2009).

Infeksi kulit Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.

C. Patogenesis Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009). a. Genetik Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-

A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86% (Judarwanto W., 2009). Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%. b. Sawar kulit Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W., 2009). Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GMCSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009). Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses

apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009). c. Lingkungan Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009). Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009). Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009). d. Imnopatogenesis DA Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai kemampuan dapat dijelaskan secara

melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan produksi

berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001). Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009). Reaksi imunologis DA Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak 7

dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi. Ekspresi sitokin Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocytemacrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut. Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu

menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009). e. Antigen Presenting Cells Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009). f. Faktor non imunologis 8

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W., 2009). g. Autoalergen Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas

(Soebaryo R.W., 2009).

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010). Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediatormediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator preformed dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas 9

vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

D. Manifestasi klinis Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009). Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe

10

astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005). Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu: 1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun). Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001). Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 3: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009). 2. Bentuk anak (2 - 12 tahun) Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009). 11

Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Gambar 4: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009). 3. Bentuk dewasa (> 12 tahun) Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal. Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001). Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

12

Gambar 5: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

E. DIAGNOSA Diagnosis AD tergantung pada riwayat pasien dan keluarga juga pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik AD berdasarkan gambaran klinis menurut morfologi dan distribusinya. Pada tahun 1980, Hanifin dan Rajka mengutarakan kriteria diagnosis mayor dan minor yang didasarkan pada gejala klinis AD. Kriteria mayor: 1. Pruritus 2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa 4. Dermatitis kronis atau residif 5. Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya Kriteria minor: 1. Xerosis 2. Infeksi kulit 3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki 4. Iktiosis/hiperlinier palmaris/keratosis pilaris 5. Pitiriasis alba 6. Dermatitis di papila mammae 7. Keilitis 8. Lipatan infra-orbita Dennie-Morgan 9. Konjungtivitis berulang 10. Keratokonus 11. Katarak subkapsuler anterior 13

12. Orbita menjadi gelap 13. Muka pucat atau eritem 14. Gatal bila berkeringat 15. Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak 16. Aksentuasi perifolikular 17. Hipersensitif terhadap makanan 18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 19. Tes kulit alergi tipe dadakan positif 20. Kadar IgE di dalam serum meningkat 21. Awitan pada usia dini Diagnosis DA harus memenuhi tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

F. Diagnosis Banding Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001). Diagnosis Banding lainnya:

Dermatitis Kontak Alergi Dermatophytosis dermatophytids atau

Penyakit Neoplastik Langerhans cell histiocytosis Penyakit Hodgkin Dermatitis Numularis Dermatitis Seborrheic

Sindrom defisiensi imun Sindrom Wiskott-Aldrich Sindrom Hyper-IgE

G. Terapi Non medikamentosa: Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinik Menjauhi antigen pencetus Hindari pemakaian bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan pakaian dari wol. Medikamentosa Sistemik: Antihistamin golongan H1 untuk mengurangi gatal dan sebagai penenang Kortikosteroid jika gejala klinis berat dan sering mengalami kekambuhan 14

Jika ada infeksi sekunder diberi asntibiotik seperti eritromisin, tetrasiklin

Topikal: Pada bentuk bayi diberi kortikosteroid ringan dengan efek samping sedikit, misalnya krim hidroklortison 1-1,5% Pada bentuk anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi kortikosteroid kuat seperti betametason dipropionat 0,05% atau desoksimetason 0,25%. Untuk efek yang lebih kuat, dapat dikombinasi dengan asam salisilat 1-3% dalam salep.

H. Pencegahan Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis atopik (Budiastuti M., 2007).

I. Prognosis Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu: DA luas pada anak Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial. Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung Awitan (onset) DA pada usia muda Anak tunggal Kadar IgE serum sangat tinggi.

15

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya. William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24. Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;

www.Childrenallergicclinic.wordpress.com. Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Hal. 192-198. Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51 Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11. 460-65. Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47. Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Dermatitis Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20. Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55 Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.

16

Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan UNS Press. Surakarta. Hal.8-12. Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74. Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am Acad Dermatol. 53(1): 115-28. Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal: 632-35

17

You might also like