You are on page 1of 20

ACARA II EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK GORENG

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan

mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Pada lemak dan minyak dikenal ada dua tipe kerusakan yang utama, yaitu ketengikan dan hidrolisis. Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini

menyebabkan bau dan cita-rasa yang tidak dinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak (Raharjo, S. 2004). Kerusakan minyak yang menimbulkan ketengikan dapat terjadi karena proses pemanasan. Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya. Salah satunva adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minvak karena terjadi oksidasi (kontak dengan udara) yang menyebabkan bau/aroma tengik pada minyak. Ukuran dari ketengikan dapat diketahui dengan menentukan bilangan peroksida. Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi pula tingkat ketengikan suatu minyak (ASA, 2000). Bilangan peroksida menunjukkan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk peroksida dan selanjutnya terbentuk aldehid yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak serta ketengikan minyak. Analisis bilangan peroksida umumnya dilakukan dengan Iodometri dengan titrasi.

2. Tujuan Tujuan dari praktikum acara Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng ini adalah: 1. Menentukan bilangan peroksida dan titik asap pada minyak goreng. 2. Mengetahui pengaruh bilangan peroksida dan titik asap terhadap kualitas minyak goreng. B. TINJAUAN PUSTAKA Ada 2 tipe kerusakan minyak/lemak yang utama yaitu ketengikan dan hidrolisis. Ketengikan terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat keruskan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan ciat rasa yang tak diinginkan dalam lemak/minyak dan produk-poduk yang mengandung minyak/lemak. Hidolisis minyak atau lemak menghasilkan asamasam lemak bebas yang dpat mempengaruhi cita rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisis dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena adanya kegiatan enzim (Buckle,1985). Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Pada lemak dan minyak dikenal ada dua tipe kerusakan yang utama, yaitu ketengikan dan hidrolisis. Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tidak dinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak (Hermanto, dkk, 2009). Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui tiga jalan yaitu

autooksidasi, fotooksidasi, dan oksidasi enzimatis. Proses oksidasi lemak dan lemak pada prinsipnya merupakan pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap (tidak jenuh) dalammolekul gliserida penyusun minyak dan lemak. Tentu saja semakin tidak jenuh atau semakin banyak ikatan rangkap dalam molekulnya yang ditentukan oleh macam-macam lemak penyusun struktur trigliserida maka minyak dan lemak itu sama peka terhadap pemecahan

oksidatif. Jalan lain oksidasi lemak tak jenuh berkaitan dengan adanya cahaya dan sensitisator seperti klorofil. Sedangkan oksidasi lemak jenuh dapat dikatalis oleh lipoksigenase (Cahyadi, 2006). Oksidasi lemak adalah penyebab utama penurunan kualitas makanan. Lemak rentan terhadap proses oksidatif dengan sistem katalitik seperti cahaya, panas, enzim, logam, metalloprotein dan mikroorganisme, sehingga

menimbulkan perkembangan off-flavour dan hilangnya asam amino esensial, vitamin yang larut dalam lemak, dan bioaktif lainnya. lipid

dapat mengalami autoksidasi, fotooksidasi, oksidasi termal, dan enzimatik oksidasi dalam kondisi yang berbeda, sebagian besar yang melibatkan beberapa jenis radikal bebas atau spesies oksigen. Autoksidasi adalah proses yang paling umum sebagai yang menyebabkan spontan kerusakan oksigen oksidatif dengan dan lipid.

didefinisikan

reaksi

Proses ini dapat dipercepat pada suhu tinggi, seperti yang dialami selama deep frying, yang disebut oksidasi termal, dengan peningkatan asam lemak bebas (Shahidi, dkk, 2005). Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis free fatty acid (FFA) dan tiobarbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida, suatu bentuk aldehida yang berasal dari degradasi lemak. Malonaldehida yang terkandung pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA (Herawati, 2008). Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida ini dpat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada rekasi ini, kemudian dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat. Penentuan peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun peroksida

bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reakasi antara alkali iodida dengan oksigen di udara (Ketaren, 1986). Bilangan peroksida ditentukan dengan prosedur sebagai berikut: Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer tertutup dan ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat glacial : kloroform (3:2 v/v). Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh dan dibiarkan 1 menit sambil dikocok, kemudian ditambahkan 30 ml aquades. Iodium yang dibebaskan oleh peroksida dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0.1015 N dengan indikator amilum sampai warna biru hilang. Bilangan peroksida dinyatakan dengan rumus perhitungan sebagai berikut: (S-B) x N x 1000 Bilangan peroksida = -----------------------------(meq peroksid/kg fat) berat sampel (g) S = titrasi sampel B = titrasi blanko N = Normalitas Na2S2O3 Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Aminah, 2010). Meningkatnya bilangan peroksida disebabkan karena adanya reaksi oksidasi pada asam lemak tidak jenuh akibat proses pemanasan. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam kelapa adalah asam lemak palmitat, oleat dan linoleat. Semakin tinggi suhu yang digunakan akan mempercepat terjadinya

proses oksidasi. Bilangan peroksida berhubungan dengan nilai FFA, pada suhu pemanasan 80-90oC nilai FFA juga mengalami peningkatan. Bilangan peroksida merupakan indikator terjadinya ketengikan pada produk yang memiliki kandungan lemak. Semakin tinggi bilangan peroksida, maka semakin tinggi tingkat ketengikan suatu bahan pangan (Sukasih, dkk. 2009). Beberapa faktor dapat dikendalikan untuk mengurangi jumlah oksidasi yang terjadi pada minyak. Faktor pertama adalah suhu, oksidasi dapat dikendalikan dengan mengurangi suhu sampai serendah mungkin

pada pengolahan, pengiriman dan pembuatan. Paparan oksigen (di udara) akan menjadi katalis untuk produksi radikal bebas. Oleh karena itu oksigen perlu dikontrol, untuk mengurangi oksidasi, segel semua kontainer dengan ruang atas sekecil mungkin, mengurangi daerah minyak kontak dengan udara dan menutupi minyak dengan gas inert (seperti nitrogen). Cahaya (UV) dapat memicu reaksi oksidatif. Mengurangi kontak minyak dengan cahaya langsung menggunakan kaca coklat/wadah plastik atau kantong plastik hitam. Moisturein kombinasi dengan faktor-faktor lain yang dapat mempercepat oksidasi. Jika mungkin membatasi jumlah air dalam minyak kurang dari 0,2 % (Miller, 2010). Jika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tertentu akan mulai mengalami dekomposisi menghasilkan kabut berwarna biru atau menghasilkan asap dengan bau karakteristik yang menusuk. Kebanyakan lemak dan minyak mulai berasap pada suhu di atas 200oC. Umumnya, minyak nabati mempunyai titik asap lebih tinggi daripada lemak hewani. Dekomposisi trigliserida menghasilkan sejumlah kecil gliserol dan asam lemak. Gliserol mengalami dekomposisi lebih lanjut menghasilkan senyawa yang dinamakan akrolein. Proses dekomposisi ini tidak dapat berlangsung balik dan sewaktu menggunakan lemak atau minyak untuk menggoreng, hendaknya suhu penggorengan agar selalu dibawah titik asap. Ttitik asap bermanfaat dalam menentukan minyak atau lemak yang sesuai untuk keperluan menggoeng. Pemanasan ulang lemak atau minyak dan terdapatnya bagian-bagian makan yang hangus akan menurunkan titik asap. Pemanasan ulang juga akan

mengakibatkan perubahan oksidatif dan hidrolitik pada lemak dan minyak akibat akumulasi substansi yang akan memberikan flavor yang tidak disukai (Gaman dan Sherrington, 1981).

C. METODOLOGI 1. Alat a. Pipet tetes b. Pipet 20 ml c. Pipet 1 ml d. Buret 50 ml e. Gelas ukur 100 ml f. Gelas piala 200 ml g. Hot plate h. Thermometer i. Neraca analitik j. Erlenmeyer 250 ml 2. Bahan a. Minyak sawit b. Asam asetat glacial c. Kloroform d. KI jenuh e. Aquadest f. Na-tiosulfat 0,01N

3. Cara kerja a. Penentuan Bilangan Peroksida Ditimbang 5 gr sampel minyak ke dalam Erlenmeyer 250 ml

Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sampel minyak larut Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil digoyang Ditambahkan 30 ml aquadest

Ditambahkan 0,5 ml indikator amilum

Dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,01N

Dibuat penetapan untuk blanko b. Penentuan Titik Asap Diambil 50 ml sampel minyak

Ditaruh ke dalam gelas piala 200 ml

Dipanaskan minyak di atas hot plate

Dicatat waktu mulai terbentuknya asap

D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penentuan Bilangan Peroksida Tabel 2.1 Penentuan Bilangan Peroksida pada Minyak Goreng Kelompok Sampel ts (ml) Angka peroksida 1 Minyak sawit baru 0,2 0,4 2 Bekas 1x tempe 0,3 0,6 3 Bekas 3x tempe 0,5 1 4 Bekas 5x tempe 0,5 1 5 Bekas 7x tempe 0,4 0,8 6 Bekas tempe gosong 0,8 1,6 7 Bekas goreng krupuk 0,7 1,5 8 Bekas goreng ikan 0,6 1,2 Sumber : Laporan sementara Minyak goreng yang biasa digunakan untuk keperluan masak sehari-hari adalah minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit merupakan ekstrak minyak dari inti kelapa sawit (palm kernel oil). Untuk menjaga minyak goreng tetap berkualitas tinggi maka diperlukan adanya pengujian tentang kerusakan minyak. Minyak goreng termasuk golongan lipid yang mudah mengalami kerusakan akibat oksidasi atau hidrolisis. Kerusakan minyak dapat menurunkan mutu minyak goreng karena dapat mengubah sifat kimia dan fisika minyak goreng. Untuk menguji perubahan sifat minyak yang mengarah pada kerusakan minyak tersebut dapat digunakan berbagai macam metode, antara lain: bilangan peroksida, diena terkonjugasi, VOC, nilai p-anisidin, TBARS, titik asap atau evaluasi sensoris. Dalam parktikum acara II akan dilakukan pengujian kerusakan minyak dengan metode bilangan peroksida dan titik asap minyak goreng. Bilangan peroksida adalah pengujian yang paling sering digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak. Bilangan ini digunakan untuk mengukur hasil metabolit sekunder dari oksidasi asam lemak tidak jenuh minyak membentuk senyawa peroksida. Standar bilangan peroksida maksimal yang diperkenankan oleh Codex Stan 19-1981 (rev. 2-1999) adalah sebesar 3 mek/kg minyak (Mulyadi, 2011). Namun menurut SNI 01-3741-2002 Standar Mutu Minyak Goreng, bilangan peroksida

maksimal adalah 2 Meq/Kg (Wijayanti, 2012). Minyak goreng akan mulai berbau tengik pada bilangan peroksida 4 mek/kg (Berger, 2005).

Gambar 2.1 Perubahan jumlah oksidasi reaktan dan produk lipid Penggunaan larutan asam asetat-kloroform pada titrasi iodine berfungsi sebagai pelarut minyak yang bersifat non polar karena minyak merupakan golongan lipid (non polar) merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik nonpolar. Sedangkan fungsi penambahan asam asetat glasial adalah agar sampel bersifat oksidator, setelah itu dilakukan penambahan larutan KI jenuh yang akan mengoksidasi. Fungsi penambahan Na-thiosulfat dalam penentuan bilangan peroksida adalah untuk menitrasi I2 yang berlebih dari hasil reaksi sejumlah minyak dengan campuran asetat : kloroform (2:1) yang mengandung KI. Penyimpanan di ruang gelap ditujukan untuk mengurangi pengaruh cahaya. Cahaya adalah akselerator terhadap timbulnya ketengikan, sedangkan kombinasi antara oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi. Penambahan KI ini berfungsi untuk membebaskan iodin yang ditandai terbentuknya warna kuning pada sampel. Sedangka penambahan pati berfungsi sebagai indikator adanya I2 (Ketaren, 1986). Pada percobaan bilangan peroksida, digunakan 8 sampel, yaitu minyak kelapa sawit baru, bekas 1x tempe, bekas 3x tempe, bekas 5x tempe, bekas 7x tempe, bekas tempe gosong, bekas goreng krupuk dan bekas goreng ikan. Penentuan bilangan peroksida minyak sawit ini dilakukan dengan metode iodometri. Metode iodometri, merupakan cara

yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan Na-Thiosulfat (Ketaren, 1986). Sampel ditimbang 5 gram dalam gelas erlenmeyer dan ditambahkan 30 ml pelarut (asam asetat

glacial:kloroform=3:2) untuk melarutkan lipid dengan dikocok. Kemudian ditambah 0,5 ml larutan KI jenuh sehingga dalam larutan terjadi reaksi antara KI dengan peroksida menghasilkan iodin (I2). Larutan didiamkan selama 2 menit di ruang gelap sambil digoyang, lalu ditambahkan 30 ml aquades untuk mengencerkan larutan dan adanya iodin dititrasi dengan larutan Na-thiosulfat 0,01 N menggunakan indikator amilum sehingga berwarna biru saat penambahan dan menjadi tidak berwarna setelah proses titrasi selesai (Nielsen, 2010). Reaksi yang terjadi saat pengujian dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.2 Reaksi dalam pengujian bilangan peroksida Pada percobaan penentuan bilangan peroksida diperoleh bilangan peroksida minyak sawit baru 0,4 mek/kg; bekas 1x tempe 0,6 mek/kg; bekas 3x tempe 1 mek/kg; bekas 5x tempe 1 mek/kg; bekas 7x tempe 0,8 mek/kg; bekas tempe gosong 1,6 mek/kg; bekas goreng krupuk 1,5 mek/kg dan bekas goreng ikan 1,2 mek/kg. Urutan bilangan peroksida dari yang tertinggi hingga terendah adalah minyak kelapa sawit bekas tempe gosong, bekas goreng krupuk, bekas goreng ikan, bekas 5x tempe, bekas 3x tempe, bekas 7x tempe, bekas 1x tempe dan minyak kelapa sawit baru. Menurut teori, urutan bilangan peroksida dari yang tertinggi ke yang terendah yaitu minyak kelapa sawit bekas tempe gosong, bekas goreng ikan, bekas 7x tempe, bekas 5x tempe, bekas 3x tempe, bekas 1x tempe, bekas goreng krupuk dan minyak kelapa sawit baru.

Bilangan peroksida yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat kandungan hasil metabolit sekunder proses oksidasi asam lemak jenuh yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan minyak disebabkan reaksi oksidasi yang tinggi sehingga kualitas/mutu minyak telah menurun. Semakin lama minyak digunakan dalam proses penggorengan maka akan semakin banyak peroksida yang dihasilkan sehingga bilangan peroksida akan semakin besar dan kualitas minyak akan semakin menurun. Perlakuan panas maupun penambahan air pada minyak sawit dapat meningkatkan angka peroksida yang mengindikasikan minyak mengalami hidrolisis dan menjadi rusak. Menurut Nielsen (2010), minyak yang masih segar memiliki bilangan peroksida di bawah 0 maka data yang didapat telah sesuai dengan teori. Pada bahan makanan seperi tempe dan ikan memiliki kadar air yang cukup tinggi baik berasal dari bahan secara alami atau dikarenakan bumbu berair yang digunakan untuk memberi tambahan rasa pada bahan. Umumnya ikan memiliki kadar air dalam bahan yang lebih tinggi dari tempe, sehingga bilangan peroksida bekas goreng ikan lebih tinggi dibanding bekas goreng tempe. Namun bekas tempe gosong lebih besar dibanding bekas goreng ikan, hal ini dikarenakan jika minyak goreng digunakan terlalu lama maka reaksi pembentukan peroksida menjadi lebih cepat dibanding penggorengan dalam waktu yang singkat. Bilangan peroksida minyak bekas krupuk walaupun memiliki kadar air yang lebih rendah dari pada ikan dan tempe tetapi dapat menjadi lebih tinggi dibanding bekas goreng ikan. Hal ini disebabkan pada krupuk terdapat senyawa tambahan yang dapat mempercepat laju reaksi. Semakin lama sampel yang telah ditambah air digoreng terlalu lama, maka reaksi oksidasi semakin cepat karena komponen lemak telah terpecah menjadi komponen yang lebih sederhana dan dan tidak stabil (Berger, 2005). Secara kenampakan, polimerisasi setelah penggorengan terus menerus akan menyebabkan minyak mengental dan berangsur-angsur berubah warna menjadi coklat dan menghitam. Faktor-faktor yang

mempengaruhi bilangan peroksida antara lain derajat ketidakjenuhan dan tipe serta jumlah radikal bebas. Perlakuan pemanasan dan penambahan air juga akan berpengaruh terhadap bilangan peroksida. Semakin lama minyak digunakan, maka bilangan peroksida juga akan semakin meningkat dan minyak semakin rusak. 2. Penentuan Titik Asap Tabel 2.2 Penentuan Titik Asap pada Minyak Goreng Kelompok Sampel 1 Minyak sawit baru 2 Bekas 1x tempe 3 Bekas 3x tempe 4 Bekas 5x tempe 5 Bekas 7x tempe 6 Bekas tempe gosong 7 Bekas goreng krupuk 8 Bekas goreng ikan Sumber : Laporan sementara Titik Asap (oC) 210 208 212 206 213 211 198 208

Beberapa fungsi penggunaan minyak goreng pada deep frying adalah sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Dalam mengefisiensi jumlah minyak goreng yang digunakan maka tak jarang minyak goreng digunakan untuk menggoreng berkali-kali. Hal ini dapat menurunkan mutu minyak goreng, salah satunya menurunkan sifat fisik minyak goreng, yaitu titik asap. Titak asap merupakan suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan ditandai dengan terbentuknya kabut berwarna biru. Pada minyak goreng yang masih segar memiliki titik asap antara 200oC 300oC, akan lebih disenangi konsumen jika memiliki titik asap di atas 215oC 220oC. Pemanasan minyak dapat menurunkan kualitas minyak, diantaranya warna berubah menjadi coklat hingga kehitaman, bahan lebih menyerap minyak dan titik asap akan semakin menurun. Sehingga semakin rendah titik asap maka semakin rendah kualitas minyak. Batas penggunaan minyak harus dihentikan ditinjau dari titik asapnya adalah jika minyak telah memiliki

titik asap pada 170oC. Beberapa uji titik asap pada penggorengan chips ditunjukkan pada gambar 3.3 (Berger, 2005).

Gambar 3.3 Analisis titik asap pada berbagai waktu penggorengan Pada percobaan penentuan titik asap minyak goreng digunakan sampel minyak kelapa sawit baru, bekas 1x tempe, bekas 3x tempe, bekas 5x tempe, bekas 7x tempe, bekas tempe gosong, bekas goreng krupuk dan bekas goreng ikan. Sampel minyak 50 ml dimasukkan dalam gelas beker dan dipanaskan dengan hot plate hingga terbentuk asap tipis. Dari percobaan diperoleh suhu titik asap pada minyak sawit baru 210oC; bekas 1x tempe 208oC; bekas 3x tempe 212oC; bekas 5x tempe 206oC; bekas 7x tempe 213oC; bekas tempe gosong 211oC; bekas goreng krupuk 198oC dan bekas goreng ikan 208oC. Urutan titik asap dari yang tertinggi hingga terendah adalah minyak kelapa sawit bekas 7x tempe, bekas 3x tempe, bekas tempe gosong, baru, bekas 1x tempe, bekas goreng ikan, bekas 5x tempe dan bekas goreng krupuk. Data hasil percobaan belum sesuai dengan teori yang ada dimana semakin lama penggorengan maka semakin rendah titik asapnya. Menurut penelitian Nurdin, 2010. Pada minyak sawit titik asap minyak segar adalah 230,0 C, pada penggorengan ke-50 menurun hingga 202,0 C untuk suhu 155 C dan 198,0 C untuk suhu 165 C. jika

dibandingkan dengan hasil praktikum, hasilnya tidak sama atau berbeda. Seharusnya terjadi penurunan setelah minyak digunakan berulang-ulang. Menurut teori suhu titik asap dari yang tertinggi ke yang terendah yaitu minyak kelapa sawit baru, bekas kerupuk, bekas 1x tempe, bekas 3x tempe, bekas goreng ikan, bekas 5x tempe, bekas 7x tempe, dan tempe gosong. Hal tersebut terjadi dikarenakan perbedaan suhu pemanasan, lama pemanasan, kandungan lain bahan dan transfer air dari bahan yang dipanaskan. Suhu pemanasan yang tinggi akan meminimalisir waktu pemanasan sehingga kerusakan dapat diminimalisir. Sebaliknya jika suhu pemanasan dan suhu pengujian rendah akan memperlama waktu pemanasan sehingga kerusakan akan semakin tinggi karena kontak dengan panas, maka titik asapnya semakin tinggi. Selain itu, air dalam bahan yang dikeluarkan dan bergabung dengan minyak akan menyebabkan kerusakan semakin tinggi, maka titik asapnya semakin tinggi. Reaksi kerusakan dipercepat dengan adanya asam, basa, dan enzim. Kerusakan yang dimaksud dapat berupa reaksi oksidasi maupun hidrolisis. Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng akan mengalami peruraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun. Bila minyak digunakan berulang kali, maka semakin cepat terbentuk akrolein sehingga membuat batuk orang yang memakan hasil gorengannya. Air yang terdapat dalam lipid dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Hidrolisis sangat menurunkan mutu minyak goreng. Apabila minyak yang telah terhirolisis maka smoke point-nya menurun. Sehingga mutu minyak sangat dipengaruhi oleh adanya reaksi oksidasi dan hidrolisis. Menurut Ketaren (1986), adanya air akan mempercepat pembentukan peroksida dari persenyawaan asam lemak tidak jenuh, tetapi peroksida tidak terbentuk jika minyak mengandung bahan pengemulsi (misalnya gum ghatti dan dekstrin). Kerusakan yang disebabkan reaksi hidrolisis dapat lebih besar daripada kerusakan oleh panas, sebab saat ditambahkan air akan terjadi oksidasi juga hidrolisis sekaligus.

Gambar 3.4 Reaksi pembentukan asam lemak dan gliserol. Waktu terjadinya titik asap menjadi indikator mutu suatu jenis minyak. Semakin lama waktu yang diperlukan suatu minyak untuk mencapai titik asapnya, maka berarti mutu minyak tersebut semakin baik. Minyak bekas telah mengalami pemanasan berulang dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan titik asap sehingga menurunkan kualitas minyak. Pemanasan berulang juga akan mengakibatkan perubahan oksidatif dan hidrolitik pada lemak dan mengakibatkan akumulasi substansi yang akan memberikan flavour yang tidak disukai pada makanannya.

E. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum acara Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng antara lain sebagai berikut: 1. Bilangan peroksida tertinggi diperoleh pada minyak sawit bekas tempe gosong sebesar 1,6 mek/kg. 2. Bilangan peroksida terendah diperoleh pada minyak sawit baru sebesar 0,4 mek/kg. 3. Standar bilangan peroksida maksimal yang diperkenankan oleh Codex Stan 19-1981 (rev. 2-1999) adalah sebesar 3 mek/kg minyak. 4. Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin rendah kualitas dari minyak. 5. Semakin lama minyak digunakan, maka bilangan peroksida juga akan semakin meningkat dan minyak semakin rusak.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi bilangan peroksida antara lain derajat ketidakjenuhan, tipe dan jumlah radikal bebas, serta perlakuan pemanasan. 7. Titik asap yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. 8. Titik asap tertinggi adalah pada minyak sawit bekas 7x tempe yaitu 213oC. 9. Titik asap terendah adalah pada minyak sawit bekas goreng krupuk yaitu 198oC. 10. Semakin tinggi titik asap maka semakin baik kualitas minyak. 11. Kerusakan dapat terjadi dikarenakan reaksi oksidasi dan hidrolisis, ditandai dengan adanya ketengikan yang dapat menurunkan kualitas minyak. 12. Faktor-faktor yang mempengaruhi bilangan peroksida antara lain derajat ketidakjenuhan, tipe dan jumlah radikal bebas, serta perlakuan pemanasan dan air. 13. Faktor-faktor yang mempengaruhi titik asap antara lain suhu pemanasan, lama pemanasan, ketidakjenuhan sampel, kandungan gliserol dan air.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah Dan Sifat Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 01 No. 01 Tahun 2010. ASA. 2000. Penentuan Bilangan Peroksida. Feed Quality Management Workshop. Ciawi . Berger, Kurt G. 2005. Frying Oil Series: The Use of Palm Oil in Frying. Perpustakaan Negara Malaysia. Selangor. Buckle, dkk. 1985. Ilmu pangan. UI-Press. Jakarta. Cahyadi, Dr. Ir. Wisnu. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi aksara. Jakarta Gaman dan sherrington. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Herawati, Henny. 2008. Penentuan Umur Simpan Pada Produk Pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008. Hermanto, dkk. 2009. Analisis Tingkat Kerusakan Lemak Nabati dan Lemak Hewani Akibat Proses Pemanasan. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Ketaren, S.1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta McGill, Jeremy Parker. 2009. Effect Of High Peroxide Value Fats on Performance of Broilers on Normal and Immune Challenged States. The Faculty of the Graduate School University of Missouri Columbia. Miller, Matt. 2010. Oxidation of food grade oils. Plant and Food Research. Mulyadi, Arie Febrianto. 2011. Perancangan Unit Pengolahan Virgin Coconut Oil (VCO) Skala Industri Kecil: Kajian Lokasi Tanam dan Lama Waktu Tunda Kelapa Sebelum Proses. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No. 3 [Desember 2011] 193-200. Raharjo, S. 2004. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Shahidi, Fereidoon, dkk. 2005. Lipid Oxidation: Measurement Methods. Memorial University of Newfoundland, St. Johns, Newfoundland. Canada. Sukasih, dkk. 2009. Optimasi Kecukupan Panas Pada Pasteurisasi Santan dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Santan yang Dihasilkan. J.Pascapanen 6(1) 2009: 34-42.

Wijayanti, Hesti. 2012. Pemanfaatan Arang Aktif dari Serbuk Gergaji Kayu Ulin untuk Meningkatkan Kualitas Minyak Goreng Bekas. Konversi, Volume 1 No.1, Oktober 2012.

LAMPIRAN Analisis perhitungan Sampel : Minyak bekas goreng ikan Berat sampel = 5 gr ml titrasi = 0,6 ml
A x N x 1000 berat sampel
0,6 x 0,01 x 1000 5

miliekuivalen peroksida = =

= 1,2

You might also like