You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN II.1.

Latar Belakang KEP masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Ssenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U <-3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Penyakit akibat KEP ini dikenal dengan kwashiorkor, marasmus, dan marasmik kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan Marasmic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energy dan protein. KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalam marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit. Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KEP timbul pada anggota keluarga rumah tangga miskin oleh karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian. Bentuk berat dari KEP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem). Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat 1 milyar penduduk dunia yang kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu masih ada 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara normal.

Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat.

II.1.

Tujuan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan dan membahas

kasus KEP (Kurang Energi Protein) dengan beberapa penyakit penyerta. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan untuk, para tenaga medis agar dapat memahami KEP dan prosedur dalam penatalaksaan KEP pada anak untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

BAB II LAPORAN KASUS II.1 Anamnesa Pasien J, laki-laki usia 2,5 tahun datang ke IGD RST Dr. Soedjono dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan panas sejak 5 hari lalu disertai batuk, pilek dan sesak. mencret sejak 2 hari SMRS. Dalam sehari pasien mencret sekitar 6 kali, berbentuk cair, mencret disertai ampas berwarna kuning dan tidak disertai lendir ataupun darah. Selain itu pasien juga muntah sebanyak 3 kali. Keluhan ini disertai dengan demam yang menetap tanpa disertai kejang. Ibu pasien mengatakan keluhan ini bukan yang pertama kalinya, namun keluhan yang sebelumnya tidak seberat keluhan yang sekarang. Bila pasien mencret biasanya ibu pasien membawa pasien berobat ke puskesmas Ibu pasien juga mengeluhkan berat badan pasien yang sulit bertambah. Ibu pasien mengatakan dikeluarganya tidak ada yang mempunyai sakit seperti ini dan tidak ada yang mempunyai penyakit batuk-batuk lama atau flek paru. Ibu pasien selama hamil rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan dan tidak ada keluhan yang berarti selama kehamilan. Saat pasien lahir ditolong oleh bidan. Bayi lahir cukup bulan, spontan dan langsung menangis, tidak ada cacat, berat badan lahir 3200 gram, panjang 50 cm, pasien anak kedua. Perkembangan pasien dilihat dari motorik kasar, pasien sudah dapat berdiri dan berlari. Lalu jika dilihat dari motorik halusnya pasien sudah dapat memegang mainan dan meraih benda. Dari bahasa pasien dapat berbicara dan berpaling terhadap panggilan. Sedang dari segi sosial pasien dapat mengenal wajah anggota keluarga dan dapat bermain dengan teman sebayanya. Sejak lahir sampai umur 1 tahun pasien minum ASI. Pasien mulai dikenalkan dengan makanan pendamping ASI seperti bubur nasi sejak usia 6 bulan. Sehari-hari pasien makan nasi 2 3 kali/hari hanya disertai sayur dan ikan. Pasien tidak suka makan

tempe, ikan maupun daging. Pasien makan dengan jumlah sedikit karena pasien lebih senang makan jajanan di warung seperti wafer dan biskuit. II.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemas, kesadaran tampak kompos mentis. Tanda utama pasien dimulai dari frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi nafas 52 x/menit, terukur suhu 40oC. Penilaian status gizi pada pasien dimulai dengan pengukuran berat badan pasien yaitu 10 kg, Dengan menggunakan pengukuran status gizi berdasarkan CDC maka BB/TB yaitu 7/8,8 x 100% = 75% memberikan hasil bahwa status gizi pasien gizi kurang. Pemeriksaan pasien dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus. Dimulai dengan pemeriksaan kulit pasien lalu didapatkan kulit pasien kering. Rambut berwarna hitam tidak mudah dicabut. Lalu tampak pada mata conjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks pupil +/+, isokor, keluar air mata saat menangis, dan mata tampak cekung. Bentuk telinga dan hidung normal, tidak ada kelainan kongenital dan tidak ada sekret yang keluar dari lubang telinga ataupun hidung. Pada pemeriksaan mulut didapatkan faring tidak tampak hiperemis. Pada pemeriksaan leher didapatkan leher normal simetris, tidak ada kelainan kongenital dan tidak teraba pembesaran KGB (Kelenjar Getah Bening). Pemeriksaan thoraks dimulai dari jantung pada inspeksi tidak terlihat iktus kordis; palpasi iktus kordis teraba sela iga IV garis midklavikula sinistra; perkusi didapat batas atas sela iga II garis parasternal sinistra, batas kanan sela iga IV garis parasternal dextra, batas kiri sela iga IV garis midklavikula kiri dan pada auskultasi terdengar bunyi jantung I-II murni serta tidak terdengar suara tambahan seperti murmur dan gallop. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan paru inspeksi tidak ada pelebaran sela iga, gerakan hemithoraks keadaan statis dan dinamis simetris. Sedangkan pada palpasi ditemukan berupa tidak adanya massa dan nyeri tekan maupun nyeri lepas, fremitus taktil dan vokal sama kanan dan kiri. Dan pada perkusi didapatkan sonor pada seluruh lapang paru, terdapat bunyi ronki. Pemeriksaan abdomen pada saat inspeksi terlihat cembung dan simetris; palpasi turgor kurang, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae dan lien tidak teraba; perkusi didapatkan suara timpani, auskultasi terdengar bising usus

meningkat . Lalu pemeriksaan anak ini dilanjutkan pada daerah ekstremitas, tidak ada pitting edema pada punggung kaki, tidak ada edema II.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang selanjutnya yaitu dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu darah lengkap, dan rontgen thoraks. Pada tanggal 20-10-2012 dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan hasil yang menurun pada hemoglobin 11,5 g/dl, trombosit 382.000 mm3, hematokrit 33,9 %; leukosit 16.000/mm3. Hasil rontgen thoraks yaitu tidak tampak spesifik proses aktif dan tidak tampak pembesaran jantung.

II.4. Ringkasan Data Dasar Seorang anak bernama J, dengan jenis kelamin laki-laki, berumur 2,5 tahun dirawat di RST Dr. Soedjono dengan keluhan utama panas sejak 5 hari lalu. diare akut sejak 2 hari yang lalu. Frekuensi buang air besar kira-kira 6 kali dalam satu hari. Feses berkonsistensi cair disertai ampas berwarna kuning tanpa disertai lendir atau darah. Keluhan diatas disertai muntah 3 kali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran tampak kompos mentis. Tanda utama pasien dimulai dari frekuensi nadi 120 x/menit, frekuensi nafas 52 x/menit, terukur suhu 40,9 C. Penilaian status gizi pada paien dimulai dengan pengukuran berat badan pasien yaitu 10 kg, dan tinggi badan yaitu 70 cm. Dengan menggunakan pengukuran status gizi berdasarkan CDC maka BB/TB yaitu 6,6/8,8 x 100% = 75% memberikan hasil akhir bahwa status gizi pasien adalah gizi kurang. Pada pemeriksaan khusus didapatkan pada mata tampak conjungtiva tidak anemis, keluar air mata saat menangis, dan mata tampak cekung. Rambut berwarna hitam lurus dan tidak mudah tercabut, turgor kulit menurun. Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan hasil yang menurun pada hemoglobin 11,5 g/dl, trombosit 382.000 mm3, hematokrit 33,9 %; leukosit 16.000/mm3. Hasil rontgen thoraks yaitu tidak tampak spesifik proses aktif dan tidak tampak pembesaran jantung.

II.5. Diagnosa Kerja Berdasarkan data-data yang ada pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium kami mendiagnosis peyakit pasien ini adalah diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang, bronkopneumonia, dan gizi kurang. II.7. Penatalaksanaan IVFD Ka en 3B 750 cc/24 jam Zybac 2x500 mg Kalmethasone 3x1/4amp Ranitidine 2x1/4 amp Noragess 3x100 mg Ventolin nebulized 3x1,5 ml+NaCl 2ml Lbio 2x1 Orezync 2x1 Dehidralyt 100 cc/mencret Zink 1x 1 tab

II.8. Prognosis Prognosis yang kami dapatkan untuk pasien ini adalah quo ad vitam ad bonam, quo ad fungsionam dubia ad bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


III.1. DIARE Definisi terbaik untuk diare adalah kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui tinja. Bayi kecil mengeluarkan tinja kira-kira 5 g /KgBB/hari/. Jumlah ini meningkat sampai 200 g/24 jam pada orang dewasa. Penyerapan air terbanyak terjadi didalam usus halus; kolon memekatkan isi usus pada keadaan osmotik tinggi. Usus halus pada orang dewasa dapat menyerap cairan, yang diminum atau disekresi, sebanyak 10-11 L/hari; sedangkan kolon menyerap sekitar L. kelainan yang mengganggu penyerapan diusus halus cenderung menyebabkan diare yang lebih banyak, sedangkan kelainan penyerapan dikolon menyebabkan diare yang lebih sedikit. Disentri (dengan volume sedikit, sering, tinja berdarah dengan tenesmus dan rasa ingin buang air besar) adalah gejala utama kolitis. Dasar semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus; perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara pasif dan hal ini ditentukan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif, terutama natrium, klorida dan glukosa. Patogenesis kebanyakan episode diare dapat dijelaskan dari kelainan sekretorik, osmotik atau motilitas, atau kombinasi dari hal-hal tersebut (tabel 252-4) Diare sekretorik sering disebabkan oleh zat-zat pemacu sekresi, seperti toksin kolera yang terikat pada reseptor di epitel permukaan usus dan kemudian memacu akumulasi cAMP atau cGMP didalam sel. Beberapa asam lemak intralumen dan garam empedu menyebabkan mukosa kolon mensekresi melalui mekanisme ini. Diare yang tak disertai dengan zat pemacu sekresi eksogen juga bisa mempunyai komponen sekretorik (misalnya, penyakit inklusi mikrovili kongenital). Diare sekretorik cenderung menjadi diare cair, yang volumenya banyak; osmolalitas tinja dapat dihitung dengan adanya elektrolit. Diare sekretorik umumnya menetap walaupun tidak diberi makanan peroral(dipuasakan). Diare osmotik terjadi setelah makan makanan cair yang sulit diserap. Larutan tersebut mungkin memang merupakan larutan yang biasanya sulit diserap (misalnya 8

magnesium, fosfat atau yang tak tercerna, gula yang tak terserap, alkohol atau sorbitol) atau zat yang tidak diserap dengan baik karena adanya kelainana pada usus halus (misalnya laktosa pada defisiensi laktase atau glukosa pada diare karena Rotavirus). Karbohidrat yang mengalami malabsorbsi ini secara khas difementasi diusus besar dan manghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid = SCFA). Walaupun asam lemak rantai pendek yang ada dikolon dapat diserap dan dipakai sebagai sumber tenaga, namun pengaruh sebenarnya adalah meningkatnya beban larutan osmotik. Bentuk diare ini biasanya jumlahnya lebih sedikit dibanding diare sekretorik dan berhenti dengan berpuasa. Osmolalitas tinja tidak bisa dihitung dari kandungan elektrolitnya, karena adanya komponen-komponen osmotik lainnya [perbedaan antara kandungan elektrolit (jumlah NA+, K+ dan anion yang menyertai) dan osmolalitas tinja lebih besar dari 50 mOsm]. Gangguan motilitas mungkin berhubungan dengan perpindahan yang cepat atau lambat dan umumnya tidak berhubungan dengan jumlah diare yang banyak. Motilitas yang lambat mungkin berhubungan dengan pertumbuhan bakteri yang berlebihan sebagai penyebab diare. Diagnosis banding penyebab yang umum diare akut dan kronis tercantum pada Tabel 252-5 TABEL 252-4. Mekanisme diare
Mekanisme primer Sekretorik Penurunan absorbsi, peningkatan sekresi Encer normal, osmolalitas [elektrolit] Osmotik Defek pengangkutan; pencernaan; menelan Encer asam substansi, Defek Pemeriksaan tinja (cair), Kolera, toksigenik, karsinoid, Vasoaktif E.coli Menetap selama puasa, tidak ada leukosit dalam tinja, osmolalitas Contoh Keterangan

osmolalitas

intestinal peptida, [elektrolit] neuroblastoma (cair), Defisiensi dan laktase, malabsorpsi glukosa>> galaktosa, laktulosa, Berhenti selama puasa, peningkatan hidrogen pernapasan, tidak ada

defisiensi enzim pengurangan cairan osmolalitas

yang tidak dapat [elektrolit]

diserap

penyalahgunaan laksans

leukosit

dalam

tinja, osmolalitas >> [elektrolit] iritabel

Peningkatan motilitas

Penurunan waktu Dirangsang oleh Sindrom transit reflek gastrokolika usus,

tirotoksikosis, pasca sindrom vagotomi,

Keterlambatan motilitas Mekanisme

Pertumbuhan bakteri berlebihan

penimbunan, pseudo-obstruksi usus

campuran Luas permukaan Penurunan berkurang (osmotik, motilitas) Invasi mukosa Radang, penurunan peningkatan motilitas kapasitas fungsional

Encer (cair)

Sindrom pendek

usus Mungkin memerlukan diet elemen makanan dan

Darah

dan Salmonella, putih Amebiasis, Yersinia, Campylobacter

parenteral Disentri darah, mukus leukosit dan

peningkatan sel Shigella, dalam tinja

reabsopsi kolon, darah

TABEL 252-5. Penyebab umum diare


Bayi Akut Gastroenteritis Infeksi sistemik Akibat pemakaian antibiotik Kronik Pascainfeksi Defisiensi Anak Gastroenteritis Keracunan makanan Infeksi sistemik Akibat pemakaian antibiotik Remaja Gastroenteritis Keracunan makanan Akibat pemakaian antibiotik

Pasca infeksi disakaridase Defisiensi

Penyakit radang usus disakaridase Intoleransi laktosa Giardiasis Penyalahgunaan (anoreksia nervosa)

sekunder Intoleransi protein susu Sindrom iritabilitas kolon

sekunder Sindrom iritabilitas kolon Penyakit seliakus

laksans

10

Fibrosis kistik Penyakit seliakus Sindrom usus pendek Buatan

Intoleransi laktosa giardiasis

GASTROENTERITIS Infeksi saluran pencernaan disebabkan oleh berbagai enteropatogen, termasuk bakteria, virus dan parasit (tabel 171-1). Manifestasi klinis tergantung pada organisme dan hospes, dan meliputi infeksi tidak bergejala, diare cair, diare berdarah dan diare kronis. Dugaan diagnosis etiologi dapat dibuat dari pedoman epidemiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan informasi mekanisme patofisiologi enteropatogen. Dua tipe dasar diare infeksi akut adalah radang dan nonradang. Enteropatogen menimbulkan diare nonradang melalui produksi enterotoksin dengan beberapa bakteria, penghancuran sel (permukaan) vilus oleh virus dan perlekatan serta/atau translokasi oleh bakteri. Diare radang biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau menghasilkan sitotoksin. Beberapa enteropatogen memiliki lebih dari salah satu sifat virulen ini. Pemeriksaan laboratorium untuk mengenali patogen diarea sering tidak diperlukan karena kebanyakan episode sembuh sendiri. Semua penderita dengan diare memerlukan terapi cairan dan elektrolit, sedikit memerlukan dukungan nonspesifik lain dan beberapa mendapat manfaat dari terapi antimikroba. Bab ini menyajikan tinjauan yang luas penyakit diare karena agen infeksi dan penyakit akibat makan makanan terkontaminasi, walaupun banyak segi dari bab ini menangani semua anak diare, fokusnya adalah pada anak di negara maju. Epidemiologi. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia, yang menyebabkan satu biliun kejadian sakit dan 35 juta kematian setiap tahunnya. Di amerika serikat, 20-35 juta kejadian diare terjadi setiap tahun, pada 16,5 juta anak sebelum usia 5 tahun, menghasilkan 2,1-3,7 juta kunjungan dokter, 220.000 penginapan dirumah sakit, 924.000 hari rumah sakit , dan 400-500 kematian. Mekanisme penularan utama untuk patogen diare adalah tinja-mulut, dengan makanan dan air yang merupakan penghantar untuk kebanyakan kejadian. 11

Enteropatogen yang infeksius pada pemasukan (inokulum) yang sedikit (Shigella, virus enterik, Giardia lamblia, Cryptosporidium dan mungkin Eschericia coli 0157:H7) dapat ditularkan dengan kontak dari orang ke orang. Faktor-faktor yang menambah kerentanan terhadap infeksi dengan enteropatogen adalah umur muda, defisiensi imun, campak, malnutrisi, perjalanan kedaerah endemik, kekurangan ASI, pemajanan terhadap keadaan sanitasi jelek, makan makanan atau air yang terkontaminasi, tingkat pendidikan ibu dan pengunjung pusat perawatan harian. Agen penyebab. Kepentingan relatif dan sifat-sifat epiedmiologi patogen diare bervariasi sesuai dengan lokasi geografis (lihat tabel 171-1). Anak-anak dinegara sedang berkembang menjadi terinfeksi dengan berbagai kelompok patogen bakteri dan parasit, sedang semua anak dinegara maju serta negara sedang berkembang akan mendapat rotavirus dan pada banyak kasus enteropatogen virus lain dan G.lamblia selama usia 5 tahun pertamanya. Diare akut atau diare jangka pendek dapat disertai dengan salah satu bakteri, virus atau parasit yang terdaftar pada tabel 171-1. Diare kronis atau menetap yang berakhir 14 hari atau lebih lama dapat karena (1) agen infeksius, termasuk G.lamblia, cryptosporidium dan E.coli enteroagregatif atau enteropatogenik; (2) setiap enteropatogen yang menginfeksi hospes terganggu imun; atau (3) gejala-gejala sisa karena cedera usus oleh setiap enteropatogen pascainfeksi akut. Ada banyak juga penyebab diare non-infeksius pada anak (tabel 171-2) Enteropatogen bakteri. Enteropatogen bakteri dapat menyebabkan diare radang atau nonradang dan enteropatogen spesifik dapat disertai dengan salah satu manifestasi klinis. Umumnya diare radang akibat Aeromonas spp. , Campylobacter jejuni, Clostridium difficile, E.coli enteroinvasif, E.coli enterohemoragik, Plesiomonas shigelloides, Salmonella spp. , Shigella spp. , Vibrio parahaemolyticus, dan Yersinia enterocolitica. Diare nonradang dapat disebabkan oleh E.coli enteropatogen, E.coli enterotoksik dan Vibrio cholerae. Terapi antimikroba diberikan pada penderita tertentu dengan diare untuk mempersingkat perjalanan klinis, mengurangi ekskresi organisme penyebab atau untuk mencegah komplikasi. Indikasi untuk terapi antimikroba spesifik penderita yang terinfeksi dengan enteropatogen bakteri ditunjukkan pada tabel 171-3. Pembahasan Helicobacter pylori yang melibatkan lambung dan duodenum dapat ditemukan di bab 187.

12

Enteropatogen parasit. Giardia lamblia adalah penyebab parasit diare yang paling sering di amerika serikat; patogen lain adalah cryptosporidium, Entamoeba histolytica, Strongyloides stercoralis, isospora belli dan enterocytozoon bieneusi. Dua agen terakhir ditemukan paling sering pada orang-orang dengan sindrom defisiensi imun didapat (AIDS). Peran Dintamoeba fragilis, Blastocystis hominis dan Cyclospora spp. , sebagai penyebab diare belum ditentukan sepenuhnya. penderita diare biasanya tidak perlu mempunyai tinjanya untuk diperiksa telur dan parasit kecuali kalau ada riwayat perjalanan ke daerah endemik baru-baru ini, biakan tinja negatif untuk enteropatogen lain, dan diare menetap selama lebih dari 1 minggu; mereka merupakan bagian dari ledakan serangan diare; atau mereka menderita gangguan imun. Pemeriksaan lebih dari satu spesimen tinja mungkin perlu untuk menegakkan diagnosis. Obat-obat tertentu, senyawa anti diare dan barium dapat mengganggu identifikasi enteropatogen parasit. Pengobatan organisme ini tergantung pada keadaan klinis dan tersedianya terapi efektif (tabel 171-4) Enteropatogen virus. Empat penyebab gastroenteritis virus adalah rotavirus, adenovirus enterik, astovirus dan kalsivirus. PENDEKATAN UMUM PADA ANAK DENGAN DIARE AKUT Infeksi enterik menimbulkan tanda-tanda keterlibatan saluran pencernaan serta manifestasi dan komplikasi sistemik. Keterlibatan saluran pencernaan dapat mencakup diare, kram dan emesis. Manifestasi sistemik dapat meliputi demam, malaise dan kejangkejang. Infeksi ekstraintestinum akibat patogen enterik adalah penyebaran lokal, menyebabkan vulvovaginitis, infeksi saluran kencing dan keratokonjungtivitis. Penyebaran jauh dapat menimbulkan endokarditis, osteomielitis, meningitis, penumonia, hepatitis, peritonitis, korioamnionitis, infeksi jaringan lunak, dan tromboflebitis septik. Manifestasi ekstraintestinal akibat imun patogen enterik biasanya terjadi sesudah diare sembuh. Tujuan utama pendekatan ini pada anak diare akut adalah (1) menilai tingkat dehidrasi dan memberi pergantian cairan dan elektrolit, (2) mencegah penyebaran enteropatogen, dan (3) pada episode tertentu menentukan agen etiologi dan memberi terapi spesifik jika terindikasi. Informasi mengenai masukan oral, frekuensi dan volume

13

keluaran tinja, kesan umum dan aktivitas anak, serta frekuensi kencing harus ditanyakan. (tabel 171-6). Informasi harus ditanyakan berkenaan dengan kehadiran pusat perawatan harian, perjalanan baru kedaerah endemik diare, penggunaan agen antimikroba, pemajanan terhadap kontak dengan gejala-gejala yang sama dan makan makanan dari laut, sayuran yang tidak tercuci, susu yang tidak terpasteurisasi, air yang terkontaminasi atau daging yang tidak dimasak. Lama dan keparahan diare, konsistensi tinja, adanya lendir dan darah dan gejala-gejala lain yang terkait seperti demam, muntah dan kejang harus ditentukan. Demam memberi adanya proses alergi dan juga terjadi sebagai akibat dehidrasi. Nausea dan muntah merupakan gejala nonspesifik, tetapi muntah memberi kesan bahwa organisme menginfeksi usus bagian atas, seperti virus, bakteri penghasil enterotoksin, Giardia dan Cryptosporidium. Demam sering ada pada penderita dengan diare radang, nyeri abdomen lebih berat dan tenesmus dapat terjadi pada abdomen dan rektum bagian bawah, yang menunjukka keterlibatan usus besar. Muntah sering ada pada diare nonradang; demam biasanya tidak ada atau ringan; nyerinya adalah kram, periumbilikalis dan tidak berat; dan diare berair, yang menunjukkan keterlibatan saluran usus bagian atas. Karena penderita gangguan imun memerlukan pemeriksaan khusus, informasi mengenai imunodefisiensi atau penyakit kronis penting. Diare kronis didefinisikan sebagai diare yang berakhir lebih lama dari 14 hari. Pemeriksaan tinja. Spesimen tinja harus diperiksa untuk adanya mukus, darah dan leukosit, adanya benda-benda ini menunjukkan bahwa ada kolitis; leukosit tinja dihasilkan sebagai respons terhadap bakteri yang menginvasi mukosa kolon secara difus. Pemeriksaan leukosit tinja yang positif menunjukkan adanya organisme invasif atau organisme penghasil sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C.jejuni, E.coli invasif, E.coli enterohemoragik, C.difficile, Y.enterocolitica, V.parahaemolyticus dan mungkin spesies Aeromonas atau Plesiomonas shigelloides. Tidak semua penderita dengan kolitis mempunyai pemeriksaan leukosit positif. Biakan tinja harus dilakukan seawal mungkin pada perjalanan penyakit pada penderita yang padanya dicurigai diagnosis sindrom uremik hemolitik (hemolytic uremic syndrom = HUS), pada penderita dengan diare darah, jika tinja berisi leukosit tinja, saat ledakan wabah diare dan pada orang-orang diare yang mengalami imunosupresi. Spesimen tinja yang tidak dapat segera ditanamkan (pada plat) untuk biakan dapat

14

diangkut ke laboraturium dalam medium tanpa mengandung nutrien seperti Cary-Blair untuk mencegah kekeringan atau pertumbuhan berlebih organisme spesifik. Karena agen bakteri tertentu seperti Y.enterocolitica, V.cholerae, V.parahaemolyticus, spesies Aeromonas, C.difficile dan spesies Campylobacter, memerlukan prosedur laboratorium yang dimodifikasi untuk identifikasi, personel laboratorium harus diberitahu bila salah satu dari organisme ini merupakan agen etiologi yang dicurigai. Assay serotip dan toksin tersedia untuk karakterisasi E.coli lebih lanjut. Deteksi toksin C.difficile bermanfaat dalam diagnosis kolitis akibat antimikroba. Proktosigmoidoskopi mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis pada penderita yang gejala-gejala kolitisnya berat atau etiologi sindrom enteritis radang tetap tidak jelas sesudah evaluasi laboratorium awal. Manajemen cairan dan elektrolit serta pemberian makan kembali. Manajemen dehidrasi tetap merupakan dasar terapi diare. Anak-anak terutama bayi lebih rentan daripada orang dewasa terhadap dehidrasi karena kebutuhan cairan dan elektrolit dasar per kgnya lebih besar dan karena mereka tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan ini. Penderita diare dan yang berkemungkinan dehidrasi harus dievaluasi untuk menilai tingkat dehidrasi karena jelas dari tanda-tanda dan gejala-gejala klinis, kehilangan yang sedang berlangsung dan kebutuhan harian. Hidrasi oral biasanya merupakanpengobatan pilihan untuk semua kecuali penderita yang dehidrasi paling berat yang perawatnya tidak dapat memberikan cairan. Rehidrasi cepat dengan penggantian kehilangan yang sedang berlangsung selama 4-6 jam pertama harus dilakukan dengan menggunakan larutan rehidrasi oral yang tepat. Bila penderita terehidrasi, pemberian rumatan larutan secara oral harus digunakan (tabel 1717). Persediaan obat-obatan rumah termasuk minuman soda dekarbonasi, jus buah, Jell-O, Kool-aid, dan teh tidak baik untuk digunakan karena bahan-bahan ini berisi osmolalitas yang sangat tidak tepat karena kadar karbohidrat yang berlebihan, yang dapat memperberat diare; kadar natrium rendah, yang dapat menyebabkan hiponatremia; dan rasio karbohidrat terhadap natrium tidak tepat. Bila rehidrasi telah selesai, makanan harus diberikan lagi sementara larutan elektrolit oral diteruskan untuk mengganti kehilangan yang sedang berlangsung dari tinja dan untuk rumatan. ASI pada bayi harus dilanjutkan

15

sesegera mungkin. Anak yang lebih tua harus diberi makan kembali sesegera mungkin mereka dapat mentoleransi makanan. Senyawa antidiare digolongkan menurut mekanisme kerjanya, yang termasuk perubahan motilitas usus, adsorpsi cairan atau toksin, perubahan mikroflora usus dan perubahan cairan dan sekresi elektrolit. Senyawa antidiare biasanya tidak dianjurkan untuk penggunaan pada anak dengan diare karena manfaat yang minimal dan kemungkinan efek samping. Pencegahan. Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan enterik, termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak penderita, jas panjang bila ada kemungkinan pencemaran dan sarung tangan bila menyentuh bahan yang terinfeksi. Penderita dan keluarganya harus dididik mengenai cara perolehan enteropatogen dan cara-cara mengurangi penularan. Penderita yang mendatangi pusat perawatan harian harus dipisahkan dari pusat atau dirawat pada daerah tersendiri sampai diare mengurang. Kasus diare yang disebabkan oleh Entamoeba hystolitica, episode akibat E.coli 0157:H7, Giardia, Campylobacter, Salmonella, Shigella, V.cholerae dan V. parahaemolyticus harus dilaporkan pada departemen kesehatan setempat. Vaksin tersedia untuk mencegah atau mengubah infeksi oleh Salmonella typhi dan Vibrio cholerae. Kedua vaksin mempunyai penggunaan terbatas di amerika serikat. penyakit akut yang disebarkan makanan dan air. Penyakit yang disebarkan makanan dan air merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas disemua negara maju, termasuk amerika serikat. Perubahan pada produksi makanan, kesalahan pada sistem inspeksi, penyebaran makanan internasional cepat, perubahan pada kebiasaan diet dan kekurangan pengenalan cara-cara pencegahan memperbesar masalah ini. Penyakit yang disebarkan makanan di amerika serikat diperkirakan menyebabkan 6-81 juta kasus gastroenteritis setiap tahun, menyebabkan 500-7000 kematian pertahun, dan biaya $8-23 biliun pertahun dalam biaya pengobatan dan kehilangan produktivitas. Diagnosis penyakit yang disebarkan makanan atau air harus dipikirkan bila dua orang atau lebih yang telah makan makanan atau minum air yang lazim terjadi penyakit akut yang serupa yang biasanya ditandai oleh nausea, muntah, diare, atau gejala neurologis. Patogenesis dan keparahan penyakit bakteri tergantung pada apakah organisme telah membentuk toksin sebelumnya (S.aureus, B.cereus), menghasilkan

16

toksin atau apakah invasif dan apakah mereka memperbanyak diri dalam makanan. Keparahan penyakit karena virus, parasit, dan sebab-sebab kimia tergantung pada jumlah yang dimasukkan kedalam makanan atau air. Epidemiologi ledakan serangan sering memberi kesan agen penyebab spesifik. Penentuan masa inkubasi dan sindrom klinis spesifik sering membawa pada diagnosis yang benar. Konfirmasi ditegakkan dengan uji laboratorium spesifik makanan, tinja atau muntahan. Sebagai aturan umum, bila ledakan serangan dikelompokkan pada masa inkubasi penyakit, inkubasi yang kurang dari 1 jam adalah akibat keracunan bahan kimia, toksin dari ikan atau kerang, atau toksin S.aureus atau B.cereus yang telah terbentuk sebelumnya. Bakteri penghasil enterotoksin, bakteri invasif, virus norwalk dna beberapa bentuk keracunan jamur mempunyai masa inkubasi yang lebih lama. Sindrom klinis. Beberapa sindrom klinis pasca penelanan makanan atau air yang terkontaminasi, meliputi mual dan muntah dalam 6 jam; parestesia dalam 6 jam; gejala neurologis dan saluran pencernaan dalam 2 jam; kram perut dan diare air dalam 16-48 jam; kram perut, diare darah dalam 6-24 jam; dan mual muntah serta paralisis dalam 1848 jam (tabel 171-8). Masa inkubasi pendek dengan muntah sebagai tanda utama dihubungkan dengan toksin yang menghasilkan iritasi lambung langsung, seperti logam berat, atau dengan toksin B.cereus atau S.aureus yang dibentuk sebelumnya; B.cereus juga menghasilkan enterotoksin. Parestesia sesudah masa inkubasi pendek memberi kesan scromboid (keracunan histamin ikan), paralitik atau keracunan kerang neurotoksik. Sindrom restauran cina (keracunan monosodium glutamat), keracunan niasin, atau keracunan ikan ciguatera. sindrom mulai awal akibat penelanan jamur toksik berkisar dari gastroenteritis sampai gejala neurologis yang termasuk hiperaktivitas parasimpatis, bingung, gangguan penglihatan dan halusinasi sampai gagal hati ata hepatorenal yang terjadi sesudah 6-24 jam masa inkubasi. Diare cair dan kram perut sesudah 8-16 jam masa inkubasi dihubungkan dengan clostridium perfringen dan B.cereus penghasil enterotoksin. Kram abdomen dan diare cair sesudah masa inkubasi 16-48 jam dapat akibat virus norwalk dan beberapa bakteri penghasil enterotoksin. Salmonella, Shigella, C.jejuni, Y.enterocolitica dan E.coli enteroinvasif disertai dengan diare, yang mungkin berisi leukosit tinja, kram perut dan

17

demam. Walaupun organisme ini dapat menyebabkan diare cair tanpa demam. Diare darah dan kram perut sesudah masa inkubasi 72-120 jam dihubungkan dengan E.coli enterohemorhagik, seperti E.coli 0157:H7. Sindrom uremik hemolitik merupakan sekuele infeksi dengan E.coli enterohemorhagik. Kombinasi gejala saluran pencernaan yang disertai dengan penglihatan kabur, mulut kering, disartria, diplopia atau paralisis desendens akan memberi kesan C.botulinum sebagai penyebab. Terapi kebanyakan orang dengan penyakit yang disebarkan makanan adalah bersifat pendukung, karena sebagian besar penyakit ini sembuh sendiri. Pengecualian adala botulisme, keracunan kerang paralitik dan keracunan jamur jangka panjang, semuanya dapat mematikan pada orang-orang yang sebelumnya sehat. Jika ledakan serangan yang disebarkan makanan atau disebarkan air dicurigai, dinas kesehatan masyarakat harus diberitahu. Diare Kronis Penderita diare kronis merupakan tantangan karena sulitnya menilai gejala, sangat bervariasinya tanda-tanda, luasnya diagnosis banding dan beragamnya uji diagnostik yang tersedia. Evaluasinya membutuhkan pengenalan tanda khas diarenya, penentuan diagnosis banding secara individual, pemakaian uji laboratorium yang tepat dan pada beberapa kasus perlu manajemen empiris untuk mencapai diagnosis yang benar. Klasifikasi diare kedalam jenis akut dan kronis bersifat mutlak, tetapi biasanya diare harus berlangsung paling sedikit 2 minggu untuk dapat disebut sebagai kronis. Hal ini didasarkan pada anamnesis umum tentang gejala diare, baik pada jenis gastroenteritis virus maupun bakteri akut pada anak yang bergizi baik dan sistem kekebalannya baik. Diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/Kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang volume tinjanya sudah sama dengan volume orang dewasa, volume lebih dari 200 g/24 jam disebut diare. Karena ada perbedaan jumlah, konsistensi dan volume tinja, diare kronis biasanya disebut oleh orangtua penderita sebagai frekuensi buang air besar yang terus meningkat, konsistensi tinja semakin lembek atau volume tinja bertambah banyak. Frekuensi dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume tinja. Pada anak besar, paling baik jika dikumpulkan tinja tiap hari secara terpisah, sehingga perbedaan dari hari ke hari bisa

18

dicatat. Volume tinja sangat sulit dinilai pada bayi karena sulit dipisahkan dari kencingnya. Gambaran Diare. Ada 2 kategori diare kronis. Diare yang berhenti jika pemberian makanan (atau obat-obatan) dihentikan disebut diare osmotik, sedangkan diare yang menetap walaupun penderita dipuasakan disebut diare sekretorik. Kelainan yang menyebabkan diare osmotik kronis sering dijumpai. Sebaliknya diare sekretorik jarang dan merupakan suatu kelainan pada bayi. Dicurigai diare sekretorik, apabila frekuensi buang air besar lebih dari 5 kali per 24 jam, diarenya encer dan volumenya banyak (memenuhi lebih dari 75% popok), serta diarenya terjadi siang malam. Jika ada kemungkinan diare sekretorik, penderita biasanya membutuhkan perawatan dirumah sakit, istirahat usus total, dan hidrasi intravena untuk menentukan dampak pada pola buang air besarnya; diare yang menetap selama 24-48 jam memberi kesan diare sekretorik. Tinja diare segar mempunyai osmolalitas antara 280 dan 330 mOsm/L baik pada diare osmotik maupun sekretorik. Pada diare osmotik, osmolalitas tinja diare merupakan beban osmotik utama yang tidak terabsorbsi atau tidak bisa diabsorbsi. Transpor aktif terus mengambil elektrolit, menyebabkan pengurangan kandungan elektrolit dalam tinja. Sekresi klorida aktif merupakan mekanisme dasar yang menyebabkan diare sekretorik. Sekresi klorida aktif menciptakan gradien osmotik, sehingga mendorong pemindahan cairan secara pasif dari plasma kedalam lumen usus. Osmolalitas tinja diare ini isosmolar terhadap plasma dan dapat diketahui dari kandungan elektrolitnya. Jika diasumsikan osmolalitas tinja konstan 290 mOsm/L pada tinja diare, beda osmotik dapat dihitung dengan mengukur kadar elektrolit tinja. Karena natrium (Na +) dan kalium (K+) merupakan kation utama dalam tinja, osmolalitas diperkirakan dengan mengalihkan jumlah kadar Na+ dan K+ dalam tinja dengan angka 2. Perbedaan osmotik sama dengan 290 2(Na+ + K+). Pada diare osmotik, tinja mempunyai kadar Na+ rendah (<50 mEq/L) dan beda osmotiknya bertambah besar (>160 mOsm/L). pada diare sekretorik, tinja diare mempunyai kadar Na+ tinggi (>90 mEq/L), dan perbedaan osmotiknya kurang dari 20 mOsm/L. Diare Osmotik

19

Dokter harus berusaha untuk menegakkan diagnosis dari anamnesis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan mengikuti perjalanan penyakitnya. Suatu dugaan diagnosis awal (makan terlalu banyak, cairan berlebihan atau pemasukan sorbitol berlebihan, intoleransi laktosa didapat) sering diperkuat dengan respons terhadap pengelolaan bukannya terhadap hasil uji diagnostik. Kelainan-kelainan yang menyebabkan diare osmotik kronis dapat diklasifikasi dari mekanisme patofisiologinya, umur pada saat mulainya, atau pola tampilannya. Diagnosis Banding Diare Osmotik Berdasarkan Patofisiologi. Tabel 287-1 memuat daftar mekanisme diare osmotik dan penyakit spesifik yang dikaitkan dengan masing-masing mekanismenya. Walaupun kebanyakan kelainan diare mengganggu banyak sel usus, termasuk sel epitel,neuron, sel endokrin, sel otot dan sel radang, masing-masing gangguan biasanya dapat digolongkan menurut satu mekanisme utama. Maldigesti merujuk pada menurunnya hidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein di lumen karena gangguan pelepasan; gangguan aktivasi atau inaktivasi enzim pankreas; atau gangguan pelarutan lemak karena menurunnya asam empedu dalam lumen. Tanda klinis utama maldigesti adalah steatore. Defisiensi enzim disakaridase selektif menyebabkan gangguan hidrolisis karbohidrat pada membran enterosit meskipun tidak ada cedera mukosa. Hal ini bisa disebabkan oleh tidak adanya enzim tertentu sejak lahir (defisiensi laktase atau sukraseisomaltase kongenital), hilangnya aktivitas sesuai umur (defisiensi laktase genetik) atau peningkatan jumlah migrasi enterosit disepanjang unit kripta-vilus (defisiensi laktase pascaenteritis). Karena laktase biasa hanya terlihat pada enterosit matang di ujung vilus, bertambahnya kecepatan migrasi (misalnya dapat terjadi pada masa penyembuhan gastroenteritis virus) dapat menyebabkan ujung vilus menjadi jarang ditempati enterosit, sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas laktase. Defisiensi laktase dan sukrase primer muncul sebagai diare encer dan asam. Walaupun ada uji diagnosis untuk mengetahui defisiensi laktase dan sukrase, sembuhnya diare yang cepat pengurangan salah satu disakarida diatas biasanya cukup untuk membuat diagnosis pasti. Cacat absorpsi enterosit merupakan suatu kelainan herediter yang jarang yang mengganggu absorpsi di sepanjang membran enterosit atau pemrosesan larutan yang diabsorbsi didalam sel. Kelainan yang mengakibatkan diare kronis dikaitkan dengan

20

kegagalan atau tidak adanya penyerapan glukosa-galaktosa yang berpasangan dengan natrium dimukosa, gangguan pemrosesan lipid didalam enterosit dan gangguan absorpsi elemen renik spesifik. Gula polialkohol sorbitol diabsorbsi jelek diusus halus dan bisa menyebabkan diare osmotik jika dikonsumsi dalam jumlah besar. Bahan ini umumnya terdapat didalam buah-buahan dan jus buah (terutama apel, pir, anggur) dan juga sering dipakai sebagai bahan pemanis pada makanan bebas gula dan makanan diet (permen karet, permen, obat batuk tetes, selai diet, jeli dan es krim). Patogen usus menyebabkan sakit dengan menginvasi mukosa usus, memproduksi enterotoksin, memproduksi sitotoksin dan menyebabkan perlengketan mukosa yang disertai dengan kerusakan dimembran mikrovili. Organisme yang menginvasi sel epitel dan lamina propria menimbulkan suatu reaksi radang lokal yang hebat. Enterotoksin menyebabkan sekresi elektrolit dan air dengan merangsang adenosin monofosfat siklik di sel mukosa usus halus. Sitotoksin memicu peradangan dari sel yang cedera serta meluaskan zat mediator radang. Perlengketan mukosa menyebabkan cedera mikrovili dan peradangan sel bulat di lamina propria. Kebanyakan bakteri yang mampu membuat infeksi usus kronis juga menyebabkan hal yang sama melalui bemacam-macam mekanisme. Disamping maldigesti yang telah diuraikan didepan, bakteri yang tumbuh berlebihan diusus halus juga mengganggu mukosa usus. Pertumbuhan bakteri dalam lumen menghasilkan cukup banyak enzim dan hasil metabolisme untuk menghancurkan enzim glikoprotein pada tepi bersilia dan mengganggu pengangkutan monosakarida dan elektrolit. Cedera vili menyebabkan lesi mukosa disana-sini yang disertai dengan segmen atrofi vili subtotal dan respons radang subepitel yang mencolok. Penyebab dasar kelainan noninfeksi yang mengganggu morfologi mukosa usus halus adalah gangguan imunologi. Kelainan yang mengenai morfologi mukosa bisa menyebabkan diare osmotik maupun sekretorik, tergantung pada tingkat cedera vili dan panjangnya usus yang terkena. Gangguan morfologi usus halus ini menyebabkan diare osmotik akibat hilangnya permukaan absorpsi usus serta perubahan fungsi pada kapasitas absorpsi sepanjang unit kripta-vilus akibat meningkatnya pergantian epitel. Upaya kompensasi untuk pembaruan epitel bisa mengakibatkan naiknya angka migrasi ke atas unit kripta-vilus sehingga sel imatur menempati vilus apikal. Karena laktase, aktivitas

21

esterifikasi asam lemak, dan enzim yang mengesterifikasi lipid merupakan suatu fungsi dari kematangan enterosit, meningkatnya migrasi sel bisa menurunkan fungsi absorpsi tidak tergantung pada luasnya permukaan absorpsi. Obstruksi pembuluh limfe usus kongenital dan didapat bisa menyebabkan gangguan aliran limfe dari usus. Gambaran utama kelainan ini adalah hipoalbuminemia, hipogamaglobulinemia, hipolipidemia dan limfopenia akibat eksudasi protein dan limfosit kedalam lumen usus. Diare mungkin menjadi tanda klinis yang penting atau mungkin bukan. Limfangiektasi usus primer jarang terjadi dan mungkin disertai dengan kelainan pembuluh limfe di mana-mana di dalam tubuh. Limfangiektasi sekunder mungkin disertai dengan penyakit kardiovaskuler ( gagal jantung kongestif, perikarditis konstriktif, sindrom Budd-Chiari, prosedur fontan, obstruksi vena kava superior), obstruksi limfe mesenterika (limfoma, tuberkulosis, sarkoidosis, malrotasi, pengobatan radiasi), penyakit radang usus kronis, dan obstruksi duktus toraksikus (tumor mediastinum). Gangguan atau variasi motilitas usus bisa menyebabkan meningkatnya masa transit makanan melalui usus sehingga melampaui kapasitas normal untuk mencerna dan mengabsorbsi larutan dalam lumen atau menyebabkan transit usus sehingga menyebabkan stasis dan bakteri tumbuh berlebihan. Kenaikan aktivitas motorik usus bisa menyebabkan aktivitas pemacu gelombang lambat yang tidak normal (sindrom usus iritabel), gambaran abnormal aktivitas potensial-menonjol (hipertiroidisme, skleroderma, pseudo-obstruksi) dan distensi usus yang hebat. Yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena pengosongan lambung yang cepat, makan berlebihan, makan jus hipertonis dalam jumlah besar, makan bahan makanan tambahan dalam kemasan yang osmolalitas tinggi (>500 mOsm), obstruksi usus parsial atau kegagalan akomodasi kolon. Usus yang kembung disebabkan oleh tekanan osmotik aktif dari partikel yang tinggal didalamnya, atau menumpuknya air kedalam lumen usus. Kelainan yang mengganggu transit antara lain miopati usus halus atau neuropati yang menyebabkan berkurangnya eksitasi potensial-menonjol usus atau gambaran tidak normal aktivitas potensial-menonjol. Bahan-bahan farmakologi dapat memacu diare dengan bermacam-macam mekanisme, antara lain (1) adanya beban osmotik intraluminal yang berlebihan (laksansia osmotik seperti laktulosa, garam magnesium, antasid yang mengandung magnesium), (2)

22

efek langsung toksin yang menyebabkan perubahan morfologis pada mukosa usus halus (bahan sitotoksik, neomisin), dan (3) gangguan motilitas usus (senna, minyak kastor, kuinidin). Diare karena keracunan obat umumnya berhubungan dengan dosis bukannya reaksi idiosinkrasi. Semua kelas antibiotik dapat terkait dengan diare. Dalam banyak hal, fungsi saluran cerna dipengaruhi oleh hormon dan oleh penyakit pada kelenjar endokrin. Diare merupakan gejala yang sering ditemui, tetapi mekanismenya yang cepat seringkali tidak diketahui. Penyakit yang ditandai dengan sekresi hormon berlebihan antara lain tirotoksikosis, sindrom Zollinger Ellison (ZE), neuroblastoma, ganglioneuroma, dan sindrom karsinoid maligna. Penyakit yang ditandai oleh penurunan sekresi hormon antara lain hipoparatiroidisme, penyakit Addison, dan meskipun jarang, diabetes mellitus. Diare yang terkait dengan hipertiroidisme terutama disebabkan oleh hipermotilitas, yang, kalau disertai pemasukan diet yang berlebihan, dapat juga menyebabkan steatore. Hipotiroidisme dan sindrom Zollinger-Ellison dapat juga menyebabkan steatore. Diagnosis banding diare osmotik berdasarkan umur saat mulainya Umur penderita adalah suatu faktor yang sangat penting dalam mengevaluasi diare osmotik kronis. Walaupun beberapa keadaan klinis bisa muncul pada saat bayi, tetapi hal tersebut sering baru diketahui 2 tahun kemudian karena gejalanya ringan. Contohnya antara lain diare kronis tidak spesifik, fibrosis kistik dan defisiensi enterokinase. Diagnosis banding diare osmotik berdasarkan gambaran yang muncul Gambaran klinis yang muncul juga membantu untuk menentukan diagnosis dan petunjuk evaluasi diagnostik spesifik dan pengelolaannya. Diare kronis setelah infeksi usus akut. Diagnosis intoleransi laktosa pasca-infeksi cukup beralasan pada bayi yang sebelumnya sehat lalu mengalami diare menetap kalau mengkonsumsi kembali diet mengandung laktosa secara teratur. Tingkat diarenya tidak selalu berkorelasi dengan tingkat defisiensi disakaridase. Intoleransi karbohidrat disimpulkan dari bukti adanya pH asam dengan cara menyentuhkan secara langsung kertas nitrazin pada sarung tangan jari yang basah setelah pemeriksaan colok dubur. Pemakaian popok yang menyerap membuat pemeriksaan cairan tinja menjadi lebih sulit. Clinitest dipakai untuk memeriksa zat-zat pereduksi didalam tinja. Respons klinis terhadap pemberian diet bebas laktosa merupakan suatu alternatif untuk pemeriksaan

23

tinja atau uji diagnostik spesifik. Pembatasan laktosa seharusnya menghasilkan penyembuhan cepat diarenya dalam 2-3 hari. Jika ada defisiensi laktase. Kita harus membedakan intoleransi laktosa dengan keadaan sensitif terhadap protein; gastroenteritis akut tidak memicu sensitivitas susu. Cukup beralasan bila susu sapi diganti dengan formula susu kedelai jika dicurigai intoleransi laktosa karena formula susu kedelai mengandung tepung rantai pendek atau sukrosa sebagai sumber gulanya. Orangtua harus dibimbing agar tidak memberikan susu formula encer dan memberikan tambahan cairan bening atau larutan elektrolit encer berlebihan untuk menghindari hiponatremia atau pengurangan kalori pasca-infeksi, yang bisa menyebabkan diarenya berkepanjangan. Diare yang menetap walaupun laktosa dalam diet sudah dikurangi memberi kesan diagnosis bukan defisiensi laktase. Saat mulainya diare kronis tidak spesifik dapat juga didahului oleh suatu diare akut, terutama antara umur 3 bulan dan 1 tahun. Hubungan diare kronis dengan diet. Penatalaksanaan empiris selalu terindikasi jika ada hubungan antara diet dan penyebab diare kronis. Perubahan diet yang tepat seharusnya menyebabkan penyembuhan diare yang cepat pula. Penyebab utama diare kronis pada bayi kecil adalah sensitivitas susu sapi atau protein kedelai. Kebanyakan kasus mulai umur 3 bulan pertama dan ditandai dengan serangan bertahap diare encer atau dengan darah dan lendir. Muntah, tidak ada nafsu makan serta rewel merupakan gejala tambahan. Manifestasi klinis yang biasa terjadi pada intoleransi diet karbohidrat adalah diare encer, kembung, berkentut dan nyeri kram perut. Intoleransi karbohidrat biasanya akibat dari defisiensi disakaridase. Intoleransi monosakarida jarang. Malabsorbsi glukosa galaktosa muncul sebagai diare osmotik berat pada umur minggu pertama, yang hanya berespons terhadap formula modular yang mengandung fruktosa. Intoleransi monosakarida didapat pada penderita, yang sebelumnya toleran terhadap formula yang mengandung laktosa, sukrosa, atau tepung rantai pendek, menunjukkan adanya cedera berat pada mukosa usus. Karena kebanyakan formula dipasaran tidak mengandung sukrosa, diare pada penderita defisiensi sukrase-isomaltase biasanya belum mulai sampai dimulai pemberian buah-buahan atau makanan padat dalam diet. Penghilangan sukrosa sama sekali dari diet adalah uji terapi yang sahih karena gejala diare akan membaik dalam beberapa hari.

24

Defisiensi laktase heriditer mulai lambat adalah penyebab utama intoleransi susu buatan pada anak diatas 4 tahun. Penyebab lain diare akibat karbohidrat yang mengenai orang normal tanpa malaabsorpsi adalah akibat dari makan karbohidrat kompleks tak dapat dicerna secara berlebihan yang tidak terabsorpsi secara sempurna. Bahan-bahan ini terutama ditemukan pada buncis, kubis, dedak, dan tepung gandum, oat serta beras. Diagnosis intoleransi karbohidrat dapat dipastikan dengan breath hidrogen test. Gejala diare fungsional. Pada bayi, diare fungsional didefinisikan sebagai diare kronis tidak spesifik; pada kasus yang terjadi kemudian pada masa anak, bisa dipakai sebutan diare balita (toddlers diarrhea) dan sindrom usus iritabel. Tidak ditemukan adanya penyebab anatomis, infeksi, radang atau biokimia sindrom klinis. Diare biasanya mulai secara tersembunyi tanpa kejadian pencetus yang jelas. Anak-anak secara klasik akan bergantian mengeluarkan tinja normal dan cair dan bahkan bergantian antara diare dan konstipasi. Keadaan ini dikaitkan dengan gangguan fungsi motilitas lain pada awal masa anak, antara lain refluks gastroesofagus dan konstipasi dengan riwayat makan berlebihan atau minum berlebihan (>120 mL/kg/24 jam). Tinja jarang keluar waktu tidur, walaupun sering keluar tinja pada saat berjalan. Orangtua sering menemui tinja bersama butir-butir makanan. Berat badan bertambahn secara normal. Komplikasi diare kronis tidak spesifik sering bersifat iatrogenik, akibat dari pengurangan diet atau kelebihan pemasukan cairan bening tinggi karbohidrat. Manipulasi berlebihan pada diet berpotensi untuk menyebabkan gangguan makan sekunder atau gangguan kebiasaan makan. Sindrom usus iritabel paling sering terjadi pada remaja dan mirip dengan yang ditemukan pada orang dewasa. Pola buang air besar berubah dan disertai dengan nyeri perut, yang biasanya sembuh setelah buang air besar. Biasanya keluar tinja cair setelah rasa sakit atau mendadak ingin buang air besar dan sering mengandung mukus. Perasaan tidak puas setelah buang air besar adalah khas. Sering ada riwayat keluarga positif dengan penyakit fungsi usus. Evaluasi tidak menunjukkan diagnosis alternatif. Tanda dan gejala yang memberi kesan maldigesti atau jejas mukosa usus halus yang bermakna. Evaluasi malabsorpbsi harus dilakukan dengan diet senormal mungkin untuk menghindari keadaan abnormal spesifik yang menutupi. Evaluasi penapisan untuk penderita yang dicurigai maldigesti atau malabsorpsi tanpa nyeri perut meliputi hitung darah lengkap, gambaran biokomia, uji keringat, imunoglobulin serum kuantitatif,

25

antibodi antigliadin serum, dan pemeriksaan tinja kualitatif untuk leukosit, lema netral dan lemak tercerai dan guaiak. Lagi pula infeksi usus harus dipikirkan. Bukti kualitatif lemak tinja dari pemeriksaan tinja menentukan uji fungsi pankreas, jika uji keringat dan morfologi usus halus normal. Tanda dan gejala yang memberi kesan radang kolon. Bila tidak ada infeksi usus, setiap penderita diare kronis yang disertai nyeri perut harus dilakukan kolonoskopi dan foto kontras barium serial pada saluran cerna bagian atas dan diikuti sampai ke usus halus untuk mengesampingkan penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Biopsi mukosa harus dilakukan walaupun tidak ada kelainan pada kolonoskopi.

BAB IV PENUTUP IV.1. Kesimpulan Kasus KEP (Kurang Energi Protein) dengan beberapa penyakit penyerta ini terjadi pada anak berusia 11 bulan yang berasal dari keluarga dengan social ekonomi yang rendah. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa ada hubungan yang erat antara

26

pendapatan keluarga dan status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu juga merupakan salah satu factor terjadinya kurang gizi pada balita, karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa bila anaknya sudah kenyang berarti kebutuhan mereka terhadap gizi sudah terpenuhi. Terdapat 10 tatalaksana gizi buruk yaitu tatalaksana terhadap hipoglikemia, tatalaksana terhadap hipotermia, tatalaksana terhadap dehidrasi dan syok, koreksi elektrolit, tatalaksana terhadap infeksi, tatalaksana terhadap defisiensi mikronutrien, pemberian makanan awal, tumbuh kejar, stimulasi, dan tindak lanjut. IV.2. Saran KEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga disertai adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Untuk mengantisipasi masalah di atas, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu di setiap tingkat pelayanan kesehatan, termasuk pada sarana kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas perawatan, Puskesmas, Balai Pengobatan, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu, dan Pusat Pemulihan Gizi yang disertai peran aktif masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman Richard E. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1 & 2. Edisi 15. Jakarta: EGC. 1999 2. Garna Herry. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. 2005 3. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia. 2008 27

4. Sastroasmoro Sudigdo. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: PPM RSCM. 2007 5. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta: IDAI. 2004 6. Rahajoe Nastiti N, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP IDAI. 2005 7. Hernawati Ina. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta: DEPKES RI Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2006 8. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. 1995 9. Matondang Corry S. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2. Sagung Seto: Jakarta. 2003 10. Hidayat Boerhan. Kurang Energi Protein .URL: http://www.pediatrik.com. Akses 23 Oktober 2010

28

You might also like